• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakekat Hasil Belajar Matematika 2.1.1.1 Pengertian Belajar

Winkel (Eriyani, 2011:7) mengemukakan belajar adalah : ”suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”.

Jihad (2010:14) belajar merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan instruksional, biasanya guru menetapkan tujuan belajar. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.

Slameto (2010:2) mengemukakan belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Seels dan Rita (Iryani, 2010:6), belajar juga diartikan sebagai perolehan perubahan tingkah laku yang relatif permanen dalam diri seseorang mengenai pengetahuan atau tingkah laku karena adanya pengalaman. Hal ini senada dengan pendapat Bower & Ernes (Iryani, 2010:6) bahwa belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan tidak disebabkan oleh adanya kedewasaan.

Pengertian belajar sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Slameto (2010), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

(2)

Belajar sebagai proses adalah kegiatan yang dilakukan secara sengaja melalui penyesuaian tingkah laku dirinya guna meningkatkan kualitas kehidupan.

Sedangkan belajar sebagai hasil adalah akibat dari belajar sebagai proses, sehingga seseorang yang telah mengalami proses belajar akan memperoleh hasil berupa kemampuan terhadap sesuatu yang menjadi hasil belajar.

2.1.1.2 Pengertian Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley (Sudjana, 2001:21) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu (a) ketrampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah.

Menurut Hamalik (Jihad, 2010:14) hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Azwar (Febriana, 2010) hasil belajar ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek utama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan dan ketepatan, gerakan ketrampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Disamping itu hasil belajar dapat dioperasionalisasikan dalam bentuk indikator-indikator berupa nilai rapor, indeks prestasi studi, angka kelulusan, dan predikat keberhasilan.

Hasil belajar ini diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.

Untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil belajar siswa atau kemampuan siswa dalam suatu pokok bahasan guru biasanya mengadakan tes hasil belajar. Hasil

(3)

belajar dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu tes hasil belajar yang diadakan setelah selesai program pengajaran.

Evrieta (2010) hasil belajar matematika siswa merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika.

Pengertian hasil belajar matematika sejalan dengan yang dikemukakan oleh Evrieta yaitu suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika.

2.1.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Slameto (2010:54) Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu:

1. Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (intern), yang meliputi : (1). Faktor biologis, meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran, dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil prestasi belajar, (2). Faktor Psikologis, meliputi:

intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berfikir, (3). Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk.

Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk mengahasilkan sesuatu akan hilang.

2. Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor ekstern, yang meliputi: (1). Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar. (2). Faktor Sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah. (3). Faktor Masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar.

(4)

Sudjana (Mahardika, 2011) Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa adalah:

a. Faktor intern, yaitu faktor yang terdapat dalam diri individu itu sendiri, antara lain ialah kemampuan yang dimilikinya, minat, motivasi, dan faktor-faktor lain.

b. Faktor ekstern, yaitu faktor yang berada di luar individu diantaranya lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar di atas dapat dikaji bahwa salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar adalah metode guru dalam mengajar (metode pembelajaran) seperti yang dikemukakan oleh Slameto (2010). Sehingga perlu diperhatikan oleh pengajar atau guru bahwa penerapan metode dalam pembelajaran sangat menentukan hasil belajar siswa.

2.1.2 Problem Based Learning (PBL) 2.1.2.1 Pengertian PBL

Pengertian metode problem based learning (PBL) menurut Amir (2008:21) ialah lingkungan belajar yang didalamnya menggunakan masalah yaitu sebelum belajar mempelajari suatu hal, mereka diharuskan mengidentifikasi masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun telaah kasus. Masalah diajukan sedemikian rupa sehingga siswa menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut.

Metode problem based learning ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal. Indikator model pembelajaran ini adalah metakognitif, elaborasi (analisis), interpretasi, induksi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, sintesis, generalisasi, dan inkuiri.

(5)

2.1.2.2 Karakteristik PBL

Problem Based Learning (PBL) dirancang dalam masalah-masalah yang

menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat meraka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karier dalam kehidupan sehari-hari.

Karakteristik yang tercakup dalam proses PBL menurut Amir (2008:22-23):

1) Masalah yang digunakan sebagai awal pembelajaran.

2) Biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara ngambang (ill-stuctured).

3) Masalah biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perspektive).

4) Masalah membuat siswa tertantang untuk mendapat pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru.

5) Sangat mengutamakan belajar mandiri (selt directed learning).

6) Memanfaatkan sumber belajar yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja. Pencarian, evaluasi serta penggunaan pengetahuan ini menjadi kunci penting.

7) Pembelajaran kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. Pembelajar bekerja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan (peer teaching), dan melakukan presentasi.

2.1.2.3 Langkah-langkah PBL

Proses PBL menurut Amir (2009:24-25) akan dapat dijalankan dalam pembelajaran dengan 7 langkah diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas.

2) Merumuskan masalah.

3) Menganalisis masalah.

4) Menata gagasan dan secara sistematis menganalisis lebih mendalam.

5) Menformulasikan tujuan pembelajaran.

(6)

6) Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain (di luar diskusi kelompok).

7) Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk guru.

Adapun langkah-langkah pembelajaran PBL adalah sebagai berikut:

1. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau alat pendukung yang dibutuhkan.

2. Guru memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang telah dipilih.

3. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dsb).

4. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, dan pemecahan masalah.

5. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka dalam berbagi tugas dengan temannya.

6. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses-proses belajar.

7. Kesimpulan/penutup.

2.1.2.4 Tahap-tahap PBL

Menurut Jatmiko (Solikhin, 2011:10) menegaskan ada lima tahap dalam pembelajaran PBL yaitu : (1) orientasi siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Menurut Arends (Mahardika, 2011), pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah meliputi lima tahap yaitu:

1. Orientasi siswa terhadap masalah autentik

(7)

Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa agar terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.

2. Mengorganisasi peserta didik

Pada tahap ini guru membagi peserta didik ke dalam kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.

3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok

Pada tahap ini guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya/diskusi

Pada tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pada tahap ini guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.

Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah seperti pada tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1

Tahap-tahap pembelajaran problem based learning

Tahap Tingkah laku guru

Tahap I

Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

Tahap II

Mengorganisasi siswa untuk belajar

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tahap III

Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap IV

Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

Tahap V

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses- proses yang mereka gunakan.

(8)

2.1.2.5 Kelebihan dan Kelemahan PBL

Menurut Endriani (2011) kelebihan Problem Based Learning (PBL) adalah solving realistik dengan kehidupan siswa, konsep sesuai dengan kebutuhan siswa, memupuk sifat inquiry siswa, retensi konsep menjadi kuat, memupuk kemampuan problem solving. Kekurangan Problem Based Learning (PBL) adalah persiapan pembelajaran (alat, problem, konsep) yang kompleks, sulitnya mencari problem yang relevan, sering terjadi mis konsepsi, memerlukan waktu yang cukup panjang.

2.1.3 Konsep Teori Belajar Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak- anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yag mempelajari matematika.

Teori belajar Dienes juga menekankan pada tahapan permainan yang berarti pembelajaran yang diarahkan pada proses melibatkan anak didik dalam belajar.

Hal ini berarti proses pembelajaran dapat membangkitkan dan membuat anak didik senang dalam belajar. Oleh karena itu teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).

Perkembangan konsep matematika menurut Dienes (Somakim, 2007) dapat dicapai melalui pola berkelanjutan, yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajar dari konkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara yang satu segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan melalui media matematika yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak didik. Dapat dikatakan bahwa obyek-obyek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik dengan

(9)

konsep PAKEM. Menurut Dienes (Aisyah dkk, 2008), konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap- tahap belajar menjadi beberapa, yaitu:

1. Permainan Bebas (Free Play)

Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul, anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic, anak didik mulai mempelajari konsep- konsep abstrak tentang warna, tebal tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.

2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)

Dalam permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola- pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi dengan melalui permainan diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu.

Contoh dengan permainan block logic, anak diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga, atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau tidak merah (biru, hijau, kuning).

(10)

3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)

Dalam mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain.

Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang yang tebal,

anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).

4. Permainan Representasi (Representation)

Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu.

Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.

Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif.

5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)

Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.

6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)

Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus

(11)

mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.

Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (Aisyah dkk, 2008) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep- konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika.

Menurut Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainnya sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability), sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang berbeda- beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami konsep tersebut.

Kelebihan teori belajar Dienes adalah:

1) Dengan menggunakan benda-benda konkret, siswa dapat lebih memahami konsep dengan benar.

2) Suasana belajar akan lebih hudup, menyenangkan, dan tidak membosankan.

3) Dominasi guru kurang dan siswa lebih aktif.

4) Konsep yang lebih dipahami dapat lebih mengakar karena siswa membuktikannya sendiri.

5) Dengan banyaknya contoh dengan melakukan permainan siswa dapat menerapkan kedalam situasi yang lain.

(12)

Teori belajar Dienes bersumber pada teori perkembangan Piaget yang membagi manusia dalam beberapa tahap perkembangan yang telah dikembangkan kembali oleh Dienes yang diorientasikan pada anak-anak, sehingga menjadi lebih menarik untuk anak-anak. Sesuai dengan teori yang diungkapkan Dienes maka siswa akan lebih memahami pembelajaran matematika jika diajarkan menggunakan benda-benda nyata dan dalam bentuk permainan.

2.1.4 Teori Belajar Dienes Dalam Problem Based Learning

Dutch (Amir, 2008:21) mengemukakan PBL merupakan metode intruksional yang menantang siswa agar “belajar untuk belajar”, bekerja sama

dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. PBL mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis serta analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.

Pembelajaran dengan metode problem based learning yang didasari pada pemberian masalah pada awal pembelajaran memang dapat menumbuhkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah khususnya matematika. Tetapi pembelajaran dengan pendekatan problem based learning cenderung akan membuat siswa menjadi bingung dan susah dalam pembelajaran tersebut jika tidak mendesain pembelajaran dengan menarik bagi siswa. Hal ini terjadi karena pengemasan pembelajaran masih bersifat kaku dan umum. Maka metode ini dapat dikembangkan agar lebih menyenangkan untuk siswa dan pembelajaran lebih optimal.

Metode pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan teori belajar Dienes yang mengutamakan pembelajaran menggunakan benda konkret sebagai medianya dan permainan dalam pengemasannya. Dengan mnggunakan benda konkret, siswa dapat lebih mudah memahami materi yang dipelajari. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget (Aisyah dkk, 2008) bahwa siswa di sekolah dasar (7-12 tahun) dalam tahap periode operasional konkret. Pada tahap ini siswa bekerja menggunakan logika dengan berorientasi ke obyek-obyek atau peristiwa

(13)

yang dialami siswa, dan berpikir logikanya didasarkan atas manipulasi fisik dari obyek-obyek. Maka tepat bila pembelajaran dengan metode problem based learning dikembangkan dengan teori belajar Dienes agar lebih optimal dan menyenangkan bagi siswa.

2.1.5 Metode Pembelajaran Matematika Mekanistik

Treffer (Evrieta, 2010:21), mengatakan bahwa metode matematika mekanistik merupakan metode yang didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam metode ini manusia dianggap sebagai komputer atau mesin. Dalam metode matematika mekanistik proses pembelajaran cenderung dipisahkan dan tidak terjadi kegiatan siswa berupa proses bermatematika secara horisontal dan vertikal.

Pada umumnya, sebagian guru ketika mengajar matematika akan melalui proses pembelajaran suatu topik dengan membahas definisi, lalu membuktikan atau hanya mengumumkan kepada para siswa rumus-rumus yang berkaitan dengan topik tersebut, diikuti dengan membahas contoh-contoh soal, dan diakhiri dengan meminta para siswanya untuk mengerjakan soal-soal latihan. Dengan pembelajaran seperti itu, para guru akan mengontrol secara penuh materi serta metode penyampaiannya. Akibatnya, proses pembelajaran matematika di kelas menjadi proses mengikuti langkah-langkah, aturan-aturan, serta contoh-contoh yang diberikan oleh guru.

Suryanto (Evrieta, 2010:22) mengemukakan metode matematika mekanistik yaitu metode matematika yang berfokus pada prosedur penyelesaian soal. Metode matematika mekanistik memecah isi pembelajaran menjadi bagian kecil yang tidak bermakna dan berisi latihan menyelesaikan soal yang terpisah. Pada pembelajaran ini masalah atau soal realistik juga kadang digunakan dalam pembelajaran, namun biasanya hanya pada bagian akhir pembelajaran sebagai suatu contoh atau soal-soal penerapan dari materi matematika yang telah dipelajari.

Treffers (Evrieta, 2010:23) mengatakan, karakteristik metode matematika mekanistik adalah sebagai berikut:

(14)

1. Belajar bukan sebagai proses kontruksi melainkan proses reproduksi.

Pelajaran tidak didasarkan pada orientasi konkret, tetapi setiap kali dimulai dengan tahap aritmetika formal.

2. Proses belajar tidak mengenal tahap formalisasi, sehingga tidak ada jembatan antara kegiatan berkonteks yang informal dan pelajaran formal.

3. Refleksi siswa kurang diperhatikan. Masalah disajikan secara khas, yaitu berupa soal simbolik dan cerita murni, tidak ada kesempatan untuk produksi bebas, tidak ada soal yang mengandung konflik, dan tidak ada soal yang informasinya dicari sendiri oleh siswa.

4. Pelajaran bersifat individual, tidak mengandung konteks sosial dan interaksi.

5. Keterkaitan antara materi matematika dan keterkaitan dengan realitas kurang ditekankan.

2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan yang berkaitan dengan Problem Based Learning (PBL) yaitu Febriana (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Problem-Based Learning Pokok Bahasan Bangun Ruang Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SDN Kauman lor 01 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang” hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan problem-based learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan

hasil belajar siswa. Dari total nilai yang didapat, siswa dengan nilai ≥ 60 pada kondisi awal ada 15 siswa (50%) dengan mean 63,4, lalu pada siklus I, 28 siswa (93%) dengan mean 65,67. Kemudian meningkat pada siklus II mean 89 ada 29 siswa (97%) dengan nilai ≥ 60. Keberhasilan tersebut terjadi karena adanya perubahan pada siswa yaitu (1) siswa mampu mengorientasi masalah, (2) siswa mampu membentuk kelompok untuk berdiskusi, (3) siswa mampu menyelidiki masalah baik secara individu maupun kelompok, (4) siswa mampu mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi kelompok, dan (5) siswa mampu menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

(15)

Wahyudi (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Melalui Penerapan Problem-Based Learning Dalam Pembelajaran Matematika” hasil penelitian yang

mengemukakan bahwa penerapan problem-based learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika. Peningkatan ini terlihat dari kemampuan siswa menggunakan logika/penalarannya secara benar dalam mengerjakan soal cerita, sehingga siswa mampu memahami, merencanakan penyelesaian, dan menyelesaikan soal dengan langkah dan aturan yang benar sehingga hasil belajar siswa meningkat.

Dari total nilai yang didapat siswa dengan nilai ≥ 70 pada kondisi awal ada 8 siswa (30,77%) dengan mean 62,20 meningkat menjadi 26 siswa (100%) dengan mean 88,34. Keberhasilan tersebut karena adanya perubahan pada partisipasi/keterlibatan siswa secara aktif dalam pembelajaran, yang sudah mampu mengidentifikasi masalah dan menggali sumber informasi yang relevan, belajar mandiri, menyelidiki dan menginterpretasi informasi yang terkumpul, memprioritaskan beberapa alternatif solusi masalah, mengintegrasikan pendapat atau data informasi untuk menyeleksi solusi masalah.

Mahardika (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan

Pendekatan Problem-Based Learning pada Mata Pelajaran IPA Pokok Bahasan Energi Bunyi untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SDN 1 Kranggan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung Tahun Pelajaran 2010/2011” menunjukkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terjadi peningkatan motivasi dan hasil belajar siswa. Siklus I aspek motivasi belajar dengan dengan kategori baik hanya aspek perasaan senang dan kemauan, sedangkan pada siklus II semua aspek motivasi belajar masuk kategori baik. Dan hasil belajar siswa juga terjadi peningkatan dengan kriteria ketuntasan minimal yang telah ditetapkan yaitu ≥ 70. Dari siswa yang berjumlah 41 anak, sebelum diadakan penelitian 20 siswa yang tuntas dengan persentase 49%, pada siklus I siswa tuntas dalam belajar berjumlah 36 anak dengan persentase 87,8%

dan pada siklus II siswa tuntas dalam belajar berjumlah 41 anak dengan persentase 100%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan

(16)

pendekatan problem-based learning dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa kelas IV SD N 1 Kranggan Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung Tahun Pelajaran 2010/2011.

Solikhin (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Problem- Based Learning (PBL) Terhadap Pencapaian Prestasi Belajar Matematika Siswa

Kelas V Gugus Kartini Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga Semester II Tahun Pelajaran 2010/2011” mengemukakan bahwa hasil penelitian menunjukkan tidak

ada pengaruh Problem Based Learning (PBL) terhadap prestasi belajar yang ditunjukkan dengan THitung> TTabel (-0,116<2,311), maka H0 diterima. Temuan penelitian ini bertolak belakang dengan temuan yang dilakukan olehSuci (2006) dan Kusumaningsih (2008).

2.3 Kerangka Pikir

Aktivitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika. Materi yang disampaikan hanya berupa informasi yang lebih mengaktifkan guru, sedangkan siswa pasif mendengarkan dan menyalin dalam buku catatan. Hal ini disebabkan oleh tuntutan kurikulum yang lebih menekankan pada pencapaian target. Artinya, semua bahan harus selesai diajarkan dan bukan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika. Akhirnya terjadilah proses penghafalan konsep atau prosedur. Pemahaman konsep matematika rendah, dan tidak dapat digunakan untuk permasalahan kompleks yang melibatkan tingkat pemahaman dan logika berpikir yang lebih tinggi.

Dengan rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep matematika mengakibatkan hasil belajar yang tidak memuaskan.

Salah satu metode yang digunakan untuk membantu siswa dalam pemahaman konsep adalah metode pembelajaran problem based learning (PBL) dengan teori Dienes. Woods (Amir, 2009) menyebutkan PBL lebih dari sekedar lingkungan yang efektif untuk mempelajari pengetahuan tertentu. PBL dapat membantu siswa membangun kecakapan sepanjang hidupnya dalam memecahkan masalah, kerjasama tim, dan berkomunikasi. Sehingga hasil belajar dapat

(17)

meningkat dengan keaktifan siswa dalam pembelajaran dan pembelajaran lebih bermakna. Perhatikan bagan 2.1 kerangka berpikir berikut.

Bagan 2.1 Kerangka Pikir

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas maka hipotesis awal dirumuskan sebagai berikut:

2.4.1 Hipotesis Deskriptif

Secara rinci hipotesis deskriptif yang diajukan adalah sebagai berikut: ada perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajar menggunakan metode pembelajaran problem based learning dengan teori Dienes dan metode pembelajaran mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.

2.4.2 Hipotesis Statistik

Secara statistik hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. H0: µeksperimen= µkontrol

Tidak ada perbedaan hasil belajar yang diajar metode pembelajaran problem based learning dengan teori Dienes dan metode pembelajaran mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.

Pembelajaran berpusat pada guru, siswa menjadi tidak aktif

Rendahnya hasil belajar siswa

Metode pembelajaran problem based learning (PBL) dengan

teori Dienes membuat siswa menjadi aktif

Meningkatnya hasil belajar siswa

(18)

b. H1: µeksperimen= µkontrol

Ada perbedaan hasil belajar yang diajar metode pembelajaran problem based learning dengan teori Dienes dan metode pembelajaran mekanistik, pada siswa kelas IV di SDN Mangunsari 04 dan 07.

Referensi

Dokumen terkait

Mengacu pada hasil penelitian, maka simpulan deskriptif persepsi guru terhadap variabel: a) kesehatan sekolah rata-rata baik; b) umberdaya manusia rata-rata kurang;

Pihak ketiga adalah individu warga masyarakat. Secara individual kuasa yang dimiliki bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak kejahatan adalah paling lemah dibanding dua

Koefesien Determinasi adalah salah satu nilai statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara dua variabel.. koefisien dari determinasi

 Universitas Terbuka Convention Center, 26 November 2016 270 Lehtinen (2006), dalam konteks ini peran guru harus beranjak dari ‘penyedia jawaban’, yaitu seseorang yang

Keselamatan dan kesehatan pekerja adalah hal utama yang harus dilaksanakan pada Badan Usaha Milik Negara atau perusahaan swasta, karena pekerja yang sehat dan tidak

Tulisan ini mencoba menggali tentang persoalan masyarakat ideal dalam Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah cita-cita bagi umat muslim untuk mewujudkannya dalam dataran

The lever’s reliability model of the multi-functional engine is formulated on the basis of the interface between the rings of two surfaces, the direction of motion, and the angle