• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI PENYU DI DESA MALIGI KECAMATAN SASAK RANAH PASISIE KABUPATEN PASAMAN BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI PENYU DI DESA MALIGI KECAMATAN SASAK RANAH PASISIE KABUPATEN PASAMAN BARAT"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI PENYU DI DESA MALIGI KECAMATAN

SASAK RANAH PASISIE KABUPATEN PASAMAN BARAT

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Ilmu Administrasi Publik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

OLEH :

AVNI RAHMI PUTRI 160903008

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI PENYU DI DESA MALIGI KECAMATAN

SASAK RANAH PASISIE KABUPATEN PASAMAN BARAT

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Ilmu Administrasi Publik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

OLEH :

AVNI RAHMI PUTRI 160903008

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Konservasi penyu merupakan salah satu program yang dibuat pemerintah untuk dapat tetap menjaga jumlah populasi penyu di alam. Implementasi program konservasi penyu di Maligi masih mengalami beberapa kendala dalam proses kolaborasi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya. Dimana belum adanya aturan tertulis terkait pembagian tugas antar stakeholder dalam kegiatan kolaborasi. Belum adanya regulasi khusus mengenai bentuk, pola dan model kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi.

Kegiatan kolaborasi pada program konservasi penyu di Maligi adalah kegiatan kolaborasi multi sektor dengan melibatkan multi stakeholder serta merupakan perpaduan harmonis antara pendekatan top-down planning, bottom-up planning dan partisipatoris. Namun, dalam pelaksanaannya kolaborasi antar stakeholder masih belum terarah secara formal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana proses collaborative governance dalam implementasi program konservasi penyu yang ada di wilayah Kampung Penyu Desa Maligi.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan pencatatan dokumen terkait proses kolaborasi yang dilakukan dalam pelaksanaan program konservasi penyu di Desa Maligi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan yang didukung oleh hasil wawancara dengan pendekatan teori proses kolaborasi yang mengemukakan bahwa suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kolaborasi bila telah memenuhi 5 tahapan yaitu : adanya dialog tatap muka antar pemangku kepentingan, membangun kepercayaan, proses dalam mencapai komitmen, pemahaman terhadap keputusan bersama, dan memperoleh hasil sementara.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa program konservasi penyu di Maligi telah melalui tahapan-tahapan dalam proses kolaborasi diantaranya : dialog tatap muka antar pemangku kepentingan, proses dalam mencapai komitmen, pemahaman terhadap keputusan bersama, dan memperoleh hasil sementara.

Namun pada tahapan membangun kepercayaan belum dapat diterapkan secara optimal. Kepercayaan antar stakeholder yang terlibat dalam proses kolaborasi masih dirasa kurang. Hal ini dapat dilihat dari keluhan yang disampaikan masing- masing stakeholder terhadap tugas dari stakeholder lainnya yang dianggap belum dilakukan secara maksimal.

Kata Kunci : Collaborative Governance, Stakeholder, Konservasi Penyu.

(7)

ABSTRACT

Turtle conservation is one of the programs created by the government to be able to maintain the number of turtle populations in the wild. The implementation of the turtle conservation program in Maligi still experiences several obstacles in the collaboration process between the stakeholders involved.

Where there are no written rules regarding the division of tasks between stakeholders in collaborative activities. There is no specific regulation regarding the form, pattern and model of collaboration between the government, private sector and society in collaborative activities. Collaboration activities in the turtle conservation program in Maligi are multi-sector collaborative activities involving multi-stakeholders and are a harmonious blend of top-down planning, bottom-up planning and participatory approaches. However, in its implementation, collaboration between stakeholders is still not formally directed. This study aims to see how the collaborative governance process in the implementation of turtle conservation programs in the Area of Maligi Village Turtle Village.

The research method used is descriptive research method with qualitative approach. Data collection techniques are carried out by interviewing, observing, and decating documents related to the collaborative process carried out in the implementation of turtle conservation programs in Maligi Village. The data obtained is then analyzed qualitatively by studying all the data that has been collected which is supported by the results of interviews with the approach of collaboration process theory which suggests that an activity can be said as a collaboration if it has fulfilled 5 stages, namely: the existence of face-to-face dialogue between stakeholders, building trust, the process in achieving commitment, understanding of joint decisions, and obtaining provisional results.

From the results of the study, it can be known that turtle conservation programs in Maligi have gone through stages in the collaboration process including: face to face dialogue, commitment to process, share understanding and intermediate outcome. But at the trust building stage can not be applied optimally.

Trust among stakeholders involved in the collaboration process is still lacking.

This can be seen from the complaints submitted by each stakeholder to the duties of other stakeholders that are considered to have not been carried out to the maximum.

Keywords: Collaborative Governance, Stakeholders, Turtle Conservation.

(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Nikmat, Hidayah dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul: PROSES COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM KONSERVASI PENYU DI DESA MALIGI KECAMATAN SASAK RANAH PASISIE KABUPATEN PASAMAN BARAT. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Program studi Ilmu Administrasi publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Publik. Semoga Rahmat dan Karunia dari Allah SWT selalu mengalir dan menyertai penulis dalam menyempurnakan karya ilmiah ini.

Sebagai suatu karya ilmiah, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan dan pengalaman penulis dalam menyusun karya ilmiah. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan adanya kritik maupun saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan dukungan, bantuan, bimbingan, dan semangat dari berbagai pihak. Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang khusus dan tulus kepada berbagai pihak yang membantu dalam menyelesaikan skripsi ini kepada:

(9)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, Selaku Dekan FISIP USU dan Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, beserta seluruh Staf yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam rangka penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU dan Pembimbing yang senantiasa menuntun penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi, dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Asima Yanti S Siahaan, M.A, PhD, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU.

5. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU yang telah memberikan begitu banyak ilmu kepada penulis selama masa perkuliahan yang bermanfaat dan berguna bagi penulis sekarang dan nanti.

6. Kak Dian dan Bang Suhendri selaku staf Program Studi Ilmu Administrasi Publik FISIP USU yang selalu bersedia membantu penulis.

7. Bapak Zulfi Agus selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasaman Barat yang telah bersedia menerima dan menolong penulis selama penelitian.

8. Ibu Lisma Erni selaku Kepala Seksi Sumber Daya Ikan Di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasaman Barat, yang telah menerima dan

menolong penulis selama penelitian.

(10)

9. Bapak Surya selaku Ketua Komunitas Pandah Artgreen yang telah bersedia memberikan informasi yang penulis perlukan selama penelitian.

10. Bapak Eko Darmawan selaku perwakilan Kolaboraksi Kemanusiaan Pasaman Barat yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan informasi yang penulis perlukan selama penelitian.

11. Masyarakat Desa Maligi yang telah menerima penulis di daerahnya dan bersedia memberikan informasi yang penulis perlukan selama penelitian.

12. Orang tua penulis, Bapak Yasril dan Ibunda Tuti Artati , adik Rahmad Eka Putra dan Daffa Arya Putra serta seluruh keluarga besar penulis yang banyak membantu dan mendukung penulis hingga saat ini.

13. Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol USU yang telah banyak memberikan penulis pengalaman berorganisasi.

14. Pengurus Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol USU Periode 2017/2018 yang telah bekerjasama dalam setahun kepengurusan di IMIB USU.

15. Sahabat-sahabat penulis Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Samosir : Riska Pratiwi, Emelia Dewi, Husnul Khotimah, Karuniaman Halawa, Duma Simamora, Elpiani Tanjung, dan Daniel Pandjaitan.

16. Sahabat-sahabat penulis semasa kuliah, Anggi Pratiwi, Anggi F. Saufi lubis, Radita Paradila, Fadilla Salwa, Chika Anita Vera Tarigan, Shania Fahira, Annisa Fatin Syazwani Siregar, dan Dinda Ainayah yang selalu ada dan menemani disaat susah maupun senang selama perkuliahan.

17. Sahabat-sahabat penulis IMIB USU Stambuk 16 yang selalu ada untuk saling menjaga, saling mengingatkan selama berkuliah di perantauan : Fakhri Khalid, Ande Kurniawan, Yudhea Sari, Sonia Fitri, Yunila Agriani,

(11)

Krisni Handayani, Nayomi Triamanda, dan teman-teman yang lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

18. Teman-teman Ilmu Administrasi Publik stambuk 2016 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan.

Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.Terima kasih.

Medan, 05 Desember 2020

Avni Rahmi Putri NIM: 160903008

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR...x

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah ...9

1.3 Tujuan Penelitian ...10

1.4 Manfaat Penelitian ...10

1.4.1 Secara Akademis...10

1.4.2 Secara Praktis...10

1.4.3 Secara Teoritis ...10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...11

2.1 Governance ...11

2.2 Collaborative Governance ...13

2.2.1 Alasan Organisasi Melakukan Collaborative Governance ...22

2.2.2 Dimensi Kolaborasi ...23

2.2.3 Prinsip Kolaborasi ...24

2.2.4 Proses dan Tahapan Kolaborasi...26

2.2.4.1 Proses Kolaborasi Menurut Ansell dan Gash ...26

2.2.4.2 Proses Kolaborasi Menurut Emerson, Nabatchi dan Balogh ...33

2.3 Konsep Implementasi Program...45

2.3.1 Pengertian Implementasi ...45

2.3.2 Pengertian Program ...47

2.3.3 Jenis Program Ditinjau dari Berbagai Aspek ...48

2.3.4 Implementasi Program...48

2.4 Konservasi Penyu...49

2.5 Definisi Konsep ...51

2.6 Hipotesis Kerja...52

BAB III METODE PENELITIAN ...53

3.1 Bentuk Penelitian ...53

3.2 Lokasi Penelitian...53

3.3 Informan Penelitian...54

3.4 Teknik Pengumpulan Data...58

3.5 Teknik Analisis Data...60

3.6 Keabsahan Data...61

BAB IV PEMBAHASAN...63

1.1 Hasil Deskripsi Lokasi Penelitian ...63

4.1.1 Dinas Perikanan Kabupaten Pasaman Barat ...63

(13)

4.1.2 Wali Nagari Persiapan Maligi...64

4.1.3 Komunitas Kolaboraksi Kemanusiaan Kabupaten Pasaman Barat ...67

4.1.4 Komunitas Pandah Artgreen ...68

1.2 Proses Collaborative Governance Dalam Implementasi Program Konservasi Penyu Di Desa Maligi Kecamatan Sasak Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat ...69

4.2.1 Face To Face Dialogue...69

4.2.2 Trust Building ...77

4.2.3 Commitment To Process ...82

4.2.4 Share Understanding ...86

4.2.5 Intermediate Outcome...96

BAB V KESIMPULAN ...110

5.1 Kesimpulan ...110

5.2 Saran...113

DAFTAR PUSTAKA ...116

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Matriks Informan ...55 Tabel 4.1 Pertemuan Stakeholder Dalam Kegiatan Kolaborasi Pada Program

Konservasi Penyu Maligi...75 Tabel 4.2 Peran Stakeholder Pada Proses Kolaborasi Dalam Implementasi

Program Konservasi Penyu Di Maligi...93 Tabel 4.3 Hasil Monitoring Pantai Peneluran Penyu Di Kampung Penyu Maligi.97 Tabel 4.4 Bantuan Sarana Dan Prasarana Dari Stakeholder Yang Berkolaborasi

Dalam Program Konservasi Penyu di Maligi ...107

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Collaborative Governance Menurut Ansel dan Gash...26

Gambar 2.2 Proses Collaborative Governance Menurut Emerson, Nabatchi dan Balogh ...33

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Dinas Perikanan Kabupaten Pasaman Barat ...64

Gambar 4.2 Struktur Organisasi Nagari Persiapan Maligi...67

Gambar 4.3 Struktur Komunitas Kolaboraksi Kemanusiaan Kabupaten Pasaman Barat...68

Gambar 4.4 Struktur Organisasi Pandah Artgreen ...69

Gambar 4.5 Dokumentasi Pertemuan Stakeholder Dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat ...74

Gambar 4.6 Dokumentasi Penyerahan Bantuan Dari BPSPL Kota Padang ...74

Gambar 4.7 Bantuan Ternak Ayam Dan Itik Yang Diberikan Oleh KKPB ...81

Gambar 4.8 Monitoring BPSPL Kota Padang Didampingi Oleh DKP Kabupaten Pasaman Barat...86

Gambar 4.9 Relokasi Telur Penyu Dari Pantai Maligi ...87

Gambar 4.10 Surat Keputusan Wali Nagari Persiapan Maligi ...88

Gambar 4.11 Surat Keputusan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Barat ...90

Gambar 4.12 Pemasangan Baleho Di Kampung Penyu Maligi ...92

Gambar 4.13 Alur Kolaborasi Antar Stakeholder Dakam Implementasi Program Konservasi Penyu di Maligi ...95

Gambar 4.14 Pelepasan Tukik Di Pantai Maligi...106

Gambar 4.15 Sarana Dan Prasarana Di Konservasi Penyu Maligi ...108

(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna, hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau atau disebut sebagai negara kepulauan yang dikelilingi atau dipisahkan oleh laut. Salah satu fauna yang ada di Indonesia yaitu dari spesies penyu. “Spesies penyu digolongkan kedalam tujuh jenis dan enam diantaranya berada atau terdapat di wilayah perairan Indonesia. Namun spesies penyu kini sudah mulai berkurang jumlahnya di alam dan bahkan terancam punah.” (diakses dari liputan6.com pada tgl. 16 Februari 2020 pukul 21.57 WIB)

Beberapa spesies penyu saat ini telah dimasukkan dalam daftar spesies yang sangat terancam punah, dan lainnya masuk dalam daftar terancam punah.

Berdasarkan ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), semua jenis penyu laut telah dimasukan dalam appendix I yang artinya perdagangan internasional penyu untuk tujuan komersil juga dilarang. Badan Konservasi dunia IUCN memasukan penyu sisik ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah. Sedangkan penyu hijau , penyu lekang, dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah. (diakses dari bpsplpadang.go.id pada tgl. 27 Februari 2020 pukul 23.05 WIB)

Kementerian Dalam Negeri memerintahkan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah perlindungan penyu dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 523.3/5228/SJ/2011, tanggal 29 Desember 2011 Tentang Pengelolaan Penyu dan Habitatnya, yang menginstruksikan para Gubernur untuk mengkoordinasikan kepada para Bupati dan Walikota serta instansi terkait di wilayahnya untuk melindungi penyu melalui tindakan pencegahan, pengawasan, penegakan hukum dan penindakan serta mensosialisasikan peraturan perundangan

(17)

2

terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi penyu. Berdasarkan isi surat edaran tersebut, dapat dinyatakan bahwa kegiatan pelestarian dan penangkaran penyu melalui kegiatan konservasi diturunkan secara vertikal dari pemerintah pusat ke daerah. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggapi bencana nasional kepunahan salah satu jenis satwa yang ada di Indonesia.

Pada tahun 2014 dikeluarkan undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaran urusan pemerintah, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pada Pasal 14 Ayat 1 yang berbunyi : “penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi.” Sehingga dengan adanya undang-undang ini maka pemerintah daerah kabupaten tidak memiliki kewenangan langsung dalam urusan kelautan di daerah, termasuk dalam hal penyelenggaraan konservasi penyu di daerah. Maka dari itu diperlukanlah kegiatan yang berbentuk kolaborasi antara pemerintah dan pihak non pemerintah dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi penyu di daerah.

Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka melakukan penertiban terhadap pemanfaatan penyu dan turunannya juga menerbitkan Surat Edaran No.

SE 526 Tahun 2015 Tentang pelaksanaan perlindungan penyu, telur, bagian tubuh dan/atau produk turunannya.

Semua jenis penyu laut di Indonesia telah dilindungi berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang :

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pelaku perdagangan (penjual dan pembeli) satwa dilindungi seperti penyu dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Pemanfaatan

(18)

3

jenis satwa dilindungi hanya diperbolehkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan dan penyelamatan jenis satwa yang bersangkutan.

Undang-undang di atas sebagai dasar hukum dalam mengatur tentang perlindungan satwa, termasuk dari jenis penyu. Aturan pelaksanaannya di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa :“segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya itu dilarang.”

Daerah pesisir Desa Maligi yang terdapat di Kabupaten Pasaman Barat juga memilki 3 spesies penyu, sesuai berita yang dimuat di laman newsklikpostif.com, yaitu antara lain: “penyu lengkang, penyu sisik dan penyu belimbing”. Namun, pada saat sekarang ini hanya penyu lengkang dan penyu sisik yang masih dapat ditemukan mendarat di pantai Maligi untuk bertelur, sedangkan penyu belimbing sudah sangat sulit ditemui. Hal ini disebabkan oleh faktor atau ulah tangan manusia, yaitu kegiatan beberapa masyarakat Desa Maligi yang masih mengonsumsi telur penyu dan bahkan memperjualbelikan telur-telur penyu yang mereka jumpai di tepi pantai Maligi. (diakses dari newsklikpositif.com pada tgl. 27 Februari 2020 pukul 23.00 WIB)

Pada awalnya komunitas pecinta alam yang ada di Desa Maligi (Pandah Artgreen) melakukan kajian tentang kurangnya ikan di sekitar Pantai Maligi. Hal itu disebabkan banyaknya ditemukan ubur-ubur pemakan ikan kecil. Sementara yang dapat mengurangi ubur-ubur tersebut hanya penyu, komunitas inipun mulai menyusuri sekitaran pantai Maligi, namun jarang sekali dijumpai adanya penyu yang sedang mendarat untuk bertelur. Menyadari fakta tersebut, setelah melihat keberadaan spesies penyu yang semakin berkurang, salah satunya spesies penyu dari jenis penyu belimbing, komunitas ini berinisiatif membuat tempat

(19)

4

penangkaran untuk telur-telur penyu agar dapat menetas dan kembali ke laut dengan selamat.

Penangkaran ini pada mulanya hanya bersifat swadaya, dan penangkaran yang dilakukanpun hanya dengan modal nekat saja dengan belajar melalui tutorial yang ada di internet (youtube). Pendiri Komunitas Pandah Artgreen, Surya menuturkan bahwa :

“Komunitas yang bergerak di bidang lingkungan ini baru dua tahun berdiri dengan segala keterbatasan. Kami memulainya dengan modal Rp100.000,. Tidak ada yang tidak bisa dilakukan jika ada kemauan dan keikhlasan. Dengan belajar secara otodidak dan melalui youtube maka sejumlah kegiatan berhasil kita lakukan.” (diakses dari sumbar.antaranews.com pada tgl 10 Agustus 2020 pukul 00.25 WIB)

Berdasarkan hasil penangkaran (500 butir telur yang dilakukan penangkaran ) hanya 30% saja telur penyu berhasil ditangkarkan dan dilepaskan ke laut, dan dikarenakan komunitas ini merupakan komunitas yang bersifat nonprofit, sementara dalam pengumpulan telur-telur penyu yang ditangkarkan diperlukan biaya atau dana untuk membeli telur-telur tersebut dari masyarakat yang nakal mengambil telur penyu untuk dikonsumsi atau dijual pada pihak lain.

Maka komunitas ini sepakat untuk menyampaikan laporan kepada pemerintah daerah, tepatnya pada Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat, yang tujuannya agar mendapatkan dukungan dan dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk merealisasikan rencana penangkaran penyu di kampung penyu Desa Maligi.

Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat dalam hal ini diwakili oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat, turut mengundang komunitas- komunitas dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti :

(20)

5

Kolaborasi Aksi Kemanusiaan Pasaman Barat seperti : MRPB PEDULI, PEKAT IB, Majelis Mujahidin, Laskar Mujahidin, World Human Care,PPS Bundo Kanduang, Yayasan Ummahat Inayah, Momy Care Militan, dan beberapa tokoh penggerak Pandah ArtGreen, Wali Nagari Persiapan (Kepala Desa) Maligi serta Dinas terkait yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Dinas Lingkungan Hidup Pasaman Barat. (diakses dari: matasumbar.com pada tgl. 17 Februari 2020 pukul 00.40 WIB)

Pertemuan tersebut bertujuan mencari solusi bagaimana mengembangkan dengan memanfaatkan potensi alam Maligi, seperti keindahan pantainya, penghijauan mangrovenya, meningkatkan kearifan lokalnya (penggunaan transportasi darat berupa pedati) dan kerajinan tangan (berbahan tempurung atau batok kelapa dan sampah kayu) maupun kulinernya serta melestarikan populasi penyunya. Dalam kesempatan tersebut Kolaborasi Aksi Kemanusian Pasaman Barat menyatakan akan memberikan dukungan, membina dan ikut memperkenalkan secara luas mengenai konservasi penyu Maligi, dan ikut dalam memberikan bantuan modal untuk kegiatan konservasi penyu Maligi, perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan menyatakan akan berkoordinasi dan bekerjasama dengan Dinas Provinsi untuk memfasilitasi dan memberikan bimbingan sehingga Maligi dapat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi. Dinas Lingkungan Hidup mendukung pengadaan bank sampah untuk pembuatan ecobrick di Maligi. Kepala Bidang Penanggulangan dan Kedaruratan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pasaman Barat menyampaikan harapan kegiatan ini kepada Sekretaris Daerah untuk menjadikan Pantai Indah Maligi sebagai ikon baru Ekowisata Pasaman Barat.

Sekretaris Daerah Kabupaten Pasaman Barat selaku perwakilan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat, juga menyatakan dukungannya:

“Biasanya kita dari PEMDA (Pemerintah Daerah) yang menawarkan kegiatan dan mencari-cari orang yang mau untuk menggerakkannya. Nah, ini

(21)

6

sudah kelompok dari masyarakat yang sudah bergerak, sudah berbuat dan sudah nampak hasilnya. Kenapa tidak kita dukung?” (diakses dari deliknews.com pada tgl 9 Agustus 2020 pukul 23.27 WIB)

Dari pernyataan di atas dapat diungkapkan bahwa kegiatan konservasi penyu ini merupakan kegiatan yang tidak dapat dilakukan hanya oleh satu pihak saja, baik pemerintah ataupun komunitas saja, namun juga memerlukan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam bentuk kegiatan kolaborasi. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat tersebut merupakan bentuk dari pelayanan publik yang berkolaborasi dengan sektor swasta ataupun masyarakat sipil. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kemajuan pembangunan, atau dengan istilah lain disebut sebagai collaborative governance.

Menurut Ansell dan Gash (dalam Subarsono 2016:175) Prinsip dasar dalam menerapkan Collaborative governance yaitu:

“Terdapat prinsip dasar dalam menerapkan konsep Collaborative Governance di antaranya pelibatan aktor lain di luar pemerintah/negara, berorientasi pada konsensus, dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan kolektif, serta bertujuan untuk membuat atau melaksanakan kebijakan publik serta program-program publik.”

Konsep collaborative governance merupakan bentuk kolaborasi yang melibatkan banyak sektor di luar pemerintah. Setiap pihak harus tunduk pada kesepakatan bersama. Namun demikian, setiap pihak tetap memiliki kekuasaan atau kewenangan yang setara tanpa adanya hierarki kekuasaan terhadap organisasi lain. Melakukan musyawarah atau diskusi dalam mengambil keputusan yang mana semua pihak memiliki kedudukan yang sama.

Collaborative Governance secara konseptual dalam Kemitraan tiga sektor, kemitraan tiga sektor pada umumnya didorong oleh pencampuran antara motif self-interest dengan keinginan untuk mewujudkan kebaikan bersama (Selsky &

Parker dalam Dwiyanto, 2011: 289) ketiga sektor ini cenderung menyatakan

(22)

7

bahwa kerjasama di antara mereka dilatarbelakangi oleh dorongan untuk menjawab berbagai masalah sosial yang semakin kompleks dan tidak memungkinkan untuk diselesaikan oleh masing-masing institusi ataupun oleh kerja sama antara pemerintah dengan salah satu sektor lainnya

Berdasarkan pada Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, Pemerintah Daerah Kabupaten Pasaman Barat telah melakukan pelibatan masyarakat dan sektor swasta dalam konservasi penyu di Kampung Penyu Maligi. Masing-masing Stakeholder memiliki peran di dalam konservasi penyu di Kampung Penyu Maligi seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasaman Barat yang berperan sebagai pendamping rencana program bantuan konservasi penyu juga sebagai penyedia dana, masyarakat yang ada di kawasan konservasi berperan sebagai penjaga konservasi dalam hal ini termasuk memperoleh telur penyu, dan Komunitas Pantai Indah Maligi (Pandah Artgreen) sebagai penggerak atau pelaksana program konservasi penyu.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2018 tentang kerjasama daerah, telah didefinisikan beberapa skema kerjasama daerah. Kerjasama Daerah dengan Daerah Lain (KSDD) yaitu kerjasama wajib apabila daerah berbatasan langsung dan sukarela apabila daerah tidak berbatasan langsung. Terdapat pula skema kerjasama dengan pihak ketiga (KSDPK) baik itu perseorangan, badan usaha, dan organisasi masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah telah memiliki dasar regulasi yang mendorong adanya kerjasama antar daerah.

Terkait dengan standar pelayanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, telah diatur bahwa Standar Pelayanan Minimal dapat dipenuhi dan dikerjakan oleh pemerintah

(23)

8

dengan bekerjasama dengan swasta dan masyarakat. Peran aktor selain pemerintah ini dimungkinkan dalam pelaksanaan pelayanan maupun dalam penganggaran dan pemberian insentif. Telah diatur bahwa sumber pendanaan dalam pemenuhan standar pelayanan minimal dapat berasal dari APBN, APBD, dan sumber lainnya.

Meskipun telah cukup dasar regulasi yang menaungi kolaborasi dalam pelayanan tetapi masih terdapat sejumlah tantangan. Dari aspek regulasi, seluruh regulasi di Indonesia menggunakan terminologi kerjasama dan pada prakteknya seringkali memang lebih cenderung kerjasama dibandingkan kolaborasi. Dalam kerangka konseptual, kolaborasi harus memiliki beberapa ciri misalnya pertukaran informasi, level kepercayaan yang tinggi, pembagian sumber daya yang saling menguntungkan, adanya komitmen, adanya kegiatan bersama, penyusunan tujuan bersama, penyusunan strategi bersama, dan atau adanya lembaga atau institusi baru. Seringkali indikator kolaborasi ini tidak semuanya muncul, atau pun ada tetapi tidak kuat. Padahal kolaborasi hendaknya terwujud bukan hanya sekadar kegiatan bersama, tetapi sudah pada level yang lebih kuat hingga penentuan tujuan bersama dan strategi bersama.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Ansell dan Gash (dalam Subarsono 2016:175) yang menyebutkan ada 5 tahapan yang harus dilalui agar suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kolaborasi.

“lima tahap dalam mewujudkan collaborative governance, diantara kelima tahap tersebut yaitu face to face dialog, trust building, comitment to process, share understanding, dan intermediate outcome.”

Suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kolaborasi bila telah memenuhi lima tahapan yaitu: adanya dialog tatap muka antar pemangku kepentingan,

(24)

9

membangun kepercayaan, proses dalam mencapai komitmen, pemahaman terhadap keputusan bersama, dan memperoleh hasil sementara.

Pelaksanaan kegiatan program konservasi penyu di Desa Maligi oleh Komunitas Pandah Artgreen, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pasaman Barat, pihak swasta, serta masyarakat pasti pula disertai oleh berbagai tantangan dalam melalui proses kolaborasinya. Dimana belum adanya aturan tertulis terkait pembagian tugas antar stakeholder dalam kegiatan kolaborasi. Belum adanya regulasi khusus mengenai bentuk, pola dan model kolaborasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam kegiatan kolaborasi. Kegiatan kolaborasi pada program konservasi penyu di Maligi adalah kegiatan kolaborasi multi sektor dengan melibatkan multi stakeholder serta merupakan perpaduan harmonis antara pendekatan top-down planning, bottom-up planning dan partisipatoris. Namun, dalam pelaksanaannya kolaborasi antar stakeholder masih belum terarah secara formal. Baik kemungkinan adanya kesalahpahaman antara stakeholder yang terlibat di dalamnya, atau adanya kendala dalam kewenangan hierarki organisasi, kurangnya komitmen pemerintah dan ketidakpercayaan masyarakat. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai “Proses Collaborative Governance Dalam Implementasi Program Konservasi Penyu Di Desa Maligi Kecamatan Sasak Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menentukan perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Proses Collaborative Governance Dalam Implementasi Program Konservasi Penyu Di Desa Maligi Kecamatan Sasak

Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat?

(25)

10 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara rinci proses collaborative governance dalam implementasi program konservasi penyu di Desa Maligi Kecamatan Sasak Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara akademis, penelitian ini merupkan salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi sarjana Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta meningkatkan kemampuan berpikir penulis secara ilmiah, sistematis, dan membuat karya tulis ilmiah berdasarkan kajian teori.

1.4.2 Secara praktis, dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi bagi instansi terkait saat menjalankan proses collaborative governance dalam implementasi program konservasi penyu di Desa Maligi Kecamatan Sasak Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat.

1.4.3 Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang proses collaborative governance dalam implementasi program konservasi penyu di Desa Maligi Kecamatan Sasak

Ranah Pasisie Kabupaten Pasaman Barat.

(26)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Governance

Dalam literatur administrasi publik, istilah “governance” seringkali digunakan dalam menjelaskan serangkaian organisasi yang saling berhubungan dan terlibat dalam kegiatan publik, memperluas dan merubah domain pemerintah.

Governance memiliki makna lebih dari lembaga publik yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan, yang menunjukkan “the declining relationship between jurisdiction and public management” (Frederickson, dalam Sabaruddin 2015:45). Dalam paradigma governance, ruang lingkup administrasi publik menekankan adanya peranan rakyat. Dalam menjalankan tata pemerintahan yang baik diperlukan proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran dan saling kontrol antar tiga komponen : pemerintah (government), rakyat (citizen/civil society) dan usahawan (business) di sektor swasta (Thoha, dalam Sabaruddin 2015:49).

Selanjutnya governance berasal dari kata “govern” dengan definisi yakni mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses, aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah-masalah kolektif masyarakat (Dwiyanto 2015:1). Dengan demikian secara luas, governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-pemerintah.

Kata governance pada saat sekarang ini menjadi satu makna yang dipakai secara luas, sehingga dapat dikatakan sebagai konsep payung dari sejumlah istilah dalam kebijakan dan politik. Kata ini sering dipakai secara sembarangan untuk

(27)

12

menjelaskan jaringan kebijakan (policy networks), manajemen publik (public management), koordinasi antar sektor ekonomi, kemitraan publik dengan privat, corporate governance dan good governance yang sering menjadi syarat utama yang dikemukakan lembaga-lembaga donor asing (Pierre, dkk dalam Sabaruddin 2015:45).

Pergeseran government ke governance dimaksudkan untuk mendemokratisasi administrasi publik. Government diartikan sebagai institusi pemerintah terutama dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan. Menurut Kaufman, Kraay, dan Mastruzzi (dalam Syafri 2012:180) Governance menunjuk kepada keterlibatan Non Governmental Organization (NGO), kelompok- kelompok kepentingan, dan masyarakat, di samping institusi pemerintah dalam pengelolaan kepentingan umum, terutama dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Ulum dan Ngindana (2017:6) menyebutkan bahwa “governance mengindikasikan „disesiminasi otoritas‟ dari single actor menjadi multi-actor”.

Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam konsep governance, beberapa urusan-urusan publik yang sebelumnya dikelola oleh aktor tunggal yakni pemerintah menjadi dikelola bersama dengan aktor-aktor lain seperti sektor swasta dan masyarakat. Dengan adanya governance menjadikan pemerintah tidak lagi dominan dan menciptakan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahaan dan urusan-urusan publik.

Rosidi dan Fajriani (2013:10) memetakan bahwa “terdapat 3 aktor yang berpengaruh dalam proses governance”. Tiga aktor tersebut yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat. Ketiga aktor tersebut saling berkolaborasi dalam proses

(28)

13

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal yang memonopoli penyelenggaraan pemerintah, melainkan memerlukan aktor lain karena keterbatasan kemampuan pemerintah. Swasta dengan dukungan finansialnya harus mampu membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Swasta dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya sendiri yakni hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi.

2.2 Collaborative Governance

Secara epistimologi, kata kolaborasi berasal dari bahasa Inggris yaitu co- labour yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu menjadi semakin kompleks. Divisi-divisi dalam pembuatan struktur organisasi mulai dibuat untuk pembagian tugas bagi tenaga kerja dalam organisasi tersebut.

Kompleksitas organisasi menjadi titik awal sering digunakannya kolaborasi dalam berbagai organisasi (Wanna, 2008: 3).

Secara filosofis, kolaborasi merupakan upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Schrage (dalam Harley dan Bisman 2010: 18), kolaborasi merupakan upaya penyatuan berbagai pihak untuk mencapai tujuan yang sama. Kolaborasi membutuhkan berbagai macam aktor, baik individu maupun organisasi yang bahu membahu mengerjakan tugas demi tercapainya tujuan bersama.

Kolaborasi merupakan solusi atas keterbatasan yang dialami oleh individu atau organisasi. Ahli yang lain menyatakan bahwa kolaborasi merupakan instrumen yang dipakai untuk mengatasi keterbatasan. Menurut Schrage (dalam Aggranoff dan McGuire 2003:4), kolaborasi adalah hubungan yang dirancang

(29)

14

untuk menyelesaikan suatu masalah dengan cara menciptakan solusi dalam kondisi keterbatasan misalnya keterbatasan informasi, waktu dan ruang. Hal ini serupa dengan pendapat Grey (dalam Fendt 2010:19), yang menyatakan bahwa kolaborasi adalah sebuah proses ada kesadaran dari berbagai pihak yang memiliki keterbatasan dalam melihat suatu permasalahan untuk kemudian mencoba mengeksplorasi perbedaan tersebut untuk mencari solusi. Raharja (2008:8) juga mengungkapkan hakikat kolaborasi adalah suatu kerjasama yang dilakukan antar organisasi untuk mencapai tujuan bersama yang sulit dicapai secara individual.

Berdasarkan definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa, awalnya organisasi adalah otonom, lalu ada keterbatasan dalam mencapai tujuan. Kebutuhan untuk mencapai tujuan tersebut melatarbelakangi organisasi melakukan kerjasama dengan organisasi atau individu lain.

Sudarmo (dalam Asri 2010:25-26) menjelaskan bahwa pengertian kolaborasi secara umum dibedakan dalam dua pengertian: (1) kolaborasi dalam arti normatif (2) kolaborasi dalam arti proses.

“Kolaborasi dalam pengertian normatif merupakan aspirasi, atau tujuan- tujuan filosofi bagi pemerintah untuk mencapai interaksi-interaksinya dengan para partner atau mitranya. Memang collaborative governance ini bisa merupakan bukan instusi formal saja tetapi juga bisa merupakan a way of behaving (cara berperilaku/bersikap) institusi non-pemerintah yang lebih besar dalam melibatkan pada manajemen publik pada satu periode. Pengertian kolaborasi dalam arti sebuah proses merupakan serangkaian proses atau cara mengatur/mengelola atau memerintah secara institusional.” (Sudarmo dalam Asri 2010:25-26)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kolaborasi dapat melibatkan berbagai pihak, baik antar institusi pemerintah, LSM dengan LSM atau pemerintah dengan LSM. Keterlibatan setiap pihak pun berbeda sesuai dengan porsi kepentingannya. “Interaksi antar organisasi dicirikan oleh situasi informal dimana satu institusi organisasi dipengaruhi atau tergantung atas

(30)

15

tindakan organisasi lain” (Rilley, 2002:97). Dengan demikian keterlibatan setiap pihak pada saat diskusi dalam proses kolaborasi dicirikan dengan situasi atau suasana yang informal atau tidak kaku dan terikat.

Kolaborasi sebagai sebuah bentuk tata hubungan antar organisasi yang di dalamnya terlibat kerja kolektif :

“However,”collaboration” is a hard term to grasp. Although collaboration has the capacity to empower and connect fragmented systems for the purposes of addressing multifaceted social concerns, its definition is somewhat elusive, inconsistent, and theoretical. In its oversue, the term

“collaboration” has become a catchall to signify just about any type of interorganizational or inter-personal relationship, making it difficult for those seeking to collaborate to put into practice or evaluate with certainty” (Gajda, 2004:66)

Menurut Gajda, terminologi kolaborasi memiliki makna yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada tata hubungan antar organisasi semata. Bahkan menurutnya, dari istilah kolaborasi inilah muncul pula terminologi-terminologi yang merujuk pada adanya jaringan kerja antar organisasi, antara lain: jont ventures, consolidations, networks, partnerships, coalitions, collaboratives, alliances, consortiums, associations, conglomerates, councils, task forces, dan groups. Ansell dan Gash (dalam Afful-Koomson dan Kwabena 2013:13) menjelaskan collaborative governance adalah suatu pengaturan pemerintahan dimana satu atau lebih lembaga publik secara langsung melibatkan para pemangku kepentingan nonpemerintah dalam proses pengambilan keputusan kolektif yang bersifat formal, berorientasi pada konsensus, deliberatif yang bertujuan untuk membuat dan menerapkan kebijakan publik serta mengelola program ataupun aset publik.

Kemudian, Thomson et al. (2007:3) mendefinisikan kolaborasi sebagai berikut:

(31)

16

“Collaboration is a process in wich autonomous or semi-autonomous actors interact through formal and informal negotiation, joinly creating rules and structures governing their relationship and ways to act or decides on the issues that brought them together; it is a process involving shared norms and mutually beneficial interactions”

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa kolaborasi merupakan upaya bersama yang memiliki aspek multidimensional. Pertama, terdapat keterlibatan dua atau lebih aktor yang tidak harus selamanya memiliki otonomi penuh. Kedua, terdapat interaksi baik yang bentuknya formal maupun informal melalui upaya negosiasi di antara para partisipan. Ketiga, bentuk kerja sama yang terjalin dalam satu jaringan kerja berlangsung pada suatu struktur hubungan yang menjadi wahana bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahan bersama. Keempat, dalam bentuk kerjasama yang terjalin, berlangsung sebuah proses yang ditandai oleh adanya upaya berbagi nilai serta manfaat bersama.

Lebih lanjut Marshal mengatakan bahwa kolaborasi adalah “proses yang mendasar dari bentuk kerjasama yang melahirkan kepercayaan, integritas dan terobosan melalui pencapaian konsensus, kepemilikan dan keterpaduan pada semua aspek organisasi.” Diabad ke-21 (dua puluh satu) saat ini, kolaborasi merupakan pendekatan utama yang dapat menggantikan pendekatan hirarki.

Menurut Healey (2006:208) kolaborasi memerlukan strategi melalui tiga modal yakni, “modal sosial yang terdiri dari kepercayaan, komunikasi dan kemauan bertukar pikiran; modal intelektual yang terdiri dari pemahaman; dan modal politik yang terdiri dari perjanjian dan proyek formal maupun informal.”

Kerjasama yang bersifat kolaboratif melibatkan kerjasama antar pihak yang intensif atau berkesinambungan, termasuk adanya upaya secara sadar untuk melakukan aligment atau penyatuan tujuan, strategi, agenda, sumberdaya, dan

(32)

17

aktivitas. Dua institusi yang pada mulanya memiliki tujuan yang berbeda membangun shared vision atau visi yang sama dan berusaha mewujudkannya secara bersama-sama seperti yang dikemukakan oleh Fosler (dalam Dwiyanto 2015:253) :

“Shared vision yang dibangun menjadi dasar bagi setiap pihak atau institusi untuk merumuskan tujuan strategi, alokasi sumberdaya, dan aktivitas masing-masing sehingga semua pihak yang terlibat memiliki kontribusi terhadap terwujudnya shared vision tersebut. “

Kerjasama antara organisasi publik dan lembaga non-pemerintah yang bersifat kolaboratif memiliki beberapa ciri : kerjasama yang bersifat sukarela, masing-masing pihak memiliki kedudukan yang setara, masing-masing pihak juga memiliki otonomi dan kekuasaan untuk mengambil keputusan secara independen walaupun mereka sepakat untuk tunduk pada kesepakatan bersama, dan para pihak yang bekerjasama memiliki tujuan yang bersifat transformasional atau memiliki keinginan untuk meningkatkan kapasitas sistemik dengan menggabungkan sumberdaya yang dikuasai oleh masing-masing pihak (Gray &

Wood, dalam Dwiyanto 2015:253). Kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta dapat dikembangkan apabila kontrak dilakukan tidak berbasis pada transaksi jual beli, tetapi melalui hubungan kerjasama (relational) yang berbasis pada trust atau kepercayaan (Bovaird, dalam Dwiyanto 2015:263). Kontrak yang bersifat relational dan berjangka panjang, kerjasama yang kolaboratif dapat dikembangkan dan masing-masing pihak menjalin kerjasama yang lebih intensif sehingga kebutuhan untuk melakukan pengawasan yang ketat tidak lagi diperlukan.

Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar organisasi atau institusi dalam rangka mencapai tujuan yang tidak dapat dicapai secara

(33)

18

independent. Dalam kolaborasi didapati penyamaan visi, tujuan, strategi, dan aktivitas antara berbagai pihak, namun masing-masing dari pihak yang terlibat memiliki otoritas untuk mengambil keputusan secara independen. Masing-masing pihak tetap memiliki otoritas dan kewenangan dalam mengelola organisasinya meskipun disaat bersamaan mereka tunduk pada kesepakatan bersama (Dwiyanto 2015:251).

Manajemen kolaboratif untuk penyelesaian sebuah atau beberapa program publik agak berbeda dengan sekedar kerjasama dalam format koordinasi seperti yang dikenal selama ini. Dalam kolaborasi, setiap stakeholders berpartisipasi penuh dalam pembentukan pola kerjasama dan bersedia menyumbangkan waktu, pengetahuan, keterampilan, dan informasinya atau sumber daya lainnya untuk aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, elemen utama dalam kolaborasi ini adalah upaya mengakomodasikan kepentingan semua pihak dan menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak pula.

Menurut Raharja (2008:320), pendekatan kolaborasi dalam prakteknya bukan semata-mata salah satu bentuk resolusi konflik. Kolaborasi juga memiliki makna sebagai sebuah model yang dapat memadukan berbagai kepentingan yang semua parsial menjadi sebuah jaringan integratif.

Bentuk relasi dan kerjasama antar organisasi, collaboration berbeda dengan coordination dan cooperation. Perbedaannya terletak pada sifat tujuan kerjasama. Coordination dan cooperation merupakan upaya organisasi dari pihak yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama bersifat statis. Aspek collaboration, seluruh pihak bekerjasama dan membangun konsensus mencapai keputusan menghasilkan kemanfaatan bagi seluruh pihak. Relasi antar pihak bersifat terus-

(34)

19

menerus dan bersifat dinamis saling ketergantungan (Houge, dalam Sabaruddin 2015:25).

Terdapat perbedaan mendasar di antara ketiga terminologi tersebut.

Shergold (2008:13) menyebut perbedaan tersebut dari pendekatan transformasi proses yang menyebutkan bahwa koordinasi lebih merupakan proses kolektif dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keikutsertaan kelembagaan, cooperation sebagai sebuah proses berbagi gagasan dan sumber daya untuk memperoleh keuntungan bersama, dan kolaborasi sebagai proses berbagi kreasi dimana terjadi upaya fasilitasi yang menjembatani lembaga-lembaga yang memiliki otonomi tersendiri.

Pada hakekatnya tujuan kolaborasi adalah untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulsyani (2012:156), “kolaborasi adalah suatu bentuk proses sosial, dimana di dalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami aktivitas masing-masing”.

Kolaborasi merupakan sebuah inovasi yang dilakukan oleh beberapa aktor/institusi dalam menjalankan aktivitas yang serupa. Dengan melakukan inovasi, maka diharapkan aktor-aktor atau lembaga-lembaga dapat menggapai tujuan dengan lebih efektif. Oleh karena itu, inovasi dalam berkolaborasi haruslah memiliki tujuan yang positif. Di antara tujuan kolaborasi secara umum adalah; 1) memecahkan masalah; 2) menciptakan sesuatu; dan 3) menemukan sesuatu di

dalam menghadapi sejumlah hambatan.

(35)

20

Pemerintah tidak hanya mengandalkan pada kapasitas internal yang dimiliki dalam penerapan sebuah kebijakan dan pelaksanaan program.

Keterbatasan kemampuan, sumberdaya maupun jaringan yang menjadi faktor pendukung terlaksananya suatu program atau kebijakan, mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan sesama pemerintah, pihak swasta maupun masyarakat dan komunitas masyarakat sipil, sehingga dapat terjalin kerjasama kolaboratif dalam mencapai tujuan program atau kebijakan (Purwanti, 2016:174). Sementara itu Robertson dan Choi (dalam Kumorotomo, 2013:10) mendefinisikan collaborative governance sebagai proses kolektif dan egalitarian di mana setiap partisipan di dalamnya memiliki otoritas substansi dalam pengambilan keputusan dan setiap stakeholder memiliki kesempatan yang sama untuk merefleksikan aspirasinya dalam proses tersebut.

Collaborative Governance muncul di era paradigma governance, dimana pada saat itu masyarakat semakin berkembang sehingga pemerintah menghadapi masalah yang lebih kompleks. Di sisi lain, pemerintah juga memiliki keterbatasan waktu untuk mengatasi masalah tersebut sehingga membutuhkan kolaborasi dengan aktor-aktor eksternal (Charalabidis et al., 2012: 264).

Ansell dan Gash (2007:543) menyebutkan bahwa collaborative governance sebagai sebuah strategi baru dalam tata kelola pemerintahan yang membuat beragam pemangku kebijakan berkumpul di forum yang sama untuk membuat sebuah konsensus bersama. Selanjurnya Ansell dan Gash mendefinisikan collaborative governance sebagai sebuah aransemen tata kelola pemerintahan yang mana satu atau lebih institusi publik secara langsung melibatkan aktor non-pemerintahan dalam sebuah proses pembuatan kebijakan

(36)

21

kolektif yang bersifat formal, berorientasi konsesus, dan konsultatif dengan tujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik, mengelola program atau aset publik.

Definisi dari Ansell dan Gash (2007: 5) menekankan enam kriteria.

Pertama, forum tersebut diinisiasi oleh institusi publik. Kedua, partisipan dalam forum tersebut harus mencakup aktor non-pemerintah. Ketiga, partisipan harus terlibat secara langsung dalam pembuatan kebijakan dan tidak sekedar

“berkonsultasi” dengan pihak pemerintah. Keempat, forum harus teroganisasi secara formal dan ada pertemuan secara rutin. Kelima, kebijakan yang diambil harus berdasarkan konsensus. Dan keenam, kolaborasi berfokus pada kebijakan publik atau menejemen publik (Ansell dan Gash, 2007: 544).

Collaborative governance merupakan instrumen yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah. Collaborative governance merupakan instrumen yang tepat untuk berkonfrontasi dengan masalah, sebab collaborative governance menciptakan “kepemilikan bersama” terhadap masalah tersebut. Berbagai aktor memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat suatu permasalahan. Bukan hal yang mudah untuk menciptakan suatu kepahaman di antara peran aktor tersebut.

Collaborative governance berperan sebagai penengah agar para aktor dapat merumuskan kesepahaman yang sama terhadap suatu masalah (Ansell, 2014:

172).

Collaborative governance merupakan suatu forum yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Donahue dan Zeckhauser (2011: 4), collaborative governance merupakan kondisi yang mana pemerintah untuk memenuhi tujuan publik melalui kolaborasi antar organisasi maupun individu. Hal senada juga

(37)

22

diungkapkan oleh Holzer et al., (2012: 349) yang menyatakan bahwa collaborative governance adalah kondisi ketika pemerintah dan swasta berupaya mencapai suatu tujuan bersama untuk masyarakat.

Collaborative governance juga dapat mengambarkan keadaan saling ketergantungan antar aktor. Keinginan melakukan collaborative governance muncul karena para aktor menyadari adanya keterbatasan yang mereka miliki.

Kemudian, aktor tersebut perlu menyatakan keinginan dan kesediaan mereka untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan aktor lain. Tiap aktor yang terlibat perlu mengakui legitimasi yang dimiliki oleh aktor lain. Setelah para aktor berkomitmen untuk berkolaborasi, maka perlu dibangun rasa kepemilikan bersama kepada terhadap setiap proses kolaborasi (Ansell, 2014: 178).

Berdasarkan pendapat berbagai ahli dapat disimpulkan bahwa Collaborative Governance merupakan proses dari struktur jejaring multi- organisasi lintas sektoral (government, private sector, civil society) yang membuat kesepakatan bersama, keputusan bersama, pencapaian consensus melalui interaksi formal maupun informal, pembuatan dan pengembangan norma-norma dalam interaksi yang bersifat saling menguntungkan dalam mencapai tujuan bersama.

Oleh karena itu, di dalam kolaborasi interaksi yang muncul bersifat egaliter yaitu seluruh aktor mempunyai kedudukan yang sama.

2.2.1. Alasan Organisasi Melakukan Collaborative Governance

Terdapat banyak faktor mengapa organisasi memilih untuk melakukan kolaborasi, faktor utamanya antara lain: perubahan sosial, adalah salah satu alasan di mana pada masa sekarang ini era informasi masyarakat dan fase informasi yang mengakibatkan sebuah struktur dapat menyebar ke seluruh lingkup tugas dan

(38)

23

fungsi organisasi. Keberagaman yang sangat tinggi, kebebasan individu yang sangat tinggi menyebabkan era jejaring dan kolaborasi.

Masalah yang dihadapi oleh pemerintah saat ini tidak akan dapat dikelola oleh pemerintah secara efisien apabila hanya mengandalkan satu organisasi saja.

Pemecahan masalah yang harus dicari oleh pemerintah di antaranya pengentasan kemiskinan, bidang kesehatan, kehutanan, dan eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu, pemerintah memerlukan mekanisme yang berbeda dalam menghadapi permasalahan tersebut dan harus lebih fleksibel. Kolaborasi antar sektor diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut (McGuire, dalam Sabaruddin 2015:34).

Menurut Fendt (2010: 22) ada tiga alasan mengapa organisasi melakukan kolaborasi, yaitu:

1)Organisasi perlu berkolaborasi karena tidak dapat menyelesaikan tugas tertentu seorang diri tanpa bantuan pihak lain.

2)Dengan berkolaborasi, keuntungan yang akan diperoleh organisasi dapat lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sendiri.

3)Dengan berkolaborasi, organisasi dapat menekan biaya produksi sehingga produk mereka dapat menjadi murah dan memiliki daya saing pasar.

2.2.2. Dimensi Kolaborasi

Kolaborasi yang efektif memiliki 3 dimensi yang dikemukakan oleh Gray (dalam Sabaruddin (2015:30). Pertama, pencapaian sasaran klien untuk mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan, merupakan tujuan utama dari sebagian usaha sektor publik dalam meningkatkan kolaborasi. Kedua, hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap dua hal yaitu manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Ketiga, pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan organisasi, karena dapat meningkatkan

(39)

24

kapasitas organisasi untuk bersaing secara efektif atas kontrak masa depan serta dapat meningkatkan kemampuan untuk mencapai misi dan tujuan.

Ada lima dimensi kunci dalam proses kolaborasi menurut Thomson dan Perry (dalam Sabaruddin 2015:31). Governance (pemerintah), setiap pihak yang berkolaborasi harus memahami bagaimana cara untuk bersama-sama membuat keputusan tentang aturan-aturan yang akan mengatur perilaku dan hubungan mereka. Administration (administrasi), kolaborasi bukanlah usaha self- administering. Organisasi berkolaborasi karena mereka berniat untuk mencapai tujuan tertentu. Struktur administratif tersebut berbeda secara konseptual dari pemerintahan mereka karena kurang berfokus atas persediaan kelembagaan dan lebih pada implementasi dan manajemen apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan melalui sistem operasi yang efektif serta mendukung kejelasan peran dan saluran komunikasi yang efektif.

Organizational Autonomy (otonomi organisasi), para mitra pada kenyataannya berbagi identitas ganda, mempertahankan identitas yang berbeda dan wewenang organisasi yang dipisahkan dari identitas kolaboratif. Mutualisme (kebersamaan), akarnya adalah saling ketergantungan, organisasi yang saling berkolaborasi harus saling ketergantungan pada hubungan yang saling menguntungkan yang didasarkan pada perbedaan kepentingan atau kepentingan bersama. Norms (norma), dalam kolaborasi organisasi yang berpartisipasi menunjukkan “will-if-you-will” didasarkan pada derajat mentalitas dan kewajiban timbal balik masing-masing.

2.2.3. Prinsip Kolaborasi

(40)

25

Diperlukan prinsip-prinsip tertentu dalam kolaborasi agar dalam praktiknya dapat berjalan efektif. Bayerlein (2003:52-61) menawarkan penerapan sepuluh prinsip dasar kolaborasi, sebagai berikut:

1. Aktivitas kolaborasi difokuskan pada pencapaian hasil.

2. Penyusunan sistem penunjang organisasional yang menonjolkan aspek

“kepemilikan”. Istilah kepemilikan mengarah pada komitmen personal dari organisasi yang terbentuk melalui kolaborasi.

3. Artikulasi dan penegakan aturan yang rinci

4. Eksploitasi irama konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah proses di mana semua partisipan dalam kolaborasi membentuk kesepakatan. Sedangkan divergensi adalah suatu kondisi di mana partisipan dalam kolaborasi memperlihatkan adanya perbedaan cara pandang yang dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

5. Mengatasi tradeoffs tepat pada waktunya. Istilah tradeoffs mengacu pada keputusan-keputusan yang didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan biaya dan manfaat, namun memiliki kriteria yang bertentangan satu sama lain.

6. Menyusun standar yang lebih tinggi untuk diterapkan pada diskusi, dialog, dan pembagian informasi.

7. Adanya dukungan atas akuntabilitas personal.

8. Mampu menjalankan kewenangan, memanfaatkan informasi dan mengambil keputusan.

9. Menempatkan kolaborasi sebagai sebuah proses yang ketat.

10. Merancang dan menampilkan organisasi yang fleksibel.

Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa dalam melakukan kolaborasi terdapat beberapa prinsip yang mana kesemuanya menekankan penyamaan hasil walaupun melalui pandangan yang berbeda dalam menyikapi

permasalahan publik.

(41)

26 2.2.4. Proses dan Tahapan Kolaborasi

2.2.4.1 Proses kolaborasi menurut Ansell & Gash

Gambar 2.1 Model Collaborative Governance Menurut Ansell dan Gash

Desain Kelembagaan

Partisipatif inklusif, forum eksekutif, aturan dasar,

proses transparansi

Kondisi Awal

KekuatanSumber daya- Pengetahuan

Asimetris

Proses Kolaborasi

Membangun Proses dalam mencapai Kepercayaan komitmen

a) Pengakuan saling ketergantungan b) Proses kepemilikan c) Keterbukaan untuk

perolehan bersama Insentif bagi

kendalakendala partisipasi

Kerjasama prasejarah/ konflik

(tingkat kepercayaan awal)

Bertatapan langsung a) Itikad baik

Negoisasi

Hasil sementara Berbagai pengetahuan a) Rencana strategi a) misi yang jelas b) Pencarian fakta b)definisi masalah gabungan umum

c) identifikasi nilai umum

Hasil

Dampak

Kepemimpinan (Sumber : Ansell & Gash, 2007:7)

a) Dialog Tatap Muka

“Semua tata kelola kolaboratif dibangun berdasarkan dialog tatap muka antar pemangku kepentingan. Sebagai proses yang berorientasi konsensus, “Thick Communication” yang diizinkan oleh dialog langsung pemangku kepentingan ialah untuk mengidentifikasi peluang untuk keuntungan bersama. Namun, dialog tatap muka lebih dari sekedar media negosiasi. Ini adalah inti dari proses memecah stereotip dan hambatan lain untuk komunikasi yang mencegah eksplorasi perolehan bersama di tempat

pertama.” (Ansell dan Gash, 2007:15)

(42)

27

Suatu kegiatan dapat dikatakan telah melewati tahap face to face dialogue dalam proses kolaborasi ialah ketika pertemuan antar pemangku kepentingan rutin dilakukan. Sehingga eksplorasi keuntungan bersama tidak hanya akan berhenti pada pertemuan pertama. Ini adalah inti dari proses membangun kepercayaan, saling menghormati, berbagi pemahaman, dan komitmen terhadap proses.

Dialog tatap muka adalah kondisi yang diperlukan tetapi tidak cukup untuk kolaborasi. Misalnya, dimungkinkan untuk dialog tatap muka untuk memperkuat stereotip atau perbedaan status atau untuk meningkatkan antagonism (dengan adanya pemangku kepentingan maupun pembuat kebijakan dalam satu kegiatan kehadiran unsur yang satu dapat menghilangkan pengaruh dari unsur yang lain, dan dapat saling menguntungkan) dan saling menghormati. Namun sulit untuk membayangkan kolaborasi yang efektif tanpa dialog tatap muka. Literatur tentang kolaborasi dengan contoh cara stereotip telah dipecah melalui komunikasi face to face.

b) Membangun Kepercayaan

Kurangnya kepercayaan di antara para pemangku kepentingan adalah titik awal yang sama untuk pemerintahan kolaboratif. Literatur sangat menunjukkan bahwa proses kolaboratif bukan semata-mata tentang negosiasi tetapi juga tentang membangun kepercayaan antara pemangku kepentingan. Bahkan, ketika telah ada prasejarah antagonism di antara para pemangku kepentingan, membangun kepercayaan sering menjadi aspek yang paling menonjol pada proses kolaboratif awal dan bisa sangat

(43)

28

sulit dibudidayakan. Ini bukan untuk mengatakan bahwa membangun kepercayaan adalah fase terpisah dari dialog dan negosiasi tentang hal-hal substantif. Tetapi para pemimpin kolaboratif yang baik mengakui bahwa mereka harus membangun kepercayaan di antara lawan-lawan sebelum pemangku kepentingan akan memanipulasi risiko.

“Apa yang menjadi jelas dalam studi kasus adalah bahwa membangun kepercayaan adalah proses yang memakan waktu yang membutuhkan komitmen jangka panjang untuk mencapai hasil kolaboratif.

Karenanya Jika prasejarah sangat antagonis, maka pembuat kebijakan atau pemangku kepentingan harus menganggarkan waktu untuk membangun kepercayaan perbaikan yang efektif. Jika mereka tidak dapat membenahi waktu dan biaya yang diperlukan, maka mereka tidak boleh memulai strategi kolaboratif.” (Ansell dan Gash, 2007:15)

Dalam hal ini disebutkan bahwa kategori suatu kegiatan dapat dikatakan telah melalui proses kolaborasi dalam tahap membangun kepercayaan ialah dengan adanya komitmen jangka panjang yang dibuat dan disetujui oleh setiap pemangku kepentingan dengan cara memberikan atau meluangkan waktu bahkan materi untuk keperluan kolaborasi.

c) Komitmen terhadap Proses

Tingkat komitmen pemangku kepentingan terhadap kolaborasi adalah variabel penting dalam menjelaskan keberhasilan atau kegagalan, komitmen anggota adalah faktor terpenting yang memfasilitasi kolaborasi.

Lemahnya komitmen publik untuk berkolaborasi, khususnya di tingkat kantor pusat, sering dipandang sebagai masalah. Komitmen terkait erat, tentu saja, dengan motivasi awal untuk berpartisipasi dalam tata kelola kolaboratif. Tetapi pemangku kepentingan mungkin ingin berpartisipasi untuk memastikan perspektif mereka tidak diabaikan atau untuk

Gambar

Gambar 2.1 Model Collaborative Governance Menurut Ansell dan Gash
Gambar  2.2  Proses  Collaborative  Governance  menurut  Emerson,  Nabatchi  Dan Balogh
Tabel 3.1 Matriks Informan
Gambar  4.1  :  Struktur  Organisasi  Dinas  Perikanan  Kabupaten  Pasaman  Barat  Kepala Dinas Kelompol Jabatan  Fungsional  Sekretariat Kasubbag  Umum dan  Kepegawaian  Kasubbag Keuangan Bidang Program
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penciptaan karya kriya kulit dengan teknik carving menghasilkan delapan buah karya yang terdiri dari tiga buah dompet panjang, satu buah belt, dua buah tas selempang pria

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengembangan karir, berarti semakin sering karyawan

Bahwa oleh karena semasa hidupnya Tergugat V tidak mempunyai keturunan (anak) maka Tergugat V tidak mempunyai kapasitas ( legal standing ) untuk dihadirkan lagi dalam

“Pengaruh Pendapatan Nasabah Dan Jaminan Terhadap Kelancaran Pembayaran Pembiayaan Murabahah (Survey Pada KJKS BMT EL-Gunung Jati)”, sebagai salah satu syarat untuk

PPK yang menerbitkan SPD, pegawai yang melakukan perjalanan dinas, para pejabat yang mengesahkan tanggaI berangkat/tiba, serta bendahara pengeluaran

Tauhn 1974 Tentang Perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah, “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

Selanjutnya, melalui penelitian dari Yerikho dkk yang telah selesai dilaksanakan pada tahun 2013 dengan bertujuan untuk memperoleh hasil dari optimalisasi variasi tegangan dan waktu