• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEORI SEKSUALITAS TENTANG POLIGAMI DALAM BUDAYA PATRIARKI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TEORI SEKSUALITAS TENTANG POLIGAMI DALAM BUDAYA PATRIARKI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

20 BAB II

TEORI SEKSUALITAS TENTANG POLIGAMI DALAM BUDAYA PATRIARKI Bab ini akan menampilkan teori seksualitas tentang poligami dalam budaya patriarki untuk melakukan kajian terhadap pemahaman dan praktik poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat. Pada sub bab bagian pertama, penulis akan mengemukakan definisi seksualitas yang di dalamnya juga membahas tentang perbedaan antara seks, seksualitas dan gender untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang konsep seksualitas. Pada sub-bab kedua, penulis akan membahas budaya patriarki dalam teori seksualitas yang juga menjelaskan tentang peran serta kedudukan laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki, Pada sub bab ketiga, penulis akan membahas konsep tentang perkawinan yang meliputi perkawinan dalam budaya patriarki dan fungsi- fungsi perkawinan. Sub bab keempat, penulis akan memaparkan tiga alasan seksualitas poligami dalam budaya patriarki yang terdiri dari ketidakmampuan suami istri dalam menjaga stabilitas perkawinan, perbedaan kecenderungan seksual laki-laki dan representasi perempuan dalam budaya patriarki yang akan penulis gunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya praktik poligami pada Bab 4. Sub bab ini juga akan menyoroti tentang poligami jika dilihat dari dua perspektif tentang seksualitas dan cinta yaitu cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri sebagai cinta yang adil dan tidak eksploitatif. Pada bagian terakhir akan berisikan kesimpulan dari keseluruhan bab ini.

2.1. Definisi Seksualitas

Seksualitas merupakan sebuah kapasitas untuk bertingkah laku seksual atau untuk melakukan hubungan seksual serta sifat-sifat seksual yang memiliki perbedaan struktur dan fungsi seks. Namun demikian seksualitas juga sangat berkaitan dengan produk budaya serta kekuatan seksual dan politik untuk mewacanakannya. Setyawan mencatat bahwa, seksualitas tidak hanya merupakan hubungan biologis melainkan terutama merupakan bentuk interaksi

(2)

21

sosial. Karena itu merupakan representasi dari budaya dan pemahaman agama serta praktik ideologis dan politis.1

Seksualitas bukanlah pemahaman alami, biologis, universal. Ada beragam cara kebudayaan dan periode waktu yang berbeda untuk menikmati seks dan memahami seksualitas. Seksualitas dibentuk oleh kekuatan seksual dan politik yang terhubung dengan cara-cara penting untuk hubungan kekuasaan di sekitar kelas, ras dan khususnya jenis kelamin.2

Seksualitas juga tidak sekadar interaksionis seks antar individu. Pada sisi yang luas dan lebih rumit nilai seksualitas juga sering berhadapan dengan permasalahan represifitas, erotisme, hingga permisifitas yang diakibatkan oleh permasalahan penafsiran. Dalam artian seksualitas terkadang tidak harus diartikan dengan interaksi antara dua badan namun berhubungan dengan permasalahan pemaknaan, asosiasi yang penuh pertarungan logika, nilai humanisme, hingga rasa berkesenian (sens of art).3 Magnis-Suseno menyatakan bahwa seksualitas merupakan salah satu daya terbesar dalam diri setiap makhluk hidup di dunia termasuk manusia. Kemampuan seksual adalah sarana untuk menjamin kelangsungan jenis sedangkan fakta bahwa kita sebagai pria atau wanita menentukan kita secara keseluruhan, mewarnai segala sikap dan merupakan pengalaman dasar kita dalam dunia dan masyarakat.4

Berkaitan dengan definisi tentang seksualitas, para penulis interaksionisme simbolik tentang seksualitas juga berpendapat bahwa seksualitas bukan sekadar proses biologi atau proses bawah sadar sebagai basis namun seksualitas adalah sebuah kapasitas yang dimiliki oleh setiap manusia. Seksualitas adalah sebuah potensi yang bisa dikembangkan. Seksualitas dibentuk secara sosial, ketimbang sebuah dorongan yang membentuk masyarakat.5 Focault

1 Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,9.

2 Mottier,Sexuality a Very Short Introduction, 2

3Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin, 4

4Franz Magnis Suseno,Etika Seksual dalam Pendidikan Kehidupan Keluarga (Pendidikan Seksualitas, (Jakarata: PKK KAJ dan Obor ,1984),10.

5 Walby, Teorisasi Patriarki, (Yogyakarta: Jalasutra,2014),171

(3)

22

juga melihat seksualitas sebagai sebuah wacana atau seperangkat praktik sosial yang berakar pada lembaga yang dikonstruksi dalam relasi dengan wacana-wacana lain. Seksualitas adalah apa yang dianggap seksual, seksualitas tidak mempunyai makna atau batasan intrinsik.6 Konsep wacana Focault banyak digunakan untuk membangun teorisasi seksualitas. Konsep ini menyediakan sebuah jalan untuk mengonsepkan seksualitas di dalam kerangka pikir konstruksionis sosial oleh karena itu mengizinkan analisis perubahan-perubahan sosial dalam cakupan konteks yang besar.

Seksualitas bukanlah seks atau gender. Namun banyak kalangan yang sulit memahami perbedaan dari ketiganya. Sally McConnell menyatakan bahwa seks, seksualitas dan gender adalah pusat dari pengalaman individu dan kehidupan sosial. Seks adalah yang tertua dari ketiga ini. Seksualitas dan gender diperkenalkan untuk membuat perbedaan yang jelas yang seringkali di pertentangkan di bawah seks. Namun beberapa orang masih berpegang pada kepercayaan tradisional (misalnya bahwa cara wanita atau pria berperilaku secara sosial dan seksual merupakan ekspresi langsung dari karakteristik biologis bawaan).7 Oleh sebab itu, pada bagian selanjutnya, penulis akan membahas perbedaan dari seksualitas seks dan gender yang diuraikan dalam beberapa poin di bawah ini.

2.1.1. Perbedaan Seks dan Seksualitas

Menurut kamus psikologi, sex atau seks adalah: 1. Perbedaan yang khas antara perempuan dan laki-laki, atau antara organisme yang memproduksi sel telur dan sel sperma. 2. Proses reproduksi, perkembangbiakan. 3. Kesenangan atau kepuasan organis yang berasosiasi dengan perangsangan terhadap organ-organ kemaluan (alat kelamin). Sedangkan sexuality atau seksualitas adalah 1. Kapasitas untuk bertingkah laku seksual atau untuk melakukan

6 Walby, Teorisasi Patriarki, 173

7Sally McConnell-Ginet, Gender, Sexuality, and Meaning : Linguistic Practice and Politics, (New York:Oxford University Press, 2011),6.

http://web.a.ebscohost.com/ehost/ebookviewer/ebook/bmxlYmtfXzM1NzE4NV9fQU41?sid=c27d4fe5- ec5b-45d8-8caf-ecd54e6a4f09@sdc-v-sessmgr01&vid=1&format=EB diakses tanggal 09 Maret 2021

(4)

23

hubungan seksual. 2. Ciri-ciri khas menjadi menarik dilihat dari segi pandangan seksual. 3.

Satu kecenderungan untuk terlalu memperhatikan secara berlebihan pada seks.8 Sementara definisi tentang seksualitas yang dikemukakan dalam Meriam-Webster Dictionary yakni seksualitas merupakan suatu kualitas atau keadaan seksual: kondisi berhubungan seks, aktivitas seksual, ekspresi daya penerimaan seksual atau ketertarikan seksual secara khusus ketika berlebihan.9

Berdasarkan kedua definisi yang telah dikemukakan di atas, terlihat sangat jelas bahwa seks dan seksualitas merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Keduanya sangat berkaitan dengan laki-laki dan perempuan serta bagaimana mengatur relasi seksual mereka. Hal ini mengakibatkan beberapa orang tidak mampu membedakan antara seks dan seksualitas padahal seks dan seksualitas adalah dua hal yang berbeda. Sex berasal dari kata Latin yakni Sexus yang berarti memotong atau membagi. Kata ini kemudian menghubungkan pembagian

dalam kategori spesies, yakni laki-laki dan perempuan. Setyawan mencatat definisi seks menurut The Random House Dictionary of the English Language sebagai berikut:

“seks diartikan sebagai; pertama kenyataan atau sifat yang menjadikan keberadaan (being) itu adalah laki-laki dan perempuan. Kedua, dua kelompok manusia yang menampakkan ciri-ciri tersebut. Ketiga, penjumlahan total dari perbedaan-perbedaan yang dengannya laki-laki atau perempuan berbeda atau fenomena atau perilaku yang tergantung dari perbedaan-perbedaan itu. Keempat, insting atau daya pikat yang membuat jenis kelamin yang satu tertarik pada jenis kelamin yang lain. Kelima, seks diartikan sebagai hubungan kelamin, coitus”

Tentang seksualitas, kamus yang sama mengatakan seksualitas sebagai berikut.

Pertama, sebagai sifat-sifat seksual yang memiliki perbedaan struktur dan fungsi seks.

8J.P. Chaplin Penerjemah. Dr. Katini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, 458,460.

9Mariam-Webster Dictionary, diakses pada 31 Mei 2021, pukul 23:44.

(5)

24

Kedua, pemahaman atau penekanan akan masalah-masalah seksual. Ketiga, keterlibatan pada aktivitas seksual. Keempat, seksualitas sebagai kesiapan organ- organ seks dalam keterlibatan aktivitas seksual” 10

Berkaitan dengan istilah seks dan seksualitas, Evelyn Eaton membedakan antara keduanya. Pada umumnya kata seks merujuk pada sistem biologis dari pria dan wanita dewasa yang berkaitan dengan reproduksi manusia dan pengalaman kenikmatan genital, seks karena itu mencirikan identitas tentang, “siapakah kita atau who we are” berdasarkan jenis kelamin (pria dan wanita). Penggunaan kata seks juga bisa diartikan sebagai kelakuan genital atau what we do. Berkaitan dengan kedua rujukan tentang seks tersebut, maka Eaton menyimpulkan

bahwa seks lebih berkaitan dengan apa yang kita lakukan, sementara seksualitas dipahami dalam realitas manusia yang lebih luas dan mendalam. Meliputi realitas seks (organ reproduksi dan kelakuan genital). Sehingga seksualitas lebih menekankan pada siapakah kita.11 Dengan kata lain, seksualitas sangat berkaitan dengan identitas laki-laki dan perempuan. Sementara seks berkaitan dengan keberadaan diri kita sebagai laki-laki atau perempuan.

2.1.2. Perbedaan Gender dan Seksualitas

Isu seksualitas dalam banyak agama dan kebudayaan juga sering terkait dengan gender, relasi perempuan dan laki-laki. Hal ini membuat setiap upaya mengembangkan perspektif agama dan budaya tentang seksualitas perempuan dan laki-laki yang lebih adil gender dan upaya mengatasi masalah-masalah di sekitar hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari isu keagamaan dan budaya.12 Dengan demikian, seksualitas tidak dapat dilepaskan dari gender. Layaknya perbedaan pria dan wanita tidak dapat direduksi ke dalam faktor biologis saja, tetapi lebih dipahami sebagai konsep gender yang mempertimbangkan makna sosial yang

10 Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,7

11 Kali, Diskursus Seksualitas,xiv

12A.D Kusumangtiyas, Ahmad Nurcholis,et all. Seksualitas dan Agama:Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Agama-Agama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,2015),114.

(6)

25

terkait dengan kemaskulinan dan feminin. Masyarakat juga telah menciptakan definisi untuk

"maskulinitas" dan "feminitas sehingga gender memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hidup seseorang.13

Istilah gender sendiri merupakan pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kata gender juga dapat diartikan sebagai peran dan perilaku yang dibentuk oleh masyarakat melalui proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki seringkali ditafsirkan juga sebagai sebuah tuntutan sosial mengenai pantas atau tidaknya seseorang dalam berperilaku. Tuntutan yang diberikan berbeda sesuai dengan lingkungannya, namun sebagian besar masih memiliki pandangan yang sama dalam penyerahan tanggung jawab pengasuhan dan perawatan anak kepada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan kepada laki-laki.14

Pada hakikatnya gender dan seksualitas merupakan konstruksi sosial yang bersifat politis dan karena itu berkaitan dengan kekuasaan namun basis sosial dari kedua hal tersebut adalah berbeda. Gender berkaitan dengan isu domestik/publik sedangkan seksualitas berkaitan dengan organ tubuh atau genetika, persetubuhan dan reproduksi yang merupakan bagian yang kompleks dalam agama dan masyarakat.15

13Butler-Wall, Annika, Cosier, Kim, Harper, Rachel L. S. ,Rethinking Sexism, Gender, and Sexuality, A Rethinking Schools Publication MLA (Modern Language Assoc.) Butler-Wall, Annika, et al. Rethinking Sexism, Gender, and Sexuality. Vol. First edition, Rethinking Schools, 2016. Dalam

http://web.a.ebscohost.com/ehost/ebookviewer/ebook/bmxlYmtfXzEzNTIwODNfX0FO0?sid=d7c0ad80-69b4-4e98- bc6b-d7681a0766be@sessionmgr4007&vid=5&format=EB diakses pada 10 Maret 2021.

14Dina Nur Rahmawati,et all, Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2016,(Jakarta : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), 4. Dalam

https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/44ac0-pembangunan-manusia-berbasis-gender-2019.pdf diakses pada 13 Maret 2021.

15Yusak Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat, 10

(7)

26 2.1.3. Kesimpulan tentang Definisi Seksualitas

Berdasarkan pemaparan konsep seks, seksualitas dan gender seperti yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan definisi seksualitas yaitu bahwa seksualitas bukanlah seks atau gender.

Jenis kelamin merujuk pada perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis, sementara gender merupakan perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin.

Sehingga gender diartikan sebagai konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan Sehingga konsep manusia terkait kodrati mengacu pada jenis kelamin, sedangkan pembedaan manusia yang bukan kodrati mengacu pada konsep gender.16 Sementara seksualitas dibentuk oleh kekuatan seksual dan politik yang terhubung dengan cara-cara penting untuk hubungan kekuasaan di sekitar kelas, ras dan khususnya jenis kelamin.17

2.2. Seksualitas dalam Budaya Patriarki

Budaya patriarki merupakan politik seksualitas tertua yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Menurut sejarah konteks politik di seluruh dunia, upaya membudayakan dunia yang paling dikenal adalah menurut idealisme yang dikembangkan di Yunani Kuno setelah penaklukan Alexander Agung.18 Kebudayaan Yunani akhirnya menjadi kebudayaan utama, yang memunculkan apa yang disebut Greco Roman. Salah satu hal mendasar dari kebudayaan ini adalah patriakal atau terpusat pada pria. Dalam kebudayaan ini diharapkan

16Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2016,(Jakarta : CV Lintas Katulistiwa, 2016),

15https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/4f9aa-buku-pmbg-2016-min.pdf di akses pada 13 Maret 2021

17 Mottier,Sexuality a Very Short Introduction, 2

18Sebelum Alexander Agung berkuasa, budaya patriarkhi telah dikembangkan, misalnya pada masyarakat Babel Kuno, Isreal Kuno, Yunani Kono, China Kuno, dsb. Dan kemudian Aleksander Agung dan Kakisaran Roma. Kebudayaan dalam kekaisaran Roma yang pada akhirnya mempengaruhi hampir seluruh kebudayaan diseluruh dunia yang bersifat patriarki.

(8)

27

untuk bergantung pada laki-laki yang mengendalikan dan mendominasi hampir semua bidang kegiatan sosial.19

Budaya Patriarkat Greco Roman didasarkan pada kepercayaan bahwa laki-laki merupakan manusia yang sempurna. Setiap laki-laki yang lahir secara bebas diharapkan untuk menjadi dominan dan untuk menunjukkan kendali atas dirinya dan orang lain. Dalam budaya patriarkat, masyarakat Greco Roman membagi peran pria dan wanita ke dalam kategori yang berbeda. Yang jantan diharapkan aktif dan dominan pada kalangan umum dan betina aktif dalam rumah tangga. Pengaturan seksualitas ini pada giliran berikutnya menjadi persoalan politis. 20

Hierarki yang diciptakan dalam patriarki menempatkan seksualitas laki-laki atas seksualitas perempuan yang diimplementasikan dalam relasi kekuasaan. Masyarakat patriarki sebenarnya adalah masyarakat yang menjalankan politik seksualitas berdasarkan dominasi kekuasaan seksualitas laki-laki atas perempuan.21 Dengan demikian, budaya patriarki menggunakan berbagai cara politis untuk melanggengkan kekuasaan laki-laki

Terdapat dua ranah kekuasaan dalam berlangsungnya sistem patriarki menurut Walby yaitu, patriarki privat dan patriarki publik. Patriarki privat didasarkan pada produksi rumah tangga, di mana laki-laki mengontrol perempuan secara individu dan secara langsung di dalam ruang yang relatif privat yakni di dalam keluarga. Sementara patriarki publik di dasarkan atas struktur-struktur selain struktur rumah tangga yaitu lembaga-lembaga yang secara tradisional dianggap sebagai bagian dari ranah publik yang berada pada posisi sentral dalam pelanggengan patriarki. 22 Misalnya lembaga adat, pemerintah maupun lembaga agama.

19Yusak B. Setyawan, The Use of the Haustafel of Ephesians in the Socio-Political Context of Graeco-Roman Society :A Postcolonial Perspective Drawing Upon Indonesian Christianity’s Encounter with the State Ideology of the Pancasila,School of Theology Faculty of Education Humanities, Law and Theology Flinders University , Adelaide Austrlia, 2009,194-196

20 Setyawan, The Use of the Haustafel, 194-196

21 Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat, 78

22 Walby, Teorisasi Patirarki, 268.

(9)

28

Di dalam patriarki privat laki-lakilah yang berada pada posisi sebagai suami atau ayah yang merupakan penindas dan penerima manfaat langsung dari subordinasi perempuan.

Sementara dalam patriarki publik, perampasan hak perempuan dilakukan lebih secara kolektif daripada individu patriarki. Di dalam sistem patriarki privat, eksploitasi perempuan di dalam rumah tangga dilanggengkan oleh ketidakterlibatan mereka di dalam ruang publik. Sementara di dalam bentuk patriarki publik eksploitasi perempuan terjadi pada semua level, tetapi perempuan tidak secara formal disingkirkan dari yang lain namun di dalam setiap lembaga perempuan tetap yang dirugikan.23

Budaya patriarki yang mensubordinasikan perempuan terutama berawal dari ranah privat atau keluarga yang kemudian meluas ke ruang publik. Laki-laki diberi hak istimewa oleh budaya ini sehingga menjadi sentral kekuasaan baik di tingkat keluarga maupun publik, sedangkan perempuan hanya sebagai pelengkap. Hal tersebut menimbulkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan, yang menyebabkan keterbatasan perempuan dalam kepemilikan properti, serta akses dan kontrol terhadap sumber daya.24 Tidak heran jika konsep kemiskinan dan ketidakberdayaan selalu melekat pada perempuan.

Murniati berpendapat bahwa patriarki pada intinya merupakan politik yang didasarkan pada seksualitas dengan menekankan pada seksualitas laki-laki sebagai pusat dari komunitas.25 Ideologi patriarkal membesar-besarkan perbedaan biologis dan memastikan laki- laki selalu memiliki peran yang maskulin dan dominan, sementara perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat atau feminin. Ideologi patriarki ini begitu kuat, sehingga laki-laki mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi. Institusi seperti gereja, sekolah dan keluarga membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan

23Walby, Teorisasi Patirarki,269

24Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pembangunan Manusia, 9

25Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,79

(10)

29

terhadap laki-laki dan membuat perempuan menginternalisasi rasa inferioritas atas laki-laki.26 Superioritas laki-laki yang direkonstruksikan ini kemudian secara gradual menjadi identik dengan sistem masyarakat dan budaya. Dengan kata lain, patriarki tidak sekadar berhubungan dengan hierarki antara laki-laki dan perempuan, melainkan terutama berkaitan dengan kekuasaan.27

Sejak awal, paham patriarki membentuk peradaban di mana laki-laki dianggap lebih superior dalam semua lini kehidupan. Hal ini termanifestasi dalam bentuk stereotip, marginalisasi, subordinasi, tindak kekerasan, dan beban kerja.28 Berlangsungnya budaya patriarki di dalam kehidupan manusia juga tidak terlihat, tapi bisa dirasakan dengan jelas.

Susanto berpendapat bahwa, keluarga sebagai institusi mempunyai struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sistem ini akan menciptakan situasi yang tidak demokratis. Akibatnya, terjadi ketidakadilan pada pembagian sumber daya seperti kekuasaan, kesempatan, serta keputusan-keputusan di dalam keluarga yang dilakukan oleh kepala keluarga tanpa proses negosiasi. Oleh sebab itu budaya patriarki yang berlangsung hampir di seluruh wilayah di dunia, merupakan aspek yang utama dalam timbulnya diskriminasi terhadap perempuan.29

Berkaitan dengan relasi patriarki dalam seksualitas, penulis juga merangkum analisis beberapa tokoh feminis radikal seperti Conveney, Dworkin, MacKinnon, Millet dan Rich, tentang hubungan antara patriarki dan seksualitas yang didominasi oleh laki-laki yang menempati posisi sentral dalam masyarakat. Dalam pandangan ini, laki-laki mengobjekkan perempuan secara seksual yakni dengan mereduksi mereka sebagai sekadar objek seksual.

26Vinita Susanti, “Prostitusi Online: Penjualan Suami Oleh Istri :Perubahan Relasi Gender dan Seksualitas di Era Digital”, (Universitas Indonesia: Jurnal Hukum dan Pembangunan 50 No 3, 2020), 776

27 Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,79

28Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Pembangunan Manusia, 9

29Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Pembangunan Manusia,10

(11)

30

Bentuk-bentuk seksualitas yang didominasi laki-laki menyentuh hingga berbagai area, tidak hanya dalam area yang dipahami secara tradisional bersifat seksual. 30

Dworkin berpendapat bahwa laki-laki secara serentak menseksualisasikan perempuan dan mendominasi mereka. Seksualitas merupakan medan atau media melalui mana laki-laki mendominasi perempuan. Dalam pandangan ini, seksualitas perempuan disangkal dan mungkin dihukum melalui praktik-praktik seperti sunat perempuan (pembuangan klitoris).

Seksualitas laki-laki dipaksakan pada perempuan melalui pemerkosaan, pornografi, poligami dan praktik-praktik budaya lain. Perempuan dikendalikan dengan paksaan dan dibatasi secara fisik. Pekerjaan perempuan disita dalam pernikahan, kesuburan mereka dikontrol, kreativitas perempuan dipersempit dan pengetahuan disembunyikan dari mereka. Beberapa feminis radikal juga berargumen bahwa bentuk-bentuk dominasi seksual tertentu penting bagi ketidaksetaraan gender. MacKinnon menyatakan bahwa seksualitas membangun gender.

Pengerotisan dominasi dan subordinasi menciptakan gender. Misalnya sekarang ini, sulit dilakukan pemisahan antara konsep-konsep gender dan seksualitas karena dua konsep ini saling mendefinisikan.31

2.2.1. Perbedaan Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Patriarki

Enam ribu tahun yang lampau, patriarki menaklukkan perempuan, dan masyarakat mulai terorganisasi dalam dominasi laki-laki yang kemudian menempatkan laki-laki dan perempuan ke dalam dua ranah yang berbeda.32 Weber menggunakan istilah patriarki untuk menunjukkan sebuah sistem pemerintah di mana laki-laki mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala keluarga. Sedangkan Walby sendiri mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi, menindas dan mengeksploitasi perempuan.33

30 Walby, Teorisasi Patriarki, 178

31 Walby, Teorisasi Patriarki, 178

32 Funk, Cinta, Seksualitas, Pengantar Editor

33 Walby, Teorisasi Patriarki, 28.

(12)

31

Di Inggris pada era Victoria kelas menengah pertengahan abad ke-19, perpecahan publik dan privat tidak hanya membagi pria dan wanita menjadi berbeda dunia sosial, tetapi juga mengandaikan budaya dan biologi yang berbeda yang dibagi berdasarkan seks atau jenis kelamin. Pria yang gagah dan aktif berpartisipasi dalam kehidupan publik, sementara wanita pasif dan emosional mengendalikan rumah tangga. Pria fokus pada karir dan pengakuan publik, dan takdir wanita adalah pernikahan dan keibuan. Perbedaan-perbedaan ini diyakini sebagai pemberian Tuhan. Kultus dari maskulinitas dan kerumahtanggaan mengandaikan satu sama lain, dan diperkuat kurangnya hak dan kekuasaan sosial bagi perempuan.34

Mitos-mitos kebudayaan juga menetapkan bagi perempuan peran-peran feminin tertentu seperti membesarkan anak, hak-hak feminin tertentu seperti perlindungan dari kekerasan dan tugas-tugas feminin seperti kepatuhan kepada suami. Sedangkan laki-laki masuk ke dalam tempat tertentu dalam tatanan manusia khayalan dalam masyarakatnya.

Mitos-mitos kebudayaannya menetapkan baginya peran-peran maskulin misalnya terlibat dalam politik, hak-hak maskulin misalnya memberi suara dalam pemilu dan tugas-tugas maskulin misalnya wajib militer. 35

Selain itu, kebudayaan juga memberikan Streotype maskulinitas dan feminitas bagi laki- laki dan perempuan yang mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan fisik, ataupun orientasi seksual. Jadi misalnya laki-laki dicirikan oleh watak yang terbuka, kasar, agresif, dan rasional, sementara perempuan bercirikan tertutup, halus, afektif, dan emosional. Dalam hubungan individu laki- laki diakui maskulinitasnya jika terlayani oleh perempuan, sementara perempuan terpuaskan feminitasnya jika dapat melayani laki-laki.36

34 TuckerAnthony Giddens and Modern Social Tehory,185

35Harari, Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia, Hal 179

36Darwin , MASKULINITAS: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarki.

(13)

32

Relasi kuasa juga membagi dunia sosial berdasarkan sifat maskulin dan feminin, yang menjadikan kehidupan pribadi perempuan berpusat pada emosi dan pengasuhan, sedangkan dunia pria adalah ranah publik kerja dan politik. Tanpa disadari, pengaturan sosial semacam itu membantu menjaga perempuan untuk tetap berada di bawah pria.37 Dengan demikian perbedaan peran serta kedudukan laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki pada akhirnya menjadi akar dari segala ketidakadilan yang dialami kaum perempuan.

2.3. Perkawinan dalam Budaya Patriarki

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang perkawinan dalam budaya patriarki, namun pertama-tama penulis akan mengemukakan konsep perkawinan secara umum kemudian melanjutkan dengan membahas perkawinan patriarki serta fungsi perkawinan dalam patriarki.

2.3.1. Konsep Perkawinan Secara Umum

Jika kita melihat struktur genetika sapien, sebelum adanya sebuah konsep tentang perkawinan, manusia berada dalam perilaku seksual pada kelompok yang tidak didasarkan pada hubungan eksklusif (poligami atau monogami) melainkan pada kebersamaan. Anak yang dilahirkan adalah anak bersama yang diasuh bersama oleh kelompok. Kemudian muncullah suatu pengaturan yang berkaitan dengan pernikahan atau relasi seks yang ditentukan oleh aturan budaya agrikultur laki-laki yang dominan. Masalah masa kini seperti kesepian, perceraian, perselingkuhan, dan poligami bersumber pada struktur genetika dalam alam bawah sadar38 Groenen berpendapat bahwa lembaga perkawinan diciptakan manusia guna memelihara kreativitas seksualitas dan mengendalikan sedikit segi destruktifnya. Hal ini dikarenakan seksualitas manusia pada satu sisi bersifat kreatif namun pada sisi yang lain

37Tucker, Anthony Giddens, 198

38Materi Perkuliahan, Seksualitas:Teori tentang Laki-Laki dan Perempuan, dalam Perkuliahan Seksualitas dalam Agama dan Mayarakat oleh Yusak Setyawan pada 23 Februari 2021.

(14)

33

bersifat destruktif apabila seksualitas tidak terarah, tidak terkendali, merusak orang lain dan seluruh masyarakat.39

Becher mengemukakan bahwa pada abad ke 18 di Eropa, terdapat dua konsep yang berbeda tentang perkawinan. Pertama, konsep klasik yang dihubungkan dengan hasrat seksual yang membawa kecurigaan terhadap seksualitas. Konsepsi lainnya juga mengandaikan perubahan besar dalam perspektif terhadap perkawinan, yang lebih banyak berhubungan dengan Santo Thomas yang mendasarkan argumen-argumennya pada Aristoteles dan sifat biologis manusia. Konsepsi selanjutnya lebih optimis dari terdahulu yang mengakui kebaikan yang melekat pada alam. Seksualitas yang dipandang sebagai pro kreasi menimbulkan persoalan antara lain kontrasepsi dan masturbasi dinilai sebagai sebuah kesalahan. Namun menurut pandangan hukum alam, manusia memiliki kecenderungan seperti hewan contohnya adalah persetubuhan yang dilakukan antara pasangan-pasangan yang memiliki jenis kelamin berbeda. Namun selain hukum alam generik, terdapat hukum spesifik yang hanya ditemukan pada manusia dan bukan pada hewan yaitu keterbukaan untuk melakukan hubungan- hubungan sosial dengan mitra perkawinan. Jalan keluar dari dualisme yang spesifik dan generik ini yaitu, tujuan utama manusia untuk pro kreasi berasal dari hukum generik, sedangkan tujuan kedua untuk saling membantu dalam relasi berasal dari hukum spesifik yang kemudian dikenal dalam sebuah konsep perkawinan yang sah.40

Perkawinan selalu bertujuan untuk membentuk keluarga. Perkawinan juga tidak bisa dilepaskan dengan seksualitas. Semdes berpendapat bahwa seksualitas selalu tentang pernikahan namun seksualitas juga lebih dari sekadar pernikahan.41 Berkaitan dengan pemahaman tersebut, dalam perkawinan umumnya suami dan istri saling mengungkapkan dan memupuk cinta antara lain mengadakan persatuan seksual atau kebersamaan seksual atau

39Dr. C. Groenen, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi Sistematik, Spiritualitas dan Pastoral, (Yogyakarta;Kanisius, 1993), 24

40Bechher,Perempuan Agama &Seksualitas,260-261

41Lewis B.Smedes, Sex For Christian, (Michigan: Grand Rapids, 1994), 21

(15)

34

hubungan seks. Sebagai sarana ungkapan cinta, hubungan seks antara suami dan istri dalam perkawinan penting sekali, namun hubungan seksual bukanlah segala-galanya dalam perkawinan.42

Berkaitan dengan konsep perkawinan, terdapat tiga ciri utama tentang perkawinan menurut Focault antara lain; 1. Agama Kristen yang menekankan aturan monogami pada masyarakat kuno. 2. Agama Kristen yang menetapkan reproduksi sebagai fungsi-bukan fungsi istimewa atau utama, melainkan fungsi eksklusif sebagai satu-satunya dan khas dari seksualitas dengan kata lain, seseorang tidak diizinkan untuk bercinta kecuali untuk mendapatkan keturunan. 3. Moral Kristen membuat aturan secara umum tentang kenikmatan seksual di mana kenikmatan seksual adalah kejahatan yang harus dihindari dan karena itu harus diberi ruang sekecil mungkin, sebagaimana yang tertuang dalam teologi Agustinus.

Pemahaman ini memberi tempat sekecil mungkin bagi kenikmatan seksual jelasnya kenikmatan seksual bagaimanapun hanya untuk mendapatkan keturunan; dan mendapatkan keturunan ini hanya dalam perkawinan, yakni perkawinan yang sah dan monogami.43 Dengan demikian konsep perkawinan yang dikenal secara umum hingga saat ini adalah perkawinan yang sah dan monogami bukan poligami.

2.3.2. Perkawinan Patriarki

Untuk memahami perkawinan dalam budaya patriarki maka pertama-tama kita perlu memahami konsep perkawinan masyarakat Greko Roman karena budaya patriarki dalam Greko Roman yang menentukan masyarakat Mediterania Raya dan yang mungkin

mempengaruhi model perkawinan di wilayah-wilayah lain yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat Greko Roman pada dasarnya perkawinan selalu bertujuan untuk membentuk keluarga. Masyarakat Greko-Roman melihat keluarga dari garis keturunan laki-laki. Aspek

42Johan Tuban Sukan, Etika Seksual dan Perkawinan: Pegangan Praktis Bagi Suami Istri, Orang Tua, Muda Mudi , Calon Pengantin ,Pendidik, Guru, Mahasiswa, Konselor Keluarga, Ilmuwan, (Jakarta:

Intermedia, 1990),7

43Ed. Carrette. Agama, Seksualitas, 173

(16)

35

terbentuk dalam pembentukan keluarga dalam budaya ini adalah para anggota mempertahankan keloyalan mereka kepada sang bapak. Dalam kerangka ini istri, anak dan budak diharapkan untuk bergantung pada suami. Posisi ayah sebagai suami juga adalah penguasa. Paterfamilias dalam masyarakat Greko-Roma dianggap sebagai tingkat dasar hubungan kekerabatan.44

Pola hierarkis keluarga dalam masyarakat Greko-Roman sama halnya dengan sistem politik. Posisi seorang anggota rumah tangga diatur dalam pola hierarki yang mengatur bagaimana setiap anggota hendaknya bertingkah laku sesuai posisi mereka. Laki-laki selalu lebih unggul dari perempuan, orang tua daripada anak, majikan dari budak. Perempuan tidak hanya dianggap lebih rendah daripada laki-laki tetapi dianggap sebagai orang-orang yang harus dilindungi oleh laki-laki.45Kebudayaan Greco Roman ini akhirnya menjadi kebudayaan utama yang mempengaruhi hampir seluruh peradaban dunia yang disebut patriarki.

Dalam undang-undang Romawi dominasi laki-laki terhadap perempuan juga disucikan dalam bentuk-bentuk yang sangat ekstrim. Seorang ayah tidak hanya menikmati hak-hak istimewa untuk menjual anak gadisnya dalam perkawinan, tetapi diberi keleluasaan untuk menentukan tujuan hidup anak perempuannya bila dalam pandangannya itu dianggap perlu.

Setelah menikah hak-hak patriarkat ini diserahkan kepada suami kemudian secara resmi menguasai ibu dari anak-anaknya kelak.46 Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkawinan dalam tradisi Yahudi yakni laki-laki yang mengambil perempuan dalam perkawinan maka secara alamiah otoritas dalam perkawinan terletak pada suami; asumsinya, otoritas atas perempuan di pindahkan dari ayahnya kepada suaminya.47

Sistem perkawinan di Indonesia, juga awalnya cenderung didasarkan pada transaksi ekonomi-politis antara dua keturunan dalam satu era di mana sang anak dianggap aset yang

44Setyawan, The Use of the Haustafel, 208-210

45Yusak Budi Setyawan, The Use of the Haustafel,210-211

46Nawal L. Sadawi,Perempan dalam Budaya Patriarki, (Yogayakarta;Pustaka Pelajar,2001),224

47Bechher , Perempuan Agama & Seksualitas,16

(17)

36

dimiliki oleh orang tua. Asumsi yang sederhana adalah anak diharapkan mampu menghasilkan keturunan selanjutnya.48 Anak yang dimaksudkan sebagai penerus garis keturunan ayah adalah anak laki-laki. Hal ini mengakibatkan dalam perkawinan khususnya bagi masyarakat patriarki, memiliki anak laki-laki adalah tujuan utama dari sebuah perkawinan.

Menurut Bustami, interaksi dalam rumah tangga masa kini merupakan hasil dari konstruksi patriarki. Pada akhirnya konstruksi patriarki yang melembaga dalam ikatan perkawinan semakin mempengaruhi kehidupan rumah tangga. Tidak jarang relasi timpang tindih yang sering terjadi dan dibangun berdasarkan konstruksi ideologi laki-laki sebagai kepala keluarga yang berimplikasi pada pembelahan aspek mata pencaharian. Sedangkan perempuan hanya membantu sang suami di ranah privat.49

2.3.3. Fungsi Perkawinan dalam Masyarakat Patriarki

Secara umum perkawinan menjalankan tiga fungsi utama yaitu keintiman, pro kreasi, dan penyaluran hasrat-hasrat erotis.50 Namun pada bagian ini, penulis akan memfokuskan untuk membahas fungsi perkawinan patriarki. Fungsi perkawinan dalam budaya patriarki, tidak dapat dipisahkan dari fungsi perkawinan dalam masyarakat kuno termasuk di dalamnya, masyarakat Greko-Roman, di mana perkawinan dianggap sebagai langkah menuju pembentukan keluarga baru yang memiliki tiga tujuan utama yaitu untuk meningkatkan status atau kehormatan bagi setiap keluarga, untuk menghasilkan keturunan yang sah sesuai dengan hukum Romawi, dan untuk secara tepat mempertahankan properti bagi generasi berikutnya.

Oleh karena itu memiliki keturunan (anak laki-laki) merupakan makna dari perkawinan.

Greko-Roman menganggap bahwa keturunan laki-laki memiliki nilai ekonomi yang lebih

48 Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin, 226

49Srintthil Media Perempuan Multikultural, Komodifikasi Seksualitas dan Pewadagaan Perempuan, (Depok: Kajian Perempuan Desantara, 2010), 42

50 Jeanne Bechher, Perempuan Agama & Seksualitas,13

(18)

37

tinggi dan merupakan sarana untuk meningkatkan properti keluarga karena perkawinan terintegrasi dengan pemindahan harta milik.51

Dalam segi perkawinan masyarakat agraris yang juga sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, kesuburan istri sangat dijunjung tinggi. Lebih banyak anak laki-laki maka lebih cemerlang kedudukan istri.52 Karena itu fungsi perkawinan yang paling utama adalah menjalankan fungsi pro kreasi khususnya untuk menghasilkan anak laki-laki. Menurut Fromm, peran seksual laki-laki hanya mengobati kerinduan besar akan prestise dalam kodrat sosial budaya. Fromm mengemukakan bahwa, prestise seorang laki-laki (ayah) adalah anak laki-lakinya. Fakta sosial dan ekonomis yang menentukan kedekatan ayah dan anak laki- lakinya. Berdasarkan kondisi ekonomis, anak laki-laki adalah putra mahkota dari kerajaan ayahnya, sekaligus pemelihara masa depan ayahnya. 53

Dalam perkawinan masyarakat adat yang menjunjung tinggi budaya patriarki, istri dengan sendirinya menjadi milik suami dan karena itu istri harus tunduk kepada suami serta berkewajiban untuk melayani suami dan keluarganya. Perkawinan dalam masyarakat adat juga umumnya membentuk keluarga dalam pola lama yakni tujuan utama perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan/anak. Seksualitas dalam keluarga pola lama dipahami sebagai kesuburan. Perkawinan harus menghasilkan anak. Tanpa anak berarti perkawinan itu gagal.

Penyebab kemandulan biasanya ditudingkan kepada wanita. Pria dinilai sebagai selalu dan tetap subur. Kalau hanya mendapatkan anak wanita, suami boleh mengambil istri baru untuk mendapatkan anak pria.54 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memiliki anak laki-laki merupakan tujuan utama dalam seluruh perkawinan patriarki.

51 Setyawan, The Use of the Haustafel, 213

52 Heuken, Perkawinan Jaman Modern :Seksualitas Demi Partnership,6-7

53Funk, Cinta Seksualitass dan Matriarki,48-4,127

54Johan Tuban Sukan, Etika Seksual dan Perkawinan,66.

(19)

38

2.4. Alasan-alasan Seksualitas Poligami dalam Budaya Patriarki

Bagian ini akan membahas konsep poligami dan alasan-alasan poligami dalam budaya patriarki. Terdapat tiga alasan yang penulis kemukakan pada bagian ini antara lain kegagalan suami istri dalam menjaga stabilitas perkawinan, perbedaan kecenderungan seksual laki-laki dan perempuan, dan representasi perempuan dalam budaya patriarki. Di akhir sub bab ini, penulis juga akan memaparkan poligami dalam perspektif cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri untuk memperoleh kebaikan dari kesetiaan dalam perkawinan sehingga poligami menjadi hal yang akan sangat dihindari.

2.4.1. Poligami

Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Poligami dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu poliandri dan poligini.

Poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari seorang laki-laki sedangkan poligini adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan.

Selanjutnya istilah poligami dipakai untuk menggantikan istilah poligini sebagai istilah yang populer di masyarakat.55

Konsep poligami tidak terlepas dari realita masyarakat pra-pertanian yang memahami hakikat, sejarah dan psikologi manusia, sebagai kepala leluhur yaitu sebagai pemburu- pengumpul. Para penganut paham psikologi evolusioner, masuk ke dalam dunia pemburu–

pengumpul yang membentuk manusia dan dunia yang masih dihuni secara bawah secara sadar. Sejumlah ahli evolusioner berargumen bahwa kawanan-kawanan pemburu-pengumpul purba tidak terdiri atas keluarga-keluarga inti yang berpusat di pasangan monogami. Para pemburu-pengumpul justru hidup dalam komune-komune tanpa harta milik pribadi, tanpa hubungan monogami, bahkan pengurusan anak oleh ayah. Dalam kawanan semacam itu,

55H. M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2015),85

(20)

39

seorang laki-laki bisa berhubungan seks dan membentuk ikatan akrab dengan beberapa perempuan secara bersamaan.56

Para pendukung teori komune purba juga berargumen bahwa perselingkuhan yang marak dalam kehidupan pernikahan modern, tingkat perceraian yang tinggi, pernikahan lebih dari satu (poligami) dan beraneka ragam masalah psikologis yang diderita anak adalah akibat dari memaksa manusia hidup dalam keluarga inti dan hubungan monogami yang tidak cocok dengan realitas alam bawah sadar manusia.57

Poligami umumnya ditolak oleh agama-agama Samawi namun Islam sendiri mengizinkan terjadinya perkawinan poligami. Sebelum agama Islam, menurut sejarahnya, bangsa Babilonia, Siria, dan Persia pra Islam, tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki. Selain itu bagi bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa yang kemudian menjadi adat atau kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri. Bangsa Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang sudah melakukan praktik poligami jauh sebelum Islam datang. Begitu pun bangsa Timur Tengah seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bangsa Afrika, India, Tiongkok dan Jepang juga berpoligami.58

Namun, dalam sejarah abad pertengahan, di bawah dominasi gereja, agama Kristen membuat pengaturan berkaitan dengan pernikahan yang sah dan monogami pada masyarakat kuno. Kenikmatan seksual bagaimanapun hanya untuk mendapatkan keturunan dalam ikatan perkawinan yakni perkawinan yang sah dan monogami.59 Namun struktur genetika sapien manusia yang selalu hidup dalam kelompok tanpa adanya suatu ikatan tetap tidak mengalami

56 Yuvah Noah Harari,Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017),49-50

57Harari,Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia,50

58 Dilihat dalam jural perempuan untuk pencerahan dan kesetraan,

https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/archives/05-2017. Diakses pada 30 Agustus 2021.

59 Ed. Carrette. Agama, Seksualitas, 173

(21)

40

perubahan sampai masa kini dalam kaitannya dengan seksualitas. Masalah masa kini seperti kesepian, perceraian, perselingkuhan, poligami, bersumber pada struktur genetika dalam alam bawah sadar.60

Di Indonesia sendiri, seksualitas dan politik seksual menjadi inti dari perdebatan publik ataupun negosiasi pribadi tentang poligami. Sekalipun hukum perkawinan di Indonesia menjunjung tinggi asas monogami namun, poligami juga dapat diizinkan dalam keadaan tertentu. Hal ini termuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasan PP No. 9 tahun 1975 yang juga mengatur tentang poligami. Namun dalam beberapa penelitian yang dilakukan tentang praktik politik seksual poligami di Indonesia menunjukkan bahwa poligami nyatanya masih jauh dari kata keadilan sehingga timbulnya beberapa perlawanan terhadap praktik poligami.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurmila dan Bannet tentang praktik politik seksual poligami di Indonesia menunjukkan bahwa perbedaan yang luar biasa antara keidealan teoretis aturan negara mengenai poligami dan kehidupan nyata perkawinan poligami orang- orang Indonesia. Studi-studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya status ekonomi tidak menjamin bahwa laki-laki yang berpoligami itu akan memenuhi tanggung jawab ekonominya kepada para istrinya. Dalam poligami, pemenuhan kebutuhan seksual dalam pernikahan poligami yang tidak adil diartikulasikan ke dalam kecemburuan seksual dan luka emosi oleh hubungan seksual suami dan istri-istri. Negosiasi kecemburuan seksual berperan penting dalam menentukan dinamika seksual perkawinan poligami bagi perempuan dan laki-laki.61

Dengan demikian pada bagian selanjutnya, penulis akan membahas alasan-alasan poligami dalam budaya patriarki yang meliputi ketidakmampuan suami dan istri dalam

60 Materi Perkuliahan, Seksualitas:Teori tentang Laki-Laki dan Perempuan, dalam Perkuliahan Seksualitas dalam Agama dan Mayarakat oleh Yusak Setyawan pada 23 Februari 2021.

61 Hidayana, Seksualitas di Indonesia,11-113.

(22)

41

menjaga stabilitas perkawinan, perbedaan dorongan seksual laki-laki dan perempuan, representasi tubuh perempuan dalam budaya patriarki serta hubungan yang dibangun dalam ikatan perkawinan berdasarkan relasi yang bersifat eksploitatif.

2.4.2. Ketidakmampuan Suami dan Istri dalam Menjaga Stabilitas Perkawinan.

Bagi Hurlock, poligami terjadi karena ketidakmampuan suami dan istri dalam menjaga stabilitas perkawinan. Terdapat penelitian yang mengemukakan tentang kondisi yang mempengaruhi stabilitas perkawinan yaitu jumlah anak, status sosial, dan status ekonomi.

Dalam kasus poligami, anak merupakan faktor utama yang mempengaruhi stabilitas perkawinan. Lebih banyak kegagalan perkawinan karena pasangannya tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada pasangan yang mempunyai banyak anak.

Selain itu status sosial dan status ekonomi seorang juga mempengaruhi stabilitas dalam perkawinan. Kegagalan dalam perkawinan sering terjadi pada pasangan dengan status sosial dan ekonomi yang rendah.62 Sementara pasangan yang memiliki status sosial yang tinggi akan terdorong untuk memperluas prestisenya salah satunya adalah dengan melakukan poligami.

Dengan demikian, penyesuaian dalam perkawinan sangat penting namun kondisi di sekitarnya dapat mempengaruhi penyesuaian diri tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Rene bahwa hubungan dengan pasangan begitu berpusat pada gambaran sosial individu dan emosi hidup sehingga perkawinan yang tidak bahagia akan mempengaruhi kapasitas pasangan yang memperoleh kepuasan dari hubungan dengan anak-anak atau dengan anggota lainnya di luar anggota keluarga.63 Selain itu apabila dalam perkawinan, salah satu anggota pasangan tersebut yang biasanya adalah suaminya menuntut bahwa kepuasan seksual lebih penting dari pada yang lain maka akan ada cita-cita tidak realistis tentang peranan seksual yang harus dimainkan dari perkawinannya. Hal ini dapat menjadi sumber masalah dalam penyesuaian perkawinan,

62Elisabeth B. Hurlock, alih bahasa Istiwidayanti, et all. Edisi ke Lima, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan, (Jakarta:Erlangga, 1999), 305

63 Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan, 309

(23)

42

Bischop menjelaskan bahwa seperti ada kesepakatan bagi pasangan suami istri yang sudah dewasa yang memahami dengan baik, bahwa perkawinan bukan permainan seksual yang gila- gilaan dalam tempo yang relatif lama perkawinan adalah menggadaikan keinginan untuk pertemuan, mengurangi tekanan dan beban sebagai orang tua dan masalah-masalah lain dalam kehidupan.64

2.4.3. Perbedaan Dorongan Seksual Laki-Laki dan Perempuan

Dorongan serta perilaku seksual yang berbeda antara laki-laki dan perempuan juga dapat menjadi alasan terjadinya poligami. Perilaku seksual laki-laki dan perempuan pada dasarnya bersifat alami namun dalam perkembangannya, perilaku seksual yang berbeda antara laki-laki dan perempuan semakin diperkuat oleh pola pengasuhan sebagian besar orang tua yang cenderung masih dipengaruhi budaya patriarki sehingga perempuan lebih bersikap pasif terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas sementara laki-laki yang cenderung aktif.

Namun pada hakikatnya secara alamiah terdapat perbedaan dorongan atau hasrat seksual laki- laki dan perempuan.

Dorongan seks merupakan istilah yang subjektif dan apa yang sesungguhnya terjadi adalah bagaimana laki-laki dan perempuan merasa tertarik dalam aktivitas seksual.65Symons menemukan perbedaan antara dorongan seksual laki-laki dan perempuan ditentukan oleh software otak berkat evolusi yang pernah terjadi.66 Dorongan seksual berkembang lebih awal pada pria daripada wanita dan cenderung tetap demikian. Dorongan seksual wanita timbul secara periodik, dengan turun naik selama siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan kenikmatan akan seks, yang kemudian mempengaruhi penyesuaian seksual.67

Penelitian mengenai minat dan aktivitas seksual orang usia lanjut menunjukkan adanya perbedaan penting bagi pria maupun bagi wanita. Hal ini mengakibatkan bagi pria

64 Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan, 303-304

65Robert P. Maslan , It’s All About S Sex : A-Z tentang Sex,(Jakarta:Bumi Aksara,2013),57.

66 Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,4.

67 Hurlock, , Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan, 293

(24)

43

semakin bertambahnya usia, minat seksualnya lebih besar dibandingkan dengan aktivitas seksualnya. Bagi wanita justru sebaliknya, karena baik aktivitas maupun minat seksualnya tidak berubah, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pria.68Dorongan seks laki-laki sekurang-kurangnya diukur berdasarkan kadar testosteron. Pada dasarnya dorongan seksual menetap pada usia 40-an atau 50-an. Laki-laki tetap mampu memproduksi sejumlah sperma yang memadai dan mampu melakukan hubungan intim sampai usia 60-an. Berbeda dengan laki-laki, perempuan pada usia di awal 40-an sampai 50-an tahun dapat terjadi menopause atau suatu keadaan di mana periode menstruasi berkurang bahkan berhenti sama sekali.69 Berdasarkan beberapa penelitian, saat mengalami menopause, hasratnya secara seksual dan aktivitas seksualnya dapat berpengaruh. Biasanya seorang perempuan kurang mempunyai daya tarik selama menopause, akibatnya perempuan kurang berhasrat untuk kontak seksual.70

Reed mengemukakan bahwa gejala menopause yang dialami perempuan dapat secara signifikan mempengaruhi kehidupan seorang wanita sehari-hari (juga seksualitasnya).

Krychman juga berpendapat bahwa dalam masa menopause, menipisnya dinding vagina berkurangnya penggunaan pelumas akibat berkurangnya hormon estrogen membuat hubungan seksual pada perempuan yang menopause sering tidak nyaman atau menyakitkan.

Seorang wanita juga akan membutuhkan waktu yang lama untuk terangsang. 71

Perbedaan dorongan seksual laki-laki dan perempuan juga tidak terlepas dari fakta bahwa pada dasarnya kebutuhan seks laki-laki dan perempuan berbeda. Kebutuhan seks perempuan pada umumnya kurang mendesak dan menekan dia sementara keinginan seksual laki-laki dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan biokimia di dalam tubuhnya. Hal ini membuat

68 Hurlock, Psikologi Perkembangan,421

69Monopouse adalah masa peralihan dalam hidup seorang wanita pada waktu kemampuan untuk mempunyai keturunan akan berhenti dan tubuhnya akan mengalami banyak perubahan kimiawi dan kejiwaan dan disertai dengan berhentinya haid. Salah satu gejala fisik dari monopouse adalah dorongan seks berkurang banyak. James Dobson, Dr. Dhobson Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan,130.

70Robert P. Maslan,Its All Aabout Sex, ,57-74

71Robert Crooks dan Karla Baur, Our Sexuality Twelfth Edirion, ( Wadsworth, Cengange Learning,2014), 72

(25)

44

seorang istri mungkin merasa sulit untuk memahami segi penumpukan nafsu seksual suaminya.72

Menurut Dobson, pria dan wanita sangat berbeda dalam menyatakan keinginan seks mereka. Penelitian akhir-akhir ini yang dicatat oleh Dobson kelihatannya menunjukkan bahwa intensitas kenikmatan dan kegairahan orgasme pada wanita dan ejakulasi pada pria itu kira- kira sama pada kedua jenis kelamin. Meskipun jalan yang menuju pada klimaks itu berlainan.

Kebanyakan orang laki-laki dapat lebih cepat terangsang daripada wanita. Apabila dorongan seksual seorang pria tidak terlampiaskan, dirinya akan mengalami tekanan fisiologis yang bertumpuk-tumpuk yang menghendaki kelepasan. Kedua kantung sperma lama-kelamaan menjadi penuh; pada waktu batas maksimum telah tercapai, maka pengaruh-pengaruh hormon membuat seorang pria sangat peka terhadap segala rangsangan seksual. Wanita tertentu yang biasanya tidak menarik baginya pada waktu dia telah dipuaskan, mungkin sangat merangsang baginya pada waktu keinginan seksnya sedang memuncak.73

Dorongan seksual laki-laki dan perempuan juga tidak terlepas dari fakta bahwa, seorang laki-laki dapat melakukan hubungan seksual dengan beberapa wanita yang berbeda dalam waktu bersamaan sedangkan laki-laki sulit melakukan hubungan seksual kembali dengan perempuan yang sama dalam jangka waktu berdekatan. 74Namun baik laki-laki maupun perempuan, terdapat kecemasan mengenai organ seksual terutama bagi laki-laki ketika gagal atau tidak dapat menyelesaikan tugas sesuai harapannya. Hal yang kemudian dilakukan adalah menciptakan harapan terhadap prestise akan dirinya. Laki-laki memiliki kerinduan untuk dapat membuktikan pada dirinya, pada perempuan yang dicintainya, pada perempuan atau laki-laki lain untuk menghidupkan penghargaan terhadapnya.75

72 Dobson, Dr. Dhobson Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan, 76.

73Dobson, Dr. Dhobson Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan, 76

74Yusak Setyawan, dalam perkuliahan Seksualitas, Agama dan Masyarakat pada 3 Maret 2021.

75 Funk, Cinta Seksualitass,127

(26)

45

Berkaitan dengan perilaku seksual laki-laki dan perempuan, meta-analisis yang dilakukan oleh Olive dan Hyde dari 177 artikel tentang perbedaan gender berkaitan dengan sikap dan perilaku seksual menyimpulkan bahwa laki-laki dilaporkan mempunyai sikap seksual yang lebih permisif dan frekuensi perilaku seksualnya lebih tinggi dibandingkan perempuan. Selain itu dengan pola asuh sebagian besar orang tua Indonesia yang cenderung masih dipengaruhi budaya patriarki juga mempengaruhi perilaku seksual mereka. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh latar belakang budaya dan faktor psikologi seperti dukungan sosial, kompetensi sosial, sosialisasi dan praktik pengasuhan. Dari laporan beberapa studi tentang aktivitas seksual bagi laki-laki dan perempuan, Torres menyimpulkan bahwa perilaku seksual laki-laki dan perempuan juga dipengaruhi oleh norma-norma budaya.76

2.4.4. Representasi Perempuan dari Pandangan Patriarki

Gambaran tentang perempuan dalam budaya patriarki dapat menjadi salah satu alasan terjadinya poligami. Focault mengemukakan histerisis tubuh perempuan antara lain, tubuh perempuan telah dianalisis-baik dikualifikasi maupun didiskualifikasi sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh seksualitas, serta tubuh perempuan telah dihubungkan secara organis dengan masyarakat misalnya tubuh perempuan harus menjamin kesuburan yang telah diatur, tubuh perempuan harus merupakan unsur substansial dan fungsional dalam keluarga dan kehidupan anak-anak yang diproduksinya harus dijaminnya, melalui suatu tanggung jawab biologis-moral yang dipikulnya:77 Focault juga berpendapat tentang hysterization of women’s body yang menginstruksi seolah perempuan terpusat pada rahim mereka.78

Sejumlah kesenjangan budaya, hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan juga mencerminkan perbedaan biologi nyata antarjenis kelamin. Melahirkan anak selalu merupakan pekerjaan perempuan, karena laki-laki tidak mempunyai rahim. Namun di

76Christina Hari Soetjiningsih, Disertasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual,173-176

77Michel Focault, Seks Kekuasaan,130

78 Walby, Teorisasi Patriarki, 174

(27)

46

sekeliling inti universal yang keras itu, setiap masyarakat menempatkan lapis demi lapis gagasan dan norma budaya yang nyaris tidak ada hubungannya dengan biologi. Masyarakat mengaitkan berbagai sifat dengan maskulinitas dan feminitas yang sebagian besarnya tidak memiliki dasar biologis yang kukuh. 79 Ketika perempuan tidak dapat melahirkan keturunan maka mereka harus siap menerima berbagai akibat salah satunya poligami.

Sadawi berpendapat bahwa umumnya perempuan lebih memilih dipoligami daripada diceraikan dengan alasan mereka memikirkan masa depan anak. Terdapat sebuah ketakutan dari perempuan setelah bercerai karena perempuan akan dikepung oleh kedudukannya yang sulit seperti menanggung beban dan tanggung jawab mengasuh dan merawat anak-anaknya setelah berpisah dengan suaminya. Hal ini meliputi kedudukan yang rendah, perasaan tanggung jawab keibuan yang dibebankan kepadanya oleh masyarakat, ketakutannya terhadap kecaman dari orang-orang di sekitarnya karena masyarakat bersikap lebih keras terhadap wanita yang menelantarkan anaknya. 80

Di Indonesia, politik budaya patriarki juga terlihat dalam sembilan butir Surat Candrarini sehubungan dengan hakikat perempuan: 1. Setia pada lelaki, 2. Rela dimadu, 3. Mencintai sesama, 4.Terampil pada pekerjaan wanita, 5. Pandai berdandan dan merawat diri, 6. sederhana, 7. Pandai melayani kehendak suami, 8.menaruh perhatian pada mertua, 9. Gemar membaca buku yang berisi nasihat. Walaupun ajaran ini berasal dari budaya Jawa, tetapi ajaran ini mempengaruhi pemikiran mayoritas masyarakat Indonesia. Ajaran ini juga semakin memperkuat ideologi seksualitas yang menekankan pada kewajiban perempuan sebagai pelayan suaminya. Hal ini perlu ditegaskan mengingat hampir semua budaya-budaya lokal Indonesia juga bersifat patriakal. Pengaruh budaya ini ditengarai sebagai salah satu

79Harari,Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia Hal 174

80 Nawal L. Sadawi,Perempuan dalam Budaya Patriarki, (Yogayakarta;Pustaka Pelajar), 406

(28)

47

pendorong yang sangat kuat pada pembentukan ideologi yakni ideologi patriarki atau setidaknya mendukung dan melestarikan budaya patriarki.81

Berkaitan dengan representasi perempuan dalam budaya patriarki, pada beberapa budaya atau tradisi perempuan yang mempunyai daya pikat sensual seperti menggoda/ merangsang, seperti dengan istilah-istilah yang dipakai oleh laki-laki adalah aku tertarik, aku terpesona, aku tergoda, aku terpikat oleh kecantikan, maka dalam banyak tradisi kekuatan perempuan yang menggoda secara sensual dikontrol dan diperjualbelikan. Dalam tradisi-tradisi yang ada, secara universal hubungan seksualitas mengehendaki laki-laki untuk aktif sedangkan perempuan lebih pasif. Ini dianggap sebagai kewajaran, atau bersifat kodrati atau alamiah.82 Dengan demikian, beragam realita yang dialami oleh perempuan masa kini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pandangan tentang perempuan yang telah ada sejak dulu dan terus berkembang hingga saat ini. Dalam banyak masyarakat, perempuan hanyalah harta milik laki- laki, paling sering ayah, suami, atau saudara laki-laki. Menjadi suami berarti memegang kendali penuh atas seksualitas istri. 83

2.5. Poligami Dalam Perspektif Kualitas Cinta Personal dan Cinta Sebagai Aktualisasi Diri Agustinus mengakui bahwa keadaan perkawinan yang paling agung adalah saling mencintai tanpa memanfaatkan dalam perkawinan. Untuk membela perkawinan Agustinus sangat menekankan tiga nilai perkawinan antara lain kebaikan anak cucu (pro kreasi dan pengasuhan anak-anak), kebaikan dari kesetiaan satu sama lain (kesucian perkawinan yang sepenuhnya bebas dari hasrat seksual dan tidak adanya perzinahan) dan akhirnya sebagai kebaikan sakramen sehingga tidak dapat diceraikan.84 Dalam pandangan Agustinus, poligami bukan merupakan bagian dari nilai perkawinan yang sesungguhnya, karena itu diperlukan

81Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat,79-80.

82Setyawan, Seksualitas dalam Agama dan Masyarakat, 75-76

83 Harari,Sapiens Riwayat Singkat Umat Manusia, 173

84 Jeanne Bechher “Perempuan,260

(29)

48

cinta sebagai dasar dari sebuah perkawinan. Fromm menyatakan bahwa cinta adalah salah satu cara yang konstruktif untuk membangun relasi dengan orang lain.85

Pada bagian ini penulis akan membahas tentang poligami dalam perspektif kualitas cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri. Kualitas cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri didasarkan atas relasi yang penuh dengan cinta yang konstruktif dan adil. Sementara poligami adalah sebuah sistem perkawinan yang dicirikan sebagai hubungan yang bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Dengan demikian, pada bagian ini penulis akan membahas dua perspektif tentang cinta yaitu kualitas cinta personal dan cinta sebagai aktualisasi diri sebagai dasar hubungan suami istri sehingga poligami menjadi hal yang akan sangat dihindari.

2.5.1. Kualitas Cinta Personal

Poligami merupakan persoalan seksualitas sehingga untuk mengetahui alasan poligami dilakukan maka tidak dapat dipisahkan dari pandangan tentang seksualitas. Suban Tukan berpendapat bahwa dalam kualitas cinta personal, pengenalan, penyesuaian diri, keserasian, kebersamaan merupakan unsur yang memberikan warna pada nafsu kelamin, alat kelamin, gairah seks, naluri seks maupun sejenisnya. Seksualitas hanya bermakna dan bersifat manusiawi kalau menjadi sarana ungkapan cinta personal dengan seluruh dampaknya. Dengan demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pasangan yang ingin menghayati dan mengamalkan seksualitas atas cara yang benar-benar membahagiakan secara manusiawi antara lain;

a. Seksualitas bukanlah perangkat yang digunakan untuk mencapai kenikmatan atau kepuasan seksual jasmani saja. Seksualitas harus terarah pada kebersamaan hidup dalam ikatan yang ingin saling membahagiakan.

85Bidharjo, Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir, 63-64.

(30)

49

b. Cinta personal yang bersedia membahagiakan dan berkorban dapat membuahkan keturunan. Oleh karena itu, tidak adanya keturunan tidak boleh menjadi halangan diteruskannya hubungan cinta personal antara suami-istri.

c. Hubungan kekelaminan merupakan ikatan yang mempererat kesatuan. Hubungan ini harus merupakan suatu ungkapan cinta personal yang terbina dengan baik antara suami istri. Jika tidak maka hubungan kekelaminan akan dialami sebagai pelampiasan nafsu pihak yang satu terhadap pihak yang lain dan sekaligus merendahkan martabat pribadi kedua belah pihak.

d. Hubungan kekelaminan selalu harus dikitari iklim cinta personal yang sejati dan gairahnya lambat laun harus diganti dengan suasana kebersamaan dan membahagiakan. 86

Dengan demikian dalam pandangan kualitas cinta personal, poligami tidak akan mungkin dilakukan sekalipun terdapat berbagai tantangan dalam perkawinan, misalnya tidak adanya keturunan. Suami dan istri umumnya dapat memahami setiap tantangan tersebut dan mereka mampu menerima kekurangan dari masing-masing pasangan. Hal ini dikarenakan kualitas cinta personal dicirikan dengan sebuah ikatan kebersamaan dan persatuan untuk saling memahami dan membahagiakan.87 Dengan kata lain kualitas cinta personal hanya bisa dilakukan dalam pernikahan monogami. Karena seksualitas dalam segi jasmani manusia diangkat ke tingkat yang lebih tinggi. Mencari kepuasan seks jasmani lepas dari pasangannya yang sah maka tidak sejalan dengan tujuan seksualitas dalam kehidupan manusia. Seksualitas dalam rangka kebersamaan cinta personal juga tidak dapat dihayati atas cara yang membahagiakan, kalau seksualitas dijadikan sarana untuk mengungkapkan cinta kepada lebih dari satu orang sekaligus dalam hal ini pernikahan/perkawinan yang ideal terjadi hanya antara

86 Tukan, Etika Seksual dan Perkawinan,xiii-xix.

87Tukan, Etika Seksual dan Perkawinan,xix

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Alqashan (2008), program pelatihan dipandang lebih menguntungkan dibandingkan dengan sesi konseling konvensional karena beberapa alasan, yaitu: (1)

Menurut Irawan menjelaskan bahwa proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi

Dalam konteks pembangunan usaha ekonomi skala besar itu yang terjadi Dalam konteks pembangunan usaha ekonomi skala besar itu yang terjadi kemudian adalah

Hubungan tingkat Konsumsi Zat Gizi Dengan Status Anemia Pada Anak Sekolah Dasar di Daerah Endemis Malaria (Studi di SDN Ngreco III Kecamatan Tegalombo Kabupaten Pacitan). Jurnal

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa di Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas PGRI Semarang sudah memenuhi kriteria

Berdasarkan karakteristik pekerjaan sebagian besar responden (74%) memiliki pekerjaan sebagai petani. Sumber material adalah salah satu alat ukur untuk melihat

Kelurahan yang memiliki luas lahan terbesar yang masuk dalam kelas sangat sesuai yaitu Kelurahan Sorosutan dengan luas 130,94 Ha sedangkan yang paling sedikit yaitu Kelurahan