• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah (2003) menyatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Bentuk-bentuk kearifan local dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.

Lepo Lorun dalam bahasa daerah Sikka artinya rumah tenun (lepo = rumah, lorun = tenun). Kehadiran Lepo Lorun di Kabupaten Sikka – Flores NTT

setidaknya menjawab keprihatinan dan kerinduan masyarakat akan kain kain tenun asli buah karya dari Flores khususnya Kabupaten Sikka. Bahan – bahan alami dari serat kapas yang akan dijadikan benang dan pewarna alami yang sudah dilakukan sejak lama yakni hampir sepuluh abad yang lalu kini hadir kembali di sentra tenun ikat Lepo Lorun.

“Lepo (rumah) dalam konteks budaya setempat mengandung banyak arti serta fungsi yang berbeda - beda yakni ada rumah tinggal, ada rumah untuk menyimpan hasil panen atau lumbung, ada rumah untuk memelihara

(2)

hewan ternak, ada rumah rumah adat untuk berbicara adat serta rumah untuk aktivitas tenun.”1

Kain tenun ikat memiliki fungsi sebagai pakaian sehari-hari, kain tenun juga bagian dari adat budaya masyarakat Sikka, seperti mas kawin (belis) dan upacara-upacara adat orang Sikka. Kain tenun biasa dipakai untuk sarung perempuan (taun), sarung pria (lipa) dan ikat kepala (lensu). Pesan moral edukatif tentang kain tenun dalam adat budaya Sikka adalahAtaDu’a utan(g)ling labu welin(g) “kain sarung dan baju setiap wanita haruslah bernilai dan berharga.

Perempuan Sikka yang bermartabat adalah menjunjung tinggi tradisi adat dan budayanya. Menenun merupakan warisan tradisi adat yang dilakukan secara turun temurun oleh para perempuan Sikka dan Flores pada umumnya.

Menenun merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan dan mejadi tolak ukur kedewasaan seorang perempuan. Seorang perempuan dikatakan dewasa dan diperbolehkan menikah apabila sudah bisa menenun dengan trampil dan mampu menghasilkan tenunan dengan baik, karena ketika seorang perempuan dilamar atau dipinang oleh laki – laki maka ia wajib memberikan kain hasil tenunannya sebagai balasan atas mahar mas kawin yang telah diberikan oleh laki – laki. Oleh karena itu kain tenun mempunyai posisi tawar yang sangat penting dalam adat istiadat perkawinan dan ritual adat lainnya dalam masyarakat Sikka.

Namun seiring dengan peningkatan teknologi dan modernisasi, pembuatan kain tenun ini mulai kurang diminati oleh generasi muda khususnya perempuan muda suku Sikka. Hal ini perlu lebih dicermati karena kearifan lokal tersebut

(3)

mengandung banyak nilai-nilai yang masih sangat relevan dengan kondisi seperti ini. Seharusnya lebih dilestarikan, diadaptasi, dan dikembangkan menjadi yang lebih baik. Masyarakat luar berbondong-bondong mempelajari tahapan dalam pembuatan kain tenun, sedangkan masyarakat suku Sikka pun kurang antusias dalam menjaga kearifan local tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut, maka tulisan ini membahas lebih lanjut mengenai nilai-nilai kearifan local khususnya pada kain tenun dalam hubungannya dengan tiga aspek yaitu aspek lingkungan, social dan juga aspek ekonomi serta relevansinya dengan kehidupan masyarakat guna melestarikan dan menjaga keberlanjutan dari kain tenun khas suku Sikka tersebut. Dalam penulisan ini tujuan yang dicapai adalah untuk mengetahui hubungan kain tenun ikat dengan fungsi ekologi serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kearifan lokal suku Sikka khususnya kain tenun ikat, yang juga digunakan sebagai upaya dalam menjaga eksistensi kain tenun ikat ini sebagai salah satu kearifan lokal.

Kain tenun ikat khas Flores adalah satu dari sekian banyak produk budaya tradisional khas Indonesia yang dibuat secara tradisional namun bernilai seni tinggi dan indah. Proses pembuatan produk warisan budaya khas pulau di bagian timur Indonesia ini melewati sejumlah proses yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun ikat dimana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional dan manual serta menuntut ketekunan dan kesabaran tinggi.

(4)

Setidaknya ada 45 tahapan proses dalam pembuatannya dan membutuhkan waktu yang cukup lama, kurang lebih sembilan bulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat memanjakan mata dan diapresiasi peminatnya dengan transaksi jual beli. Proses pembuatan tenun ikat khas Flores diawali dengan memisahkan kapas dari biji, memintal kapas tersebut menjadi benang, mengikat motif, proses pewarnaan dan terakhir adalah menenun. Seluruh proses pembuatan tenun ikat khas Flores ini menggunakan bahan tradisional mulai dari bahan baku sampai alat-alat khusus yang digunakan untuk memisahkan kapas dari bijinya termasuk untuk menggulung benang yang sudah dipintal.

Dalam mewarnai benang, para penenun masih menggunakan pewarna tradisional yang didapatkan dari alam. Misalnya dengan menggunakan beberapa jenis tumbuhan, seperti daun dan akar mengkudu (warna merah), daun nira (warna biru), kayu pohon hepang, kunyit (warna kuning), loba, kulit pohon mangga, kulit pohon cokelat, serbuk kayu mahoni tarum, zopha, kemiri, dan masih banyak lagi.

Pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan warna yang khas.

Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan.

Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.

Beberapa daerah di Flores merupakan sentra penghasil kain tenun ikat, di antaranya adalah Maumere, Sikka, Ende, Manggarai, Ngada, Nage Keo, Lio, dan Lembata di bagian timur Flores. Setiap daerah atau etnis memiliki ragam motif, corak dan preferensi warna yang berbeda-beda dalam membuat kain tenun ikat.

(5)

Keragaman tersebut merupakan bentuk pengejawantahan simbol-simbol yang merepresentasikan etnis, adat, religi, dan hal lainnya dari keseharian masyarakat Flores.

Kain tenun khas daerah Sikka misalnya, biasanya selalu menggunakan warna gelap seperti hitam, coklat, biru, dan biru-hitam. Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas, yaitu motif okukirek yang berdasarkan kisah tentang nenek moyang sub-etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung. Figur nelayan, sampan, udang, atau kepiting menjadi ciri khas bagi kain jenis motif ini. Terdapat pula jenis motif mawarani yang dihiasi dengan corak bunga mawar. Konon, motif ini merupakan motif khas yang khusus diperuntukkan bagi putri-putri Kerajaan Sikka. Motif ini kini menjadi favorit kaum perempuan.

Sementara itu, tenunan di daerah Ende banyak menggunakan warna cokelat dan merah serta memadukannya dengan ragam hias motif bergaya Eropa.

Hal ini karena letak strategis Ende di pesisir selatan Flores yang memungkinkan orang-orang Ende zaman dahulu mudah berhubungan dengan bangsa pendatang, seperti orang Eropa. Ciri khas lain motif kain tenun ikat Ende adalah penggunaan hanya satu jenis motif pada bidang di tengah-tengah kain.

Di kalangan sub-etnis Lio, terdapat motif yang langka yang disebut omembulu telu (tiga emas). Menurut kepercayaan masyarakat lokal, kain tenun

motif ini dapat membuat pemiliknya menjadi kaya raya. Lio merupakan salah satu daerah yang menonjol dalam hal pembuatan kain tenun ikat karena terbilang halus dan rumit. Jenis motif kain tenun ikat Lio mendapat pengaruh dari kain patola India yang dibawa oleh pedagang dari Portugis di abad ke-16 sebagai komoditi

(6)

barter dengan rempah-rempah. Kain tenun ikat dengan motif patola bernilai tinggi sebab biasanya diperuntukkan bagi raja-raja, pejabat, dan tokoh adat atau pendiri kampung. Mengingat kain ini sangat istimewa dan berharga, bahkan ikut dikuburkan saat seorang raja, pejabat atau bangsawan tersebut meninggal dunia.

Motif yang menjadi khas kain Lio adalah motif ceplok serupa jelamprang pada batik lalu dihiasi dengan motif dahan dan daun. Ciri khas motif tenun ikat Lio yang lain adalah bentuk geometris, manusia, biawak, dan lainnya yang biasanya berukuran kecil dan disusun membentuk jalur-jalur berwarna merah atau biru di atas dasar kain yang berwarna gelap. Kain tenun ikat khas Manggarai dan Ngadacenderung menggunakan warna-warna terang seperti hijau, merah, putih, atau kuning (emas). Diperkirakan kecenderungan terhadap pemilihan warna cerah ini mendapat pengaruh dari tenun ikat Sumba dan Sumbawa.

Pada zaman dahulu, tenun ikat telah digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat setempat sebagai simbol status, kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan bagi pemakainya. Belakangan simbol-simbol ini semakin memudar apalagi kini kain tenun ikat juga menjadi komoditi khas Flores yang diperdagangkan secara luas.

Kain tenun ikat sendiri biasa dipakai masyarakat berbagai suku di Flores sebagai pelengkap busana, selain sebagai selendang atau sarung. Anak perempuan Flores yang beranjak remaja tidak boleh telanjang lagi. Wanita Flores yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde. Saat mereka hendak menikah maka haruslah mampu membuat kain ikatnya sendiri

(7)

untuk keperluan pernikahan atau untuk diberikan kepada calon mempelai pria—

sebagaimana aturan adat dahulu kala. Seiring perkembangan zaman, sepertinya budaya menenun sendiri kain ikat sudah mulai pudar. Remaja dan generasi muda yang mampu menenun kain ikat tradisional tak sebanyak dahulu. Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan bagi keberlangsungan produksi kain tenun ikat.

Terlebih lagi perkembangan zaman yang serba modern dan dinamis mendorong manusia untuk menikmati karya dan produk instan dengan cara yang instan pula. Mesin-mesin dibuat untuk memberi kemudahan produksi dan peningkatan produktifitas. Semua dilakukan serba cepat, praktis, dan mengandalkan mesin. Di satu sisi hal ini mengindikasikan kemajuan teknologi modern dalam hal kemajuan dalam penemuan mesin, produktivitas, nilai ekonomis, pendapatan, kuantitas, dan lainnya. Tetapi di sisi lain, proses menghasilkan karya atau produk secara instan dalam jumlah banyak ini membuat nilai sebuah produk menjadi biasa saja dan mainstream.

Terlepas dari hal tersebut, untungnya belakangan ini pamor produk lokal atau karya buatan tangan (handmade) berhasil mendapatkan gengsi tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat perkotaan; terutama mereka yang menghargai produk seni dan budaya tradisional. Kain tenun ikat dibuat tidak menggunakan mesin yang dapat menghasilkan banyak barang sekaligus dan seragam.

Karenanya, saat membeli selembar kain ikat, dapat saja itulah satu-satunya yang ada di dunia. Tak ada barang hasil karya tangan yang persis sama. Terlebih lagi, kain tenun ikat dan barang handmade lainnya dibuat dengan mengandalkan

(8)

beberapa indera manusia yang tentunya tidak dimiliki sebuah mesin. Indera yang dibantu akal pikiran mampu menghasilkan potensi dan kreasi yang tak terbatas dalam menghasilkan sebuah karya bernilai seni tinggi.

Tenun ikat merupakan warisan budaya Indonesia yang harusdijaga kelestariannya, dan hampir semua daerah di Indonesia mempunyai hasil tenun ikat yang berbeda corak dan gaya, serta mempunyai arti dan filosofi tersendiri di setiap daerahnya. Tenun ikat khas Flores merupakan salah satu contoh hasil tenun ikat tertua di Indonesia dan mempunyai arti serta filosofi yang tinggi. Tenun ikat yang sudah berusia ratusan tahun ini sudah mencapai 245 motif sampai sekarang, dan malah sudah ada beberapa motif yang punah atau hilang.

Tenun ikat bagi kaum perempuan di Flores khususnya, dan Nusa Tenggara Timur umumnya, mempunyai makna tradisi bahwa seorang perempuan Flores sudah dapat dikatakan dewasa dan boleh menikah adalah apabila sudah pandai atau bisa menenun dengan baik, karena menenun itu membutuhkan waktu yang lama dan penuh kesabaran. Disitulah kedewasan dan kesabaran perempuan dinilai.

Bagi perempuan Flores, menenun juga merupakan harga diri dan harkat perempuan, karena menenun menjadi bekal wajib keterampilan bagi perempuan.

Selain untuk membantu suami mereka secara finansial, tenun ikat juga dijadikan sebagai mas kawin perempuan. Jadi perempuan menenun di Flores bukan hanya menghasilkan produk kerajinan yang dapat membantu mereka secara ekonomi, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap diri serta harkat dan martabatnya. Di luar makna tradisi Flores tentang perempuan dengan nilai kedewasaannya, ikat tenun

(9)

dapat membantu perempuan secara ekonomi, serta membuat mereka menjadi produktif dan berguna bagi lingkungannya.

1.2. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian pada sentra tenun ikat Lepo Lorun di desa Nita Kecamatan Nita kabupaten Sikka – Flores NTT. Fokus penelitian diaarahkan pada strategi digunakan oleh sentra Lepo Lorun dalam mengkomunikasikan tenun ikat sebagai salah satu kearifan lokal untuk dunia.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah bagi penelitian ini adalah apa makna yang terkandung dalam motif kain tenun ikat serta strategi atau model komunikasi yang digunakan sentra tenun ikat Lepo Lorun dalam mempertahankan tenun ikat sebagai budaya atau kearifan lokal.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada isi dan rumusan masalah penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang sudah dibahas sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui, menganalisis, dan menjelaskan makna pesan motif kain tenun ikat yang dimiliki Lepo Lorun sehingga dapat di komunikasikan untuk dunia.

(10)

1.5. Manfaat penelitian

1.5.1. Manfaat akademis

Memperkenalkan tenun ikat sebagai salah satu kearifan local yang penting dan wajib di pelajari di sekolah - sekolah baik tingkat dasar dan menengah demi menambah wawasan budaya dan adat istiadat daerah.Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana penerapan ilmu pengetahuan dan menambah kajian kepustakaan khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi FIKOM Mercu Buana Jakarta

1.5.2. Manfaat praktis

Mengajak masyarakat lokal untuk mencintai dan terus berkarya mempertahankan tenun ikat Flores sebagai warisan leluhur yang harus dijaga keasliannya dan bangga menggunakan produk tenun ikat daerah sendiri.Sebagai proses pembelajaran peneliti dalam menganalisis masalah mengenai analisis makna tanda dalam suatu kebudayaan dengan kajian analisis semiotika secara ilmiah.

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural

tekanan darah dengan mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, produk susu rendah lemak, membatasi asupan garam (<6 gram per hari) dan alkohol (tidak lebih dari 2 minuman

Tuhfah ar-Râgibîn yakni dalam kondisi pergolakan politik pada kerajaan Banjar dan pergolakan akidah serta masih lemahnya keakidahan masyarakat, maka tawaran Hassan

Ragam hias yang sangat banyak dari suku Melayu Riau biasanya digunakan dalam ukiran dan kerajinan tangan, dalam penulisan ini berkosentrasi pada perancangan dan pengembangan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

Dengan kata lain, “sehat-sakit” berupa keseimbangan antara badan (body), pikiran (mind), dan jiwa (spirit). Apabila tidak terjadi kesimbangan antara body-mind-spirit maka terjadilah

Dalam pemeriksaan ini didapatkan adanya peningkatan spesifisitas (dibanding-kan dengan pemeriksaan tumor marker tunggal) yang berguna sebagai alat diagnosa,

Hasil penelitian uji pengaruh variabel diferensiasi citra terhadap minat masyarakat menjadi muzakki tercermin dalam jawaban responden mengenai item pertanyaan 10,