• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN 1921-1945.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN 1921-1945."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN NAZISME DI JERMAN TAHUN

1921-1945

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh

PANZI AHMAD GOZALI

(0807010)

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun

1921-1945

Oleh

Panzi Ahmad Gozali

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Panzi Ahmad Gozali 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Maret 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

PANZI AHMAD GOZALI 0807010

DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP PERKEMBANGAN NAZISME

DI JERMAN TAHUN 1921-1945

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I,

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd NIP. 19570408 198403 1 003

Pembimbing II,

Dr. Encep Supriatna, M.Pd. NIP. 197601052005011

Diketahui Oleh

Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah,

(4)

ABSTRACT

This research is titled "THE IMPACT OF SOCIAL DARWINISM ON THE GROWTH OF NAZISM IN JERMAN YEAR 1921-1945". This paper is

based on the writer’s interest on the genocide of low societies mainly the Jaws and

(5)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “DAMPAK DARWINISME SOSIAL TERHADAP

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

UCAPAN TERIMA KASIH ...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan ...16

1.3 Tujuan Penelitian ...16

1.4 Manfaat Penelitian ...16

1.5 Sistematika Penulisan ...17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...20

2.1 Teori-teori yang Relevan ...20

2.1.1 Teori Insting atau Naluri ...20

2.1.2 Teori Ras ...29

2.2 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu dan Literatur tentang Darwinisme Sosial dan Nazisme di Jerman ...33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...48

3.1 Pendekatan ...48

3.2 Metode Penelitian ...50

3.3 Teknik Penelitian ...52

(7)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...68

4.1 Latar Belakang Darwinisme Sosial bisa Berkembang di partai Nazi Jerman ...68

4.2 Kondisi-kondisi yang Mendorong Darwinisme Sosial Berkembang di Partai Nazi Jerman ...83

4.3 Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman ...92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...112

5.1 Kesimpulan ...112

5.2 Saran ...115

DAFTAR PUSTAKA ...116

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Abad ke-20 merupakan abad yang penuh dengan konflik serta merupakan

abad kengerian untuk seluruh umat manusia di bumi ini. Di abad ini, telah terjadi

dua kejadian yang sangat mengguncang dunia, yakni Perang Dunia I dan Perang

Dunia II yang banyak menelan korban jiwa. Kengerian itu tidak akan lepas dari

paham-paham yang berkembang di masyarakat terutama paham yang dimiliki

oleh para pemimpin negara pada saat itu (Yahya, 2002: 1).

Isme-isme atau paham-paham yang mengguncang dunia seperti

komunisme, fasisme, kapitalisme dan sosialisme bermunculan di abad ke-20 ini.

Hal ini memperlihatkan persengketaan yang besar antara sistem totaliter yang

agresif dengan cara hidup yang bebas sehingga baik secara langsung ataupun

secara tidak langsung, paham-paham tersebut ikut ambil bagian dalam terciptanya

kengerian di abad ini. Pandangan ini berdasarkan pada pendapat Ebenstein.

Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi timbulnya proses sejarah dan

kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat dapat dianggap

berasal dari dan ide-ide yang besar juga. Dengan kata lain, ide-ide inilah yang

menjadi tenaga pendorong yang utama dalam sejarah sehingga ide tidak saja

menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya (Ebenstein, 2006: 4-5).

Fasisme adalah salah satu yang menonjol dari paham-paham yang

mengguncang dunia tersebut karena dianut oleh negara Jerman, Italia dan Jepang

dan menarik negara-negara di dunia ke dalam kancah perang yang paling

mengerikan di sepanjang sejarah umat manusia. Susilo mengatakan bahwa

Fasisme merupakan salah satu paham yang menyemai terjadinya PD II yang

menelan korban hampir 50 juta orang. Hitler dengan partai Nazinya yang

berhaluan ultranasionalis dan fasis, Kaisar Hirohito di Jepang ingin menguasai

(9)

melakukan gerakan fascio de combatimento yang bercita-cita membentuk Italia

Raya dengan mengusung fasisme pula (Susilo, 2009: 94-95).

Kata fasisme pada awalnya hampir tidak dikenal di masyarakat Eropa

sampai tahun 1920, namun menjadi dikenal ketika kata fasisme digunakan oleh

Benito Mussolini dari Italia sebagai nama gerakan revolusioner barunya. Kata

fasisme itu sendiri berasal dari bahasa Latin fasces yang berarti ikatan. Fasces

merupakan serumpun batang yang diikatkan di kapak sebagai tanda penghargaan

atas wewenang dan keadilan petugas hukum pada masa Romawi kuno (Purcell,

2000: 5).

George Mosse (Suhelmi, 2004: 333) memandang bahwa fasisme sebagai

manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan, sebagaimana yang dikemukakannya

bahwa:

Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual (individual freedom) dan kebebasan berpikir (freedom of

thought). Bagi orang yang menganut fasisme, ia merasakan kebebasan

justru dalam belenggu anti-kebebasan.

Kata fasisme sendiri sudah dikaitkan dengan keburukan-keburukan sifat

manusia. Wilkinson berpendapat bahwa “istilah fasisme telah dikaitkan dengan perlakuan yang kejam, sebuah sinonim bagi orang-orang yang mengombinasian

kebencian rasial dan menyukai kebrutalan dengan hasrat untuk mendapatkan

kekuasaan” (Wilkinson, 2005: 2).

Fasisme merupakan pemberontakan besar totaliter kedua setelah

komunisme terhadap cara hidup Barat yang liberal. Pengaturan pemerintahan dan

masyarakat di sebuah negara yang menganut fasisme dilakukan secara totaliter

oleh suatu kediktatoran partai-tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris,

dan imperialis (Ebenstein, 2006: 103).

Negara fasisme dipimpin oleh seorang diktator. Kediktatoran pada abad

ke-20 dibedakan menjadi seorang figur militer yang mendapatkan kekuasaan

(10)

mendapatkan kekuasaan mutlak di negaranya (Archer, 2007: 21). Sehingga

dengan berbagai cara, para diktator ini mempertahankan tambuk kekuasaannya

meski dengan menyingkirkan pesaingnya bahkan teror melalui polisi-polisi

rahasia serta penyiksaan terhadap rakyatnya sendiri. Meskipun demikian, ada

beberapa diktator yang baik seperti Tito dari Yugoslavia yang dianggap pahlawan

oleh sebagian besar rakyatnya (Archer, 2007: 27).

Diktator akan dianggap pemimpin yang baik jika mampu memimpin

negaranya ke arah kemajuan di berbagai bidang. Sesuai dengan pendapat

Machiavelli, penguasa Diktator menurut Machiavelli baik jika mampu membuat

negara yang dipimpinnya berkembang maju bahkan dengan menghalalkan segala

cara termasuk tindakan yang kejam (Suhelmi, 2004: 137).

Jerman adalah salah satu negara yang pernah menganut fasisme dan

dijadikan pedoman politik negaranya dari menjelang dan sampai berakhirnya

Perang Dunia II. Tokoh yang membawa Jerman menganut fasisme adalah tokoh

yang berada di posisi ke 35 dari seratus tokoh yang dianggap tokoh yang paling

berpengaruh dalam sejarah manusia menurut M. Hart, dialah Adolf Hitler sang

diktator ulung. Fasisme di Jerman juga terkenal dengan istilah nazisme.

Hitler sang diktator ulung membawa Jerman ke langit dengan buaian

ambisinya memurnikan ras Arya (bangsa Jerman) dan mampu membawa Jerman

mengungguli negara di Eropa di berbagai bidang di satu sisi. Tapi di sisi lain

membawa Jerman memasuki Perang Dunia II yang menyebabkan banyak korban

nyawa baik untuk bangsanya sendiri maupun bangsa lain. Fasisme di Jerman

berbeda dengan negara fasisme yang lain, fasisme di Jerman adalah yang paling

kejam, tapi yang paling populer (Ebenstein, 2006: 104).

Perilaku serta pemahaman kaum Nazi yang dipimpin oleh Hitler sang

diktator ulung inilah kemudian muncul istilah nazisme. Para penganut setia partai

Nazi serta anggota pelaksana kebijakan-kebijakan partai Nazi telah mengangkat

sebuah ideologi politik baru yang dikenal dengan istilah nazisme

(11)

29-7-2012). Pendapat ini memperlihatkan bahwa nazisme erat sekali kaitannya

dengan partai Nazi dan pemimpinnya Hitler.

Nazisme dapat ditelusuri dari pandangan-pandangan tokoh yang

membangunnya, yaitu Hitler dalam bukunya yang fenomenal, Mein Kampf

karena buku tersebut merupakan “kitab suci” kaum Nazi. Pendapat ini diperkuat

oleh pendapat Archer (2007: 193) yang berpendapat bahwa:

... Hitler menulis ujar-ujar propagandanya, Mein Kampf, satu kitab suci kaum Nazi. Dalam buku itu, ia penuh semangat menghimbau kutukan terhadap bangsa Yahudi dan Slavia; rencana ekspansi Jerman ke arah timur langsung menelan Rusia; kemudian menaklukan dunia yang akan membuat Jerman menjadi Pemimpin Dunia.

Partai Nazi pertama kali berdiri bernama partai Deutsche

Arbeiterpartei/DAP (Partai Buruh Jerman) bahkan ketika Hitler masuk ke dalam

partai ini pada Juli tahun 1921 namanya masih tetap DAP. Selang dua tahun Hitler

bergabung dengan partai Deutsche Arbeiterpartei/DAP (Partai Buruh Jerman), dia

berhasil mendapatkan posisi puncak di partai DAP dan mengubah nama partai ini

menjadi National Sozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) atau Partai

Nazi (Irwanto, 2008: 24).

Pambudi (Irwanto, 2008: 24-25) berpendapat bahwa partai Nazi di bawah

kepemimpinan Hitler memiliki visi politik yang jelas yakni ingin mengembalikan

martabat bangsa dan negara Jerman yang telah terinjak-injak karena kalah di

Perang Dunia I. Hitler juga memperjuangkan superioritas ras Arya, menjadikan

Jerman sebagai negara yang unggul serta berusaha menghancurkan bangsa-bangsa

yang dianggap bangsa rendahan.

Afiyanti (Irwanto, 2008: 25) berpendapat bahwa Hitler memasukan paham

dasar ke dalam partai Nazi yakni paham anti Yahudi, anti demokrasi, dan

kepercayaan terhadap kekuasaan mutlak. Hitler memberikan berbagai

keistimewaan terhadap mereka yang mendukungnya, mengancam kepada mereka

yang menentang, dan mengutamakan propaganda yang bersifat patriotik kepada

(12)

(SA) atau Pasukan Badai untuk menjaga keamanan dan stabilitas partai Nazi.

Selain itu, Hitler membentuk pasukan berkuda untuk menyerang dan menerobos

partai politiknya, membangun disiplin yang kaku serta sikap loyalitas penuh. Hal

ini memperlihatkan bahwa Hitler juga memasukan nuansa militerisme ke dalam

Partai Nazi.

Pendapat mengenai suasana militerisme yang dimasukan Hitler ke dalam

partai Nazi didukung oleh pendapatnya Archer. Archer (2007: 192) berpendapat

bahwa setelah Hitler menjadi pemimpin partai DAP, suasana semi militer

berkembang dalam partai tersebut dan mengubah namanya menjadi Partai Pekerja

Nasionalis Sosialis Jerman atau dalam bahasa Jerman disingkat menjadi Nazi.

Hitler menggunakan Pasukan Seragam Hitam Mussolini sebagai model seragam

partainya.

Hitler pun dengan tegas menganjurkan kebijakan di bawah satu komando

dalam memerintah negara. Ia berpendapat bahwa negara akan berdiri dan tetap

eksis jika menggunakan kebijakan sentralisasi yang keras dan tanpa ampun.

Kepatuhan dan kesetiaan harus ditekankan dengan penetapan sebuah prinsip

bahasa resmi yang seragam, serta negara harus dibekali dengan penerapan teknis

(Hitler, 2007: 85)

Hitler menilai bahwa perang adalah salah satu solusi untuk mendapatkan

tanah baru. Ia berpendapat bahwa ekspansi dan pendudukan adalah solusi yang

dianggap paling sehat serta memiliki keuntungan tak terbatas untuk mengatasi

masalah populasi rakyat Jerman dengan ruang hidup atau tanah, sebagaimana

yang diungkapkannya bahwa “penguasaan tanah baru untuk pemukiman akibat

membengkaknya populasi memiliki keuntungan tak terbatas, terutama jika kita

menengok dari masa kini ke masa depan” (Hitler, 2007: 150)..

Secara Sederhana, nazisme dapat dilihat sebagai sebuah perpaduan dari

berbagai ideologi dan kelompok yang memiliki kesamaan pendapat tentang

penentangan Perjanjian Versailles yang merendahkan bangsa Jerman. Kebencian

(13)

berada di balik perjanjian tersebut (http://id.wikipedia.org/wiki/Nazisme,

29-7-2012).

Purcell berpendapat bahwa komponen nazisme yang paling penting adalah

rasialisme dan anti-semitisme, sebagaimana yang dikemukakan oleh Purcell

(2000: 73) bahwa “ ... Sebagai hasil rasialisme umumnya dan anti-semitisme pada khususnya adalah komponen nazisme yang paling penting.”

Perihal komponen nazisme yakni rasialisme dan anti-semitisme juga bisa

dilihat di undang-undang Nurnberg yang disahkan oleh Hitler pada tanggal 15

september 1935 mengenai kewarganegaraan negara Reich Jerman hanyalah untuk

orang-orang yang berdarah Jerman dan mengenai perlindungan terhadap darah

Jerman dan martabat Jerman sehingga terjadi pemisahan antara Yahudi dan

Jerman asli (Nurcholis, 2007: 4).

Holocaust adalah salah satu kisah yang disebabkan oleh nazisme di Jerman

dan paling menyita perhatian umat manusia di dunia. Bangsa Yahudi dijadikan

kambing hitam atas kekalahan Jerman di Perang Dunia I serta kehancuran

ekonomi Jerman. Setelah Hitler berkuasa, kisah tragis Holocaust dimulai. Usaha

untuk memusnahkan bangsa Yahudi disebut sebagai solusi terakhir Nazi

dilaksanakan dengan membentuk sebuah pasukan khusus yang dinamakan

Einsatzgruppen. Pasukan ini telah membunuh satu juta lebih dari enam juta orang

Yahudi selama bertugas di Eropa Barat dalam Holocaust (Nurcholis: 2007: 4-5).

Kaum Yahudi dipekerjakan, dibiarkan kelaparan, ditembak atau dipukuli

sampai menghembuskan napas terakhir di dalam siksaan bahkan dibunuh dalam

eksperimen pseudo-medis. Jumlah korban berjumlah enam juta pun masih

perkiraan karena banyak yang dibawa langsung dari kereta ke kamar gas dan

kematian mereka tidak pernah dicatat secara statistik (Nurcholis, 2007: 6).

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa dilihat bahwa nazisme merupakan

cara pandang penganut setia serta pelaksana kebijakan-kebijakan partai Nazi yang

memiliki pandangan rasialisme dan anti-semitisme yang akut. Jika di ranah

(14)

(totaliter) dan memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Demi memberikan

ruang hidup yang cukup untuk bangsa Arya, solusi utamanya adalah dengan cara

penguasaan tanah baru dan ini mengarah kepada imperialisme dan kolonialisme

sehingga perang merupakan kebutuhan yang utama dalam perkembangan

peradaban bangsa Jerman. Bagi penganutnya, kepatuhan adalah sebuah kewajiban

sehingga perintah dari atasan harus dilaksanakan meskipun itu tidak sesuai dengan

kaidah kemanusiaan tetap akan dijalankannya. Hal ini terjadi karena diterapkan

nuansa militerisme di dalam partai Nazi.

Sebagai pelengkap dalam melihat ciri dari Nazisme, juga dapat melihat

pendapat dari Ebenstein. Menurut Ebenstein, ada tujuh ciri yang melekat dalam

pandangan fasisme. Pertama, ketidakpercayaan pada kemampuan nalar. Bagi

fasisme, keyakinan yang bersifat fanatik dan dogmatic adalah sesuatu yang sudah

pasti benar dan tidak boleh lagi didiskusikan. Terutama pemusnahan nalar

digunakan dalam rangka “taboo” terhadap masalah ras, kerajaan atau pemimpin.

Kedua, penyangkalan terhadap persamaan manusia pada dasarnya. Bagi fasisme

manusia tidaklah sama, justru pertidaksamaanlah yang mendorong munculnya

idealisme mereka. Bagi fasisme, pria melampaui wanita, militer melampaui sipil,

anggota partai melampaui bukan anggota partai, bangsa yang satu melampaui

bangsa yang lain dan yang kuat harus melampaui yang lemah. Jadi fasisme

menolak konsep persamaan tradisi Yahudi-Kristen (dan juga Islam) yang

berdasarkan aspek kemanusiaan, dan menggantikan dengan ideologi yang

mengedepankan kekuatan. Ketiga, kode prilaku yang didasarkan pada kekerasan

dan kebohongan. Dalam pandangan fasisme, negara adalah satu sehingga tidak

dikenal istilah “oposan”. Jika ada yang bertentangan dengan kehendak negara,

maka mereka adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam pendidikan mental,

mereka mengenal adanya indoktrinasi pada kamp-kamp konsentrasi. Setiap orang

akan dipaksa dengan jalan apapun untuk mengakui kebenaran doktrin pemerintah.

Keempat, pemerintahan oleh golongan terpilih (elite). Dalam prinsip fasis,

pemerintahan harus dipimpin oleh segelintir elite yang lebih tahu keinginan

(15)

adalah keinginan golongan elite. Kelima, sistem totaliter. Untuk mencapai

tujuannya, fasisme bersifat total dalam meminggirkan sesuatu yang dianggap

“kaum pinggiran”. Hal inilah yang dialami kaum wanita, dimana mereka hanya ditempatkan pada wilayah tiga K yaitu: kinder (anak-anak), kuche (dapur) dan

kirche (gereja). Bagi anggota masyarakat, kaum fasis menerapkan pola

pengawasan yang sangat ketat. Sedangkan bagi kaum penentang, maka

totaliterisme dimunculkan dengan aksi kekerasan seperti pembunuhan dan

penganiayaan. Keenam, Rasialisme dan imperialisme. Menurut doktrin fasis,

dalam suatu negara kaum elit lebih unggul dari dukungan massa dan karenanya

dapat memaksakan kekerasan kepada rakyatnya. Dalam pergaulan antar negara

maka mereka melihat bahwa bangsa elit, yaitu mereka lebih berhak memerintah

atas bangsa lainnya. Fasisme juga merambah jalur keabsahan secara rasialis,

bahwa ras mereka lebih unggul dari pada lainnya, sehingga yang lain harus

tunduk atau dikuasai. Dengan demikian hal ini memunculkan semangat

imperialisme. Ketujuh, fasisme memiliki unsur menentang hukum dan ketertiban

internasional. Konsensus internasional adalah menciptakan pola hubungan antar

negara yang sejajar dan cinta damai. Sedangkan fasis dengan jelas menolak

adanya persamaan tersebut. Dengan demikian fasisme mengangkat perang sebagai

derajat tertinggi bagi peradaban manusia. Sehingga dengan kata lain bertindak

menentang hukum dan ketertiban internasional (Ebenstein, 2006: 126-143).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa yang menjadi landasan

teoritis atau landasan pembenaran dari Nazisme? Berdasarkan literatur yang telah

penulis baca, yang paling dominan adalah teori Darwinisme Sosial sebagai

landasan pembenaran dari nazisme sehingga Darwinisme Sosial ambil bagian

dalam perkembangan nazisme. Meskipun demikian, pendapat ini masih asumsi

awal sehingga perlu ditindaklanjuti dengan aktivitas penelitian selanjutnya dalam

rangkaian penulisan karya ilmiah.

Mifflin berpendapat bahwa salah satu teori yang menginspirasi lahirnya

Nazisme di Jerman adalah teori Darwinisme sosial. Mifflin (Irwanto, 2008: 32)

(16)

Gagasan-gagasan politik Hitler yang tertuang ke dalam Mein Kampf terinspirasi dari teori Darwinisme Sosial internasional, yaitu berkeyakinan bahwa masyarakat seperti halnya spesies biologis berkembang dan maju melalui persaingan.

Bachtiar menjelaskan mengenai nazisme sebagai pengembangan dari

Darwinisme Sosial secara terperinci. Bachtiar (2006: 134-137) berpendapat

bahwa nazisme merupakan pengembangan dari program yang diusulkan oleh

Stoddard (membangun ras, multifikasi superior dan pembersihan ras lemah).

Kebijakan negara Jerman didasarkan pada teori ras Chamberlain (memberikan

warna mengenai nasionalistik, anti-semitisme dan penegakkan dokrin

pseudokuantitatif). Terlihat jelas sekali peranan Darwinisme Sosial di dalam

nazisme sehingga program dan pandangan nazisme hampir mendekati pandangan

Darwinisme Sosial. Programnya berupa kebijakan genetik pada perbaikan ras,

sterilisasi massa, dan membasmi sebuah genetika yang cacat dan kebijakan

imperialisme sebagai penjelmaan bahwa ras Arya harus memimpin dunia.

Pernyataan di atas juga diperkuat oleh Ahmad Suhelmi yang mengatakan

bahwa pandangan Chamberlain (tokoh Darwinisme Sosial) ikut ambil bagian

dalam mewarnai fasisme. Suhelmi (2004: 334) berpendapat bahwa “Akar-akar

filsafat fasisme bisa dilacak dalam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel,

Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzche, Marinetti, Oswald

Spengler, Chamberlain dan lain-lain.”

Peranan Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme dapat terlihat

dari cara pandang Hitler, tokoh yang membangun dan memerintah Nazi. Dia

berpendapat bahwa negara adalah sebuah organisme nasional dan

kebijakan-kebijakannya harus terletak sejalur dengan kehendak untuk melanggengkan

eksistensi spesies dan ras sehingga diperlukan pengorbanan dari setiap orang

bukan sikap egoisme. Jadi persyaratan untuk melanggengkan sebuah negara

adalah adanya perasaan yang berpadu berdasarkan persamaan sifat dan spesies,

dan kesediaan untuk mendapatkan semuanya dengan berbagai cara. Setiap bangsa

dan negara ada dalam perjuangan untuk pelanggengan dirinya, tapi jika kalah

(17)

lambat akan mati (Hitler, 2007: 164). Pendapat ini memperlihatkan bahwa Hitler

telah terpengaruhi oleh Darwinisme Sosial.

Silang pendapat atau bahkan bertolak belakang pasti sering terjadi. Ada

juga yang berpendapat bahwa Darwinisme Sosial bukanlah hal yang paling utama

dalam terciptanya nazisme di Jerman. Meski demikian, literatur-literatur tersebut

penulis anggap sebagai literatur pembanding literatur yang mendukung pendapat

penulis mengenai penelitian ini dan menjadi pelengkap dalam penelitian ini.

Wilkinson (2005: 40-59) berpendapat bahwa ada lima faktor yang

mempengaruhi adanya fasisme, di antaranya ialah pertama perasaan pahit dan

frustasi mendalam yang tersisa pada sejumlah negara sebagai hasil penyelesaian

persoalan teritorial pada Perang Dunia I, baik negara yang kalah maupun negara

yang menang perang seperti Italia. Kedua, faktor kondusif bagi perkembangan

fasisme adalah depresi, depresi ini bersifat lebih luas dari pada resesi ekonomi

sebelum atau selama perang berlangsung. Ketiga, faktor lembaga-lembaga

demokratis-liberal yang tidak memiliki landasan yang aman. Keempat, faktor

kecemasan yang meluas di antara kelas menengah dan menengah-bawah bahwa

pengambilalihan kekuasaan secara revolusioner oleh komunis akan terjadi di

negara mereka, setiap partai fasis yang berkuasa mampu memanfaatkan

kecemasan itu menjadi bencana yang besar. Kelima, meski kurang penting tapi

berarti adalah antisemitisme dan bentuk-bentuk rasisme, diskriminasi, serta

prasangka yang lain.

Sejalan dengan pendapat Wilkinson bahwa Darwinisme sosial kurang

dianggap penting dalam perkembangan fasisme. Ebenstein membagi latar

belakang adanya fasisme menjadi dua yaitu latar belakang sosial dan latar

belakang psikologis. Latar belakang sosial fasisme, Ebenstein mengatakan bahwa

syarat pertama fasisme lahir di negara yang telah mengalami demokrasi dan

industri, fasisme tidak mungkin lahir di negara-negara yang belum memiliki

pengalaman demokrasi sama sekali dan tidak akan berhasil juga di negara yang

(18)

perkembangan industri yang cukup maju, ada dua hubungan antara keduanya itu,

yakni teror dan propaganda fasisme memerlukan organisasi dan kemajuan

teknologi. Kedua, sebagai sistem mobilisasi permanen untuk perang, fasisme

memerlukannya untuk persediaan kecakapan dan sumber-sumber industri. Syarat

ketiga adalah depresi ekonomi (Ebenstein, 2006: 104-112).

Latar belakang psikologis, Ebenstein mengatakan bahwa gejala fasis

terletak pada kekuatan-kekuatan dan tradisi-tradisis sosial yang luas.

Perkembangan fasisme dilatarbelakangi oleh kecenderungan-kecenderungan

dalam kepribadian individu-individu dalam masyarakat. Pertama, kecenderungan

individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa dengan cita-cita dan

praktik-praktik kuno. Kedua, kpribadian yang kaku secara emisional dan kurang memiliki

imajinasi intelektual yang luas dan terbuka. Ketiga, individu memiliki watak

mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh sehingga ia akan merasa akan

dapat menghadapi persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut

memiliki kecenderungan loyalitas yang kuat pada kelompoknya sendiri sehingga

kadang individu tersebut merasa benar sendiri, yang lain salah. Kelima, ia

memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung kurang suka akan

kebebasan dan spontanitas dalam hubungan-hubungan kemanusiaan (Ebenstein,

2007: 116-119).

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Darwinisme Sosial itu?.

Yahya menjelaskan mengenai Darwinisme Sosial secara sederhana. Yahya

berpendapat bahwa Darwinisme Sosial itu sendiri ialah konsep Darwin mengenai

perjuangan ras-ras untuk kelangsungan hidup yang diterapkan di ranah sosial

(Yahya, 2004: 21).

Pada hakekatnya, inti dari Darwinisme Sosial itu adalah mengenai

perjuangan hidup yang terjadi karena kesenjangan antara pertumbuhan penduduk

dengan sarana-sarana hidup yang tersedia, sebagaimana dikemukakan oleh

(19)

bahwa perjuangan hidup merupakan akibat langsung dari tegangan yang semakin

meningkat antara pertumbuhan penduduk dan sarana-sarana hidup yang tersedia”.

Darwinisme Sosial memiliki keistimewaan yang berbeda dengan

evolusionisme yang merupakan landasan teoritisnya. Keistimewaan Darwinisme

Sosial itu adalah pandangannya mengenai konflik yang dianggap sebagai daya

dorong bagi perkembangan padahal menurut para penganut evolusionisme

tidaklah benar (Laeyendecker, 1983: 216).

Konsep-konsep evolusionisme Darwin yang berpengaruh terhadap

terbentuknya Darwinisme sosial ada tiga, yakni pertama mengenai bermacam

jenis organisme di muka bumi ini dianggap tidak langsung serempak ada

melainkan merupakan proses perkembangan selama ratusan juta tahun. Berbagai

macam jenis organisme yang ada di muka bumi merupakan hasil dari

proses-proses adaptasi, perubahan dan evolusi. Kedua, perubahan dan evolusi yang

terjadi bukan mengarah ke sebuah tujuan yang telah dirancangkan dan ditetapkan

sebelumnya melainkan adaptasi kepada lingkungan yang dipengaruhi oleh

faktor-faktor kebetulan material. Ketiga, empat konsep yang digunakan untuk

menjelaskan berlangsungnya proses evolusi yakni struggle for life (persaingan

dan perebutan perihal tempat, iklim yang cocok dan zat-zat tertentu antar

organisme untuk memenuhi kebutuhannya agar tetap hidup dikarenakan

kelangkaan dan kekurangan), survival of the fittest (organisme-organisme yang

lemah atau tidak tepat guna akan mati menghilang karena kalah bersaing), natural

selection (seleksi alam), progress (perubahan dan peningkatan mutu semua

organisme yang diakibatkan oleh seleksi alam). Keempat konsep inilah yang

mengilhami lahirnya Darwinisme Sosial sehingga kehidupan bersama dipandang

sebagai medan peperangan dan adu kekuatan, di mana semua pihak saling

bersaing dan perubahan sosial dianggap hasil dari survival of the fittest dan seleksi

alam (Veeger, 1990: 47-48).

Adnan Oktar (Harun Yahya) memandang Darwinisme merupakan dasar

(20)

dunia seperti fasisme, komunisme dan menjadi cikal bakal terjadinya Perang

Dunia I dan Perang Dunia II yang menelan korban jiwa hampir 350 juta. Selain

itu, menyebabkan hampir satu juta orang lumpuh, jutaan anak menjadi yatim piatu

dan yang paling terburuk adalah Darwinisme telah merenggut cinta dan kasih

sayang dari hati masyarakat (http://id.harunyahya.com/id/works/24911/

darwinisme-telah-merebut-cinta-dan-kasih-sayang-dari-hati-masyarakat, 7 juli

2012).

Perihal istilah Darwinisme Sosial terdapat hal yang menarik. Bachtiar

(2006: 129) berpendapat bahwa istilah Darwinisme Sosial sesungguhnya tidaklah

tepat karena sebenarnya Darwin sendiri bukanlah seorang Darwinis-Sosial karena

tidak menerapkan masalah-masalah seleksi alam ke dalam peradaban bangsa.

Darwin hanya menyimpulkan hal-hal yang biasa saja.

Pendapat senada mengenai istilah Darwinisme Sosial dikemukakan pula

oleh Veeger. Veeger (1990: 47) berpendapat bahwa “Darwin sendiri sebenarnya

tidak membicarakan soal-soal kehidupan sosial dan tidak menerapkan

hukum-hukum biologi pada bidang lain”.

Berbeda dengan pendapat yang diutarakan oleh literatur ini, Darwin

(Nazsir, 2009: 1-2) berpendapat bahwa terdapat kesamaan antara alam flora dan

fauna dengan manusia yakni perihal perkembangan dari keadaan yang lebih

sederhana ke arah yang lebih modern dan serba rumit atau kompleks sebagai hasil

dari persaingan yang begitu ketat dan kejam. Kenyataan ini terdapat di

tengah-tengah kehidupan sosial, pihak yang lemah akan selalu dikalahkan atau

disingkirkan oleh pihak yang lebih kuat tanpa memiliki belas kasihan. Pendapat

ini memperlihatkan bahwa ternyata Darwin telah menerapkan teorinya ke dalam

ranah sosial. Namun penulis tidak akan membahas pertentangan pendapat ini

lebih lanjut karena digunakan hanya sebagai pelengkap kajian ini saja.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah sebenarnya siapa yang pertama

kali mendirikan Darwinisme Sosial?. Laeyendecker (1983: 216) berpendapat

(21)

berkat Spencer yang merupakan kekuatan pendorong di belakang teori evolusi

dengan pendapatnya mengenai perjuangan hidup. Meskipun demikian,

karya-karya Darwin pun sangat mempengaruhi terbentuknya Darwinisme Sosial.

Sjamsuddin (2007: 164) berpendapat bahwa Darwinisme sosial dicetuskan

pertama kali oleh pengikut setia dari teori Darwin yakni Herbert Spencer.

Menurutnya, persaingan antara individu, perusahaan, bangsa-bangsa, menjamin

survival of the fittest (yang dapat bertahan hidup adalah yang paling sesuai) dan penindasan atau penyingkiran yang “tidak cocok atau kuat” (unfit), kecuali jika

dihambat oleh kendala-kendala buatan tertentu pada proses “seleksi alam”

(natural selection).

Pendapat-pendapat di atas diperkuat lagi dengan pernyataan Nazsir. Ia

mengelompokkan Herbert Spencer sebagai tokoh yang mengembangkan teori

Evolusi Darwin ke ranah sosial (Nazsir, 2009: 2).

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan mengenai Darwinisme Sosial ini

sangat penting untuk diteliti. Selain asumsi dasar mengenai Darwinisme Sosial

dijadikan pembenaran serta pedoman dari nazisme, juga karena akan dapat

menjawab kenapa kaum yang menganut nazisme dapat melakukan kebrutalan luar

biasa seperti pemusnahan massal bangsa Yahudi dan bangsa rendahan lainnya

serta menyemai perang dunia yang banyak menelan korban jiwa manusia karena

konflik dianggap sebuah keharusan untuk kemajuan suatu peradaban sehingga

dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk manusia yang hidup sekarang agar

dapat saling menghargai perbedaan dan menjaga perdamaian baik dalam negeri

maupun antar negara. Selain itu, agar tidak terjadi determinisme rasial, sebuah

pandangan yang membedakan ras manusia karena bentuk fisik, warna kulit dan

lain-lain dan dipandang lebih rendah dan lebih tinggi, padahal yang kita pahami

bahwa manusia itu semua sama di hadapan Tuhan.

Darwinisme Sosial merupakan salah satu iklim intelektual yang mewarnai

abad ke-19. Darwinisme Sosial mendukung ekspansi bangsa-bangsa Eropa ke

(22)

Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme dapat mencegah kedua

paham ini kembali mewarnai dunia intelektual masa kini dan tidak lagi digunakan

sebagai pembenaran konflik di masyarakat untuk bertahan hidup dan yang paling

terburuk adalah ketika cinta dan kasih sayang di masyarakat hilang.

Darwinisme sosial mengajak anggota masyarakat bahkan negara untuk

bersaing dengan satu sama lain, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suparman

dan Malian (2003: 41) bahwa:

... Paham ini mengajak individu, kelompok sosial, etnis dan agama serta negara untuk berkompetisi satu sama lain, sehingga paham ini memperkuat pemikiran-pemikiran kapitalisme, rasisme dan nasionalisme yang telah berkembang sebelumnya.

Adanya persaingan di satu sisi memang akan mengembangkan sebuah

kemajuan di masyarakat karena akan menjadi daya pendorong untuk berkreasi dan

berkarya demi mempertahankan hidup sehingga akan menciptakan kemajuan

peradaban manusia. Namun di sisi lain, jika persaingan tersebut malah membuat

rasialisme menguat, yang lemah bukan ditolong malah disingkirkan dan

persaingan tersebut berbuah konflik di masyarakat baik antar individu, antar kelas

sosial, antar golongan bahkan antar negara, tentu ini adalah sisi negatif yang harus

dihindari. Terutama di Indonesia yang memiliki berbagai suku bangsa di

dalamnya, dengan mengkaji permasalahan ini secara arif bijaksana akan menjaga

keutuhan dan kesatuan NKRI.

Permasalahan ini juga menurut penulis perlu untuk diteliti selain dari

alasan di atas juga karena sejauh yang penulis tahu belum ada yang membahas

secara mendalam mengenai dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan

nazisme di Jerman tahun 1921-1945, maka dari itu penulis berminat untuk

menelitinya.

Atas dasar asumsi itulah penulis tertarik untuk menulis skripsi tentang

(23)

1.2. Rumusan Masalah

Masalah utama yang akan diteliti adalah mengenai Dampak Darwinisme

Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Untuk lebih

menjelaskan, serta memfokuskan masalah yang akan diteliti, maka penulis

membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi

Jerman ?

2. Kondisi-kondisi apa yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai

Nazi Jerman?

3. Bagaimana dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di

Jerman tahun 1921-1945 ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan Bagaimana latar belakang paham Darwinisme Sosial bisa

berkembang di partai Nazi Jerman.

2. Mendeskripsikan Kondisi-kondisi apa saja yang mendorong Darwinisme Sosial

berkembang di partai Nazi Jerman.

3. Menganalisis dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di

Jerman tahun 1921-1945.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai Dampak Darwinisme Sosial

terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945 terdapat beberapa

manfaat yang dirasakan oleh penulis serta diharapkan penulis untuk pembaca

juga. Adapun manfaat itu ialah:

1. Memperkaya kazanah keilmuan sejarah terutama materi sejarah mengenai

isme-isme di dunia yang ada di materi SMA serta memperkaya materi

mengenai sejarah pemikiran terutama pemikiran Barat dan mungkin

(24)

2. Sejalan dengan manfaat di atas, SK-KD yang berkaitan tentang penelitian ini

adalah sebagai berikut: SK tentang menganalisis perkembangan bangsa

Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang.

KD tentang menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru

dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan bangsa.

3. Memberikan konstribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai

dasar falsafah terciptanya fasisme yang luput dari penulisan sejarah terutama

fasisme di Jerman yang dikenal dengan Nazisme.

4. Memberikan konstribusi terhadap pengembangan penelitian sejarah mengenai

Darwinisme Sosial, karena dengan mempelajari Darwinisme Sosial akan bisa

menjawab berbagai peristiwa sejarah yang mengguncang dunia seperti di

Perang Dunia I dan Perang Dunia II karena Ebenstein mengatakan bahwa

Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi timbulnya proses sejarah dan

kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan teknologi masyarakat dapat

dianggap berasal dari dan ide-ide yang besar juga. Dengan kata lain ide-ide

inilah yang menjadi tenaga pendorong yang utama dalam sejarah sehingga ide

tidak saja menimbulkan peristiwa tapi juga mencerminkannya (Ebenstein,

2006: 4-5).

5. Mengajarkan tentang ketidakbaikan akan rasialisme, perang, tindakan

pemaksaan disertai perlakuan kasar terhadap orang lain sehingga akan tercipta

sikap saling menghargai dan memahami perbedaan di dalam masyarakat baik

di Indonesia maupun di dunia.

6. Untuk penulis sendiri, diharapkan menambah wawasan mengenai Dampak

Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun

1921-1945 sehingga penulis mampu untuk memberikan pemahaman kepada siapa

yang mau memahami kajian ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini tersusun menurut sistematika dalam penulisan karya

(25)

Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2011 dan juga tahun 2012.

Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah yang

menguraikan Dampak Darwinisme Sosial terhadap Perkembangan Nazisme di

Jerman Tahun 1921-1945. Untuk memperinci dan membatasi permasalahan agar

tidak melebar maka dicantumkan rumusan masalah sehingga dapat dikaji secara

khusus dalam penulisan ini. Setelah itu, ada tujuan penelitian yang berfungsi

untuk menyajikan hasil yang ingin dicapai setelah penelitian selesai dilakukan

sehingga kesesuaian antara tujuan penelitian dengan rumusan masalah adalah

sangat penting. Selanjutnya adalah manfaat penelitian dan dilanjutkan dengan

sistematika penulisan yang akan menjadi kerangka dan pedoman penulisan karya

ilmiah ini.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini berisikan tentang penjabaran mengenai

literatur-literatur yang berkaitan dengan judul Dampak Darwinisme Sosial

terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Selain itu juga

dijabarkan pula mengenai kajian dan penelitian terdahulu yang pernah membahas

mengenai masalah yang ditulis penulis agar terlihat aslikah karya yang dibuat

penulis atau plagiatkah. Selain itu, terdapat penjabaran mengenai variabel masalah

yang diteliti yakni mengenai Darwinisme Sosial dan nazisme dikaji menggunakan

beberapa teori yang relevan dengan pembahasan penelitian.

Bab III Metodologi Penelitian. Bab ini membahas tentang langkah-langkah

metode dan teknik penelitian yang penulis gunakan dalam mencari

sumber-sumber, cara pengolahan sumber-sumber, analisis sumber serta cara penulisan sejarahnya.

Metode yang digunakan adalah metode yang telah lazim digunakan dalam

penulisan sejarah yaitu metode historis. Penelitian historis (historical research)

adalah suatu usaha untuk menggali fakta-fakta, dan menyusun kesimpulan dari

peristiwa masa lampau berdasarkan fakta-fakta tersebut. Metode ini juga

didukung oleh langkah-langkah penelitian yang mengacu kepada proses

metodologi penelitian dalam penelitian sejarah. Teknik yang digunakan penulis

(26)

Bab IV Pembahasan. Bab ini merupakan isi utama dari tulisan sebagai

paparan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan

masalah. Pada bab ini akan menjelaskan mengenai Dampak Darwinisme Sosial

terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945. Secara rinci,

penulis akan membahas dan menjelaskan mengenai bagaimana latar belakang

Darwinisme Sosial bisa berkembang di partai Nazi Jerman, kondisi-kondisi apa

saja yang mendorong Darwinisme Sosial berkembang di partai Nazi Jerman dan

analisis terhadap dampak perkembangan Darwinisme Sosial terhadap nazisme di

Jerman tahun 1921-1945.

Bab V Kesimpulan dan Saran. Bab ini merupakan bab terakhir dari

rangkaian penulisan karya ilmiah yang mengemukakan tentang kesimpulan bukan

resume dari keseluruhan tulisan yang merupakan jawaban dan analisis peneliti

terhadap masalah-masalah secara keseluruhan. Hasil temuan akhir ini merupakan

(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara memakai pendekatan

interdisipliner, yakni sebuah pendekatan dengan menggunakan bantuan dari

berbagai disiplin ilmu yang serumpun (ilmu-ilmu sosial). Sejarah sebagai

peristiwa memiliki berbagai fakta yang kompleks yang sambung-menyambung

dalam hubungan sebab-akibat. W. Windelbland, dan Wilhelm Dilthey (Supardan,

2008: 333) mengemukakan bahwa “Historisme memusatkan perhatiannya pada

fakta dan peristiwa serta sejarah sebagai peristiwa-peristiwa yang

sambung-menyambung dalam hubungan sebab akibat yang kompleks”. Maka dari itu, diperlukan pendekatan ilmu lain untuk membantu sebagai pisau analisis di dalam

penelitian ini agar dapat menjelaskan secara utuh.

Kartodirdjo (Supardan, 2007: 335) mengemukakan bahwa menggunakan

pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam sejarah adalah bermanfaat. Berikut

kutipannya:

... metodologi dan pendekatan ilmu sosial bagi sejarah sungguh-sungguh meningkatkan kemampuan analitisnya maka akan lebih tampil unsur-unsur dan dimensi-dimensinya, juga jaringan yang kompleks. Metodologi tersebut memberi harapan besar bagi perkembangan sejarah karena meningkatkan produktivitasnya.

Ilmu-ilmu bantu sejarah ini sangat dibutuhkan di dalam tahap heuristik dan

juga ketika melakukan analisis dan sintesis terhadap semua fakta sejarah yang

telah dikumpulkan. Ilmu bantu memiliki kegunaan yang penting dalam membantu

penelitian dan penulisan sejarah sehingga menjadikan sejarah sebagai suatu karya

ilmiah (Sjamsuddin, 2007: 240-241).

Penulis menggunakan konsep-konsep dari ilmu-ilmu sosial seperti

sosiologi dan antropologi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam

(28)

diantaranya adalah konflik sosial (konsep yang digunakan untuk menggambarkan

pertentangan sosial yang bertujuan untuk menguasai atau menghancurkan pihak

lain, bisa dikatakan juga sebagai usaha dari suatu kelompok untuk menghalangi

atau menghancurkan kelompok lain. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah

kegiatan Nazi Jerman dalam upaya menjadi kelompok penguasa tunggal),

permasalahan sosial (konsep yang digunakan untuk menggambarkan kondisi yang

tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif, dan dalam pengertian lainnya

ialah mengancam kehidupan masyarakat, dalam hal ini yang dibicarakan adalah

program pemurnian ras Jerman oleh Nazi serta program yang dinamakan solusi

terakhir, yakni pemusnahan musuh Nazi, bangsa Yahudi), evolusi (konsep yang

digunakan untuk menggambarkan sebuah transformasi yang berlangsung sacara

bertahap, dalam hal ini yang dibicarakan adalah mengenai salah satu perluasannya

yakni Darwinisme Sosial) serta ras (konsep yang digunakan untuk

menggambarkan pandangan Nazi Jerman mengenai superitas ras Arya yang harus

memimpin dunia). Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan psikologi

untuk melihat karakter Hitler.

Penulis melihat bahwa pembentukkan nazisme di Jerman awalnya berasal

dari ide-ide yang besar tapi cenderung berbahaya. Maka dari itu, konsep ide-ide

juga penulis pergunakan sebagai pisau analisis penelitian ini karena dari konsep

ide-ide ini penulis dapat menggambarkan muncul berbagai peristiwa yang

disebabkan oleh Nazi Jerman. Ide-ide dianggap sebagai sebab-sebab utama bagi

timbulnya proses sejarah dan kondisi-kondisi militer, sosial, ekonomi dan

teknologi masyarakat dapat dianggap berasal dari dan ide-ide yang besar juga.

Dengan kata lain ide-ide inilah yang menjadi tenaga pendorong yang utama dalam

sejarah sehingga ide tidak saja menimbulkan peristiwa tapi juga

mencerminkannya (Ebenstein, 2006: 4-5).

Penulisan skripsi ini juga dilakukan dengan memakai pendekatan

kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan suatu proses penelitian dan

pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki masalah

(29)

alamiah, oleh karena itu pendekatan ini sering disebut juga dengan pendekatan

naturalistik.

3.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yang

telah lazim digunakan dalam penelitian sejarah yakni “Metode Historis”. Secara

sederhana, Abdurahman (2007: 53) mendefinisikan metode historis sebagai

“penyelidikan atas suatu masalah dengan mengaplikasikan jalan pemecahannya

dalam perspektif historis”.

Selain pendapat tersebut, Sjamsuddin (2007: 13) mendefinisikan metode

historis sebagai “suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam

penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan)

yang diteliti”.

Seirama dengan pendapat di atas, Gottschalk (1986: 32) menjelaskan

metode historis sebagai “proses pengujian dan menganalisis secara kritis rekaman

peninggalan pada masa lampau”.

Ismaun (2005: 35) memandang metode historis itu merupakan sebuah

rangkaian kegiatan dari mencari sumber sejarah kemudian mengkritiknya,

diinterpretasi kemudian terciptalah cerita sejarah yang dapat dipercaya,

sebagaimana dikemukakannya bahwa:

“Metode historis merupakan proses untuk menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya”.

Metode historis digunakan untuk mengkaji suatu peristiwa pada masa lalu

secara analitis dan deskriptif. Maksud dari analisis ialah memilah dan

mengelompokkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan dalam penelitian baik

sumber yang mendukung maupun sumber pembanding serta perlu dikritik

eksternal maupun internalnya. Setelah itu, analisis pun diarahkan menjadikan

serpihan sumber sejarah yang telah dikritik itu menjadi sebuah cerita utuh sesuai

(30)

Terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan penulis dalam metode

sejarah ketika akan mengadakan penelitian. Tahap metode sejarah yang

dikemukakan oleh Helius Syamsudin (2007:17-155) terdiri dari beberapa

langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tahap heuristik yaitu mencari dan mengumpulkan data dari

sumber-sumber sejarah yang relevan dengan penelitian. Sumber-sumber-sumber yang

diperoleh sebagian besar terdiri dari buku-buku baik buku cetak maupun

e-book, artikel, dan jurnal baik yang diperoleh penulis dari perpustakaan

maupun dari internet. Pada tahap ini penulis mengumpulkan serta memilih

dan memilah data mengenai dampak Darwinisme Sosial terhadap

perkembangan nazisme di Jerman.

2. Tahap kritik sumber, yaitu penyaringan secara kritis terhadap

sumber-sumber yang telah dikumpulkan terutama terhadap sumber-sumber primer atau

sumber pertama. Kritik sumber dilakukan untuk memperoleh fakta yang

menjadi pilihan dan dapat dipercaya kebenarannya. Proses kritik sumber

memudahkan penulis untuk mengetahui apakah sumber-sumber yang

diperoleh relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Tahap ini

terbagi dua bagian, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.

3. Tahap interpretasi yaitu menafsirkan keterangan sumber-sumber sejarah.

Dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang

diperoleh selama melakukan penelitian dengan cara menghubungkan fakta

yang satu dengan fakta lain yang saling berkaitan. Semua fakta yang telah

terangkum ini nantinya akan dijadikan sebagai bahan dalam penulisan

skripsi ini.

4. Tahap historiografi. Tahap ini merupakan hasil dari semua penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya. Di sini penulis diharuskan untuk menulis

cerita sejarah berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis

sebelumnya. Pada tahap ini penulis berusaha memberikan sebuah bentuk

laporan penelitian penulisan sejarah yang berjudul “Dampak Darwinisme Sosial Terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945”

(31)

Secara lebih rinci namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pendapat

di atas, Wood Gray (Sjamsuddin, 2007:89-90) mengemukakan ada enam langkah

dalam metode historis, yaitu:

1. Memilih topik yang sesuai. Dalam penelitian ini, penulis memilih topik

tentang dampak sebuah paham yakni Darwinisme Sosial terhadap

perkembangan nazisme di Jerman.

2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik. Dalam hal ini,

penulis mencari dan mengumpulkan data-data terkait dengan dampak sebuah

paham yakni Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di Jerman

dengan menggunakan studi literatur atau studi kepustakaan.

3. Membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan

topik yang ditentukan ketika penelitian sedang berlangsung.

4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (melalui

kritik sumber). Kritik dilakukan terhadap semua sumber yang dihimpun

peneliti tentang dampak sebuah paham yakni Darwinisme Sosial terhadap

perkembangan nazisme di Jerman untuk memperoleh data yang relevan.

5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola

yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan

sebelumnya. Catatan hasil penelitian disusun dalam sebuah sistematika baku

yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah UPI 2011.

6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan

mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti

sejelas mungkin.

3.3. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik penelitian yang disebut dengan studi literatur

atau studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini. Studi literatur ini bertujuan

untuk mencari dasar pijakan atau fondasi untuk mendapatkan pijakan serta

membangun landasan teori, kerangka berpikir dan menentukan dugaan sementara,

sehingga para peneliti dapat mengerti, memilah dan memilih, mengorganisasikan

(32)

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang disebut dengan studi

literatur karena informasi mengenai “dampak Darwinisme Sosial terhadap

perkembangan nazisme di Jerman tahun 1921-1945” berasal dari masa lalu.

Maksudnya ialah permasalahan yang akan dikaji merupakan peristiwa yang

terjadi pada masa lalu dan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini

berasal dari masa lampau yang tidak mungkin dilakukan penelitian secara

observasi ataupun wawancara karena peristiwa ini terjadi di Eropa yakni di

Jerman. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penyusunan skripsi ini hanya

mengandalkan sumber tertulis yang bersifat sekunder. Tapi ada satu yang

merupakan sumber primer, yakni Mein Kampf volume I dan II karya Hitler

sendiri.

Studi literatur ini biasanya dilakukan sesudah topik penelitian dan rumusan

permasalahan ditentukan. Jenis sumber literatur yang digunakan biasanya adalah

buku-buku yang relevan dengan kajian penulis baik buku cetak maupun e-book

jurnal, laporan hasil penelitian, hasil-hasil seminar, artikel ilmiah yang belum

dipublikasikan, nara sumber, surat surat keputusan dan lain-lain. Jenis sumber

literatur yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini hanya terbatas pada

buku-buku sumber baik buku cetak maupun e-book dan artikel-artikel yang

relevan. Buku-buku sumber yang relevan penulis peroleh dari perpustakaan UPI

Bandung, perpustakaan Batu Api di Jatinangor sedangkan untuk artikel-artikel

sendiri diperoleh dari mengakses internet.

3.4 Tahapan Penelitian

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sjamsuddin dan Grey pada tahapan

penelitian sejarah di atas, penulis melakukan dua tahapan dalam penulisan skripsi

ini yakni tahapan persiapan penelitian yang terdiri atas penentuan dan pengajuan

topik, penyusunan rancangan penelitian dan konsultasi serta bimbingan. Tahapan

pelaksanaan penelitian terdiri atas tahap heuristik dengan kegiatannya ialah

mencari sumber, memilah dan memilih serta mencatat hal-hal yang dianggap

penting, tahap kritik sumber dengan kegiatannya ialah mengevaluasi sumber

(33)

kegiatannya ialah menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lain yang saling

berkaitan serta membandingkannya dan tahap historiografi dengan kegiatannya

ialah menulis hasil penelitian ke dalam sebuah format penulisan berupa skripsi.

Berikut penjelasan lebih jelasnya.

3.4.1. Persiapan Penelitian

3.4.1.1 Penentuan dan Pengajuan Topik Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian ini, yang pertama kali dilakukan oleh

penulis adalah mengajukan judul skripsi kepada Tim Pertimbangan Penulisan

Skripsi (TPPS) di Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI. Judul yang diajukan

saat itu adalah “Fasisme: Adakah Pengaruh dari Darwinisme Sosial? (Suatu Tinjauan Sejarah Pemikiran dari Tahun 1914-1945)”. Langkah selanjutnya

Penulis mengajukan judul tersebut kepada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi

(TPPS) Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

3.4.1.2Penyusunan Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian merupakan kerangka dasar yang dijadikan acuan

dalam penyusunan laporan penelitian. Proposal atau rancangan penelitian yang

diajukan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

- Judul Penelitian;

- Latar Belakang Masalah;

- Rumusan dan Batasan Masalah;

- Tujuan Penelitian;

- Manfaat Penelitian;

- Metodologi Penelitian dan Teknik Penelitian;

- Tinjauan Pustaka;

- Sistematika Penulisan; dan

- Daftar Pustaka.

Proposal skripsi tersebut kemudian diserahkan kepada Tim Pertimbangan

Penulisan Skripsi (TPPS) untuk dipresentasikan dalam Seminar Pra-Rancangan

(34)

Setelah proposal ini dikoreksi dan diperbaiki, maka penulis diperbolehkan

mengikuti seminar proposal skripsi yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2012

bertempat di Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah. Pengesahan mengikuti

seminar dikeluarkan melalui surat keputusan dari Ketua TPPS Jurusan Pendidikan

Sejarah 052/TPPS/JPS/2012, dengan calon pembimbing I adalah Prof. Dr. H.

Dadang Supardan, M.Pd. dan calon pembimbing II adalah Dr. Encep Supriatna,

M.Pd.

Pada seminar tersebut, penulis mempresentasikan rancangan penelitian di

hadapan TPPS dan calon pembimbing skripsi untuk dikaji dan didiskusikan

apakah rancangan tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. Hasil dari seminar

tersebut, menyatakan bahwa judul tersebut disetujui hanya saja perlu ada

perbaikan judul penelitian tapi bukan esensinya. Calon pembimbing II yaitu Dr.

Encep Supriatna, M.Pd. memberikan saran agar judul skripsi tersebut lebih

difokuskan ke fasisme di negara mana serta siapa tokohnya yang telah

terpengaruh oleh Darminisme sosial. Namun sayang, pada kesempatan itu, calon

pembimbing I yakni Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd tidak bisa hadir

dikarenakan mengajar di Pascasarjana sehingga belum bisa memberikan saran

yang sangat diharapkan penulis.

3.4.1.3 Konsultasi dan Bimbingan Skripsi

Konsultasi merupakan kegiatan bimbingan penyusunan skripsi yang

dilakukan oleh penulis dengan pembimbing I dan II yang ditunjuk oleh TPPS.

Konsultasi dengan pembimbing memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu untuk

memberikan pengarahan saran dan kritikan dalam proses penyusunan skripsi.

Penulis melakukan konsultasi kepada kedua pembimbing, pembimbing I adalah

Prof. Dr. H. Dadang Supardan, M.Pd dan pembimbing II adalah Dr. Encep

Supriatna, M.Pd. Dalam konsultasi baik pembimbing I dan pembimbing II

memberikan arahan, masukan, atau kritik untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

Selama proses konsultasi awal ini, penulis mendapatkan hal penting

berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Selain mengenai prosedur dari bimbingan,

(35)

Pembimbing I dan Pembimbing II. Dalam konsultasi baik pembimbing I dan

pembimbing II memberikan arahan, masukan, atau kritik untuk perbaikan

penulisan skripsi ini. Konsultasi biasanya dimulai dari judul, bab I (pendahuluan),

bab II (tinjauan pustaka), bab III (metodologi penelitian), bab IV (pembahasan),

dan bab V (kesimpulan), serta abstrak.

Selama proses bimbingan tersebut, perbaikan-perbaikan terus dilakukan

terhadap pelaksanaan penelitian. Pada masa bimbingan ini terjadi dua kali

perubahan menyangkut judul. Dari dua kali perubahan itu akhirnya judul disetujui

oleh pembimbing kedua yaitu tema yang berjudul “Dampak Darwinisme Sosial

terhadap Paham Fasisme (Studi tentang Paham Fasisme yang Dikembangkan

oleh Adolf Hitler di Jerman Tahun 1914-1945)”.

Perubahan tersebut disebabkan karena judul yang diajukan terlalu

berbelit-belit. Maksudnya ialah mengaburkan fokus penelitian dikarenakan setiap kata

yang ada di dalam judul kurang menjelaskan atau rancu.

Perubahan judul juga kembali terjadi ketika bimbingan dengan

pembimbing I, dari awalnya judul di atas menjadi “Dampak Darwinisme Sosial

Terhadap Perkembangan Nazisme di Jerman Tahun 1921-1945”.

Perubahan judul juga menambah tujuan skripsi menjadi semakin jelas,

yaitu mendeskripsikan masuknya Darwinisme sosial ke Partai Nazi Jerman,

Kondisi-kondisi yang mendukung perkembangan Darwinisme Sosial di partai

Nazi Jerman dan dampak Darwinisme Sosial terhadap perkembangan nazisme di

Jerman.

3.4.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

3.4.2.1. Tahap Heuristik

Pada tahap heuristik ini, penulis berusaha mencari berbagai sumber yang

mendukung terhadap pemecahan masalah penelitian. Pengumpulan data dilakukan

dengan cara membaca dan mempelajari hasil karya ilmiah penulis lain, baik

berupa tulisan yang sudah dicetak dalam bentuk buku maupun e-book dan artikel

(36)

Usaha yang dilakukan oleh penulis pada tahap ini ialah dengan

mendatangi perpustakaan, pedagang buku di emperan Jalan Dewi Sartika,

mendatangi Palasari sampai dengan meminjam buku dari teman-teman di jurusan

sejarah baik dari kakak angkatan, seangkatan maupun adik angkatan.

Kegiatan penulis di perpustakaan tersebut ialah mencatat sumber, baik dari

buku, ensiklopedia, maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian. Selain

mencatat hal-hal yang dianggap penting di tempat, penulis juga meminjam

buku-buku perpustakaan agar lebih leluasa mengkaji isi buku-buku tersebut di tempat yang

lebih tenang.

Kegiatan penulis di emperan Jalan Dewi Sartika dan toko buku di Palasari

adalah mencari serta membeli sumber berupa buku yang dibutuhkan oleh penulis

serta relevan dengan penelitian. Selain itu, penulis juga berdiam berjam-jam

menghadap laptop dan menelusuri dunia maya mencari artikel dan e-book.

Penelitian ini bersifat studi literatur sehingga penulis hanya mencari dan

mengunakan sumber-sumber buku, jurnal, e-book, dan karya tulis lainnya yang

relevan. Sebenarnya, jauh sebelum penulis mengajukan proposal penelitian pada

TPPS, penulis telah banyak mencari sumber data mengenai penelitian ini terutama

meminjam dari teman-teman sejurusan dan jalan-jalan ke toko buku di Palasari.

Namun, awal masa pencarian data atau sumber sejarah yang terbilang intensif

adalah sejak bulan Juli tahun 2012.

Agar lebih jelas kegiatan yang dilakukan oleh penulis serta tempat mana

saja yang pernah dikunjungi oleh penulis dalam tahap Heuristik ini, maka perlu

ada penjelasannya. Penulis mendapatkan sumber-sumber bahan penelitian ini

diantaranya berasal dari:

- Perpustakaan UPI kota Bandung. Dari perpustakaan UPI ini penulis

mendapatkan beberapa buku penunjang mengenai pengantar Ilmu Sejarah,

Metodologi Sejarah, Teori-teori Sosiologi Klasik dan sumber primer yakni

Mein Kampf karena buku ini merupakan karangan Hitler sendiri yang telah

diterjemahkan oleh R. W. Sinaga. Sejak tingkat pertama kuliah di Jurusan

Pendidikan Sejarah, penulis memang cukup sering untuk berkunjung ke

(37)

adik tingkat dan seangkatan mengenai materi perkuliahan. Namun, untuk

kunjungan yang bersifat lebih khusus dalam rangka penyusunan skripsi

ini, penulis secara intensif mencari sumber sejarah di Perpustakaan UPI

sejak bulan Juli 2012.

- Koleksi pribadi penulis yang dimiliki. Buku-buku tersebut dikategorikan

sebagai buku-buku pengetahuan Islam terutama karangan Harun Yahya

baik e-book maupun artikel-artikelnya, sejarah dunia, metodologi sejarah,

pengantar ilmu-ilmu sosial yang memberikan gambaran mengenai

Darwinisme sosial, pengantar sejarah, dan sebagainya. Selain itu juga

artikel-arikel yang membahas mengenai permasalahan utamapun sudah

penulis miliki selain dari karya Harun Yahya.

- Perpustakaan pribadi teman-teman sejurusan baik dari kakak angkatan,

seangkatan maupun adik angkatan. Dari teman-teman inilah penulis

mendapatkan banyak sumber yang mendukung penelitian ini. Seperti buku

yang membahas mengenai keadaan di kamp konsentrasi Jerman,

Isme-isme yang mengguncang dunia termasuk fasIsme-isme dan buku yang

membahas mengenai tokoh-tokoh diktator dunia termasuk Hitler plus buku

yang sedikit menyinggung mengenai keterkaitan antara fasisme dengan

Darwinisme sosial yakni buku cetak yang berjudul Ancaman di Balik

Romantisme karya Harun Yahya. Penulis telah intensif meminjam buku

ketika masih semester tujuh.

- Perpustakaan Batu Api di Jatinangor. Perpustakan ini memiliki koleksi

cukup banyak mengenai pengetahuan-pengetahuan sejarah Eropa dan

pengetahuan lainnya. Dari perpustakaan ini penulis mendapatkan

buku-buku yang menunjang penelitian penulis seperti buku-buku mengenai fasisme,

Darwin, Darwinisme sosial serta buku yang mengkaji mengenai akar

kekerasan yang membahas mengenai psikologi Hitler. Karena jauh,

perpustakaan ini intensif penulis kunjungi di bulan Agustus 2012.

- Toko buku Palasari. Setalah beberapa kali ke sini, penulis benar-benar

dihadapkan ke dalam keadaan yang meruntuhkan semangat, hal ini

(38)

dan ada juga yang telah habis persediaannya. Maka dari itu, penulis hanya

mendapatkan beberapa buku penunjang saja.

- Pedagang buku di emperan jalan Dewi Sartika Kebon Kalapa Bandung. Di

tempat ini banyak beredar buku-buku yang langka mengenai sejarah dan

dengan harga yang murah tentunya karena kebanyakan buku bekas. Di

sini, penulis mendapatkan hanya satu sumber mengenai orang-orang di

sekitar Hitler yang mau membunuhnya. Judul buku tersebut ialah “To Kill

Hitler: Upaya-upaya Membunuh Adolf Hitler” karya Irwanto. Di sini juga

terdapat buku-buku yang masih baru namun dengan harga yang terbilang

lebih murah dari Palasari.

- Perpustakaan Konferensi Asia Afrika Bandung. Perpustakaan ini sudah

terkenal dan banyak memuat mengenai buku-buku mengenai sejarah

terutama Asia dan Afrika. Pada awalnya penulis mencoba ke sini dengan

harapan akan menemukan buku yang berkaitan dengan penelitian yang

dilakukan penulis, ternyata di tempat ini penulis tidak mendapatkan

sumber yang dibutuhkan.

- Internet. Biasanya penulis menelusuri internet di gedung Pusat Kegiatan

Mahasiswa menggunakan laptop. Penulis banyak sekali mendapatkan

berbagai informasi yang relevan dengan permasalahan yang penulis teliti.

Baik berupa artikel-artikel maupun e-book. Meski banyak yang

menyangsikan informasi dari internet, tapi penulis juga memperhatikan

referensi yang digunakan oleh penulis artikel dan e-book tersebut sehingga

dapat dipercaya. Jika memang referensi yang digunakan di dalam artikel

serta e-book tersebut tidak ada atau tidak dipercaya, tentu penulis tidak

akan menggunakannya.

3.4.2.2. Kritik

Tahapan berikutnya dalam metode historis setelah heuristik adalah kritik

sumber. Dalam tahap kritik, kegiatan yang harus dilakukan penulis sejarah adalah

mengkritik sumber secara internal dan eksternal. Baik kritik internal maupun

(39)

dengan tujuan sejarawan itu sendiri dalam mencari kebenaran serta fakta yang

dibutuhkan agar informasi tersebut memiliki kekuatan sebagai dasar argumentasi.

Kritik internal adalah cara pengujian terhadap sumber-sumber yang ada

dengan melihat isinya. Sementara kritik eksternal adalah cara melakukan

verifikasi terhadap aspek-aspek luar dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132).

Tahapan ini digunakan peneliti untuk menilai (mengevaluasi) secara kritis

terhadap sumber-sumber yang ditemukan pada tahap heuristik.

Pada tahap kritik sumber eksternal, penulis menggunakan tiga rumusan

dalam melakukan kritik sumber, seperti yang diungkapkan oleh Ismaun (2005:

50) bahwa kritik eksternal bertugas menjawab tiga pertanyaan mengenai sumber:

1. Apakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki?

2. Apakah sumber itu asli atau turunan?

3. Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah?

Sejalan dengan pendapat Ismaun di atas, Abdurahman (2007, 68-69)

menjelaskan lebih detail mengenai pertanyaan untuk menguji keaslian sumber.

Adapun pertanyaannya adalah sebagai sebagai berikut:

1. Kapan sumber itu dibuat ?

2. Di mana sumber itu dibuat?

3. Siapa yang membuat?

4. Dari bahan apa sumber itu dibuat?

5. Apakah sumber itu dalam bentuk asli?

Pada tahap kritik eksternal terhadap sumber-sumber tertulis yang berupa

buku-buku, penulis mengklasifikasikannya dari aspek latar belakang penulis buku

tersebut untuk melihat keotensitasannya sehubungan dengan tema penulisan

skripsi ini. Popularitas penulis buku akan membuat tingkat kepercayaan terhadap

isi buku akan semakin tinggi.

Penulis juga mempehatikan tahun terbit sumber dalam kritik eksternal.

Beberapa buku yang penulis gunakan memiliki tahun terbit yang dekat dengan

waktu terjadinya peristiwa bahkan ada buku yang benar-benar ditulis oleh pelaku

sejarah meski buku tersebut adalah terjemahan. Selain itu, mengecek kondisi fisik

Referensi

Dokumen terkait

Sahabat MQ/ Jumlah warga keturunan Yahudi di Indonesia/ diperkirakan mencapai 3.000 orang/ saat Perang Dunia II pada 1940-1945/ dari total jumlah penduduk

[r]

Pada saat kondisi daerah tangkapan air masik baik, dimana kawasan permiabel atau kedap masih sekitar 8.48 % (Purboseno, Bambang, Suripin, Hadi, 2013) debit outflow Waduk Rawa

Hipotesis 4, pengaruh signifikan gaya belajar, pengetahuan, sikap, dan motivasi kewirausahaan terhadap perilaku kreatif mahasiswa .... Pembahasan Hasil Penelitian

mata las dapat dilakukan pada jarak 15,24 m atau 50 kaki dari sumber busur nyala.. Walaupun memakai kaca mata las, namun jika nomornya tidak

Faktor Yang Berhubungan dengan Keluhan Photokeratokonjungtivis pada Operator Las di Bengkel Las Kecamatan Biringkanaya Kota Makasar. Makasar :

suap Pilkada Lebak yang dilakukan oleh portal berita online Suara Karya (SK).

Penulisan yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara deposito pada Bank Syariah dan deposito pada Bank Konvensional, juga untuk mengetahui perbedaan hasil