PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KELEMBAGAAN ISLAM DI ABAD 21
Rif’an Syafruddin Abstrak:
Modernization of Islamic education is an absolute necessity that is difficult to avoid in the present era. Islamic education institutions must continue to develop their quality in order to meet dynamic community expectations. In this case, Islamic education must be able to prepare competent human resources in the field, reliable and adaptive in the life of modern society. Therefore, Islamic education must be designed to boost skills, competencies, talents and hearts and knowledge so that they work more productively and with quality.
Kata kunci:
Sistem Pendidikan Islam, Kelembagaan Pendidikan Islam, dan Strategi Pemikir Islam Modern.
A. Pendahuluan
Tak bisa dipungkiri bahwa pengaruh Islam sangat besar dalam pembentukan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Menurut Mahmud Yunus, pendidikan Islam berkembang sejak Islam masuk ke Indonesia sekitar abad 12 masehi.1 Indonesia yang mayoritas warganya memeluk agama Islam ini adalah bukti nyata bahwa pengaruh Islam sangat signifikan terutama dalam pembinaan masyarakat dengan jalur pendidikan yang sudah lama ada di Selat Malaka dan Aceh.2
Penulis adalah Dosen STAI RAKHA AMUNTAI, sedang menyelesaikan
Program Doktoral (S3) di UIN Antasari Banjarmasin.
1Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hida Karya Agung, 1984), h. 160.
2Ibid,… h. 170.
Dalam sejarahnya saat Islam masuk ke Aceh 1290 M, khususnya setelah berdirinya kerajaan Islam di Pasai, maka para ulama banyak yang mendirikan Pesantren, di antaranya Tengku Cut Maplam di Geuredong.3
Pada awal perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia dilaksanakan dengan sistem tradisional dan belum mempunyai kurikulum standar. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya tidak bersumber dari kalangan Islamiyyun sendiri, akan tetapi diperkenalkan dan diinspirasi oleh kaum kolonial Belanda sekitar abad 19.4
Sejalan dengan bergulirnya waktu, maka modernisasi pendidikan Islam adalah sebuah kebutuhan mutlak yang harus digelindingkan pada era sekarang. Karena pergeseran stigma masyarakat dan perang komersialisasi pendidikan kini menjadi fenomena lazim, terlebih di kota- kota besar di mana persaingan dalam segala sektor tak terelakkan.
Pendidikan Islam mesti berevolusi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat modern. Karena pada dasarnya, pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih nalar dan rasa peserta didik sedemikian rupa sehingga mampu bersikap, bertindak dan memutuskan segala sesuatunya secara tepat kelak di kemudian hari. Pendekatan mereka sangat dipengaruhi oleh nilai spiritual yang sangat sadar akan nilai etis Islam.5
Pendidikan Islam diharapkan mampu mengantarkan peserta didik pada prilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Pendidikan Islam lebih pada suatu sistem yang didirikan di atas pondasi iman dan amal shaleh, yakni suatu sistem yang terkait langsung
3Ibid,… h. 172.
4Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tadisi dan Modernisasi Menuju Milieum Baru, (Jakarta: Logos, 1990), h. 5.
5Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, (Bandung: Risalah, 1986), h. 2.
dengan Tuhan, karena pendidikan Islam adalah suatu aktivitas yang mengarah secara sadar dan sengaja pada diri seseorang atau peserta didik yang sesuai serta sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Definisi, visi dan harapan di atas membuktikan bahwa pendidikan adalah merupakan sebuah sistem guna meningkatkan esensi serta kualitas hidup manusia dalam berbagai aspek. Dalam sejarah, tak pernah ditemukan ada individu atau sekelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai sarana untuk pembudayaan, pemberdayaan dan peningkatan peradabannya dalam kehidupan.
Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi eksistensinya yang multi dimensi di masa depan. Maka, upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki korelasi vital dengan rekayasa bangsa tersebut dalam sejarah generasi baru yang tidak tercerabut atau bahkan kehilangan ikatan dengan tradisi atau identitas mereka sendiri sebagai bangsa, di sisi lain agar generasi tidak buta dan bodoh secara intelektual serta tidak tertinggal dari perkembangan di setiap cabang pengetahuan manusia.6
Harus diakui, bahwa sejarah menyimpan dan mengandung kelemahan. Manis dan pahit terekam dalam ingatan kolektif bangsa.
Secara restrospeksi, sebagian kelemahan sejarah itu tercipta bisa lantaran purely historical accidens (kecelakaan sejarah), tapi boleh jadi bersumber dari ulah manusia itu sendiri. Bukan tidak mungkin, boleh jadi kita akan menghadapi kecelakaan sejarah di masa depan. Karenanya, demi sejarah masa depan maka dibutuhkan kritisisme historis terhadap gejala perkembangan masyarakat di masa silam dan masa sekarang.7
Kritis terhadap sejarah yang lebih murni akademis, bermula dari ketidakpuasan dan kepahitan terhadap masa silam, ketidakpuasan itu bisa bersumber dari perjalanan sejarah yang tidak terelakkan yang
6Rahmat Hanna, Conference Book (--: London, 1978), h. 15-16.
7Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (--: Jakarta, 2002), h. 105.
kadang terjadi di luar kendali dan tanggung jawab manusia.
Ketidakpuasan dan kepahitan sejarah itu boleh jadi karena alasan-alasan lain, khususnya politik dan kekuasaan. Politik dan kekuasaan kadang tidak hanya bisa melakukan manipulasi dan fakta sejarah, tapi mungkin sekaligus memaksakan pemaknaan sejarah.8
Di sini, tugas akademisi, pemerhati pendidikan, sejarawan dan segenap komponen bangsa, terlebih bangsa yang tengah galau seperti Indonesia sekarang, dalam eksposisi sejarah, sejatinya -kalau boleh meminjam istilah Master Cool dalam makalahnya- semestinya bukan hanya sekadar untuk kepentingan pure academic atau akademic exercises belaka, sekadar untuk membuktikan kebenaran sejarah. Apalagi hanya mencari kebenaran abstrak. Lebih dari itu, tugas segenap komponen bangsa untuk membentuk sebuah visi dan perspektif baru tentang masa silam yang lebih relevan untuk kebutuhan masyarakatnya di masa kini dan masa depan.
Fungsi sejarah tidak hanya sekadar untuk mengetahui masa silam, tapi yang lebih penting lagi adalah pelajaran moral. Sehingga, kesalahan-kesalahan sejarah yang menimbulkan resentment dan kepahitan akan dapat dihindari. Kitab suci seperti Al Quran mengandung banyak tamsil yang sangat bermanfaat sebagai panduan moral tersebut.
Menurut Kuhn dalam makalah Rahmat Hanna, ‚diperlukan suatu desain paradigma baru dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baru, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan‛.
Untuk itu, pendidikan harus didesain untuk alasan-alasan di atas baik dari aspek konsepnya, kurikulum, kualitas sumber daya manusia, lembaga-lembaga dan organisasinya agar selalu adaptif dan responsif terhadap setiap berbagai perubahan dan kemajuan zaman.
B. Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia
Program modernisasi pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat
8Ibid, h. 105.
dengan kronologis tentang modernisasi pemikiran dan lembaga keislaman secara keseluruhannya, semuanya tidak bisa dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam yang terintegrasi dengan kerangka dasar di balik modernisasi Islam secara keseluruhan adalah modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum muslimin di era modern ini.9
Pada masyarakat Barat, modernisme mengandung arti aliran, pikiran, usaha untuk mengubah paham, tradisi, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.10
Modernisasi juga dikenal dengan istilah reformasi, yang berarti perubahan secara sistem yang telah ada pada suatu masa. Istilah modern menunjukkan sesuatu yang baru atau perubahan pola pikir dan tatanan kehidupan manusia. Kemunculan modernisasi pada awalnya adalah menyesuaikan ajaran-ajaran dalam agama Katholik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan modern, di sinilah cikal bakal sekularisme.11
Menurut Adeng Mukhtar Ghazali, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad 19, di mana sejak inilah periode modern dimulai.
Pada awal abad 20, muslim Indonesia mengalami perubahan dalam hal kebangkitan, perubahan dan pencerahan serta barang tentu paradigma beragama itu sendiri. Periode ini sering diistilahkan dengan zaman bergerak atau era kebangkitan Nasional yang ditandai dengan hiruk pikuk penuh dengan pergolakan. Saat itu semangat kebangkitan dilecut oleh perlawanan terhadap kaum kolonial, karena muslim Indonesia sadar sangat tidak mungkin untuk mengusir penjajah hanya dengan cara tradisional.
9Azyumardi Azra, Pendidikan Islam…, Op-cit, h. 5.
10Harun Nasution, Modernisasi Pendidikan Islam, (--: Jakarta, 1975), h. 3.
11Adeng Mukhtar Ghazali, Pendidikan Islam dan Masyarakat Modern. (--: Bandung, 2005), h.183.
Muslim Indonesia sadar bahwa perlu ada perubahan nyata untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang bermartabat dan berdaulat, untuk itu perlu kiranya mengkaji kembali ajaran-ajaran Islam yang mengusung semangat perubahan demi membebaskan diri dari ketertindasan dan pemberontakan terhadap kejumudan berpikir, inilah sumber inspirasi muslim Indonesia untuk melawan imprealisme Barat.12 Kiranya, perlu kerja keras dan upaya ekstra untuk mengejar ketertinggalannya dengan bangsa-bangsa lain dengan terus berusaha meningkatkan sumber daya manusia yang berkelanjutan, menyasar secara simultan pengusaan perangkat ilmu agama dan ilmu umum dalam merespon tantangan perubahan dan permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan, Islam memberikan pilihan-pilihan yang logis dan realistis yang terkandung dalam kitab suci serta pemikiran-pemikiran ulama, di mana dalam hal ini dibutuhkan orang-orang yang kompeten dan mampu serta mau mengeksplorasi khazanah kekayaan intelektual Islam Itu.13
Awal abad 20 sebenarnya masyarakat muslim Indonesia telah melakukan modernisasi, yang dirintis di antaranya oleh tokoh pelopor pembaharu pendidikan Islam , seperti syekh Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai El Yunus dan lain-lain. Begitu pula yang dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, PERSIS, Jamiat Khair, Al Irsyad, Persyarikatan Ulama dan lain-lain.14 Pada waktu itu, perubahan demi perubahan itu ternyata memiliki motivasi yang sangat pragmatis, dengan tujuan bagaimana mengimbangi pendidikan umum yang berkembang dan maju pesat yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kaum kolonialis semata.15
12Qodri Azizy, dkk., Reformasi Pendidikan di Indonesia, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2005), h. 223.
13Altaf Gauhar, Studi Pemikiran Pendidikan Islam, (--: --, 1982), h. 333.
14Harun Asrohah, Modernisasi Pendidikan Islam: Pesantren dan Surau, (--: --, 1999), h. 154-169.
15A. Syafi’i Ma’arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di
C. Sistem Pendidikan Islam di Indonesia abad 21
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 tahun 2008 tentang wajib belajar, telah disikapi secara positif oleh sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta di antaranya dengan menata kembali pranata pendidikan, seperti merevisi visi dan misi yang sebelumnya tidak berorientasi pada pemenuhan substansi undang- undang tersebut. Dengan terbitnya PP tesebut, pengelola lembaga pendidikan lebih fokus untuk melakukan inovasi dalam menerjemahkan dan mengaplikasikan tujuan PP tersebut ke dalam bentuk orientasi pendidikan yang lebih berwawasan ke depan.
Budaya dan peradaban masyarakat yang cepat berubah ternyata sangat mempengaruhi pilihan masyarakat terhadap pendidikan sebagai agen perubahan. Pilihan masyarakat terhadap pendidikan pastilah bermuara pada pengembangan kualitas dirinya sesuai dengan perkembangan perubahan tersebut. Pendidikan yang kurang memenuhi ekspestasi masa depan dengan sendirinya akan mengurangi minat masyarakat terhadap pendidikan itu. Maka dari itu, mereka memilih pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis fungsional, informatif, individual dan terbuka. Terlebih, dengan semakin rindunya masyarakat dengan keluhuran nilai-nilai budaya bangsa yang bisa dilejitkan dengan kemampuan secara etik dan moral melalui pemahaman terhadap agama yang kaffah. Akhirnya, kita bisa introspeksi dan bertanya di mana posisi dan kontribusi pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini kita melihat fenomena dengan menjamurnya pendidikan Islam terpadu, label-label Islam menjadi trend dan booming di masyarakat. Dari tingkat PAUD, TK, tingkat menengah dan atas atau bahkan Perguruan Tinggi mengusung tema trend Islam yang memberikan janji sekaligus harapan. Kalau dilihat dari aspek kuantitas, menunjukkan perkembangan yang pesat dan dinamis menghadapi espektasi masyarakat dalam merespon kebutuhan dunia modern sebagai efek domino bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
Indonesia, dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor: Muslih Usa (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 131.
gilirannya, persoalan yang timbul tidak saja pada persoalan tataran normatif filosofis, tapi juga menyangkut orientasi kultural di masa depan.
Rentetan hubungan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena terdapat keterkaitan yang erat dan bersifat causal relationship. Maka, solusinya pun harus bersifat universal, tidak dengan cara kasuistik atau parsial.
D. Kelembagaan Pendidikan Islam dan Strategi Pemikir Islam Modern
Seiring masuknya Islam ke Indonesia, telah banyak bermunculan lembaga pendidikan Islam dengan fungsi utamanya memasyarakatkan ajaran Islam tersebut. Di Sumatera Barat dijumpai Surau, Rangkang dan Meunasah di Aceh, Langgar di Jakarta, Tajuk di Jawa Barat, Pesantren di Jawa dan seterusnya. Munculnya lembaga-lembaga tradisional ini tidak selamanya diterima baik oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas warganya beragama Islam. Karena jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia telah berkembang pula agama-agama lain seperti Hindu dan Budha serta paham lokal yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran Islam.16
Para pendidik dan juru dakwah menggunakan berbagai strategi dan pendekatan di samping dengan pendekatan kultural, pendekatan politis dan pendekatan perkawinan. Melalui pendekatan khas Indonesia inilah yang menumbulkan keragaman corak yang diajarkan, yang pada akhirnya menunjukkan Islam Indonesia yang unik yang tercermin dalam aktivitas agama, budaya, adat istiadat serta lembaga pendididkan.
Para pendidik telah memainkan peranan yang sangat urgen dan signifikan dengan cara mendirikan lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak, hingga Perguruan tinggi dan Universitas. Di lembaga-lembaga ini mereka telah mengembangkan sistem dan pendekatan dalam proses belajar mengajar. Merekapun mengembangkan
16Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, (--:
--, 2005), h. 1-2.
dan memperjuangkan visi dan misi, menyusun kurikulum, membuat dan menyiapkan bahan ajar berupa buku-buku, majalah dan lain-lain serta infrastruktur tempat berlangsungnya aktivitas pendidikan lengkap dengan sarana dan prasarananya, etos keilmuan dan budaya akademik yang dikembangkan, sumber pendanaan, operasional serta kualitas hasil lulusannya.17
Berbagai upaya gerakan pendidikan ini telah berlangsung sejak zaman pra kemerdekaan hingga zaman kemerdekaan terus berlanjut sampai sekarang. Upaya gerakan pendidikan ini dipengaruhi dari dalam, yakni corak dan model pendidikan Belanda dan juga karena adanya tantangan internal dalam negeri, juga tak luput dari pengaruh gerakan yang berkembang di Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, Yaman serta Turki, India dan lain sebagainya. Pengaruh ini tak terlepas dari adanya hubungan yang kuat antara ulama yang ada di kepulauan Nusantara dengan Ulama-Ulama yang ada di Timur Tengah.18
E. Perubahan Pola Pandang Masyarakat terhadap Pendidikan Perubahan terjadi hampir pada seluruh sektor kehidupan masyarakat, tidak hanya pada norma, nilai-nilai, pola prilaku, akan tetapi perubahan juga terjadi pada susunan dan tingkat stratifikasi kemasyarakatan.
Dalam buku The Third Wave (1980), Alvin Tofler menuturkan tentang peradaban manusia, yakni:
1. Peradaban yang dibawa oleh penemuan pertanian.
2. Peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, serta,
3. Peradaban baru yang sedang digerakkan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan yang terbesar diakibatkan oleh gelombang ke tiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan
17Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan…, h. 3.
18Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 18, (Bandung: Mizan, 2001), h. 20-76.
tingkah laku masyarakat.19
Dalam perspektif A. Syafi’i Ma’arif, sistem pendidikan tinggi modern yang kini berkembang di seluruh dunia tak lebih hanya menjadi pabrik doktor yang pada gilirannya akan menjadi tukang-tukang tingkat tinggi, bukannya melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa muslim terjebak dan terpasung dalam arus sekuler dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus besar high learning yang mendominasi peradaban sekuler abad ini. Prinsif ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih berada di atas angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini.20
Konsekuensi logis di atas, kini dirasakan sedemikian fundamentalnya, beberapa konsep coba ditawarkan kaum agamawan, filosof dan pemerhati sosial untuk mengurai dan mencari solusi dari persoalan yang massif ini.
Sebagai contoh, konsep alienation atau keterasingan dari Marx dan Erich Fromm, juga anomie dari Durkheim. Kedua konsep ini mengarah pada suatu keadaan, secara pribadi manusia sudah kehilangan keseimbangan diri dan keterpurukan eksistensi akibat dari benturan struktural yang diciptakannya sendiri. Manusia tak lagi merasa dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai yang tak berdaya dan termiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia memproyeksikan dirinya.
Carut marut di atas merupakan persoalan yang dialami masyarakat modern dewasa ini, rupanya menjadi pelecut munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa masalah kemanusiaan tidaklah cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tapi membutuhkan solusi transendental.
19M. Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, 30-31 Agustus 1995.
20A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam…, h. 7-8.
Menyikapi fenomena masyarakat modern, mesti disikapi dengan arif, karena peradaban modern tidak hanya mempunyai sisi-sisi negatif, tapi pasti juga ada sisi positifnya, seperti kemudahan-kemudahan yang dirasakan karena pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi. Duniapun sekarang menjadi sempit karena massifnya penggunaan teknologi informasi dan transformasi yang hampir bisa dinikmati masyarakat sampai pada lapisan bawah sekalipun. Maka perlu kearifan dalam penggunaan produk peradaban modern, jangan sampai manusia diperbudak oleh produk-produk tersebut.
F. Pendidikan Islam yang seperti apa?
Dalam alur sejarah, perjuangan umat Islam Indonesia untuk membentuk lembaga pendidikan yang bercorak khas keagamaan dan dikelola sendiri tanpa intervensi terlalu jauh oleh pihak pemerintah yang dirasakan banyak pengelola pendidikan Islam swasta khususnya sebagai tindakan arogansi pemerintah, bahkan terkesan memaksa ikut campur tangan dalam pengelolaan pendidikan. Padahal sejatinya, pengelola lembaga pendidikan merasa lebih mengetahui kebutuhan masyarakat akan keluaran lembaga pendidikan yang mereka inginkan. Hal ini sebagian merupakan dampak dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak diimbangi oleh kemampuan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia yang berwenang menyusun undang-undang pendidikan yang responsif serta adaftif dalam menyikapi perubahan pola pikir masyarakat khususnya tentang pendidikan.
Lika-liku perjuangan umat Islam Indonesia akhirnya mendapatkan kilas balik dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Secara makro, keinginan masyarakat modern terhadap lembaga pendidikan yang ideal, menantang para pakar pendidikan, akademisi, aktivis pendidikan dan stakeholder untuk menformulasikan sistem atau lembaga pendidkan yang bisa memenuhi ekspektasi dan prosfektif.
Pendidikan Islam perlu menawarkan suatu konstruksi wacana pada tataran filosofis dan bersifat metodologis sekaligus
mengkomunikasikannya secara cerdas dan renyah.
Persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat modern yang perlu penyelesaian dalam internal pendidikan Islam, antara lain:
1. Persoalan dikotomis 2. Tujuan dan fungsi institusi 3. Kurikulum dan materi
Dikotomi pendidikan Islam seakan menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan. Sejatinya, pendidikan Islam harus berhulu dan bermuara pada terintegrasinya antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak memisahkan mana ilmu agama dan mana bukan ilmu agama.
Dalam pandangan muslim, ilmu pengetahuan berasal dari Allah SWT, karena berasal dari Tuhan yang satu maka tak perlu dipisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Konsep baru pendidikan modern harus menyentuh semua aspek kehidupan peserta didik, pendidikan adalah proses belajar yang berkesinambungan, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi dan pengalaman, baik di dalam atau luar sekolah, pendidikan didasarkan pada kemampuan dan minat peserta didik, tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar.
Fazlur Rahman menawarkan mengenai persoalan dikotomi, yaitu dengan cara:
1)‚meng-Islam-kan‛ dan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana yang telah berkembang umumnya di dunia Barat, kemudian mengisinya dengan konsep kunci tertentu dari Islam.
Memodernisasi pendidikan Islam dengan cara melecut produktivitas intelektual Islam yang kreatif dan responsif.21 Buya syafi’i mengatakan bila konsep dualisme dikotomis berhasil dikompromikan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat yang paling dasar sampai ke tingkat
21Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transpormation of an Intellectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago, 1985), h. 155- 156.
perguruan tinggi. Dalam kasus Indonesia, IAIN misalnya dengan sendirinya akan melebur secara integratif dengan perguruan-perguruan tinggi negeri lainnya, lebur yang dipahami di sini adalah tidak hanya dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebih kepada lebur secara filosofis.22
2) Sesuatu yang cukup menggembirakan ketika lembaga-lembaga di atas melebur, dengan memenuhi keinginan untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu umum serta keterampilan. Tapi nyatanya, penyesuaian itu hanya penjelmaan tambal sulam dengan mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum. Ada gengsi bahwa ada perasaan ketika lembaga pendidikan umum mampu melakukan, maka pendidikan agamapun juga mampu melakukan hal serupa.
Akibatnya beban kurikulum terlalu banyak dan cukup berat yang akhirnya terjadi tumpang tindih. Seharusnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam itu memilih salah satu dua fungsi. Apakah mendesain model pendidikan umum Islami atau khusus mendesain lembaga pendidikan keagamaan yang bermutu, kompetitif dan mampu melahirkan pemikir yang punya etos akademik yang kuat.
3) Masalah kurikulum. Masalah kurikulum juga sering disebut materi pendidikan Islam terlalu didominasi masalah-masalah normatif, ritual dan eskatalogis. Peserta didik tidak diberi ruang untuk berpikir secara kritis, peserta didik hanya menjadi objek yang hanya bisa menerima dan tunduk pada meta narasi yang ada. Pendidikan Islam menjadi tumpukan-tumpukan teori yang tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari.23
Menganalisis persoalan di atas, sebelumnya lembaga pendidikan Islam perlu menyelesaikan masalah internal mendasar dan tuntas.
Bagaimanapun pendidikan saat ini tengah dihadapkan pada masalah-
22A. Syafi’i Ma’arif, Pendidikan Islam…, h. 150.
23A. Malik Fajar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21 di IAIN Cirebon, 31 Agustus-1 September 1995, h. 5.
masalah yang kompleks. Sekarang, bagaimana lembaga pendidikan Islam mampu mempersiapkan insan yang berkualitas, berintegritas, responsif dan adaptif terhadap perubahan yang begitu cepat. Sehingga, produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi bernilai jual yang tinggi dan pro aktif dalam kehidupan dunia modern.
G. Mega Proyek Lembaga Pendidikan Islam
1. Lembaga pendidikan Islam harus mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan melakukan langkah strategis:
a) Memilih Pendidikan umum Islami, dengan kurikulum terpadu antara materi-materi pendidikan umum dan materi-materi pendidikan agama, di mana keluarannya dipersiapkan akan menjadi intelektual muslim yang berwawasan komprehensif.
b) Memilih model pendidikan yang menfokuskan dan memusatkan segala sumber daya pada pendidikan keagamaan saja, diharapkan akan melahirkan ulama atau mujtahid, kompeten dalam bidangnya, mampu menjawab persoalan–persoalan aktual dan kontemporer.
c) Menolak produk pendidikan Barat, dengan demikian harus mendisain model pendidikan yang sesuai dengan konsep dasar Islam dan adaftif terhadap nilai-nilai kearifan lokal disesuaikan dengan sosio kultural bangsa Indonesia.
d) Memilih model pendidikan sekuler modern dan menggantinya dengan konsep dasar Islam.
e) Pendidikan agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah, dengan kata lain pendidikan agama dilaksanakan di lingkungan rumah tangga dan keluarga atau lingkungan masyarakat, seperti kursus dan pelatihan.
Pendidikan harus diarahkan pada dua aspek; 1. Aspek Dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya mampu mengembangkan potensi pemahaman tentang kehidupan manusia serta hal-hal yang berhubungan dengan alam sekitarnya, hal ini dapat dioptimalkan dengan penguasaan iptek. 2. Aspek Pengabdian Vertikal (transendental), fungsi
pendidikan selain untuk memantapkan nilai-nilai tauhid, juga harus menjaga sumber daya alam, juga menjembatani dalam rangka memahami dan memaknai fenomena dan misteri kehidupan yang kekal dengan sang maha kuasa, pendekatan seperti ini disebut dengan pendekatan hati atau spiritual.24
Prof. Djohar menawarkan sepuluh paradigma baru pendidikan Islam, yaitu:
1. Sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan Islam, 2. Pendidikan menghasilkan manusia demokratis,
3. Pendidikan menghasilkan manusia yang peka dan peduli terhadap lingkungan,
4. Pendidikan merupakan wadah dalam rangka membangun persatuan,
5. Pendidikan mendidik anak berwawasan integratif,
6. Pendidikan adalah proses memberdayakan potensi manusia, 7. Pendidikan menghasilkan peserta didik yang menjunjung tinggi
perdamaian,
8. Pendidikan sebagai proses eksplorasi potensi dan talenta yang mencerdaskan,
9. Pendidikan menjaga dan menghormati hak-hak anak, 10. Pendidikan adalah sebuah proses pembebasan.25
H. Simpulan
Lembaga pendidikan Islam harus terus mengembangkan kualitasnya agar bisa memenuhi ekspektasi masyarakat yang dinamis, dan harus dapat menyiapkan sumber daya insani yang kompeten di bidangnya, handal dan adaptif dalam kehidupan masyarakat modern.
Menyikapi perubahan demi perubahan dalam masyarakat modern,
24M. Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, di IAIN Cirebon, 30-31 Agustus 1995, h. 2.
25Djohar, Omong Kosong Tanpa Mengubah UU No.2/89, Koran Harian “Kedaulatan Rakyat‛, 4 mei 1999.
secara internal lembaga pendidikan Islam harus menyelesaikan persoalan dikotomi ilmu, merumuskan tujuan dan fungsi lembaga serta menyusun kurikulum yang sampai pada saat ini seakan tidak pernah selesai.
Lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikan, memilih model pendidikan Islam yang sesuai dengan perubahan zaman serta ekspektasi masyarakat.
Pendidikan Islam dirancang untuk membantu meningkatkan, melejitkan skill, kompetensi, talenta dan hati serta pengetahuan agar bekerja lebih produktif dan berkualitas, di samping itu perlu dirancang pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, akan tetapi mesti bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang terus mengalami perubahan.
Wallaahu’alam bisshawaab...
DAFTAR PUSTAKA
Ahsraf, Sayyid Sajjad Husein dan Sayyid Ali, Crisis Muslim Educated.
Terj. Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Bandung:
Risalah, 1986.
Asrohah, Harun, Modernisasi Pendidikan Islam (Pesantren dan Surau) dalam ‘Imron, 2015.
Azizy, Qodri. dkk., Reformasi Pendidikan di Indonesia, Jakarta:
Grafindo Persada, 2005.
Azra, Azyumardi, Bunga Rampai Pendidikan Agama, Jakarta, 1990.
---, Pendidikan Islam, Tadisi dan Modernisasi Menuju Milieum Baru, Jakarta: Logos, 1990.
---, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad 18, Bandung: Mizan, 1990.
---, Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta, 2002.
Djohar, Omong Kosong Tanpa Mengubah UU No.2/89, Koran Harian
‚Kedaulatan Rakyat‛, 4 mei 1999.
Fajar, A. Malik, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, 31 Agustus-1 September 1995.
Gauhar, Altaf, Studi Pemikiran Pendidikan Islam, dalam Rahmat Hanna, 2015.
Ghazali, Adeng Mukhtar, Pendidikan Islam dan Masyarakat Modern, Bandung, 2005.
Hanna, Rahmat, Conference Book, London, 1978.
Ma’arif, A. Syafi’i, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antar Cita dan Fakta, Editor: Muslih Usa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.
Nasution, Harun, Modernisasi Pendidikan Islam, Jakarta, 1975.
Nata, Abuddin, 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan Islam di Indonesia.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transpormation of an Intellectual Tradition, Chicago, The University of Chicago, 1985.
Sudiro, M. Irsyad, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, 30-31 Agustus 1995.
Usa, Muslih (ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Yafie, Muhammad Ali, Arti Kehadiran Kitab Kuning Bagi Perkembangan Hukum di Indonesia, dalam Jurnal Studi dan Informasi Keagamaan, Dialog, no.28, Th. XIII, Maret, 1989.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Hida Karya Agung, 1984.