• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS A. KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIS A. KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

12 BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS

Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa Inggris yang diartikan hubungan. Koneksi secara umum adalah suatu hubungan atau keterkaitan. Koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan standar yang sudah ditetapkan oleh NCTM serta sudah diadopsi dan digunakan dalam pembelajaran matematika oleh banyak negara. NCTM menetapkan bahwa terdapat lima keterampilan proses yang perlu dimiliki siswa melalui pembelajaran matematika yang tercakup dalam standar proses, yaitu: (1) problem solving; (2) reasoning and proof; (3) communication; (4) connection; dan (5) representation (Ulya et al. 2016). Sehingga dapat disimpulkan bahwa koneksi matematis merupakan salah satu komponen dari kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa dalam belajar matematika.

Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep- konsep matematika baik antar konsep dalam matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep dalam bidang lainnya Ruspiani (Permana & Sumarmo, 2007). Kuatnya koneksi antar konsep matematika menandakan bahwa aspek koneksi matematis juga memuat aspek matematis lainnya atau sebaliknya. Oleh sebab itu, agar siswa lebih berhasil lagi di dalam belajar matematika, maka siswa harus lebih diarahkan dan diberi kesempatan yang lebih banyak dalam melihat keterkaitan-keterkaitan atau hubungannya antara satu konsep dengan konsep lainnya.

(2)

NCTM (2000) menyatakan bahwa matematika bukan kumpulan dari topik dan kemampuan yang terpisah-pisah, walaupun dalam kenyataannya pelajaran matematika sering dipartisi dan diajarkan dalam beberapa cabang. Matematika merupakan ilmu yang terintegrasi. Memandang matematika secara keseluruhan sangat penting dalam belajar dan berpikir tentang koneksi diantara topik-topik dalam matematika. Sehingga dalam menyampaikan suatu konsep B misalnya, maka seorang guru harus memperkenalkan atau memperhatikan konsep A terlebih dahulu.

Salah satu kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam matematika adalah kemampuan koneksi matematis, seperti yang direkomendasikan oleh NCTM (2000) “the process standards problem solving, reasoning and proof, communication, connections, and representation, highlight ways of acquiring and using content knowledge”. Namun, pada kenyataannya siswa belum menyadari pentingnya koneksi matematis sehingga masih menganggap bahwa setiap konsep dalam matematika itu berdiri sendiri dan tidak berkaitan dengan konsep matematika yang lain.

NCTM (2000) menjelaskan bahwa thinking mathematically involves looking for connections, and making connections builds mathematical understanding. Without connections, students must learn and remember too many isolated concepts and skills. With connections, they can build new understandings on previous knowledge. The important mathematical foci in the middle grades rational numbers, proportionality, and linear relationships are all intimately connected, so as middle-grades students encounter diverse new mathematical

(3)

content, they have many opportunities to use and make connections.

Dengan kata lain, bahwa kemampuan koneksi matematis merupakan bagian penting yang harus dikuasai oleh siswa di setiap jenjang pendidikan. Karena dengan koneksi matematis siswa akan melihat keterkaitan-keterkaitan dan manfaat matematika itu sendiri. Dengan melakukan koneksi, konsep-konsep matematika yang telah dipelajari tidak ditinggalkan begitu saja sebagai bagian yang terpisah, tetapi digunakan sebagai pengetahuan dasar untuk memahami konsep yang baru.

Melalui proses pengajaran yang menekankan kepada hubungan diantara ide-ide matematika, maka siswa tidak hanya akan belajar tentang matematika, akan tetapi tentang kegunaan matematika.

Membangun koneksi matematis merupakan aktivitas sangat penting yang harus dilakukan guru dan siswa dalam pembelajaran matematika agar bisa terbentuk pemahaman matematika siswa. Jadi, koneksi memang perlu untuk dilakukan dalam pengembangan dan perbaikan proses pembelajaran matematika.

Tanpa koneksi para siswa harus belajar dan mengingat terlalu banyak keterampilan dan konsep dari beberapa pengetahuan. Ketika ide-ide matematika setiap hari dikoneksikan pada pengalamannya, baik di dalam maupun di luar sekolah, maka siswa akan menjadi sadar tentang kegunaan dan manfaat dari matematika.

Menurut Permana dan Sumarmo (2007) bahwa koneksi matematis (mathematical connections) merupakan kegiatan yang meliputi: 1) mencari hubungan antara berbagai representasi konsep dan prosedur, 2) memahami hubungan antar topik matematis, 3) menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari, 4) memahami representasi ekuivalen konsep yang

(4)

sama, 5) mencari koneksi satu prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen, 6) menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik matematika dengan topik lain.

Ada dua tipe umum koneksi matematis menurut NCTM (Siagian, 2016) yaitu modeling connections dan mathematical connections. Modeling connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul di dalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematiknya, sedangkan mathematical connections adalah hubungan antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian dari masing-masing representasi. Kedua koneksi tersebut diilustrasikan seperti gambar berikut ini:

Diagram 2. 1 Dua tipe koneksi

Menurut NCTM (2000), koneksi matematis dapat diindikasikan dalam tiga aspek yaitu: koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi dengan dunia nyata siswa atau koneksi dengan kehidupan sehari-hari.

Karena itu koneksi matematis dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep- konsep matematika secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu

(5)

sendiri ataupun keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain baik bidang studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut NCTM (2000) tujuan koneksi matematis di sekolah adalah “...to help student broaden their prespective, to view, mathematics as an integrated whole rather than as an I solated set of topics, and to a knowladge u relevance and usefulness both in andout of school”. Dari pernyataan ini ada tiga tujuan diadakannya koneksi matematis dalam pembelajaran matematika di sekolah, yaitu untuk memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu keseluruhan yang terpadu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri serta mengenal relevansi dan manfaaat matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah.

NCTM (2000) menyebutkan standar proses koneksi matematis meliputi (1) mengenali dan menggunakan hubungan natar ide-ide matematika, (2) memahami bagaimana ide-ide matematika saling berhubungan dan membangun satu sama lain untuk menghasilkan keatuan utuh, (3) mengenali dan mengaplikasikan matematika ke dalam konteks luar matematika atau kehidupan sehari-hari. Uraian mengenai koneksi matematis oleh NCTM dapat dipahami bahwa koneksi matematis tidak hanya menghubungkan antar topik dalam matematika, tetapi juga menghubungkan matematika dengan berbagai ilmu lain dan dengan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan koneksi matematis adalah salah satu komponen berpikir tingkat tinggi melalui kegiatan yang meliputi mencari hubungan antar topik matematika, hubungan matematika dengan ilmu lain dan hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Koneksi dimunculkan dengan

(6)

melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk kemampuan koneksi matematis siswa adalah menurut NCTM (2000) yaitu : 1) koneksi antar topik matematika, 2) koneksi dengan disiplin ilmu lain, 3) Koneksi dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan indikator tersebut dapat diketahui sejauh mana kemampuan koneksi matematis siswa dalam mempelajari matematika.

B. SELF-EFFICACY

Self-efficacy terdiri dari kata “self” yang diartikan sebagai unsur kepribadian, dan “efficacy” yang berarti penilaian pada diri, apakah dapat melakukan tindakan yang tepat atau salah, baik atau buruk, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuatu permasalahan sesuai dengan yang ditetapkan. Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuan mereka untuk melakukan tugas tertentu serta dorongan kuat yang menggunakan kontrol atas prilaku, pemikiran, emosi dan pengaruh terhadap motivasi, ketekunan, dan kinerja. Bandura dan Wood menyusun bahwa self-efficacy memiliki peran utama dalam proses pengaturan melalui motivasi individu dan pencapaian kerja yang sudah ditetapkan. Bandura (Hendriana et al. 2017) mengungkapkan bahwa self-efficacy terdiri dari 3 dimensi, yaitu:

a. Level/magnitude, dimensi level berhubungan dengan bagaimana siswa bisa mengatasi kesulitan belajarnya yang meliputi berpandangan optimis dan besar minat siswa terhadap mengerjakan tugas dan pembelajaran.

(7)

b. Strength, dimensi ini berkaitan dengan keyakinan siswa mengatasi kesulitan belajarnya, meliputi usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan prestasi dan komitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah diberikan.

c. Generality, merupakan dimensi yang menunjukkan apakah keyakinan kemampuan diri akan berlaku dalam hal tertentu atau berlaku di berbagai macam aktivitas dan situasi meliputi sikap berpikiran positif dan menjadikan pengalaman terdahulu sebagai cara untuk mencapai suatu kesuksesan.

Bandura dan Pajares (Hendriana et al. 2017) mengatakan bahwa berbagai studi menunjukkan self-efficacy berpengaruh terhadap motivasi, kemauan, dan keuletan siswa dalam menghadapi kesulitan dari suatu tugas, dan meningkatkan prestasi belajar. Pertimbangan dalam self-efficacy juga menentukan bagaimana usaha yang dilakukan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Sumarmo mengutarakan indikator dari self-efficacy yang diantaranya 1) siswa dapat menghadapi permasalahan yang dihadapi, 2) sikap yakin pada kemampuan dirinya, 3) berani untuk menghadapi tantangan dan mengambil resiko, 4) mengetahui akan kekuatan serta kelemahan yang terdapat pada dirinya, 5) siswa dapat berinteraksi dengan siswa lainnya, dan 6) siswa tidak mudah untuk menyerah atau tangguh ketika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang dalam hal ini berkaitan dengan matematika.

Bandura (Subaidi, 2016) mengatakan adanya sumber-sumber utama yang bisa mempengaruhi tingkat self-efficacy seseorang, yaitu yang bersumber dari pengalaman diri seseorang atas keberhasilannya menyelesaikan suatu masalah atau tugas sehingga dapat menerap dan berbekas dalam diri untuk digunakan dalam

(8)

menyelesaikan suatu masalah kedepannya, sumber dari pengalaman orang lain yang kemudian membantu dalam meningkatkan kemampuan diri seseorang, sumber dari kondisi fisik dan emosional atau suasana hati yang terjadi dalam diri, serta sumber yang berasal dari informasi yang disampaikan oleh orang yang berpengaruh mengenai kemampuan diri sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh dirinya.

Indikator self-efficacy yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Bandura (Hendriana et al. 2017) ada tiga dimensi yaitu: magnitude, strengh, dan generality, yang kemudian dirinci ke dalam enam indikator self-efficacy dalam penelitian ini diantaranya: (1) bepandangan optimis dalam mengerjakan pelajaran;

(2) seberapa besar minat terhadap pelajaran dan tugas; (3) usaha yang dilakukan untuk meningkatkan prestasi; (4) komitmen dalam menyelesaikan tugas; (5) menyikapi situasi secara baik dan berpikir positif; (6) menjadikan pengalaman sebagai jalan mencapai kesuksesan.

C. MODEL PEMBELAJARAN CORE

Model pembelajaran merupakan pola desain pembelajaran, yang menggambarkan secara sistematis langkah demi langkah pembelajaran untuk membantu siswa dalam mengontruksi informasi, ide dan membangun pola pikir untuk mencapai tujuan pembelajaran (Rosmala, 2021). Model pembelajaran CORE adalah model pembelajaran alternatif yang dapat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. CORE merupakan singkatan dari empat kata yang memiliki kesatuan fungsi dalam proses pembelajaran, yaitu

(9)

connecting, organizing, reflecting dan extending. Model CORE ini menggabungkan empat unsur kontrukstivis yang terhubung ke pengetahuan siswa, mengatur pengetahuan baru siswa, memberikan kesempatan bagi siswa untuk merefleksikannya, dan memberikan kesempatan siswa untuk memperluas pengetahuan (Wardika et al. 2017).

Menurut Calfee pada tahun 2010, CORE merupakan model pembelajaran yang dirancang agar siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan cara menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama, mengorganisasikan, merefleksi dan memperluas pengetahuan selama proses belajar mengajar berlangsung. Dengan kata lain, model pembelajaran CORE merupakan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk membuat siswa aktif dalam membangun pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya (Deswita & Kusumah, 2018)

Model CORE mencakup empat proses, yaitu connecting, organizing, reflecting, extending menurut Calfee (Jacob, 2005). Dalam connecting, siswa diajak untuk dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuannya terdahulu.

Organizing membantu siswa untuk dapat mengorganisasikan pengetahuannya.

Reflecting, siswa dilatih untuk dapat menjelaskan kembali informasi yang telah mereka dapatkan. Terakhir yaitu extending atau proses memperluas pengetahuan siswa, salah satunya dengan jalan diskusi.

Model CORE adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan metode diskusi untuk mempengaruhi perkembangan pengetahuan dengan melibatkan siswa. Keempat elemen model pembelajaran CORE yaitu connecting, merupakan

(10)

mengoneksikan informasi lama dan informasi baru diantara konsep, organizing, merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi, reflecting, merupakan kegiatan untuk memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi yang sudah didapat, dan extending, merupakan kegiatan untuk mengembangkan atau memperluas pengetahuan selama proses belajar mengajar berlangsung.

Model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, extending atau lebih sering disingkat CORE menurut Shoimin (2014) memiliki empat aspek yang penting. Keempat aspek tersebut sebagai berikut:

1. Connecting merupakan kegiatan mengoneksi informasi lama dan informasi baru dan antar konsep. Di sini, seorang guru menyampaikan pertanyaan konstekstual mengenai materi yang dipelajari dan menggali pengetahuan awal dan menghubungkan dengan materi yang akan dipelajari

2. Organizing merupakan kegiatan mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi. Disini guru memandu siswa untuk mengorganisasikan ide-ide yang telah dibahas pada fase sebelumnya.

3. Reflecting merupakan kegiatan memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi yang sudah didapat. Tugas guru disini adalah mengarahkan siswa untuk merefleksikan diri dengan memikirkan kembali dan mendalami hasil diskusi yang telah disepakati.

4. Extending merupakan kegiatan untuk mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan. Guru mngarahkan siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

(11)

Adapun langkah-langkah model pembelajaran CORE menurut Shoimin (2014) adalah sebagai berikut:

1. Mengawali pembelajaran dengan kegiatan yang menarik siswa.

2. Menyampaikan konsep lama yang akan dihubungkan dengan konsep baru oleh guru kepada siswa, connecting (C).

3. Mengorganisasikan ide-ide untuk memahami materi yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru, organizing (O).

4. Pembagian kelompok secara heterogen (campuran antara yang pandai, sedang, dan kurang) yang terdiri dari 4-5 orang.

5. Memikirkan kembali, mendalami, menggali informasi, yang sudah didapat dan dilaksanakan dalam kegiatan belajar kelompok siswa, reflecting (R).

6. Pengembangan, memperluas, menggunakan, dan menemukan, melalui tugas individu dengan mengerjakan tugas, extending (E).

Kelebihan Model Pembelajaran (CORE) adalah:

Menurut Indarwati et al. (2018) Beberapa kelebihan dari model pembelajaran CORE adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.

2. Mengembangkan dan melatih daya ingat siswa tentang suatu konsep dalam materi pembelajaran.

3. Mengembangkan daya berpikir kritis sekaligus mengembangkan ketrampilan pemecahan suatu masalah.

4. Memberikan pengalaman belajar kepada siswa karena mereka banyak berperan aktif sehingga pembelajaran menjadi bermakna.

(12)

Proses belajar mengajar dengan menggunakan model CORE di kelas akan berjalan dengan baik hanya jika guru menyiapkan rencana pelajaran yang terorganisasi dengan baik. Selain itu bahan ajar, LKPD diperlukan untuk mendukung pembelajaran. Namun, bahan ajar dan lembar kerja peserta didik yang tersedia di sekolah tidak dapat sepenuhnya memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan bahan ajar dan LKPD menggunakan model pembelajaran CORE. Selain itu, guru juga harus dapat mendorong serta memicu siswa agar kritis saat pembelajaran berlangsung.

Dari pengertian dan uraian-uraian tentang model pembelajaran CORE di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran CORE adalah model pembelajaran diskusi yang menghubungkan materi lama dengan materi baru.

Dengan demikian siswa dituntut untuk mengingat kembali materi lama untuk dapat mengerjakan materi yang baru. Sehingga diharapkan mampu meningkatkan koneksi matematis siswa.

Penerapan model pembelajaran CORE ini merupakan salah satu alternatif untuk memvariasikan pembelajaran yang biasa diterapkan guru atau pembelajaran ekpositori. Siswa dapat memperdalam kemampuan koneksi matematis dengan cara menghubungkan dan mengorganisasikan pengetahuan, kemudian memikirkan kembali konsep yang sedang dipelajari.

(13)

D. PEMBELAJARAN EKPOSITORI

Pembelajaran ekspositori adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (Majid, 2016). Dikenal dengan metode pembelajaran langsung (direct introduction) karena materi pembelajaran tersebut langsung disampaikan oleh guru kepada siswa.

Siswa tidak dituntut untuk menemukan materi, materi pelajaran yang akan disampaikan seolah-olah sudah jadi. Pembelajaran ini lebih menekankan kepada proses bertutur kata. Strategi pembelajaran ekspositori adalah bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada guru, dikatakan demikian sebab dalam strategi ini guru memegang peranan yang sangat penting atau dominan.

Penggunaan pembelajaran ekpositori merupakan model pembelajaran yang mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung.

Pembelajaran ekpositori disebut juga dengan metode ceramah karena guru menjadi pusat pembelajaran dikelas, sedangkan murid pada umumnya mencatat dan sebagian kecil bertanya. Adapun langkah-langkah model pembelajaran ekspositori menurut Sanjaya (2014) adalah sebagai berikut:

1) Persiapan (preparation)

Tahap ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.

Langkah persiapan merupakan langkah yang sangat penting. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan strategi ekpositori sangat tergantung pada langkah persiapan.

(14)

2) Penyajian (presentation)

Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. Dalam langkah ini guru memikirkan materi pelajaran dengan lengkap agar mudah dipahami oleh siswa.

3) Korelasi (correlation)

Langkah ini menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa ataupun dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan yang dimilikinya yang bertujuan untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran untuk meningkatkan kualitas kemampuan berpikir dan motorik siswa.

4) Menyimpulkan (generalization)

Langkah menyimpulkan ini merupakan langkah yang sangat penting dalam strategi ekspositori, karena dengan langkah ini siswa akan dapat mengambil inti dari proses penyajian.

5) Mengaplikasikan (application)

Langkah aplikasi merupakan langkah untuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru. Melalui langkah ini guru akan dapat menyimpulkan informasi mengenai penguasaan serta pemahaman materi pelajaran.

E. KERANGKA BERPIKIR

Pembelajaran merupakan suatu proses penting yang dilakukan oleh siswa yang bertujuan agar siswa dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran sangat memerlukan partisipasi aktif dari siswa. Jadi, siswa tidak

(15)

hanya menerima dan menghafal begitu saja informasi atau materi yang diperolehnya dari guru. Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa. Sebagai guru, sudah seharusnya selalu berusaha untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Upaya guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa adalah dengan menggunakan model dan media pembelajaran yang tepat, di dalam pemilihan model dan media diperlukan pemikiran serta persiapan yang matang. Untuk itu model pembelajaran yang digunakan harus berorientasi pada siswa.

Pada dasarnya secara individual manusia itu berbeda. Demikian pula dalam pemahaman konsep-konsep yang akan diberikan. Oleh karena itu perlu adanya model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa. Salah satu model pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa adalah model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, extending (CORE). Model CORE ini strategi pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif , tidak cemas, menarik minat siswa, menyenangkan selama pembelajaran terjadi interaksi baik sesama siswa maupun dengan guru serta dapat membangun pengetahuan yang didapatnya dengan pengetahuan yang baru dalam menyelesaikan permasalahan matematis. Hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa dan self- efficacy siswa. Adapun diagram kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(16)

Diagram 2. 2 Kerangka berpikir

F. PENELITIAN YANG RELEVAN

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh :

Fatimah (2019) dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Melalui Pembelajaran Model Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE)”. Dengan masalah kemampuan koneksi matematis siswa yang rendah serta perlu mendapat perhatian guru dalam proses pembelajaran matematika di kelas. Metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen, dengan hasil terdapat peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada model pembelajaran konvensional, dengan makna lain model pembelajaran CORE dapat

Latar Belakang Masalah

Kemampuan koneksi matematis siswa rendah

Self-efficacy siswa rendah

Solusi :

Menggunakan model pembelajaran connecting, organizing, reflecting, extending (CORE)

Kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa meningkat

(17)

meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya peningkatan ini adalah proses pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan model CORE. Model pembelajaran yang menekankan kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan, mengorganisasikan, mendalami, mengelola, dan mengembangkan informasi yang didapat.

Prasetyo (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, Extending (CORE) terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA” bahwa dalam pembelajaran matematika dengan model CORE dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa. Karena dengan menggunakan model CORE, siswa dapat melatih daya ingat serta daya pikir kritis sehingga wawasan siswa akan lebih berkembang dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi matematika ataupun dengan disiplin ilmu lainnya.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang relevan telah dilakukan, diantaranya berbeda pada variabel penelitian, populasi, sampel, dan materi yang diajarkan, sehingga penelitian ini akan memperkaya pengetahuan mengenai model pembelajaran CORE, kemampuan koneksi matematis, dan self-efficacy. Penelitian sebelumnya menjadi referensi tambahan untuk penelitian ini.

G. HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian (Sugiyono, 2018). Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa dengan

(18)

menggunakan model pembelajaran CORE lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran ekpositori.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tulang tibia kiri, humerus kanan, dan radius kanan dapat dipakai memperkirakan tinggi badan laki-laki dan tulang fibula

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi Pb terhadap diameter koloni dan indeks toleransi isolat fungi non-simbiosis indigenus dari lahan

Adanya kendala-kendala dalam penerapan kurikulum 2013 maka dikerjakan penelitian mengenai rancang bangun sistem informasi akademik SMA berbasis kurikulum 2013 yang

Pada kasus pertama ukuran keluaran query tetap, hal ini disebabkan karena adanya kondisi seleksi sehingga tidak semua elemen yang ada pada dokumen masukan akan menjadi hasil

Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan mempelajari

Terdapat tiga soalan yang dijawab oleh kajian ini iaitu; (1) adakah terdapat perbezaan dari segi min pencapaian dalam ujian pra dan ujian pasca; (2) bagaimanakah tahap

Pejabat Pengadaan pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2014, telah melaksanakan Proses Evaluasi Kualifikasi

Bagaimana pendapat anda mengenai materi yang disampaikan Mamah Dedeh pada program siaran Mama dan Aa beraksi di Indosiar..