BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang, rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter ahli Gastroenterologi (O’Mahony dkk, 2018). Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan dengan terjadinya dispepsia (Abdullah
& Gunawan, 2019). Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Djojoningrat, 2018).
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis menimbulkan gangguan keseimbangan saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian (vegetatif imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun
( psiko– neuro-imun-endokrin ), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur- jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu : mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan am bang rasa nyeri (Andre dkk, 2013 ). Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional, diperoleh sebanyak 26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak diinginkan, 35 orang (92%) mengalami
kecemasan, dan sebanyak 38 orang (100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup yang tidak diinginkan dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional.
Namun kasus kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional (Tack dkk, 2006 ). Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana “Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Dispepsia
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Pasien Tentang Penyakit Dispepsia
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti
Sebagai aplikasi ilmu yang diperoleh terutama riset keperawatan dan dapat menambah pengetahuan dan keterampilan penulis dalam melakukan penelitian serta menambah wawasan tentang Dispepsia.
2. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi institusi kesehatan dalam meningkatkan pendidikan kesehatan tentang penyakit Dispepsia.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat sebagai data dasar bagi peneliti lainya yang ingin melanjutkan penelitian dengan lingkup yang sama.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi di ruang baca untuk menambah wawasan mahasiswa/i tentang konsep dispepsi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 1. LANDASAN TEORI
1) Konsep Dispepsia a. Definisi
Dispepsia adalah kumpulan gejala yang terdiri dari gejala-gejala nyeri dan rasa yang tidak menyenangkan pada perut bagian atas disertai dengan kembung, refluks gaster, mual dan muntah (Bestene, J.A, 2010. Khean-Lee Goh, 2011. NICE 2014)
b. Etiologi
Penyebab dispepsia beragam di antaranya disebabkan karena rangsangan sekresi asam lambung yang meningkat di sebabkan karena makanan-makanan yang pedas, asam, kebiasaan minum kopi, alkohol, minuman bersoda, pola makan yang tidak teratur serta kebiasaan mengkonsumsi OAINS. Pengosongan lambung, faktor stress atau psikis, dan Infeksi Helicobacter Pylori. Selain itu, faktor gaya hidup dan lingkungan juga ikut mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia fungsional (Khademolhosseini F, et al, 2010. Djojodiningrat D, IPD,2014). Dispepsia organik terjadi karena adanya kelainan organik seperti dispepsia tukak, dispepsia bukan tukak, penyakit saluran empedu, gastritis, ulkus peptikum dan karsinoma saluran cerna (lambung, kolon,pankreas) dan pankreatitis (Khademolhosseini F, et al, 2010.
Djojodiningrat D, IPD,2014. Abdullah M, et al, 2012).
c. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi Menurut Diyono dan Muliyanti (2013), lambung terletak oblik dari kiri ke kanan berbentuk menyilang di abdomen atas di bawah diafragma.
Pada saat kosong, lambung berbentuk tabung (seperti huruf J) dan pada saat penuh seperti buah alpukat
Jumlah yang dianjurkan untuk kapasitas normal lambung adalah satu sampai dua liter. Anatomi lambung terdiri dari fundus, korpus, dan antrum pyloricum atau piloris. Pada bagian atas kanan terdapat cekungan kurvatura minor dan di bawah kiri terdapat cekungan kurvatura mayor serta di masing-
masing ujung kurvatura terdapat sfinger yang berfungsi mengatur pengeluaran dan pemasukan.
Fisiologi
Menurut Diyono dan Muliyanti (2013), fungsi lambung dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
1) Fungsi Motorik
a) Fungsi resevair adalah menyimpan makanan dan dicerna terus hingga menjadi sedikit. Makanan di saluran sesuai tingkat volume tanpa ada penambahan tekanan.
Gastrin merangsang saraf vagus untuk memerantai terjadinya rileksasi reseptif otot polos.
b) Fungsi mencampur merupakan pemecahan makanan menjadi partikel kecil dan bercampur dengan getah lambung yang melalui kontraksi otot yang ada pada lambung.
c) Fungsi pengosongan lambung merupakan suatu yang dikendalikan oleh pembukaan sfinger piloris dan dipengaruhi oleh viskositas, emosi, keasaman, volume, keadaan fisik, serta aktivitas osmotik, kerja dan obatobatan.
2) Fungsi pencernaan dan sekresi
a) Pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil peranannya serta awal mula pencernaan protein oleh pepsin dan HCI.
b) Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, peregangan antrum, dan rangsangan vagus.
c) Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal. Pengaturan sekret lambung dibagi menjadi fase sefalik, gastrik dan instestinal. Fase sefalik dimulai sebelum makanan masuk lambung seperti melihat, mengecap, mencium, dan memikir. Pada fase ini diperantarai oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung, sehingga kelenjar gastrik dirangsang mengeluarkan asam HCI, pepsinogen dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal. Fase gastrik dimulai pada saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi yang terjadi diantrum menyebabkan rangsangan mekanis pada
dinding lambung sehingga impuls-impuls merangsang pelepasan hormon gastrin dan kelenjar-kelenjar lambung dan terjadi sekresi. Pelepasan gastrin dirangsang oleh pH alkali, garam empedu diantrum dan protein makanan serta alkohol. Fase intestinal pada saat gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Protein yang ditelah dicerna didalam duodenum merangsang pelepasan gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus mensekresikan cairan lambung.
d. Klasifikasi
Klasifikasi Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik adalah dispepsia yang disebabkan adanya kelainan struktur organ pencernaa, sedangkan dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (Sander G.B, et al, 2011. Ringel Y, 2013. Loening Baucke V, 2006. Hadi Sujono, 2012).
e. Manifestasi Klinik
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,membagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala : a) Nyeri epigastrum terlokalisasi
b) Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid c) Nyeri saat lapar
d) Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejalaseperti : a) Mudah kenyang
b) Perut cepat terasa penuh saat makan c) Mual
d) Muntah
e) Upper abdominal boating
f) Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non-spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas) (Mansjoer, et al, 2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat,sertadapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya.Pembagian akut dankronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.Nyeri dan rasa tidaknyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dansuara usus yang keras (borborigmi).Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya.Gejala lain meliputi nafsu makanyang menurun,mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung)..
makanyang menurun,mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu,atau tidak memberi respon terhadap pengobatan,ataudisertai penurunan berat badan ataugejala lain yang tidak biasa, makapenderita harus menjalani pemeriksaan.
f. Patofisiologi
Berbagai hipotesis mekanisme telah di ajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya gangguan ini. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispesia fungsional adalah hipotesis asam lambung dan inflamasi, hipotesis psikologis. (Djojodiningrat D, IPD,2014)
a) Kelainan Fungsional
1) Sekresi Asam Lambung Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaanstress, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung. Kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang terjadinya kondisi asam lambung, sehingga rangsangan di medula oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan maupun cairan. Kasus dispepsia
fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambungm baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Di duga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak perut (Djojodiningrat D,IPD,2014. Abdullah M, et al, 2012).
2) Infeksi Helicobacter pylori (Hp)
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya di mengerti dan di terima. Diketahui bahwa Hp dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat somatostatin (Djojodiningrat D, IPD,2014.
Abdullah M, et al, 2012. Vilaichone R.K, et al, 2014).
2) Psikologis
Adanya stres akut dapat mempAdanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Tiap kolerasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih kontroversial. Inilah sebabnya keadaan depresi walaupun hal tersebut merupakan gangguan emosi, akan tetapi terdapat pula gangguan somatik. Pada praktek kedokteran umum sering ditemukan kasus depresi dengan manifestasi. Tidak jarang mereka datang dengan berbagai manifestasi. Tidak jarang mereka datang dengan berbagai keluhan fisik (somatik), seperti sakit kepala, nafsu makan hilang, letih, lesu, tidak bersemangat, konstipasi, nausea, jantung berdebar- debar, kurang konsentrasi, sukar tidur dan sebagainya. Bila diadakan pemeriksaan lebih lanjut, biasanya keluhan tersebut jarang sekali disertai penemuan kelainan organik (Djojodiningrat D, IPD,2014. Kusumanto R, et al, 2011. Taska R.J, 2011).
3) Akibat OAINS
Dalam dua studi berbasis populasi bahwa ada hubun gan gejala dispepsia dengan penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS). Dalam sebuah survei terhadap orang dewasa Amerika dari suatu lembaga, penggunaan rutin OAINS dan Aspirin sangat terkait dengan dispepsia fungsional. (Mahadeva S, et al, 2006) b) Dispepsia organik
Dispepsia organik penyebabnya telah diketahui memiliki kelainan organik seperti dispepsia tukak, dispepsia bukan tukak, refluks gastroesofageal, penyakit saluran empedu, karsinoma (lambung, kolon, pankreas) dan pankreatitis (Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002).
1) Dispepsia tukak
Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri diulu hati, berkurangnya atau bertambahnya rasa nyeri berhubungan dengan makanan.
Tukak lambung dapat diketahui dengan pemeriksaan endoskopi. (Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002).
2) Dispepsia bukan tukak
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsia tukak, biasanya pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda- tanda tukak. (Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002).
3) Refluks gastroesofageal
Gejala berupa panas di dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.
(Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002).
4) Karsinoma
Karsinoma dari saluran makanan (lambung, kolon, pankreas) sering menimbulkan keluhan dispepsia. Keluhan yang sering dirasakan nyeri abdomen, keluhan bertambah dengan berkaitannya makanan, anoreksia, dan berat badan menurun. (Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002).
5) Pankreatitis
Rasa nyeri yang timbulnya mendadak yang menjalar kepunggung, perut dirasa makin tegang dan kembung (Abdullah M, et al, 2012. Hadi S, 2002)
g. Gambaran Klinis
Menurut Kriteria Roma III pada tahun 2010 dalam American Journal of Gastroenterology, dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. (Anonim, 2010.
Djojodiningrat D, IPD, 2014. Baker G, et al, 2006) Kriteria Diagnostik Roma III
Untuk Dispepsia Fungsional (Anonim, 2010. Djojodiningrat D, IPD, 2014).Kriteria diagnostik terpenuhi bila poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
a). Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini: Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1)Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderate/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu.
2) Nyeri timbul berulang.
3) Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium.
4) Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5) Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis (Anonim, 2010. Baker G, et al, 2006).
h. Diagnosis
Dispepsia fungsional adalah gangguan pencernaan secara fungsional, dengan tidak ada kelainan fisik yang jelas dari saluran pencernaan, dan sehingga tidak ada tes khusus yang dapat menentukannya. Oleh karena itu, dispepsia fungsional sebagian besar merupakan diagnosis eksklusi. Maka perlu untuk mengajukan beberapa pertanyaan kesehatan, mengambil riwayat kesehatan, dan menyelesaikan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan penyebab lain (Loening V, 2006).
Sebuah kelompok kerja internasional mengembangkan daftar kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional. Kriteria ini dikembangkan di Roma dan sekarang di versi ketiga disebut sebagai ‘Kriteria Roma III’. Dalam beberapa kasus, terutama jika timbul gejala yang tidak khas, maka mungkin ingin melakukan tes
tambahan (Loening V, 2006). Diagnosis dispepsia fungsional menurut kriteria Roma III :
1) Cepat kenyang.
2) Nyeri epigastrium.
3) Heartburn.
4) Tidak ada bukti penyakit struktural (termasuk di endoskopi bagian atas) yang mungkin untuk menjelaskan gejala.
Kriteria ini harus dipenuhi selama tiga bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya enam bulan sebelum diagnosis (Loening V, 2006. Hadi S, 2002.
Bestene J,A, 2010).
a) Anamnesis
Dispepsia fungsional adalah gangguan pencernaan secara fungsional, oleh karena itu, dispesia fungsional sebagian besar merupakan diagnosis eksklusi. Maka perlu untuk mengajukan beberapa peertanyaan kesehatan mengambil riwayat kesehatan (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Price S,A, et al, 2006)
b) Pemeriksaan Fisik
Pada kasus dispepsia pemeriksaan fisik dilakukan hanya untuk menyingkirkan penyebab lain (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Price S,A, et al, 2006).
c) Pemeriksaan Penunjang
Dispepsia fungsional tidak ditemukan adanya kelainan organik, sedangkan untuk dispepsia organik ditemukan adanya kelainan organik (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Price S,A, et al, 2006).
1) Radiologi
Gambaran radiologi suatu tukak berupa creater/kawah dengan batas jelas disertai lipatan mukosa yang teratur keluar dari pinggiran tukak dan niche dan gambaran suatu proses keganasan lambung biasanya dijumpai satu filling defect. Kanker lambung secara radiologi akan tampak masa ireguler, tidak terlihhat daerah peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah (Djojodiningrat D, IPD, 2014)
2) Endoskopi
Endoskopi Tes ini digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung dan duedenum dengan memasukan tabung tipis fleksibel ke kerongkongan (Loening V, 2006) Endoskopi untuk suatu tukak jinak berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal disertai lipatan yang teratur keluar dari pinggiran tukak (Djojodiningrat D, IPD, 2014). Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter pylori, dimana cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori. Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive Heam Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat diamati secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat anti Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan positif terinfeksi Helicobacter pylori (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Khan A, et al, 2013).
3) Gastroskopi
Tes ini biasanya dilakukan untuk pasien dengan dispepsia karena merupakan cara yang sangat akurat untuk menemukan atau mengesampingkan adanya cedera pada lapisan dalam saluran pencernaan bagian atas (Djojodiningrat D, IPD, 2014)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan organik, pemeriksaan untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian yaitu:
Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukosit dosis berarti tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dyspepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumormarker (dugaan karsinoma kolon), dan (dugaan karsinoma pankreas). Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang
mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.
Endoskopi biasa digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bahwa mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan bakuemas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi H. pylori, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi (Ida, 2016).
g. Penatalaksanaan
a) Non Farmakologi
Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet rendah lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga merekomendasikan untuk menghindari makan yang terlalu banyak terutama dimalam hari dan
membagii asupan makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku (Pajala M, 2014. Anonim, 2014).
b) Farmakologi 1) Obat Antagonis
H2 reseptor Antagonis H2 reseptor (simetidine, renitidine, famotidine, nizatidine), struktur homolog dengan histamine. Mekanisme kerjanya memblokir efek histamine pada sel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Manfaatnya ditujukan untuk menghilangkan rasa nyeri ulu hati (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Sulistia G, et al, 2009. Anonim, 2014). Antagonis reseptor H2(H2-RA) ini kelas obat telah tersedia selama lebih dari 25 tahun dan adalah bentuk benar-benar efektif pertama pengobatan mengurangi asam. Obat memberikan penurunan asam untuk kasus-kasus ringan dari refluks. Obat ini efektif dalam penyembuhan ulkus, meskipun pada tingkat yang lebih lambat dibandingkan dengan proton pumpin hibitor. Obat ini sangat aman. Efek samping yang jarang mungkin termasuk ruam kulit, diare, kelainan tes hati, dan masalah ginjal. Obat- obatan ini aman untuk terapi jangka panjang jika diperlukan (CHDF, 2015)
2) Antasid
Golongan ini mudah didapat dan harganya murah. Antasida akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung natrium bikarbonat, AI(OH)3, Mg(OH)2, dan magnesium trisiklat. Pemberian antasida tidak dapat dilakukan terus-menerus, karena hanya bersifat simtomatis untuk mengurangi nyeri (Djojodiningrat D, IPD, 2014. Sulistia G, et al, 2009. Alexander D, et al, 2010).
Antasid memegang peranan peranan penting, dengan pemberian antasid nyeri lambung akan hilang, tetapi tidak berarti dalam taraf penyembuhan. Regimen dosis antasid bervariasi tergantung dari beratnya gejala (Djojodiningrat D, IPD, 2014.
Sulistia G, et al, 2009. Hadi S, 2002).
3) Obat Proton pump inhibitor (PPI)
Proton Pump Inhibitor (PPI) ini kelas obat telah tersedia selama lebih dari 10 tahun dab memberikan penekanan asam yang paling efektif yang tersedia saat ini. Obat ini paling efektif untuk gejala refluks yang berat dan agak lebih cepat dari pada H2- RA. Secara umum, obat ini salah satu yang terbaik yang cukup mengontrol gejala.
Obat dianggap aman untuk pengobatan jangka panjang jika perlu. Penggunaan obat jenis ini sering dikombinasikan dengan antibiotik untuk mengobati Helicobacter pylori. Efek samping obat ini yaitu, jarang di ditemukan dan akan terjadi ruam kulit, diare, dan berbagai efek samping lainnya (Djojodiningrat D, IPD, 2014.
Sulistia G, et al, 2009. Anonim, 2014).
4) Anti kolinergik
Kerja obat ini tidak spesifik, obat yang agak selektif adalah pirenzepin yang bekerja sebagai anti reseptopr muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar 28% samapi 43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif (Hadi S, 2002).
5) Sitoprotektif
Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2) selain bersifat sitoprotektif juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal.Sukralfat berfungsi meningkatkan prostaglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (sile protective) yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas. (Hadi S, 2002).
6) Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini yaitu sisaprid, domperidon, dan metokloppramid.
Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki asam lambung (Peura D, 2010)
h. Komplikasi
Sementara dispepsia fungsional tidak terkait dengan kondisi yang mengancam jiwa, tetapi sering berdampak pada aktivitas sehari-hari dan kualitas
gidup. Bagi sebagian orang, kesulitan mengatasi gejala dispepsia fungsional (yaitu sering bersendawa atau mengalami ketidaknyamanan di perut) dapat membatasi kegiatan sehari-hari. Seiring waktu, hal ini dapat menyebabkan perasaan putus asa, stress, depresi, dan kecemasan (Loening V, 2006.
Djojodiningrat D, IPD, 2014).
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya muntah darah. Awalnya akan mengalami buang air besar berwarna hitam. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi (Loening V, 2006. Djojodiningrat D, IPD, 2014. Price S,A, et al, 2006).
i. Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik (Djojodiningrat D, IPD, 2014)
j. Pengendalian
a) Pencegahan Primordial
Pada tahap ini dilakukan pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor risiko penyakit dispepsia. Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan memberikan penyuluhan mengenai kebiasaan dan faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit dispepsia agar dihindari (Alexander D, et al, 2010. Desai H,G, 2012. CHDF, 2001).
b). Pencegahan Primer
Tahap pencegahan primer diberikan kepada orang-orang yang memiliki faktor risiko penyakit dispepsia dengan cara membatasi dan menghilangkan kebiasaan tidak sehat yang dapat memicu kerusakan pada saluran pencernaan, seperti makanan tidak sehat. Selain itu, penggunaan obat penghilang nyeri seperti NSAIDs juga harus diperhatikan, jika
memungkinkan diganti (Kusumanto R, et al, 2011. Baker G, et al, 2006) c). Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder diberikan kepada para penderita dispepsia.
Usaha yang dapat dilakukan antara lain dengan mengatur pola makan, makanan harus mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan asam lambung dan menetralisasi asam HCL. Selain itu, obat-obatan seperti antasida, antagonis reseptor H2 PPI (proton pump inhibitor), sitoprotektif, dan prokinetik perlu diberikan pada penderita untuk mengatasi dispepsia (Sulistia G, et al, 2009. Alexander D, et al, 2010).
d). Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier umumnya dilakukan oleh para tenaga medis untuk menelusuri kejadian yang diderita pasien dengan mencari dan menemukan sistem terapi terpadu, misalnya dengan rehabilitasi mental sehingga diharapkan terjadi kemajuan dalam kesembuhan setelah faktor stres ditangani (CHDF, 2015. Desai, HG, 2012)
2. Pengetahuan
a. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahudan ini terjadi setelah orang telah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indra menusia yakni indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besarpengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).
b. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu ( Notoadmodjo, 2010) :
1) Tahu ( know )
Tahu di artikan sebagai mengingat materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk kedalam tingkat ini adalah mengingat kembali sesuatu yang spesifikdari bahan yang di pelajari atau rangsangan yang
diterima. Oleh sebab itu “tahu” adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami ( Comprehension )
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham contohnya adalah menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3) Aplikasi ( Application )
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi ( sebenarnya ). Aplikasi ini dapat di artikan aplikasi atau penggunaan hukuk-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam kontek atau situasi yang lain.
4) Analisa ( Analsis )
Analisi adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebutdan masih ada kaitanya satu sama lainnya.
Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerjaseperti dapat menggambarkan ( membuat bagan).
5) Sintesis ( Synthesis )
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu merupakan kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang adamisalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas dan menyesuaikan terhadap teori atau rumus yang ada.
6) Evaluasi ( Evaluasi )
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada. Pengukuran pengetahuan dapat di lakukuan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur, dapat kita sesuaiakn dengan singkatan tersebut diatas.
c. Pengukuran pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalam an pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan – tingkatan diatas (Arikuntu, 2010) :
Tingkat pengetahuan baik bila skor ≥76% - 100%
Tingkat pengetahuan cukup bila skor 56% - 75%
Tingkat pengetahuan kurang bila skor ≤ 55 % C. Konsep Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang dilakukan yaitu : Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa data.
Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri perut, rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa lekas kenyang, perut kembung, rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar cairan dari lambung secar tiba-tiba). (Mansjoer, 2000).
Menurut Tucker (1998), pengkajian pada klien dengan dispepsia adalah sebagai berikut:
1. Keluhan Utama
Nyeri/pedih pada epigastrium disamping atas dan bagian samping dada depan epigastrium, mual, muntah dan tidak nafsu makan, kembung, rasa kenyang
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Sering nyeri pada daerah epigastrium, adanya stress psikologis, riwayat minum- minuman beralkohol
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah anggota keluarga yang lain juga pernah menderita penyakit saluran pencernaan
4. Pola aktivitas
Pola makan yaitu kebiasaan maakn yang tidak teratur, makan makanan yang merangsang selaput mukosa lambung, berat badan sebelum dan sesudah sakit.
5. Aspek Psikososial
Keadaan emosional, hubungan dengan keluarga, teman, adanya masalah interpersonal yang bisa menyebabkan stress
6. Aspek Ekonomi
Jenis pekerjaan dan jadwal kerja, jarak tempat kerja dan tempat tinggal, hal-hal dalam pekerjaan yang mempengaruhi stress psikologis dan pola makan
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik head to toe a. Kulit
Kulit tampak simetris, kebersihan kulit baik, kulit teraba agak lembab, tidak terdapat lesi atau luka pada kulit, turor kulit kembali ± 2 detik, kulit teraba hagat dengan suhu 38°C, warna kulit kuning langasat.
b. Kepala dan Leher
Tekstur kepala dan leher tampak simetris, kebersihan kulit kepala baik tidak terapat ketombe, persebaran rambut merata, warna rambut hitam, tidak ada benjolan pada kepala, pada leher tidak ada pembeasran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe, leher dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri.
c. Penglihatan dan Mata
Struktur mata tampak simetris, kebersiahn mata baik (tidak ada secret yang menempel paa mata), konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada kelainan pada mata seperti strabismus (juling), mata dapat digerakan kesegala arah, tidak ada kelainan dalam penglihatan, kilen tidak menggunakan alat bantu penglihatan seperti kacamata
d. Penciuman dan Hidung
Struktur hidung tampak simetris, kebersihan hidung baik, tidak ada secret didalam hidung, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri, fungsi penciuman baik (dapat membedakan bau minyk kayu putih dengan alkohol)
e. Pendengaran dan Telinga
Struktur telinga simetris kiri dan kanan, kebersihan telinga baik, tidak ada serumen yang keluar, tidak ada peradangan, perdarahan, dan nyeri, klien mengatakan telinganya tidak berdengun, fungsi pendengaran baik(kilen dapat menjawab pertanyaan dengan baik tanpa harus mengulang pertanyaan), klien tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
f. Mulut dan Gigi
Struktur mulut dan gigi tampak simetris, mukosa bibir tampak kering, kebersihan mulut dan gigi cukup baik, tidak terapat peradangan dan perdarahan pada gusi, lidah tampak bersih dan klien tidak meggunakan gigi palsu.
g. Dada, Pernafasan dan Sirkulasi
Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 20x/menit, tidak ada nyeri tekan pada dada, klien bernafas melalui hidung, tidak ada terdengar bunyi nafas tambahan seperti wheezing atau ronchi, CRT kembali ± 3 detik.
h. Abdomen
Struktur abdomen simetris, abdomen tampak datar(tidak ada benjolan), saat diperkusi terdenagr bunyi hipertimpani.Klien mengatakan perutnya terasa kembung, saat dipalpasi terdapat nyeri tekan, klien mengatakan nyeri didaerah abdomen pada bagin atas. Klien mengatakn skala nyerinya 3 dan seperi disuk-tusuk, serta nyerinya bisa berjam-jam.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Menurut Buku SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)
1. Nyeri Akut Berhubungan dengan Agen Pencedera Fisilogis D.0077
2. Defisit Nutrisi Berhubungan dengan Ketidakmampuan MencernaMakanan D.0019 3. Defisit Pengetahuan Berhubungan dengan Kurang terpapar informasi D.0111, Intervensi Keperawatan
Pada diagnosa pertama adalah nyeri akut yang berhubungan dengan Agen Pencedera fisiologis, goal untuk diagnosa ini adalah pasien akan terhindar dari nyeri selama dalam perawatan ,dengan objektifnya dalam jangka waktu 15-20 menit pasien Tidak meringis. Dengan perencanaan yang dibuat untuk diagnosa ini adalah dengan Lakukan pengkajian nyeri yang meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, intervensi atau beratnya nyeri,dan faktor pencetus, Observasi adanya petunjuk pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalamaan nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri, Ajarkan prinsip prinsi manjemen nyeri. Intervensi manajemen nyeri (1400) hanya 4 aktifitas yang penulis ambil ini dikarenakan 4 aktifitas tersebut sesuai dengan kasus nyata. Aktifitas yang diambil yaitu: pertama, lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif Provocate, Quality, Region, Severe, Time (PQRST). Kedua, observasi adanya petunjuk non verbal mengenai ketidak nyamanan. Ketiga, pastikan perawatan analgesik bagi pasien. Ke empat, ajarkan pengunaan teknik nonfarmakologi (teknik relaksasi). Defisit nutiri berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan, manajemen nutrisi (I.03119), observasi:
identifikasi status nutrisi, identifikasi alergi dan intoleransi makanan, identifikasi makanan yang disukai, identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient, identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik, monitor asupan makanan dan monitor berat badan. Terapeutik: lakukan oral hygiene sebelum makan jika perlu, oral hygiene sebelurm makan, jika perlu, fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. piramida makanan), sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai, berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi, berikan makanan tinggi kalori dan protein, berikan suplemen makanan, jika perlu, hentikan pemberian makan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat ditoleransi. Edukasi, anjurkan posisi duduk, jika mampu, ajarkan diet yang diprogramkan. Kolaborasi, kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis.pereda nyeri, antiemetik). Jika perlu. Kalaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis gizi yang di butukan jika perlu. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi Defisit Pengetahuan, tujuanberdasarkan SIKI yaitu Edukasi Kesehatan: (kode I.12383). Setelahdi lakukan tindakan keperawatan 1x30 menit, di harapakan Status Kesehatan Komunitas Meningkat, dengan kriteria hasil: Ketersediaan programpromosi kesehatan meningkat, Kepatuhan terhadap standar kesehatan lingkungan meningkat, prevalensi penyakit, angka penyalahgunaan zat, angka penyalahgunaan alkohol, angka kebiasaan merokok. Dengan perencanaan yang di buat berdasarkan SLKI, yaitu Status Kesehatan Komunitas : (kode L.12109), dengan intervensi observasi: identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi, identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat, terapeutik:
sediakan materi dan media pendidikan kesehatan, Edukasi: jelaskan faktor risikoyang dapat mempengaruhi kesehatan, ajarkan perilaku hidup bersihdansehat.
Evaluasi keperawatan
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan/ kriteria hasil yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan tenaga medis yang lain agar mencapai tujuan/ kriteria hasil yang telah ditetapkan (Ida, 2016).
Menurut Wong, dkk (2009: 1202) mengatakan bahwa keefektifan keperawatan ditentukan oleh pengkajian ulang dan evaluasi asuhan secara kontinu berdasarkan pedoman observasi yaitu :
1. Observasi dan wawancara pasien dan keluarga mengenai kepatuhan mereka pada program medis dan diet.
2. Pantau tanda vital, pengukuran pertumbuhan, laporan laboratorium, perilaku, penampilan.