• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Filsafat Hukum terhadap Teori P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Filsafat Hukum terhadap Teori P"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Filsafat Hukum terhadap Teori Pemidanaan

(Kontribusi Pemikiran dalam Rangka Pembaruan Hukum Pidana Nasional)

Oleh: H. Muammar Arafat Yusmad

Abstrak

Kata Kunci: Pemidanaan, Pembaruan hukum

Tulisan ini dimulai dari pandangan positivisme hukum bahwa suatu teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum positif. Teori-teori pemidanaan yang yang kerap digunakan oleh para penegak hukum dalam menjatuhkan pidana sebelum sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan masih bertujuan sebagai pembalasan atas duka nestapa yang dirasakan oleh korban atas perbuatan pelaku kejahatan. Berlakunya UURI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengubah paradigma pemidanaan dari sistem kepenjaraan yang bertujuan untuk membalas perlakuan pelaku kejahatan, menjadi sistem pemasyarakatan yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatannya agar dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakat.

Sebagai media analisis, penulis menggunakan teori-teori pemidanaan yaitu teori pembalasan (vergeldings theorie), teori mempertakutkan (afschriking theorie), teori memperbaiki (verbeterings theorie) dan teori gabungan. Tulisan ini mencoba menjawab persoalan seputar pemidanaan di Indonesia dalam pandangan positivisme hukum sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum pidana nasional.

. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak berabad-abad yang lalu dalam lapangan ilmu hukum telah terjadi perkembangan pemikiran dari para pakar hukum pada masa itu. Hal inilah yang kemudian melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran dalam ilmu hukum yang pada gilirannya menjadi aliran-aliran dan memiliki banyak penganut yang mempertahankannya dengan argumentasinya masing-masing. Timbulnya berbagai aliran tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergulatan pemikiran yang tiada henti-hentinya dalam lapangan pemikiran ilmu hukum.

Pada lapangan filsafat hukum, Pengkajian aliran-aliran dalam filsafat hukum bukan sekadar “napak tilas” perjalanan pemikiran para pakar dari masing-masing aliran, akan tatapi dengan pemahaman dari berbagai pemikiran tersebut dapat menjadi masukan agar seseorang dapat dengan mudah menghargai pendapat orang lain. Menurut Achmad Ali, “Dua orang yang secara bersama-sama menatap fenomena X akan menafsirkan fenomena X tersebut dengan persepsinya masing-masing yang bisa sama dan bisa saja berbeda. Demikian pula dua orang yang membaca satu kata, dapat mengartikan/menafsirkan kata tersebut sesuai dengan persepsi masing-masing”.1

Memahami pokok-pokok pemikiran dalam filsafat hukum, akan mengantar kita untuk memahami berbagai corak pemikiran dalam ilmu hukum. Hal ini sesuai dengan ciri dari tradisi keilmuan yaitu suatu pemikiran pada waktu tertentu tidak lagi sesuai dengan

zamannya dan akan tergantikan oleh pemikiran lainnya. Namun demikian, pemikiran lama tersebut tatap menjadi sebuah pemikiran ilmiah yang berharga untuk dikaji ulang terus menerus. Pemikiran lama boleh jadi suatu saat akan kembali tampil dengan bentuk-bentuk baru sebagai hasil inovasi dari para pemikir hukum lainnya.

(2)

ditinjau dari perspektif filsafat hukum dengan menggunakan salah satu aliran pemikiran dalam filsafat hukum yaitu aliran positivisme hukum atau Legal Positivism. Positivisme hukum adalah aliran filsafat hukum yang beranggapan bahwa suatu teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum positif.

Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan adalah teori pemidanaan dalam sistem

pemasyarakatan yang masih kental dengan nuansa kolonial. Tidak dapat dipungkiri memang, selama  350 tahun Belanda menjajah Indonesia tentu saja banyak faham yang dibangun oleh penjajah Belanda yang terbentuk dalam sebuah sistem dalam bidang apa saja yang tentunya tak mudah untuk begitu saja diubah, tidak terkecuali dalam sistem hukum (Sistem Hukum Pidana). Hingga saat ini Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia adalah warisan dari penjajah Belanda yang masih berlaku berdasarkan pasal 2 (dua) AB (Algemene Bepaling van Wetgeving) dan kemudian diundangkan dalam UU RI No.1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.2

KUHP memuat ketentuan yang mengatur tentang sistem pemidanaan sebagaimana yang termaktub dalam Bab II pasal 10 yang mengatur tentang Hukuman-hukuman. Ketentuan tersebut menyebutkan pula pengertian dan tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut.

Pengertian hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.3

Hasil dari kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan yang berlaku di Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam kaitannya dengan pembaruan hukum pidana Indonesia dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah dalam proses pembahasan antara Pemerintah dan DPR.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah: (1). Bagaimana pandangan aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) terhadap teori pemidanaan yang berlaku di

Indonesia ? (2). Kontribusi apakah yang dapat diberikan dari kajian filsafat hukum terhadap teori pemidanaan dalam agenda pembaruan hukum pidana Indonesia?

C. PEMBAHASAN

1. Pandangan Aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) tentang Hukum

Dalam filsafat hukum terdapat aliran yang berpandangan bahwa teori hukum adalah bersangkut paut dengan hukum positif. Aliran tersebut dikenal dengan istilah positivisme hukum (Legal Positivism) . Aliran ini bersendi pada tiga hal tentang hukum yaitu:

a. Hukum tersebut adil atau tidak adil;

b. Hukum tersebut baik atau tidak baik (buruk);

c. Hukum tersebut berjalan efektif atau tidak efektif.

Pelopor aliran positivisme hukum adalah John Austin, seorang pemikir yang

(3)

petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh mahluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.

Aliran positivisme hukum ini hanya bersangkut paut pada hukum positif saja. Aliran ini sama sekali tidak mengkaji hubungan antara hukum positif dengan hukum tuhan dan

kesusilaan. John Austin membagi hukum kedalam 2 (dua) kelompok utama yaitu Hukum manusia (human law) dan hukum tuhan (law of god). Selanjutnya hukum manusia tersebut dibagi lagi kedalam 2 (dua) sub bagian yaitu Hukum Positif (Positive Law) dan Kesusilaan Positif (Positive Morality). Lebih lanjut John Austin mengemukakan bahwa sebuah peraturan hukum untuk dapat dikategorikan atau menjadi hukum positif haruslah memiliki 4 (empat) unsur yaitu:

a. Perintah (Command);

b. Sanksi (Sanction);

c. Kewajiban (Duty);

d. Kekuasaan (Sovereignity).

Semua hukum adalah perintah yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai ancaman sanksi apabila perintah tersebut tidak dipatuhi/dilanggar. Tanpa keempat unsure diatas, suatu peraturan bukanlah hukum positif melainkan kesusilaan positif (Positive Morality).

Menurut pandangan Satjipto Rahardjo, “Hukum harus dapat mengikuti perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat, oleh karenanya hukum berperan penting dalam perubahan sosial”4

Setelah meninjau selayang pandang tentang perintah (command)danhukuman (sanction) sekarang marilah perlu ditinjau pula hubungan pembeda antara hukum positif (peraturan) dan moral. Hart dalam tulisannya “Positivism and separation of Law and Moral” menyebutkan 5 (lima) ciri positivisme hukum. 5 (lima) ciri positivisme hukum tersebut adalah:

a. Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia;

b. Tidak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan (law and morality);

c. Analisa mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan harus dibedakan;

d. Sistem hukum adalah system logika yang tertutup (closed logical system);

e. Pertimbangan mengenai kekuasaan tidak dapat dibuat tanpa menggunakan argumentasi dan bukti yang berdasarkan logika.

(4)

Telah diuraikan bahwa teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia pada saat sebelum lahirnya UURI No. 12 Tahun 1995, masih sarat dengan nuansa kolonial Belanda. Sebelum berlakunya undang-undang pemasyarakatan, di Indonesia berlaku Ordonantie op deVoorwaardelijkndonesiae Invijheidstelling (Staatblad 1917 - 749, tgl 27 Desember 1917 jo Staatblad 1928-488) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan, Gestrictenreglement (Staatblad 1917-708, 10 Desember 1917), Dwangophoedingsregelin5g

(Staatblad 1917-741, 24 Desember 1917), dan Uitvoeringsordonantie op de

Voorwaaardelijke (Staatblad 1926-487, 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan. Dapat dibayangkan, setelah 50 (lima puluh) tahun merdeka, barulah

memiliki regulasi tentang pemasyarakatan yang merupakan produk hukum nasional. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bab II pasal 10 dijelaskan mengenai jenis-jenis hukuman. Selain jenis-jenis hukuman, juga terdapat penjelasan tentang tujuan dijatuhkannya hukuman tersebut. R. Soesilo menyebutkan 4 (empat) teori tujuan penjatuhan hukuman (pemidanaan) itu. Keempat teori tersebut:

a. Teori Pembalasan (Vergeldings Theorie)

Teori ini berdasarkan perndapat pujangga E. Kant yaitu hukuman adalah suatu pembalasan, hal ini berdasar atas sebuah pepatah kuno “siapa yang membunuh harus dibunuh”.

b. Teori Mempertakutkan (Afschrikings Theorie)

Teori ini berdasarkan pendapat pujangga Teuerbach yaitu hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat.

c. Teori Memperbaiki (Verbeterings Theorie)

Menurut teori ini, penjatuhan hukuman dimaksudkan untuk memperbaiki orang yang telah berbuat kejahatan.

d. Teori Gabungan

Menurut teori ini, dasar penjatuhan hukuman adalah “pembalasan”, akan tetapi maksud-maksud lainnya (pencegahan, mempertakutkan, memperbaiki) tidak boleh diabaikan. Hal ini dimaksudkan agar tata tertib kehidupan bersama dapat dipertahankan.6

Berdasarkan keempat teori pemidanaan di atas, penulis berpendapat bahwa paradigma yang berlaku di kalangan penegak hukum di Indonesia terkhusus pada mereka yang

(5)

3. Teori Pemidanaan dalam Pandangan Positivisme Hukum.

Positivisme hukum atau hukum positif adalah suatu peraturan yang mengandung 4 (empat) unsur yaitu command, sanction, duty & sovereignity, yang apabila tidak dilengkapi dengan ke empat unsur tersebut sebuah peraturan hanyalah merupakan kesusilaan positif semata (positive morality) dan tidak memiliki suatu daya paksa apapun.

Teori pemidanaan terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pada penjelasan pasal 10. Dari ke empat teori yang ada masing-masing memiliki konsep atas tujuan dijatuhkannya sanksi pidana kepada seseorang. Ada teori pemidanaan yang ingin membalaskan rasa sakit hati dari korban atas kerugian moral dan material akibat perbuatan terdakwa, ada teori yang bertujuan untuk menakut-nakuti orang lain agar orang lain tidak lagi melakukan perbuatan serupa, dan adapula teori yang bertujuan memperbaiki keadaan dan menggugah kesadaran dari terdakwa agar menyadari kesalahannya serta tidak lagi

mengulangi perbuatannya yang membawa kerugian pada orang lain. Tentunya kesemua teori tersebut di atas memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Aliran hukum positif (legal positivism) memandang perlunya suatu peraturan memiliki keempat usur diatas yang diharapkan menjadi “pemaksa” bagi masyarakat agar dapat tunduk dan patuh atas suatu peraturan yang berlaku. Perlu diingat bahwa peraturan tersebut adalah petunjuk yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan (souveregnity) atas mereka itu (John Austin). Maksud kata kekuasaan disini mutlak adanya dan bersifat imparatif. Tanpa kekuasaan maka daya paksa tersebut tidak akan ada untuk mengarahkan masyarakat agar merasa berkewajiban (duty) untuk menegakkan peraturan terebut.

Bila diperhatikan secara seksama, ke empat teori pemidanaan tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu tegaknya suatu ketentuan pidana dengan dilengkapi dengan adanya sanksi (sanction) terhadap seseorang yang telah melanggar peraturan, adanya perintah (command) agar seseorang tunduk dan patuh pada ketentuan pidana tersebut.

Bila ditelusuri lebih mendalam lagi mengenai teori pemidanaan yang ada, maka teori pembalasan (vergeldings theorie) menitik beratkan tujuan pemidanaan pada upaya

pembalasan rasa sakit hati korban dan menimbulkan kerugian baik moral maupun materil atas perbuatan terdakwa. Teori mempertakutkan (afshcrikkings theorie) menitikberatkan

penjatuhan sanksi pidana kepada seorang terdakwa yang bertujuan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Teori perbaikan (verbeterings theorie) menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa haruslah dapat bertitik tolak pada adanya upaya perbaikan kesalahan dan menggugah kesadaran diri terdakwa agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang.

KUHP yang di dalamnya terdapat ketentuan hukum mengenai penjatuhan sanksi (sanction) pidana kepada seseorang yang melanggar hukum adalah ketentuan yang berasal dari manusia (makhluk berakal yang ditujukan kepada makhluk berakal). Ketentuan hukum pidana memiliki sanksi pidana pada pelanggarnya adalah termasuk pada hakikat hukum menurut John Austin yaitu adanya ancaman sanksi (sanction) apabila perintah (command) yang dibuat oleh makhluk yang berakal dan ditujukan kepada makhluk yang berakal tersebut dilanggar oleh seseorang. Itulah sebabnya sehingga hukum positif disebut Command of sovereign atau command of “law giver”.

(6)

moral (morality concept) agar hak-hak seseorang dapat terjaga. Namun demikian, hubungan antara konsep hukum berupa sanksi dan konsep moral yang terdapat pada teori tujuan pemidanaan yang terdapat pada KUHP bukanlah merupakan bentuk hubungan mutlak (absolute relationship) tetapi hanya merupakan hubungan biasa yang pemahaman dan penggunaannya harus dipisahkan satu sama lain.

Teori perbaikan (verbeterings theorie) bertujuan untuk memperbaki kesalahan terdakwa dan menggugah kesadaran dirinya agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Teori ini mengandung konsep moral dan hukum yaitu sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa atas perbuatannya yang merugikan hak orang lain. Hanya saja, kelemahan mendasar dari teori ini adalah lebih mengedepankan aspek moralitas dengan disertai perasaan “kasihan” yang berlebihan kepada terdakwa sehingga titik berat penjatuhan sanksi adalah bertujuan menggugah kesadaran terdakwa untuk menyadari kesalahannya. Disadari atau tidak, bila teori ini diterapkan dapat mengakibatkan rasa tidak puas dari korban dan keluarganya akibat ringannya hukuman yang dijatuhkan pada terdakwa.

Berdasarkan pada pandangan filsafat hukum aliran positivisme hukum terhadap teori-teori pemidanaan, dapatlah dilihat bahwa menurut teori-teori pemidanaan terdapat konsep moral dan konsep hukum. Antara konsep moral dan konsep hukum mempunyai hubungan, akan tetapi hubungan keduanya haruslah terpisahkan pemahaman dan penggunaannya dan hubungan antara keduanya bukanlah merupakan hubungan mutlak (absolute relationship). Antara konsep moral dan konsep hukum yang terkadung dalam teori-teori pemidanaan tersebut diatas, kedudukannya masih berimbang, sehingga dapat saja terjadi ”bargainning position” di antara keduanya, tentang mana yang lebih mendominasi kedudukan atas sebuah teori pemidanaan. Akibat pengaruh tersebut dapat menyebabkan kaburnya makna positivme hukum itu sendiri yaitu dominannya kekuatan sanksi yang atas kekuatan lainnya sebagai daya paksa apabila suatu peraturan tersebut dilanggar. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan dan

dikembangkan sebuah teori tentang penjatuhan hukuman yang didominasi pada aspek sanksi (sanction) pada teori tersebut. Hal ini dimaksudkan agar sanksi sebagai hukuman tetap dijatuhkan, kepentingan korban tidak terabaikan akibat perbuatan terdakwa sehingga terbalaskan rasa sakit hatinya, dan terdakwa tetap memperoleh kesempatan untuk memperbaiki dirinya.

4. Upaya Penyempunaan Terhadap Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Sebagai upaya untuk melakukan penyempurnaan teori pemidanaan pada hukum pemasyarakatan dalam kaitannya dengan pembaruan hukum pidana, maka perlu dibuat sebuah peraturan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang

(7)

5. Teori Pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan yang Ideal di Masa Mendatang. (Kontribusi pemikiran filsafat hukum terhadap teori pemidanaan)

Bercermin dari berbagai fenomena yang terjadi di bidang pemasyarakatan di Indonesia baik pada masa berlakunya sistem kepenjaraan dengan aturan yang merupakan produk hukum kolonial Belanda maupun sesudah berlakunya undang-undang pemasyarakatan yang menggunakan istilah sistem pemasyarakatan, keduanya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsep teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang sebagai ius constituendum. Konsep teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan inilah yang merupakan penyempurnaan dari sistem pemasyarakatan yang sudah ada dan berlaku sekarang.

Penulis berpendapat, dalam rangka penyempurnaan teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan saat ini pada gilirannya akan menjadi teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang, ada hal-hal yang perlu dilakukan pembenahan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yaitu:

a. Untuk memperoleh hasil dari teori pemidanaan berdasarkan sistem pemasyarakatan yang baik, diperlukan adanya suatu Integrated Criminal and Justice System (sistem penanganan dan penyelesaian perkara pidana secara terpadu) antar sesama aparat penegak hukum yang beranggotakan: polisi, jaksa, hakim, advokat, dan aparat pemasyarakatan, yang kemudian dalam pelaksanaannya diperkuat lagi dengan pengawasan dari masing-masing komisi pengawasan instansi tersebut dan pengawasan dari masyarakat;

b. Berdasarkan kajian filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum (legal positivism), dasar penjatuhan hukuman kepada seorang terdakwa adalah pembalasan dan juga berdasarkan pada tujuan pemidanaan lainnya yaitu agar terdakwa menyadari, memperbaiki, serta tidak lagi mengulangi kesalahannya yang berakibat jatuhnya korban pada pihak lain. Disamping untuk menimbulkan efek jera, penjatuhan hukuman bertujuan agar pihak lain takut untuk melakukan kejahatan serupa, sehingga frekwensi terjadinya tindak kejahatan dapat semakin diminalisir;

c. Hendaknya aparat pemasyarakatan benar-benar dapat bertindak secara adil terhadap para narapidana dalam hal perlakuan dan pelayanan dan kesempatan mengunjungi keluarga dengan tidak membeda-bedakan antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain, sehingga tidak akan memicu rasa kecemburuan antar narapidana;

d. Perlu ditetapkan “kurikulum” pembinaan dan pendidikan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan warga pemasyarakatan dan berlaku di seluruh lembaga

pemasyarakatan di Indonesia, sehingga terlihat bahwa warga pemasyarakatan mendapat pembinaan dan pendidikan yang jelas, terpola dan sistematis;

(8)

Beberapa poin yang penulis sebutkan diatas, tentu saja masih merupakan sebahagian kecil dari langkah-langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintah dalam rangka perwujudan teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang ideal di masa yang akan datang. Namun setidaknya dengan pembenahan dan penerapan beberapa poin tersebut diatas, akan mampu untuk menciptakan kondisi pemasyarakatan yang sarat dengan nuansa pengayoman,

pendidikan, dan pembinaan tanpa meenafikan dasar pemidanaan sebagai upaya pembalasan atas rasa sakit hati korban yang dilakukan oleh terdakwa.

D. PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan diatas, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam pandangan filsafat hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum (legal positivism), sebuah peraturan harus memiliki 4 (empat) unsur untuk menjadi hukum positif yaitu: Perintah (Command), Sanksi (Sanction), Kewajiban (duty) dan Kekuasaan (Souvereignity). Teori pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan yang terdapat dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memiliki ke empat unsur tersebut diatas;

2. Teori Pemidanaan dalam sistem pemidanaan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 yang menggunakan istilah sistem kepenjaraan tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945, olehnya itu menurut kajian filsafat hukum dengan menggunakan aliran positifisme hukum tetap boleh ada hubungan antara moralitas (upaya perbaikan diri terdakwa) dengan sanksi (hukuman atas perbuatan terdakwa), meski demikian aspek sanksi (sanction) tetap harus

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan berelasi dan bervalensi dari bentuk-bentuk kebahasaan yang satu akan sangat berbeda dengan kata atau bentuk keba..

keberadaan orang, benda, binatang dalam jumlah yang tidak tertentu, dengan memperhatikan kosakata, fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan yang benar dan

Analisa teknikal memfokuskan dalam melihat arah pergerakan dengan mempertimbangkan indikator-indikator pasar yang berbeda dengan analisa fundamental, sehingga rekomendasi yang

❖ Menjawab pertanyaan yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang telah disediakan. ❖ Bertanya tentang hal yang belum dipahami, atau guru melemparkan

Dari penelitian terhadap tujuh faktor dengan 45 indikator yang diuji, menunjukkan bahwa yang paling signifikan mempengaruhi kesuksesan wirausaha terdapat lima

Di dalam Gambar 2.17 dapat dilihat cara kerja dari rangkaian Multiple Input Buck Converter saat saklar MOSFET 1 dalam keadaan nonkonduksi dan MOSFET 2 masih dalam

Menurut Wardoyo (2013), teknik menulis puisi deskriptif dapat melalui langkah-langkah berikut yaitu: (1) Siapkan kertas; (2) Ambillah suatu gambar atau kata

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intellectual capital terhadap kinerja penjualan melalui inovasi produk sebagai variabel intervening pada UKM