• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Roadmap Eradikasi Penyakit Demam Ke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Roadmap Eradikasi Penyakit Demam Ke"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ROADMAP ERADIKASI SCHISTOSOMIASIS

(3)
(4)

Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan merupakan salah satu arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan dan merupakan komitmen pada SDGs yang akan menjadi kebijakan dalam pembangunan kesehatan ke depan. Pada Tahun 2018 pengendalian penyakit tropis terabaikan khususnya schistosomiasis merupakan salah satu proyek prioritas pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Pengendalian schistosomiasis atau demam keong dilakukan di 28 desa endemis yang terletak di Kabupaten Poso dan Sigi. Upaya pengendalian penyakit ini telah berjalan selama 35 tahun terakhir dan memberikan pembelajaran bahwa eradikasi penyakit ini harus melalui pendekatan lintas sektor, kerjasama pusat-daerah, dan dilakukan secara serentak dengan lokasi di desa-desa endemis tersebut. Dalam rangka mempercepat dan mensinergikan upaya eradikasi schistosomiasis, Kementerian PPN/ Bappenas bersama dengan Kementerian Kesehatan telah mengkoordinasikan penyusunan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rangkaian proses penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis ini meliputi pemetaan kegiatan strategis, pemetaan kebutuhan penganggaran (bersumber APBN, Dana Alokasi Khusus, dan APBD), dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah.

Roadmap Eradikasi Schistosomiasis 2018-2025 ini agar menjadi salah satu masukan penting pada proses perencanaan dan penganggaran baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, roadmap ini dapat menjadi acuan bagi setiap kementerian/lembaga terkait (Kementerian PPN/Bappenas, KemenkoPMK, Kemendagri, Kemkes, KemPU&PR, Kemtan, KLHK, KemendesPDTT, KKP, Kemenpar, Kementerian ATR/BPN, TNI, POLRI) dan pemerintah daerah utamanya bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso, dan Kabupaten Sigi untuk mengambil langkah-langkah penting dan perlu segera dilakukan dalam mendukung eradikasi schistosomiasis. Mari wujudkan Indonesia bebas schistosomiasis demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Kata Sambutan

Jakarta, Januari 2018

MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

(5)

Kata Pengantar

Saat ini Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih menjadi lokasi endemis Schistosomiasis atau penyakit demam keong. Penyakit yang disebabkan oleh cacing darah Schistosoma japonicum ini, pertama kali ditemukan di Lindu pada Tahun 1937, di Napu pada Tahun 1974, dan di Bada pada Tahun 2008. Schistosomiasis, yang hanya ada di 28 desa yang tersebar di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah ini, menyerang manusia serta berdampak buruk pada kesehatan dan produktivitas masyarakat. Penyakit ini dapat menyebabkan anemia, sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan berkurangnya kemampuan belajar pada anak-anak. Pada orang dewasa, schistosomiasis kronis berakibat pada menurunnya kemampuan untuk bekerja dan jika tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan kematian. Cacing Schistosoma japonicum menular melalui keong perantara

Oncomelania hupensis lindoensis dan mampu menginfeksi hewan mamalia, selain manusia, yang akan menjadi reservoir penularan.

Sampai dengan pertengahan 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit. Selain itu, kondisi ini juga dipengaruhi belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian Schistosomiasis di Indonesia selama kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan ini merupakan cara yang tepat untuk menurunkan dan meniadakan schistosomiasis pada manusia, hewan, dan keong perantara. Dalam konteks tersebut, peran lintas sektor dan masyarakat desa mutlak diperlukan dalam mencegah penularan schistosomiasis melalui pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong perantara. Dengan ditetapkannya eradikasi Schistosomiasis pada 2019, Kementerian Kesehatan menggagas penyusunan Peta Jalan (Roadmap) Eradikasi Schistosomiasis untuk menjadi acuan rencana aksi bersama lintas sektor, pusat-daerah, dan masyarakat.

Saya harapkan, Para Menteri, Pimpinan Lembaga, Gubernur, dan Bupati agar menggunakan Roadmap ini untuk memfokuskan seluruh kegiatan dan anggaran untuk mewujudkan komitmen bersama menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia.

Jakarta, Januari 2018

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

ttd

(6)

Ringkasan Eksekutif

Schistosomiasis atau penyakit demam keong merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Disease). Penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing darah Schistosoma japonicum ini telah mendera 28 desa endemik di dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah selama lebih dari 80 tahun.

Sampai dengan pertengahan 2017, tingkat kejadian (prevalensi) penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

Dengan komitmen Indonesia untuk mewujudkan Pembangunan yang Berkelanjutan ( Sustain-able Development Goals/SDGs) sebagaimana tertuang dalam Agenda 2030, maka schistoso-miasis menjadi salah satu penyakit yang akan dieradikasi di Indonesia.

Roadmap ini disusun sebagai rencana aksi bersama lintas sektor dan masyarakat dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen bersama mengentaskan schistoso-miasis di Indonesia.

Dalam Roadmap ini, pentahapan menuju eradikasi mengenal 3 (tiga) fase yaitu fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.

Strategi eradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang mudah diakses bagi semua yang peduli dan terlibat.

(7)

Daftar Isi

KATA SAMBUTAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RINGKASAN EKSEKUTIF ... v

DAFTARI ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penyusunan Roadmap ... 3

1.3. Proses Penyusunan Roadmap ... 3

1.4. Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat Pusat dan Daerah ... 5

BAB 2. KONDISI SAAT INI, TANTANGAN, DAN PELUANG ERADIKASI SCHISTOSOMIASIS ... 7

2.1. Kondisi Saat ini Lokasi Endemik ... 7

2.1.1. Prevalensi pada Manusia, Hewan, dan Keong Perantara ... 7

2.1.2. Populasi dan Perilaku Manusia dan Hewan Reservoir ... 9

2.1.3. Distribusi Habitat (Fokus) Keong Perantara ... 10

2.1.4. Penggunaan Air Minum dan Sanitasi Layak serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ... 12

2.1.5. Partisipasi Masyarakat ... 13

2.2. Peran Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Schistosomiasis ... 13

2.3. Pelajaran Penting dari Pengalaman dalam Pengendalian Schistosomiasis ... 14

2.4. Kebutuhan, Tantangan, dan Peluang ... 15

2.4.1. Kebutuhan ... 16

2.4.2. Tantangan ... 16

2.4.3. Peluang ... 18

BAB 3. PENTAHAPAN DAN TARGET UPAYA ERADIKASI SCHISTOSOMIASIS ... 19

3.1. Kriteria Eradikasi Schistosomiasis ... 19

3.2. Pentahapan Menuju Eradikasi ... 19

3.3. Baseline dan Target Setiap Tahapan ... 24

(8)

BAB 4. PENDEKATAN DAN STRATEGI ERADIKASI ... 25

4.1. Pendekatan dan Faktor Kunci Keberhasilan Eradikasi ... 25

4.2. Strategi Eradikasi ... 26

4.2.1. Pengobatan Massal pada Manusia dan Hewan ... 26

4.2.1.1. Pengobatan Massal pada Manusia ... 26

4.2.1.2. Pengobatan Massal pada Hewan Reservoir ... 26

4.2.2. Manajemen Pola Penggembalaan Ternak ... 27

4.2.3. Pemberantasan Keong Hospes Perantara ... 28

4.2.3.1. Penyemprotan Moluskisida ... 28

4.2.3.2. Modifikasi Lingkungan Fokus ... 28

4.2.4. Sistem Surveilans ... 32

4.2.4.1. Sistem Surveilans Manusia ... 32

4.2.4.2. Sistem Surveilans Hewan Reservoir ... 33

4.2.4.3. Sistem Surveilans Keong Perantara ... 34

4.2.5. Peningkatan Kapasitas Teknis ... 35

4.2.6. Peningkatan Kapasitas Laboratorium dan Infrastruktur Diagnosis ... 35

4.2.7. Peningkatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi yang Layak dan Berkelanjutan ... 36

4.2.8. Kampanye-Komunikasi Perubahan Perilaku ... 38

4.2.9. Koordinasi Kegiatan Terpadu ... 38

4.2.10.Keterpaduan Peran Lintas Sektor dan Setiap Jenjang Pemerintahan ... 39

BAB 5. PROGRAM DAN KEGIATAN ... 43

5.1. Program dan Kegiatan Terpadu ... 43

5.2. Estimasi Kebutuhan Biaya dan Sumber Pembiayaan ... 44

5.3. Matriks Program dan Kegiatan ... 46

BAB 6. PEMANTAUAN DAN EVALUASI ... 47

6.1. Informasi Kunci Hasil Pemantauan dan Evaluasi ... 47

6.2. Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi Terpadu ... 48

6.3. Peran Institusi dalam Pemantauan dan Evaluasi Terpadu ... 48

(9)

Tabel 1. Rata-rata Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia ...7

Tabel 2. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia di Setiap Desa Endemik pada Tahun 2017...8

Tabel 3. Prevalensi Schistosomiasis Pada Hewan Reservoir Tahun 2013 di dataran tinggi Lindu...9

Tabel 4. Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan Ternak Besar dan Keong Perantara Tahun 2016 ...9

Tabel 5. Sebaran Fokus Keong Perantara di Wilayah Endemik Schistosomiasis Tahun 2016...11

Tabel 6. Daftar Kegiatan Fase Akselerasi (2018 – 2019) beserta Indikator dan Target Hasil...21

Tabel 7. Sasaran dan Tahapan Percepatan Eradikasi Schistosomiasis 2018 – 2025 ...23

Tabel 8. Rancangan Kerjasama Institusi dalam Rangka Pelaksanaan Surveilans pada Hewan di Wilayah Endemik ...33

Tabel 9. Peran Setiap Sektor dalam Upaya Terpadu Eradikasi Schistosomiasis ...39

(10)

Gambar 1. Lokasi Area Endemik Schistosomiasis Japonicum di

Provinsi Sulawesi Tengah...2

Gambar 2. Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah ...5

Gambar 3. Bagan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Tahun 2018 – 2025...20

Gambar 4. Estimasi Kebutuhan Biaya Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Per Tahun ...44

Gambar 5. Porsi Setiap Sumber Pembiayaan Terhadap Estimasi Kebutuhan Biaya Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Per Tahun ...45

Gambar 6. Porsi Kebutuhan Biaya (Estimasi) Kegiatan Terpadu Eradikasi Schistosomiasis Berdasarkan Kelompok Program Per Tahun ...45

Gambar 7. Alur Kerja dan Peran Lintas Sektor di setiap Tingkatan Pemerintahan dalam Sistem Pemantauan dan Evaluasi ...49

Daftar Gambar

Lampiran 1. Daftar Kegiatan Tahun 2018 dan Tahun 2019 ...52

Lampiran 2. Daftar Kegiatan Tahun 2020 sd 2025 ...62

Lampiran 3. Matriks kegiatan dengan rincian lokasi (soft file) ...75

Lampiran 4. Peta Kegiatan terpadu Pengendalian Schistosomiasis 2018 - 2019 ...76

(11)

APBD Kab : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten

APBD Prov : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

APB Desa : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Balai Litbang P2B2 : Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang

Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa

BPN : Badan Pertanahan Nasional

Din. Pertanian : Dinas Pertanian

Dinas PU/CK : Dinas Pekerjaan Umum/Cipta Karya

Dinkes : Dinas Kesehatan

Dinkeswan : Dinas Kesehatan Hewan

Kemen PUPR : Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat

Kemendesa & PDTT : Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

Kementan : Kementerian Pertanian

KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kemenko PMK : Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

OPT : Organisme Pengganggu Tanaman

POLRI : Polisi Republik Indonesia

Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

RAPBN : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Renja : Rencana Kerja

RKP : Rencana Kerja Pemerintah

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

TNI : Tentara Nasional Indonesia

(12)

Roadmap ini disusun sebagai rencana aksi bersama lintas sektor dan masyarakat yang merupakan pelaku kunci dalam upaya eradikasi penyakit schistosomiasis. Roadmap ini ditujukan sebagai acuan perencanaan, penganggaran, pemantauan dan evaluasi capaian tahunan bagi setiap institusi yang terlibat di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa, sebagai wujud komitmen bersama mengentaskan schistosomiasis di Indonesia.

1.1. Latar Belakang

Meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan merupakan salah satu arah kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit tropis terabaikan dan merupakan komitmen pada SDGs yang akan menjadi kebijakan dalam pembangunan kesehatan ke depan. Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit tropis terabaikan dan merupakan proyek prioritas nasional pada RKP 2018.

Data WHO menunjukkan pada tahun 2015, jumlah penduduk yang memerlukan pengobatan terhadap schistosomiasis akibat infeksi schistosomiasis mansoni, schistosomiasis hematobium, schistosomiasis japonicum dan tiga spesies Schistosoma lain adalah sebanyak 218,7 juta orang yang tersebar di 52 negara. Dari jumlah tersebut 118,5 juta merupakan anak usia sekolah dan sisanya (110.2 juta) adalah orang dewasa (WHO 2016). Di Asia, Schistosomiasis japonica masih ditemukan di tiga negara, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Filipina, dan Indonesia. Di antara ketiga negara tersebut, penyebaran penyakit paling luas ditemukan di RRT dengan jumlah penderita sebanyak 11,6 juta yang tersebar di 12 provinsi dan 454 county (setara kabupaten/ kota) (Zhou et al. 2005). Pada Tahun 2011, melalui program pengendalian intensif, jumlah penderita berhasil diturunkan menjadi kurang lebih 286,8 ribu dan 13 penderita akut (Xu et al.

2015). Di Filipina, penyebaran penyakit ini terjadi di 28 provinsi, 14 kota, dan 189 municipality

dengan jumlah warga yang berisiko terinfeksi sebanyak 12 juta orang, termasuk 2,5 juta diantaranya mengalami paparan langsung (Palasi 2017). Belajar dari pengalaman Jepang yang berhasil memberantas penyakit ini pada Tahun 1996, eradikasi schistosomiasis adalah sesuatu yang bisa dicapai, dan tetap harus didukung kegiatan surveilans guna memastikan schistoso-miasis japonica tidak muncul kembali di bekas wilayah endemic (Kajihara and Hirayama 2011).

Di Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh cacing darah Schistosoma japonicum (cacing darah yang pertama sekali teridentifikasi di Jepang pada 1903) pertama kali ditemukan di Lindu pada Tahun 1937, di Napu pada Tahun 1974, dan di Bada pada Tahun 2008. Schistosomiasis menyerang manusia serta berdampak buruk pada ekonomi dan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya anemia pada penderita penyakit ini sehingga memicu kekerdilan (stunting) dan berkurangnya kemampuan belajar khususnya pada anak-anak. Selain itu, schistosomiasis kronis berakibat menurunnya kemampuan orang untuk bekerja dan dalam beberapa kasus mengakibatkan kematian. Cacing Schistosoma japonicum menular melalui keong perantara

(13)

Oncomelania hupensis lindoensis dan mampu menginfeksi hewan mamalia yang akan menjadi reservoir bagi infeksi pada manusia.

Di Indonesia penyakit Schistosomiasis Japonicum hanya terdapat di dataran tinggi Bada, Napu, dan Lindu di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyakit Schistosomiasis terdapat di 28 desa yang tersebar di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk eradikasi penyakit ini Tahun 2019 dan mempertahankannya sehingga Indonesia dapat mendeklarasikan eradikasi schistosomiasis secara internasional pada Tahun 2025.

Gambar 1. Lokasi Area Endemik Schistosomiasis Japonicum di Provinsi Sulawesi Tengah

(14)

1.2. Tujuan Penyusunan Roadmap

Peta jalan (roadmap) ini ditujukan untuk memandu arah dan fokus upaya terpadu lintas sektor menuju eradikasi schistosomiasis di Indonesia. Roadmap yang memuat baseline/kondisi terkini desa-desa endemik, pentahapan, target setiap tahapan, dan intervensi kunci di setiap tahapan ini, dilengkapi dengan matriks program dan kegiatan untuk periode 2018-2025 serta mekanisme pemantauan dan evaluasi kemajuan implementasi. Roadmap ini selanjutnya menjadi acuan bersama lintas-sektor dan pusat-daerah dalam perencanaan, penganggaran, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan tahunan guna mendukung pencapaian target yang ditetapkan di setiap tahapan menuju eradikasi schistosomiasis.

1.3. Proses Penyusunan Roadmap

Penyusunan roadmap eradikasi schistosomiasis di Indonesia ini melalui serangkaian kegiatan sebagai berikut:

1. Kunjungan lapangan ke desa endemik untuk mengkonfirmasi kondisi terkini atas: a. Prevalensi pada manusia dan hewan.

b. Populasi dan perilaku manusia dan hewan reservoir

c. Akses air minum dan sanitasi layak serta perilaku hidup sehat dan higienis. d. Distribusi habitat keong.

e. Pola pertanian dan peternakan masyarakat. f. Tingkat partisipasi masyarakat.

g. Kebutuhan peningkatan kapasitas teknis dan pengelolaan program pengendalian Schis-tosomiasis di tingkat desa, Puskesmas, kabupaten, dan provinsi.

h. Kemajuan dan tantangan pelaksanaan program pengendalian Schistosomiasis.

Kegiatan yang berlangsung pada 3-7 Juli 2017 ini menghasilkan data/informasi tingkat desa/ area bagi perumusan baseline/kondisi terkini. Temuan hasil lapangan ini selanjutnya telah dibahas dengan Pemerintah Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi, dan Provinsi Sulawesi Tengah pada 20-21 Juli 2017.

2. Focus Group Discussion (FGD) dengan Tim Terpadu Provinsi untuk identifikasi rencana kegiatan daerah (Provinsi dan Kabupaten) terkait Schistosomiasis. Kegiatan ini dilaksanakan pada 7 Juli 2017 bertempat di Kantor Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah. Pertemuan tersebut termasuk membahas rencana aksi pengendalian schistosomiasis lintas sektor untuk Tahun 2018 dan 2019 dengan titik berat upaya penanganan habitat tempat hidup (fokus) keong hasil pemetaan ulang oleh Balai Litbang P2B2 Donggala. Selanjutnya, dilakukan review

(15)

3. Studi banding pengendalian schistosomiasis di Cina yang dilaksanakan pada 30 Juli – 5 Agustus 2017, diikuti 20 peserta yang merupakan para pengambil kebijakan dan pengelola program dari pemerintah pusat dan daerah. Dari pemerintah pusat diikuti perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Bappenas, serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Dari pemerintah provinsi diikuti Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Pertanian. Sedangkan dari pemerintah kabupaten diikuti Bupati Poso, Bappeda, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Peternakan. Hasil yang diperoleh antara lain: pembelajaran bagaimana pendekatan, strategi, dan contoh program yang dilaksanakan untuk mengeliminasi schistosmiasis, pemahaman tentang peran masing-masing sektor yang mempengaruhi keberhasilan eliminasi di Cina, dan gagasan pengembangan program setelah melihat langsung model intervensi lingkungan terintegrasi di salah satu lokasi endemis.

4. Workshop Konsultasi Rancangan Roadmap dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Pemerintah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Workshop yang dilaksanakan pada 20-21 Juli 2017 ini menghasilkan konfirmasi baseline, target prevalensi, dan klarifikasi kegiatan bersama lintas sektor di tingkat kabupaten dan provinsi. Hasil yang diperoleh melalui work-shop tersebut selanjutnya digunakan dalam finalisasi matriks program, kegiatan, target out-put, dan perkiraan anggaran untuk setiap lokasi (desa, kecamatan, area, kabupaten, dan provinsi) berikut indikasi sumber pembiayaannya.

5. Konsultasi matriks program dengan Kementerian/Lembaga terkait. Konsultasi yang dilaksanakan pada 22 dan 23 Agustus 2017 ini ditujukan untuk mendapatkan masukan atas rancangan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis dan menyediakan informasi yang dibutuhkan sektor terkait dalam merumuskan dukungan tindak lanjut untuk akselerasi implementasi mulai Tahun 2018. Konsultasi difokuskan pada kegiatan pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong perantara serta kegiatan pemberdayaan masyarakat dan desa.

Hasil konsultasi kepada Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ini telah digunakan untuk (a) menyempurnakan substansi program dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis, (b) memperjelas alternatif/opsi sumber pembiayaan yang sesuai untuk kegiatan dimaksud, (c) mengidentifikasi kebutuhan kebijakan pendukung pelaksanaan kegiatan.

(16)

Keterangan :

menjadi acuan

sebagai salah satu masukan

Gambar 2. Bagan Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah

Keterkaitan roadmap dengan perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah adalah sebagai berikut:

1. Roadmap menjadi salah satu masukan bagi proses penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran dan masukan bagi program dan kegiatan yang akan dilaksanakan setiap institusi yang terlibat, dan setiap tingkatan pemerintahan dalam pengembangan program dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis.

2. Roadmap berperan sebagai instrument sinkronisasi program dan kegiatan lintas sektor dari berbagai sumber pembiayaan untuk pencapaian target tahunan yang telah ditetapkan.

1.4. Kedudukan Roadmap dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat Pusat dan Daerah

(17)

3. Estimasi biaya dalam roadmap bersifat indikatif yang harus disesuaikan/divalidasi setiap tahun.

(18)

BAB 2

Kondisi Saat Ini, Tantangan, dan Peluang

Eradikasi Schistosomiasis

Sampai dengan medio 2017, tingkat kejadian penyakit pada manusia di 28 desa endemik masih berkisar antara 0 sampai 2,15%. Kondisi ini dipengaruhi oleh masih tingginya prevalensi pada hewan ternak, penanganan fokus (habitat keong perantara) yang masih terbatas, belum terintegrasinya pengembangan layanan air minum dan sanitasi layak dalam upaya pencegahan resiko penyakit, dan belum maksimalnya pemberdayaan masyarakat dan peran para pemangku kepentingan di tingkat desa sebagai garda terdepan dalam pencegahan, deteksi dini, dan pengendalian schistosomiasis.

2.1. Kondisi Terkini Lokasi Endemik

2.1.1. Prevalensi pada Manusia, Hewan, dan Keong Perantara

Lokasi endemik schistosomiasis japonica tersebar di 28 desa dengan total penduduk rentan terinfeksi (berumur diatas 2 tahun) mencapai 28.451 jiwa dan total hewan ternak besar rentan terinfeksi sebanyak 3.809 ekor. Dari 28 desa endemik tersebut, 23 diantaranya berada di Kabupaten Poso yang tersebar di 5 kecamatan, dan 5 desa lainnya berada di Kabupaten Sigi yang terkonsentrasi di Kecamatan Lindu. Sebanyak 21 dari 28 desa ini merupakan desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), suatu kawasan konservasi penting karena berfungsi sebagai salah satu cagar biosfer dunia dan juga menjadi tujuan wisata. Penyebaran penyakit yang hanya terbatas di 28 desa ini disebabkan oleh terbatasnya sebaran keong perantara yaitu keong Oncomelania hupensis lindoensis.

Dalam lima tahun terakhir, prevalensi schistosomiasis pada manusia mengalami fluktuasi (Tabel 1). Prevalensi tertinggi di ketiga wilayah endemik tercatat pada tahun 2015. Prevalensi tersebut menurun kembali setelah dilaksanakan pengobatan massal dengan praziquantel, dimana penurunan prevalensi di Bada dan Napu cenderung lebih besar dibandingkan Lindu. Terjadinya fluktuasi prevalensi infeksi meskipun program pengobatan terus dilakukan menandakan ada reinfeksi akibat siklus penularan yang terus berlangsung pada manusia, hewan dan keong perantara.

Tabel 1 . Rata-rata Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia

Wilayah

2012 2013 2014 2015 2016 2017

n/a

(19)

Prevalensi pada manusia Tahun 2017 di masing-masing desa endemik ditampilkan Tabel 2 berikut. Data tersebut menunjukkan bahwa Desa Dodolo (dataran tinggi Napu) dan Desa Puroo (dataran tinggi Lindu) memiliki prevalensi di atas 2%. Desa-desa yang prevalensi-nya masih di atas 1% berjumlah 5 desa yaitu Desa Tamadue (Dataran tinggi Napu), Tomehipi (Dataran tinggi Bada), Winowanga (dataran tinggi Napu), Banyusari (dataran tinggi Napu), dan Sedoa (dataran tinggi Napu). Di samping itu terdapat 10 desa lainnya dengan prevalensi kurang dari 1%., serta 3 desa di dataran tinggi Napu yang prevalensinya 0% yaitu Wuasa, Siliwanga, dan Betue.

Tabel 2. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017

Area Desa

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah dan Hasil Olah Data Puskesmas

549

(20)

ditemukan pada kerbau (44.26%) dan sapi (24.05%), anjing, dan kuda (Tabel 3). Situasi ini tidak banyak berubah berdasarkan pengamatan terkini (2016) pada ternak di tiga wilayah endemik. Tetap tingginya prevalensi schistosomiasis pada hewan, terutama ternak besar, dipengaruhi oleh paparan secara terus menerus ternak terhadap infeksi serkaria di wilayah fokus sebagai dampak dari pola penggembalaan bebas dan minimnya pengobatan praziquantel terhadap hewan.

Prevalensi infeksi Schistosoma pada keong O. hupensis lindoensis memiliki kisaran sangat lebar antar fokus dengan prevalensi terendah 0.4 % dan tertinggi 40.7% yang ditemukan di wilayah Napu (Tabel 4). Prevalensi tertinggi infeksi keong perantara di wilayah Lindu dan Banda tercatat masing-masing 14.5 dan 22.9%.

Tabel 3. Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan ReservoirTahun 2013 di Dataran tinggi Lindu

Jenis Hewan Jumlah Sample Jumlah Positif Prevalensi (%)

Sumber: Gunawan et al. (2014)

Kerbau

Tabel 4. Prevalensi Schistosomiasis pada Hewan Ternak Besar dan Keong Perantara Tahun 2016

Wilayah Jumlah ternak

Sumber: 1Dinas PKH Kab. Sigi dan Dinas Pertanian Kab. Poso; 2 Fakultas Kedokteran Hewan IPB

dan Dinas PKH Provinsi Sulteng (2016); 3Balai Litbang P2B2 Donggala (2017)

Bada

2.1.2. Populasi dan Perilaku Manusia dan Hewan Reservoir

(21)

terurus dan mengalami pendangkalan sehingga menjadi situs potensial bagi berkembangnya habitat (fokus) keong perantara O. hupensis.

Komoditas peternakan utama yang dikembangkan adalah babi, kerbau, dan sapi potong. Hasil utama usaha peternakan ini adalah daging untuk konsumsi sehari-hari dan upacara adat. Adapun metode pemeliharaan yang digunakan adalah penggembalaan bebas dan terikat ternak untuk kerbau dan sapi. Ternak babi umumnya dipelihara dalam kandang, meskipun terdapat sejumlah kecil yang dipelihara dengan diumbar atau diikat dengan tali di halaman. Penggembalaan bebas merupakan salah satu faktor risiko terpaparnya hewan terhadap fokus keong perantara. Hal ini memicu terjadinya kontaminasi telur S. japonicum dari ternak terinfeksi ke fokus dan sebaliknya yaitu cercaria S. japonicum dari fokus keong perantara ke ternak. Penggembalaan terikat juga berpotensi membuat ternak terpapar infeksi karena area gembala tidak dapat dipastikan bebas dari fokus keong perantara serta rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap risiko ternak mereka sebagai hewan reservoir S. japonicum.

Komoditas perkebunan utama yang ditanam di daerah ini adalah cokelat dan kopi. Perkebunan coklat dan kopi umumnya terletak di daerah lereng dataran tinggi dan merupakan daerah yang banyak dialiri aliran-aliran kecil air dari dataran yang lebih tinggi. Aliran air ini seringkali tertutup oleh daun-daun yang gugur dari tanaman kebun dan mengalami pendangkalan sehingga menjadi situs potensial bagi berkembanganya fokus keong perantara O. hupensis. Dengan aktivitas masyarakat yang cukup intensif di lahan pertanian, maka risiko terpaparnya masyarakat dengan fokus keong perantara yang berpotensi mengandung cercaria S. japonicum cukup besar.

Mayoritas masyarakat di ketiga wilayah endemik telah memiliki jamban sehat permanen dan semi-permanen di rumah mereka. Namun, terdapat kebiasaan mereka untuk pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu cukup lama (1 – 2 minggu) untuk mengelola ladang pertanian mereka yang terkadang terletak cukup jauh dari rumah. Hal ini mengurangi akses masyarakat terhadap jamban sehat mengingat tidak tersedianya fasilitas tersebut di ladang mereka. Ketiadaan akses ini memicu terjadinya defekasi terbuka di ladang yang berisiko terjadinya kontaminasi telur S. japonicum dari individu terinfeksi ke fokus yang ada di ladang; Sebaliknya dapat pula terjadi infeksi cercaria S. japonicum dari fokus keong perantara tersebut ke individu lainnya.

Hasil pengamatan ini menguatkan temuan dari Rosmini et al. (2016) pada masyarakat Dataran tinggi Bada yang menunjukan bahwa perilaku positif dengan membuang air besar di jamban keluarga dan menggunakan alat pelindung diri bila ke daerah fokus menurunkan secara signifikan kejadian schistosomiasis. Sebaliknya tingkat kejadian schistosomiasis semakin tinggi pada masyarakat semakin sering mandi/mencuci di sungai serta menggunakan mata air sebagai sumber air.

2.1.3. Distribusi Habitat (Fokus) Keong Perantara

(22)

masuknya sinar matahari langsung. Kondisi ini seringkali terjadi pada saluran air, sawah, kolam, serta ceruk-ceruk tanah yang tidak terawat. Berdasarkan hasil penelitian tahun 2016 dan 2017 yang dilakukan Balai Penelitian dan Pengembangan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Donggala, terdapat total 301 fokus keong perantara yang tersebar di ketiga wilayah endemik yaitu Dataran tinggi Lindu sebanyak 32 fokus, Dataran tinggi Napu sebanyak 243 fokus, dan Dataran tinggi Bada sebanyak 26 fokus. Luas fokus bervariasi antara 187 m2 hingga 487.546 m2.

Adapun distribusi fokus keong perantara setiap desa dijelaskan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017

(23)

2.1.4. Penggunaan Air Minum dan Sanitasi Layak serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Populasi penduduk pada 28 desa endemik berjumlah 7,194 Kepala Keluarga (KK). Berdasarkan data Program Pamsimas (www.pamsimas.org), sampai dengan Juli 2017, cakupan penduduk yang telah memiliki akses terhadap air minum yang layak baru mencapai 67% (4,804 KK) dengan cakupan terendah di Desa Tamadue (9%). Akses air minum ini belum semuanya melalui sambungan rumah (SR) sehingga menjadi salah satu tantangan dalam keberlanjutan layanan. Selanjutnya berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (www.stbm-indonesia.org), sampai dengan Juli 2017, cakupan penduduk yang telah memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak baru mencapai 29% dengan cakupan terendah di Desa Olu (5%). Praktek Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) baru mencakup sekitar 58% penduduk.

Praktek Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di kalangan petani/peladang/peternak di tempat bekerja, meskipun di rumahnya sudah ada jamban sehat, serta praktek BABS di kalangan masyarakat pada umumnya, menjadi tantangan tersendiri bagi para sanitarian, bidan desa, kader, dan para natural leader di desa-desa endemik. Terlebih ketika ketika proses pemicuan dan pasca pemicuan untuk membebaskan warga desa dari praktek BABS ini dihadapkan pada:

1. Variasi kapasitas para sanitarian dalam melakukan pemicuan dan pasca pemicuan yang terintegrasi dengan kampanye eradikasi schisto

2. Keterbatasan/ketiadaan alat bantu/media pendukung

3. Keterbatasan dukungan pendanaan dalam menjangkau masyarakat desa

4. Ketiadaan fasilitas jamban sehat permanen dan sarana CTPS di areal pertanian/perkebunan peternakan yang teridentifikasi sebagai habitat keong perantara.

Tinjauan terhadap sumber air yang digunakan penduduk menemukan bahwa tidak ada pemantauan kualitas air yang dilakukan secara berkala/reguler terhadap sumber-sumber air minum di desa-desa endemik. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengamanan sumber air di desa-desa ini masih lemah dan meningkatkan resiko penularan penyakit schistosomiasis.

Menyadari bahwa penularan penyakit ini adalah melalui air yang tercemar oleh tinja manusia dan hewan yang mengandung serkaria, maka untuk memutus rantai penularan, seluruh penduduk harus memiliki akses terhadap air minum yang aman, harus menggunakan jamban sehat permanen dimanapun berada, dan menerapkan Cuci Tangan Pakai Sabun, terutama pada 5 waktu kritis. Sumber air yang digunakan harus dapat dipastikan tidak mengandung keong perantara ataupun serkaria yang dibuktikan dari hasil uji kualitas air dan pemeriksaan laboratorium.

(24)

berkelanjutan di setiap desa endemic (per Juli 2017) selengkapnya ditampilkan pada matriks program dan kegiatan.

2.1.5. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan eradikasi suatu penyakit. Partisipasi masyarakat yang diperkuat dengan edukasi dan informasi yang tepat, jelas, menarik, dan mudah dipahami akan memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam pencegahan, deteksi cepat penyakit, dan kesigapan melapor ke Puskesmas.

Saat ini pemahaman masyarakat tentang penularan schistosomiasis masih terbatas, bahwa penularan hanya melalui tinja manusia dan keong. Belum banyak masyarakat bahkan tim Puskesmas yang paham bahwa penularannya juga melalui tinja hewan ternak/peliharaan. Masyarakat mengakui bahwa pengumpulan tinja terhambat oleh perasaan jijik dan bosan karena masyarakat berusia di atas 5 tahun tetap harus minum obat dua kali setahun meskipun telah melakukan pemeriksaan tinja. Perasaan bosan dan tidak nyaman juga menjadi salah satu alasan rendahnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) oleh masyarakat dan anak-anak ketika berada/ melintas di area fokus keong perantara. Minimnya edukasi dan advokasi bagi masyarakat telah menjadi salah satu penghalang bagi masyarakat untuk mau mengelola lahannya supaya tidak menjadi habitat keong perantara dan mau mengelola ternaknya supaya tidak menjadi hewan reservoir.

Edukasi dan advokasi bagi masyarakat yang ada saat ini perlu diperkuat dengan materi dan metoda komunikasi/kampanye pencegahan schistosomiasis yang terpadu dan menyeluruh pada manusia, hewan, dan keong perantara. Pilihan bentuk media komunikasi dan penempatannya juga perlu ditinjau kembali agar mampu menjangkau masyarakat sasaran dengan efektif dan tepat waktu.

2.2. Peran Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah dalam Pengendalian Schistosomiasis

(25)

Di tingkat kecamatan, belum tersedia forum/media koordinasi untuk memastikan adanya koordinasi kegiatan lintas sektor yang dilaksanakan Puskesmas, laboratorium, unit pelaksana dinas terkait, dan Pemerintah Desa. Di tingkat kabupaten, diperlukan tim koordinasi lintas sektor dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring hasil kegiatan terpadu eradikasi schistoso-miasis. Selain itu, diperlukan dukungan dari Peraturan Bupati Poso dan Bupati Sigi perihal Pemanfaatan Dana Desa untuk memperkuat prioritas pemanfaatan dana desa di desa-desa endemik bagi kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk percepatan eradikasi Schistosomiasis.

Di tingkat provinsi, komitmen yang kuat pada pengendalian schistosomiasis ditunjukkan oleh terbentuknya tim terpadu. Namun, tim tersebut memerlukan dukungan sebagai berikut: 1. Sistem pemantauan dan evaluasi kegiatan terpadu eradikasi Schistosomiasis yang dilengkapi

sistem data dan informasi yang accessible bagi semua pihak.

2. Tim advisory pengelolaan program dan kegiatan terpadu eradikasi Schistosomiasis.

2.3. Pelajaran Penting dari Pengalaman dalam Pengendalian Schistosomiasis

Upaya pengendalian schistosomiasis di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1975 dengan berbagai kegiatan penelitian dan pengendalian, diantaranya melalui pilot control project Schis-tosomiasis di dataran tinggi Lindu dan Napu yang diinisiasi oleh Balai P2B2 Litbangkes. Kegiatan ini berhasil menurunkan secara signifikan prevalensi infeksi pada penduduk dari 75% menjadi 25%. Pada tahun 1982, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, melaksanakan program pengendalian schis-tosomiasis yang lebih terkoordinasi dan intensif. Program ini dibagi menjadi lima tahap masing-masing 3-5 tahun (Sudomo, 2000; Izhar et al., 2002). Program pengendalian pada tahap pertama (1982-1986), meliputi pengobatan massal (Mass Drugs Administration) dengan praziquantel, survei tinja, tikus dan keong, serta didukung penyediaan air bersih dan jamban. Sambutan dan partisipasi masyarakat terhadap berbagai program pengendalian sangat baik selama tahap ini, sehingga prevalensi schistosomiasis menurun secara signifikan dari 33.8% menjadi 1.2%.

Strategi pengendalian yang diterapkan pada tahap kedua (1986-1990) meliputi pengobatan selektif, praktik pertanian intensif untuk menghilangkan fokus keong, relokasi penduduk lokal dari daerah endemik ke daerah non-endemik dan mobilisasi organisasi PKK untuk mendukung pencegahan dan pengendalian penyakit di tengah masyarakat. Dalam tahap ini kerjasama lintas sektor mulai dilaksanakan dengan melibatkan Departemen Pertanian, Transmigrasi dan Sosial. Pendekatan antar sektor ini diperkuat pada tahap program pengendalian tahan ketiga (1990-1993) dan keempat (1993-1998) program dimana koordinator pelaksanaan program dialihkan dari sektor kesehatan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Tengah. Pada akhir fase keempat, rata-rata prevalensi tingkat desa berkisar antara 0.7% sampai 0.8% di dataran tinggi Napu dan 0.4% sampai 0.7% di dataran tinggi Lindu (Izhar

(26)

Selanjutnya selama 7 tahun (1999-2005), program pengendalian schistosomiasis mendapat dukungan pendanaan dari ADB (Asian Development Bank) - loan melalui Central Sulawesi Inte-grated Area Development and Conservation Project (CSIADC-P) yang bertujuan memperbaiki kondisi sosio-ekonomi daerah endemik schistosomiasis, serta melindungi Taman Nasional Napu-Besoa, yang terletak di antara Dataran tinggi Lindu dan Napu. Strategi pengendalian yang diterapkan pada program ini adalah pemetaan habitat keong, survei hewan reservoir, modifikasi lingkungan melalui rekayasa pertanian, partisipasi masyarakat, penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi, serta pendidikan kesehatan untuk masyarakat yang terkena dampak (Izhar et al., 2002; Garjito et al. , 2008). Berdasarkan pengamatan dengan survei tinja dan keong yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, prevalensi schistosomiasis manusia di dataran tinggi Napu menurun dari 1.2% (2001) menjadi 1.0% (2004), sedangkan prevalensi di dataran tinggi Lindu berfluktuasi pada tingkat rendah (0.2-0.6%). Tingkat infeksi keong selama periode ini juga menurun dari 7.7% menjadi 2.4% di dataran tinggi Napu dan dari 1.79% sampai 1.1% di dataran tinggi Lindu (Sudomo dan Pretty, 2007).

Berakhirnya Proyek CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conserva-tion Project) menyebabkan ketersediaan dana dan sumber daya manusia untuk pelaksanaan program pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah menurun secara signifikan. Kondisi ini berdampak pada melemahnya pelaksanaan berbagai kegiatan pengendalian dan surveilan (Garjito et al. 2008). Hal ini ditandai antara lain dengan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam survei tinja dan coverage dari pengobatan massal (WHO Technical Support Mission 2017). Prevalensi schistomiasis yang telah berhasil ditekan ke tingkat rendah pada akhir periode CSIADCP menyebabkan kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap penyakit ini cenderung menurun karena sudah tidak lagi menjadi masalah. Imbas dari situasi tersebut adalah terjadinya peningkatan kembali prevalensi infeksi pada periode 2008-2010 (Satrija et al. 2015).

Dalam upaya mengintensifkan kembali program pengendalian dan menuntaskan penyelesain masalah schistosomiasis melalui pendekatan lintas sektor dibentuk Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis Provinsi Sulawesi Tengah dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.443.2/201/DINKESDA-GST/2012 yang kemudian terakhir diperbaharui dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah No.440/271/BAPPEDA-G.ST/2017 tentang Tim Terpadu Pengendalian Schistosomiasis Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2016-2021. Tim yang diketuai oleh Kepala Bappeda Provinsi beranggotakan dinas-dinas lintas sektor Provinsi, Kabupaten Sigi, Kabupaten Poso, DPRD Kabupaten Sigi, DPRD Kabupaten Poso, sejumlah pakar, Camat, Kepala Puskesmas, dan Kepala Desa dari 28 desa endemik schistosomiasis, serta Tim Penggerak PKK masing-masing jenjang. Tim ini bertugas mensinergikan dan mengakselerasi pelaksanaan pro-gram pengendalian schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah.

2.4. Kebutuhan, Tantangan, dan Peluang

(27)

2.4.1. Kebutuhan

Pengembangan strategi, program, dan kegiatan terpadu eradikasi schistosomiasis perlu mempertimbangkan sejumlah kebutuhan sebagai berikut:

• Penyesuaian metoda dan jangka waktu pengobatan massal pada manusia dan hewan. • Penyesuaian metoda surveilans dan penyempurnaan mekanisme pengawasan pelaksanaan

dan tindak lanjut hasil pelaksanaan surveilans pada manusia, hewan, dan keong perantara.

• Opsi-opsi pengelolaan penggembalaan ternak.

• Opsi-opsi modifikasi lingkungan sesuai tipologi lahan/area/kawasan.

• Peningkatan kapasitas para pelaku yang mempengaruhi keberhasilan upaya eradikasi di

berbagai tingkatan: desa, kecamatan, Puskesmas, kabupaten, dan provinsi.

• Peningkatan kapasitas laboratorium bagi diagnosis hewan dan manusia, Pusat Kesehatan

Hewan, beserta kelengkapannya sesuai standar, guna meningkatkan kualitas penyelenggaraan diagnosis.

• Percepatan penyediaan akses air minum dan sanitasi yang layak dan berkelanjutan yang

sejalan dengan agenda Universal Akses Air Minum dan Sanitasi 2019, baik di tingkat rumah tangga maupun di areal pertanian/peternakan yang telah teridentifikasi sebagai fokus keong perantara.

• Pembaharuan penyelenggaraan kampanye perubahan perilaku yang terintegrasi antara

kebutuhan eradikasi schistosomiasis dengan kebutuhan pencapaian target kinerja lintas sektor.

• Pemantauan dan evaluasi kegiatan terpadu yang intensif dan terukur.

2.4.2. Tantangan

Pembelajaran penting dari upaya pengendalian penyakit ini di Indonesia selama kurang lebih 35 tahun serta pengalaman dari negara endemik lainnya adalah penyakit ini hanya dapat diatasi secara tuntas melalui pendekatan multi sektor dan pemberdayaan masyarakat. Tantangan utama dalam eradikasi schistosomiasis ini adalah menggerakkan peran kunci lintas sektor di berbagai tingkatan.

Peran kunci lintas sektor di setiap tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

Desa:

• Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, deteksi dini, pengobatan massal,

dan pemeriksaan tinja dengan mobilisasi kader desa/posyandu/kader lainnya.

• Bekerjasama dengan unsur dinas teknis kabupaten dalam menyediakan pengetahuan dan

informasi penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pengelolaan ternak, dan lahan pertanian/perkebunan.

• Mengalokasikan kegiatan skala desa untuk penanganan lokasi keong perantara, air minum,

(28)

Kabupaten:

• Melakukan pendampingan dan supervisi pemanfaatan dana desa/APBDesa untuk

mendukung eradikasi schistosomiasis (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa)

• Mengalokasikan kegiatan pembinaan/pendukung pengelolaan ternak dan lahan pertanian/

perkebunan penduduk (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan).

• Menyediakan/memelihara infrastruktur bagi penanganan lokasi keong perantara: drainase,

irigasi, akses jalan, jaringan catchment area (Dinas Pekerjaan Umum).

• Mendampingi dan menyediakan dukungan mentoring kegiatan kampanye perubahan

perilaku (Dinas Kesehatan).

• Mempercepat pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi (Dinas Pekerjaan Umum/

Dinas Cipta Karya, Dinas Kesehatan).

• Menerapkan kebijakan penanganan hewan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan dalam

rangka eradikasi Schistosomiasis (Sekretariat Daerah, Bappeda).

• Mempercepat penyediaan tenaga kesehatan, tenaga kesehatan hewan, tim lab-schisto,

petugas lapangan dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai (Badan Kepegawaian Daerah).

• Mereview kelayakan dan kewajaran kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara

(Bappeda).

• Memastikan status kepemilikan lahan fokus untuk kepastian pelaksanaan modifikasi

lingkungan (Bupati dan Kantor BPN Daerah).

• Menjamin pembiayaan rujukan kasus klinis schistosomiasis (BPJS/JamKesDa).

Provinsi:

• Menyiapkan kebijakan yang memastikan tersedianya tenaga dokter, analis, paramedis, serta

dokter hewan dan paramedik veteriner dalam jumlah, kualifikasi, dan masa tugas yang sesuai di dataran tinggi Lindu, Napu, dan Bada (Gubernur).

• Menjamin ketersediaan obat Praziquantel untuk pengobatan hewan (Dinas Peternakan). • Mendampingi/membantu kabupaten dalam merancang kegiatan pengelolaan ternak dan

penanganan lokasi keong perantara yang layak dan berkelanjutan, bersumber APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN (Dinas Peternakan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum).

• Membantu percepatan pemenuhan 100% akses air minum dan sanitasi (Dinas Pekerjaan

Umum, Dinas Kesehatan).

• Mereview kelayakan dan kewajaran kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara

(Bappeda).

• Mengembalikan fungsi wilayah konservasi yang berada pada desa-desa endemik

(29)

Pusat:

• Memastikan berbagai kegiatan lintas sektor dialokasikan di desa endemik Schistosomiasis, khususnya di lokasi ternak dan keong perantara (Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian PPN/Bappenas).

• Mengalokasikan obat Praziquantel bagi hewan di lokasi endemik (Kementerian Pertanian cq Ditjen PKH, Direktorat Kesehatan Hewan).

• Mengalokasikan kegiatan penanganan ternak dan lokasi keong perantara (Kementerian/ Lembaga terkait).

• Memastikan/mengawasi penerapan pedoman tata kelola pengendalian schistosomiasis terpadu (Kementerian/Lembaga terkait).

• Menyediakan obat Praziquantel bagi penduduk peserta pengobatan masal (Kementerian Kesehatan).

• Membina dan mengawasi pelaksanaan surveilans pada manusia, hewan, dan keong perantara (Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian).

• Membina dan mengawasi pemanfaatan dana desa bagi kegiatan terpadu skala desa untuk percepatan eradikasi Schistosomiasis (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

• Menyediakan dukungan TNI dan POLRI bagi pelaksanaan dan pemantauan kegiatan eradikasi Schistosomiasis.

2.4.3. Peluang

Adapun peluang utama yang perlu dipelihara sehingga memberikan daya dorong dalam upaya terpadu eradikasi schistosomiasis ini adalah sebagai berikut:

• Dukungan komitmen dari para pengambil keputusan di berbagai tingkat pemerintahan • Sumber pembiayaan dari APB Desa.

• Daya tarik wisata dataran tinggi Bada, Napu, dan Lindu menjadi salah satu penggerak utama

bagi ekonomi lokal apabila ancaman schistosomiasis ini dapat dihilangkan.

• Peluang peningkatan perekonomian penduduk setelah dilakukannya modifikasi lingkungan

(30)

BAB 3

Pentahapan dan Target Upaya

Eradikasi Schistsomiasis

Pentahapan menuju eradikasi mengenal 3 (tiga) fase, fase akselerasi (2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), dan fase verifikasi dan deklarasi eradikasi (2025). Setiap tahapan/fase memiliki target tertentu dan intervensi kunci. Target dan intervensi kunci di setiap fase ini selanjutnya menjadi panduan formulasi paket kegiatan tahunan berikut target hasil yang terukur.

3.1. Kriteria Eradikasi Schistosomiasis

Dalam rangka mempercepat upaya eliminasi/eradikasi schistosomiasis japonica, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyelenggarakan the Expert Consultation to Accelerate Elimi-nation of Asian Schistosomiasis, pada tanggal 22-23 Mei 2017 di Shanghai, Tiongkok. Pertemuan tersebut merekomendasikan kriteria eliminasi/eradikasi schistosomiasis japonica yang harus dipenuhi oleh suatu negara/wilayah, yaitu sebagai berikut:

1. Pengurangan tingkat kejadian infeksi pada manusia menjadi nol; 2. Pengurangan tingkat kejadian infeksi pada hewan menjadi nol; 3. Pengurangan jumlah keong yang terinfeksi menjadi nol.

Status eliminasi/eradikasi tersebut akan diberikan WHO melalui proses verifikasi yang dilakukan setelah periode surveilans pasca intervensi selama minimal lima tahun berturut-turut dimana tidak ada infeksi baru yang dilaporkan pada manusia, hewan pelihara, serta keong hospes perantara.

3.2. Pentahapan Menuju Eradikasi

Upaya percepatan eradikasi schistosomiasis dari wilayah endemik di Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2018-2025 terbagi atas tiga fase sebagaimana dalam Gambar 3.

a. Fase Akselerasi (2018-2019)

(31)

Gambar 3. Bagan Roadmap Eradikasi Schistosomiasis di Indonesia Tahun 2018 – 2025

schistosomiasis. Strategi untuk menurunkan prevalensi infeksi pada hewan adalah dengan melakukan pengobatan massal sebanyak dua kali per tahun pada ternak besar (sapi, kerbau, dan kuda) sebagai reservoir yang memberikan kontribusi besar dalam penyebaran telur Schis-tosoma ke lapangan.

(32)

Tabel 6. Daftar Kegiatan Fase Akselerasi (2018 – 2019) beserta Indikator dan Target Hasil

Intervensi Kunci Indikator Capaian Hasil

Proporsi jumlah penduduk minum obat PZ per tahun

Proporsi jumlah ternak besar (sapi, kerbau, kuda) yang diobati PZ per semester Jumlah desa yang menerima modifikasi lingkungan terpadu

Luas fokus yang menerapkan pemberantasan kimiawi Kumulatif cakupan KK dengan akses air minum dan sanitasi layak dan berkelanjutan

Kumulatif Jumlah MCK yang sehat dan terawat di areal fokus

Proporsi jumlah ternak besar (sapi, kerbau, kuda) yang terhindar dari kontak dengan fokus

Pengobatan massal pada manusia 1 kali setahun

Pengobatan massal pada hewan 2 kali setahun

Target Hasil 2018

100%

Pada fase ini, surveilans pada manusia dilakukan secara ‘total screening’/seluruh populasi pada Tahun 2019 untuk mengevaluasi hasil intervensi terpadu pada manusia, hewan dan lingkungan pada Tahun 2018. Pada hewan, surveilans terhadap total populasi dilakukan pada Tahun 2018, dan terhadap desa-desa sentinel dan spot pada 2019. Sedangkan pada keong, surveilans dilakukan terhadap focus-fokus sentinel dan spot pada 2018 dan 2019.

(33)

Intervensi Kunci Indikator Capaian Hasil Target Hasil 2018 Target Hasil 2019

Lanjutan Tabel 6 ...

Surveilans pada populasi (manusia dan hewan) dan luas fokus (keong)

Jumlah desa aktif melakukan kampanye dengan materi dan metoda KIE berbasis

b. Fase Pemeliharaan dan Surveilan Pasca Intervensi (2020-2024)

Prevalensi infeksi S. japonicum pada manusia, hewan, dan keong yang telah berhasil diturunkan sampai dengan 0% pada fase akselerasi akan dipertahankan selama lima tahun, untuk memenuhi prasyarat dilakukannya verifikasi eradikasi schistosomiasis di Indonesia oleh WHO pada tahun 2025. Pada fase ini kegiatan surveilan menggunakan teknik diagnosis dengan sensitivitas tinggi, seperti uji serologis dan LAMP, memegang peranan untuk memastikan tidak ditemukan lagi kasus infeksi schistosomiasis pada manusia, hewan, dan keong. Surveilans pada manusia dilakukan terhadap seluruh populasi/total screening pada Tahun 2020. Pada Tahun 2021-2024, surveilans pada manusia dilakukan pada desa-desa hotspot. Adapun surveilans pada hewan dilakukan terhadap seluruh populasi hewan pada Tahun 2020 dan Tahun 2024, sedangkan terhadap desa-desa sentinel dan spot dilakukan pada Tahun 2021, 2022, dan 2023. Surveilans pada keong tetap dilakukan terhadap focus-fokus sentinel dan spot selama 2020-2024.

(34)

c. Fase Deklarasi Eradikasi (Tahun 2025-dst)

Deklarasi eradikasi schistosomiasis di Indonesia dilakukan setelah verifikasi oleh WHO terhadap hasil surveilans pasca intervensi yang menunjukan tidak ditemukannya lagi infeksi schistoso-miasis pada manusia, hewan dan keong di wilayah endemik selama lima tahun berturut-turut. Kegiatan surveilan harus tetap diteruskan secara berkala pasca deklarasi untuk memastikan schistosomiasis tidak muncul kembali.

Sepanjang periode eradikasi, upaya menerus dilakukan dalam hal pengelolaan hewan ternak, surveilans, kampanye perubahan perilaku dan peningkatan partisipasi masyarakat, serta koordinasi multi sektor yang didukung monitoring dan evaluasi terpadu secara intensif.

Tabel 7. Sasaran dan Tahapan Pencapaian Program Percepatan Eradikasi Schistosomiasis 2018 – 2025

Kriteria Eradikasi Baseline (2017)

Fase Akselarasi Intervensi

Target 2018 Target 2019

Prevalensi pada Manusia (%) Lindu

Napu Bada

Prevalensi pada Hewan (%) Lindu

Napu Bada

(35)

3.3. Baseline dan Target Setiap Tahapan

Sasaran program percepatan eradikasi schistosomiasis adalah menurunkan prevalensi infeksi

S. japonicum dari nilai baseline (2017) menjadi 0% pada tahun 2019 melalui penerapan intensifikasi program intervensi terpadu pada manusia, hewan dan keong di daerah endemik (Tabel 7). Sasaran tersebut dicapai secara bertahap dalam dua tahun dengan berbagai kegiatan intervensi untuk menurunkan prevalensi pada tahun 2018 menjadi sekurang-kurangnya 50 % dari nilai baseline (2017). Prevalensi nol persen yang telah dicapai akan dipertahankan selama periode surveilan pasca intervensi (2020-2024) sampai dengan proses verifikasi eradikasi pada tahun 2025.

3.4. Potensi Peningkatan Ekonomi Lokal Pasca Eradikasi Schistosomiasis

Keberhasilan program eradikasi schistosomiasis secara langsung dan tidak langsung akan dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi penduduk yang bermukim di wilayah endemik. Kegiatan intervensi lingkungan dengan mengubah habitat/fokus O. hupensis menjadi lahan sawah melalui pencetakan sawah baru maupun mengaktifkan kembali sawah terlantar akan dapat meningkatkan ketersediaan pangan serta kesejahteraan petani di daerah tersebut. Potensi peningkatan produksi padi dari sekitar 120 hektar lahan sawah yang direncanakan untuk dicetak dan diaktifkan adalah 600 ton gabah kering giling/musim tanam. Peningkatan pendapatan penduduk juga akan didapatkan dari pengaktifan kembali kebun dan penanaman tanaman keras dalam rangka konversi fokus menjadi lahan kering.

Perekonomian penduduk diharapkan juga akan meningkat sebagai dampak dari perbaikan produktivitas ternak, khususnya sapi dan kerbau yang memiliki nilai ekonomis dan sosial budaya tinggi bagi pemiliknya. Berbagai studi di Indonesia menunjukan kecacingan pada ternak ruminansia berkonstribusi terhadap perlambatan pertambahan berat badan 5-20% dan penurunan kemampuan reproduksi ternak (Satrija and Beriajaya 1998). Penerapan program intervensi schistosomiasis terhadap ternak sebagai hewan reservoir dalam bentuk pengobatan dan pemeliharaan yang lebih intensif melalui pembuatan kandang ternak kolektif atau padang gembala bebas cacing, akan menghindarkan kontaminasi telur schistosoma asal ternak di lingkungan dan memperbaiki performance ternak. Pengaktifan kembali dan pembuatan kolam ikan dari lahan-lahan bekas fokus juga akan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(36)

BAB 4

Pendekatan dan Strategi Eradikasi

Strategi Indonesia dalam mengeradikasi Schistosomiasis meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan, dan lingkungan secara terpadu dan menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang accessible bagi semua yang peduli dan terlibat.

4.1. Pendekatan dan Faktor Kunci Keberhasilan Eradikasi

Skema utama dalam strategi eradikasi schistosomiasis di Provinsi Sulawesi Tengah adalah pemenuhan kriteria WHO untuk eradikasi schistosomiasis japonicum yaitu tercapainya prevalensi nol persen pada manusia, hewan reservoir, dan keong perantara selama lima tahun berturut-turut. Selain pemenuhan syarat tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melaksanakan tindakan untuk mencapai target tersebut. Beberapa hal ini terkait dengan status legal area target, budaya lokal, dan batasan waktu, yaitu sebagai berikut:

1. beberapa dari area endemik adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sehingga modifikasi lingkungan harus disesuaikan dengan aturan konservasi lingkungan yang berlaku, 2. baik manusia ataupun hewan ternak tidak dapat direlokasi dari lokasi endemik karena

keterikatan adat mereka terhadap daerah tersebut, dan

3. titik awal nol persen prevalensi harus tercapai pada tahun 2019.

Dalam rangka mencapai target dan mempertimbangkan ketiga hal di atas, strategi eradikasi dirinci dalam kelompok kegiatan yang dilakukan untuk mencapai masing-masing target yang ada. Meskipun terdapat perbedaan target acuan untuk setiap kelompok kegiatan, namun saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kegagalan satu kelompok kegiatan merupakan kegagalan seluruh program.

Pendekatan eradikasi schistosomiasis bertumpu pada lima pilar berikut:

1. Kesehatan semesta (One Health); kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan 2. Kerjasama lintas sektor

3. Keterpaduan upaya antara pusat dan daerah 4. Berbasis spasial

5. Pemberdayaan masyarakat

(37)

1. Kerjasama lintas sektor di pusat dan daerah 2. Kepemimpinan desa dan pemerintah daerah 3. Pemantauan dan evaluasi yang intensif dan terukur 4. Partisipasi masyarakat

5. Sistem surveilans yang efektif dan akurat

6. Kelayakan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dan fasilitas/sarana kerja

4.2. Strategi Eradikasi

4.2.1. Pengobatan Massal pada Manusia dan Hewan 4.2.1.1. Pengobatan Massal pada Manusia

Pengobatan massal menggunakan Praziquantel dengan dosis 40 mg/kgBB pada manusia merupakan upaya pemberantasan fase dewasa cacing S. japonicum yang ada di tubuh manusia. Manusia yang merupakan induk semang definitif S. japonicum dengan gejala klinis paling terlihat di antara induk semang definitif lainnya. Hal ini membuat proses serta hasil penanganan schis-tosomiasis pada manusia menjadi indikator utama kesuksesan program. Dalam rangka mencapai eradikasi schistosomiasis yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019 (0% prevalensi), akan dilakukan perubahan sistem pengobatan massal pada manusia yang terdiri atas 2 tahap. Tahap pertama adalah pengobatan massal pada seluruh populasi akan dilakukan selama 2 tahun berturut-turut untuk menekan prevalensi schistosomiasis di manusia. Setelah periode tersebut, tahap kedua pengobatan hanya akan dilakukan secara selektif pada populasi yang kemungkinan masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem surveilans. Pengobatan massal pada manusia akan dilaksanakan oleh tim dari puskemas di area endemik. Setiap tim berasal dari puskesmas di area endemik serta terdiri atas 1 orang dokter, 3 orang paramedik, dan 5 orang kader yang telah dilatih. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Praziquantel untuk kegiatan ini berasal dari donasi WHO yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan.

4.2.1.2. Pengobatan Massal pada Hewan Reservoir

(38)

populasi berisiko yaitu populasi yang diumbar bebas. Pendekatan ini akan dilakukan selama 3 tahun berturut-turut guna menekan prevalensi schistosomiasis pada hewan reservoir tersebut sekaligus mencegah kontaminasi telur S. japonicum dari hewan reservoir ke lingkungan. Setelah 3 tahun, tahap kedua dilakukan dalam bentuk pengobatan secara selektif pada populasi yang kemungkinan masih terinfeksi sebagai bagian dari sistem tanggap cepat yang terintegrasi dengan sistem surveilans. Pengobatan massal pada hewan akan dilaksanakan oleh tim dari Puskeswan di area endemik. Setiap tim terdiri atas 1 orang dokter hewan dan 3 orang paramedik veteriner yang berasal dari dinas kabupaten serta 3 orang kader dari desa endemik yang telah dilatih. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi kesehatan hewan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Masalah mendesak yang harus segera dipecahkan terkait program ini adalah pengadaan praziquantel untuk pengobatan hewan besar. Sampai saat ini belum ada sediaan praziquantel untuk hewan besar yang teregistrasi di Kementerian Pertanian (Ditkeswan 2016). Untuk itu diperlukan upaya pengadaan praziquantel baik melalui donasi FAO dan atau impor yang difasilitasi dengan penerbitan ijin khusus pemasukan obat hewan oleh Kementan untuk mendukung program eradikasi schistosomiasis.

4.2.2. Manajemen Pola Penggembalaan Ternak

Pola penggembalaan ternak merupakan salah satu faktor risiko dalam kejadian schistosomia-sis. Pola penggembalaan ternak yang diterapkan di ketiga area endemik adalah pola penggembalaan bebas. Di satu sisi, pola ini mengurangi beban peternak untuk memberikan pakan karena ternak dapat mencari pakan sendiri dengan cara merumput. Di sisi lain, pola ini meningkatkan risiko paparan ternak terhadap fokus keong perantara schistosomiasis mengingat minimnya pengawasan ternak yang digembalakan secara bebas. Dengan mempertimbangkan budaya lokal dan kondisi area endemik tiga solusi manajemen dapat dilakukan untuk memperbaiki pola penggembalaan ternak. Ketiga solusi tersebut antara lain adalah:

1. Pengandangan ternak.

2. Pemagaran area merumput yang aman (safe grazing area). 3. Pemagaran fokus.

(39)

pemagaran safe grazing area tidak selalu harus dilakukan pada seluruh perimeter area merumput melainkan dapat dilakukan pada titik-titik strategis jalur ternak (chokepoints) yang berisiko apabila tersedia. Pengerjaan manajemen pola penggembalaan ternak memiliki target pengerjaan 3 tahun untuk seluruh populasi dengan cakupan 50% populasi pada tahun pertama, 35% populasi pada tahun kedua, dan 15% pada tahun ketiga. Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi peternakan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Dalam upaya mendapatkan pilihan solusi paling tepat untuk pola manajemen ternak yang akan diterapkan, perlu dilakukan survei pengetahuan, perilaku, dan praktik (knowledge, attitude, practice/KAP). Melalui survei ini, perilaku peternak di setiap area dapat dipetakan sehingga solusi yang tepat dapat ditentukan. Survei KAP juga bermanfaat sebagai acuan dalam penyusunan materi penyuluhan (KIE) bagi peternak dan petugas lapangan. Pelaksanaan kegiatan ini disinergikan dengan kegiatan pengembangan KIE untuk kelompok sasaran lainnya. Persiapan (perencanaan) pelaksanaan KAP ini perlu dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

4.2.3. Pemberantasan Keong Hospes Perantara 4.2.3.1. Penyemprotan Moluskisida

Penyemprotan moluskisida (racun keong) merupakan salah satu metode pengendalian keong perantara schistosomiasis. Upaya ini dilakukan untuk memberantas keong khususnya pada fokus dengan ukuran kecil dan/atau posisi geografis yang terpencil sehingga sulit dijangkau dengan metode pengendalian lainnya. Penggunaan moluskisida harus dibatasi guna mencegah timbulnya resistensi serta kematian organisme lainnya yang berpotensi mengganggu keseimbangan lingkungan. Sediaan moluskisida pilihan yang digunakan untuk upaya ini adalah Niklosamid. Penggunaan Niklosamid disesuaikan dengan jenis, luas dan kedalaman lahan sebagaimana dijabarkan dalam panduan WHO untuk penggunaan moluskisida (WHO 2017).

Penyemprotan moluskisida akan dilakukan sebanyak 3 – 4 kali per tahun di fokus yang telah ditentukan. Terdapat 17 fokus yang akan dilakukan penyemprotan moluskisida dengan total luas 330.383 m2. Penyemprotan dilakukan oleh kader dengan target 5.000 m2/kader/hari.

Pelaksanaan kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi pertanian di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi. Pengadaan sediaan Niklosamid menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

4.2.3.2. Modifikasi Lingkungan Fokus

(40)

air dan pengeringan lahan. Peningkatan debit air dilakukan pada lahan yang cenderung basah sepanjang tahun dan dapat dicapai melalui pilihan kegiatan berikut:

1. Pengembangan jaringan irigasi (rehabilitasi, peningkatan, pembangunan) di perkebunan dan persawahan

2. Pengembangan daerah penangkap air (Water Catchment Area) 3. Pembersihan kebun dan lahan bersemak

4. Pengelolaan sawah secara intensif 5. Pencetakan sawah

6. Pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam 7. Pembuatan kolam

8. Pengadaan alat pembenihan ikan

Pengembangan jaringan irigasi bertujuan untuk meningkatkan debit aliran air di saluran irigasi yang ada serta menjangkau lahan di area perkebunan yang sebelumnya mudah tergenang dan menjadi habitat keong perantara. Jaringan irigasi yang dikembangkan mencakup jaringan irigasi sekunder dan tersier. Jaringan irigasi yang dibuat harus bersifat permanen (dibatasi dinding beton atau batu) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Pengembangan saluran irigasi juga mampu membantu meningkatkan produktivitas perkebunan dan persawahan melalui pencegahan kerusakan tanaman kebun akibat lahan yang terlalu basah serta pemerataan air bagi tanaman perkebunan dan persawahan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pengembangan daerah penangkap air (Water Catchment Area) bertujuan untuk meningkatkan kedalaman air di lokasi sumber air warga. Selama ini, banyak dari sumber air warga berasal dari mata air yang tidak memiliki kedalaman yang cukup sehingga menjadi habitat keong perantara. Selain itu, pengaliran air secara langsung dari sumber air yang menjadi fokus positif schistoso-miasis memungkinkan larva infektif (serkaria) S. japonicum untuk masuk ke aliran air warga. Pembuatan daerah penangkap air dengan kedalaman yang cukup mampu menekan perkembangan populasi keong perantara, mematikan serkaria S. japonicum melalui penundaan pengaliran, serta memungkinkan dilakukannya pemeriksaan keamanan air sebelum disalurkan kepada warga sehingga menjamin keamanan air yang akan dikonsumsi/digunakan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pembersihan kebun dan lahan bersemak bertujuan untuk menghilangkan serasah yang menghambat aliran air khususnya di saluran irigasi yang ada di perkebunan tersebut. Keberadaan serasah yang tidak dibersihkan mampu memperdangkal serta menghambat saluran air sehingga saluran yang ada menjadi habitat keong perantara. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi perkebunan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

(41)

menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas pertanian padi. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh dinas yang membidangi pertanian di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pencetakan sawah bertujuan untuk mengolah lahan tidur yang menjadi habitat keong perantara menjadi sawah dengan kedalaman serta aliran air yang memadai. Adapun prasayarat lahan yang akan diolah adalah memiliki akses terhadap saluran irigasi teknis serta belum pernah mendapatkan layanan pencetakan sawah sebelumnya. Sawah yang dicetak harus senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan yang justru dapat memperluas habitat keong perantara. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas pertanian padi. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Korps Zeni TNI AD dan dikoordinasikan oleh Kementerian Pertanian bersama dengan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam bertujuan untuk meningkatkan kedalaman kolam budidaya ikan yang terbengkalai dan menjadi habitat keong perantara. Kolam ikan yang sudah ada harus dibatasi dengan dinding (beton, batu, atau plastik pelapis khusus) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas perikanan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Pembuatan kolam baru bertujuan untuk mengubah lahan tidur khususnya yang senantiasa basah tetapi tidak memiliki akses irigasi menjadi kolam budidaya ikan dengan kedalaman yang memadai. Kolam ikan yang dibuat harus dibatasi dengan dinding (beton, batu, atau plastik pelapis khusus) serta senantiasa dikelola dan diawasi untuk mencegah pendangkalan. Selain menekan populasi keong perantara, kegiatan ini juga mampu menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat dalam bentuk komoditas perikanan. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi.

Kegiatan pengolahan, pemeliharaan, dan pengaktifan kolam serta pembuatan kolam baru juga didukung dengan pengadaan alat pembenihan ikan. Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan tersedianya benih ikan secara berkelanjutan sehingga kolam ikan yang ada benar-benar menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat setempat dan terus dikelola. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh yang membidangi perikanan di Kabupaten Poso dan Sigi.

Adapun pengeringan lahan dilakukan pada lahan yang cenderung kering sepanjang tahun dan dapat dicapai melalui pilihan kegiatan berikut:

1. Pengembangan saluran tersier/drainase

2. Agroforestry desa penyangga Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) 3. Pengelolaan kebun secara intensif

Gambar

Gambar 1. Lokasi Area Endemik Schistosomiasis Japonicum di Provinsi Sulawesi Tengah
Gambar 2.  Bagan Kedudukan Roadmap  dalam Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Pusat dan Daerah
Tabel 1 . Rata-rata Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia
Tabel 2. Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada sistem ini terdiri dari beberapa fitur diantaranya input data rumah, input data pembeli, input data pemesanan, input data uang muka, input data uang angsuran,

Tahap ini melibatkan be- berapa proses perubahan perilaku, yaitu contingency management, yaitu meningkatkan penghargaan untuk perilaku baru yang sehat dan

Semua data yang penulis telah dapatkan baik data primer dengan melalui wawancara dan observasi dan data sekunder dengan dokumentasi dan kepustakaan, semua

penelitian tersebut saya mohon untuk kesediaan bapak/ibu untuk menjadi responden untuk saya amati. Semua data dan informasi yang bapak/ibu berikan akan tetap terjaga

Komunikasi dalam ertutur hanya dapat dilakukan dengan baik dan efektif jika sama-sama saling memiliki pengalaman maupun pemahaman yang sama mengenai komunikasi dalam konteks

[r]

Pada PT Kayu Lima Sentosa dalam meningkatkan sumber daya manusiannya agar mengetahui kepuasan kerja, motivasi kerja dan komitmen organisasi terhadap kierja

Untuk mencapai hukum yang ideal yang mampu memuaskan semua pihak sebagai akibat dari praktek sentralisme hukum yang tidak mampu menangkap aspirasi pihak yang