• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIASAT RAKYAT DI GARIS DEPAN GLOBAL POLI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SIASAT RAKYAT DI GARIS DEPAN GLOBAL POLI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

SI ASAT RAKYAT DI GARI S DEPAN GLOBAL:

POLI TI K RUANG PASAR DAN PEM EKARAN DAERAH DI TANAH PAPUA

Oleh : I Ngurah Suryawan

Abstract

Local community in Papua struggle hard to resist human and natural resources against global capitalist power. Competition to gain access to political and economic resources is unavoidable. Indegenous people can hardly compete with the migrants in getting access to economic resources which resulted in the marginalisation of this group. Political economic spaces such as market, bureaucracy and investment from multinational companies shows clearly the displacement of the indegenous people. A clear portrait of their displacement is reflected in how the indegenous women in Papua struggle to get access to the market to sell their products. At Sanggeng market in M anokwari, W est Papua for example, Papuan women spread their agricultural products on the ground, while three-storey building with kiosks in it is occupied by migrant traders. M eanwhile in Jayapura, local women have to compete with multinational company - Gelael Supermarket. This article discusses how political economic spaces including markets and new municipalities and districts turn into stages for local and global power battle and flare ethnic seggregation in Papua for economic benefits.

Kata kunci: masyarakat lokal, perbatasan, ruang public, ruang politik, global kapital

1. Pendahuluan

(2)

buah-buahan, patatas, ubi dan lainnya. Dengan menggendong karung-karung, para mama ini mulai menggelar tikar dan alas seadanya untuk kemudian menggelar dagangannya. Sebagian dari mereka saya perhatikan mulai mengeluarkan barang dagangan dari karung kemudian menggelarnya dalam bagian-bagian kecil. Sementara saya melihat orang-orang berbaju seragam pegawai negeri keluar masuk Supermarket Gelael dan KFC. M ereka berlama-lama berbelanja di dalam supermarket. Ada beberapa orang yang tampak bercengkrama di KFC.

Khusus di Kota Jayapura, perjuangan SOLPAP (Solidaritas Pedagang Asli Papua) mulai bergulir sejak 2008 menuntut pembangunan pasar bagi mereka. Serangkaian pertemuan dilakukan dengan Pemkot, DPRD dan DPRP, bahkan ketika itu sampai harus dialokasikan dana mencapai Rp 1 M ilyar lebih untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus). Dari Pansus tersebut dibentuk lagi 3 Kelompok Kerja (Pokja), yakni Pokja Desain dan Konstruksi, Pokja Lokasi, dan Pokja Dana atau pembiayaan. Namun, dalam pertemuan dengan Pemkot 10 Oktober 2008, Pemkot mengaku tidak memiliki dana untuk itu dan menegaskan itu menjadi tanggung jawab Pemprov. Pada tanggal 14 Oktober 2008 SOLPAP mencoba mengirim proposal, namun tidak mendapat tanggapan. Akhirnya pada tanggal 14 September 2009 barulah mama – mama pedagang asli Papua bisa bertemu dengan Gubernur. 1

Pada tanggal 30 M aret 2010, ratusan massa yang terdiri dari mama-mama Papua mendatangi gedung Dewan. Gerimis tidak menciutkan semangat mereka melakukan yel-yel dari Pasar Pharaa menuju gedung Dewan yang berjarak sekitar 3 Km itu. M eski sempat dihadang oleh Satpol PP di pagar masuk Kantor Bupati Gunung M erah Sentani, rombongan mama-mama Papua yang dikoordinir oleh Ibu Betty W arweri ini berhasil masuk ke dalam gedung DPRD Sentani. M ama-mama ini juga membawa beberapa spanduk dan pamphlet yang memuat aspirasi mereka. “Hapuskan sistem monopoli dagang komoditas asli Papua”, “Hentikan praktek

(3)

pendatangan orang non Papua menguasai meja-meja dan los-los di pasar baru Sentani”, “Dagangan lokal khusus untuk pedagang asli Papua” 2

Saat mengunjungi Kota Timika, ibukota Kabupaten M imika Provinsi Papua akhir Oktober 2011, saya sempat mengunjungi pasar Timika. M ama-mama dari Suku M ee hanya terlihat segelintir dibandingkan pedagang-pedagang dari luar Papua. M ama-mama yang saya temui menjual hasil-hasil bumi yang menurut pengakuan mereka dipetik langsung dari kebun. M eskipun telah disediakan lapak semen yang permanen, mama-mama ini lebih memilih menggelar dagangan yang telah dikelompokkan beralas

noken (tas) karung atau plastik. Beberapa di antara mereka menjual

noken-noken yang dipajang berjejer. Beberapa di antaranya adalah noken

bermotif bendera bintang kejora dengan tulisan “W ets Papua”. Seorang teman dari Suku M ee yang menemani saya berbincang dalam Bahasa M ee kepada mama-mama (mereka). Terlihat mama-mama di samping saya tertawa lepas sambil sa pu (saya punya) teman menjelaskan bahwa kata yang benar adalah “W est Papua” di atas bendera bintang kejora. 3

Pasar, sebagai sebuah ruang sosial, bisa menjadi cermin dari masyarakat tempatan. Dari pasar, beragam persoalan bisa teruraikan. Salah satunya yang kelihatan paling kentara adalah persoalan akses ekonomi, perjuangan mama-mama Papua, dan jika ditelisik lebih dalam bisa menguraikan kompleksitas persoalan kesehatan, pendidikan, politik lokal, kekerasan dalam rumah tangga. Kompleksitas persoalan itulah yang kini terjadi di Tanah Papua. Beragam persoalan muncul silih berganti, yang jika ditelisik lebih mendalam akan menggambarkan persoalan yang saling terkait. Satu keputusan akan membawa implikasi yang kompleks pada berbagai persoalan. Artikel ini berusaha mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan W osi di Kota M anokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut.

M unculnya daerah-daerah administratif baru serta dana Otsus menjadi “ruang” bagi mama-mama Papua untuk memperjuangkan identitas, akses mereka terhadap pasar dan keberlangsungan hidup mereka

2 Lihat “Mama-mama Papua demo ke DPRD” dalam http://www.kabarindonesia. com/berita.php?pil=14&jd=Mama-mama+Papua+Demo+ke+DPRD&dn=20100330221832. Diakses 22 Oktober 2010.

(4)

dengan berjualan di pasar tradisional. Namun sayangnya, kehadiran dana Otsus belum juga memberi keberpihakan pada perjuangan mama-mama Papua agar mendapatkan fasilitas pasar. Artikel ini membahas bagaimana ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil dari pemekaran daerah menjadi arena baru perebutan kekuasaan ekonomi politik yang dimainkan oleh para elit-elit lokal dengan mengatasnamakan “rakyatnya” masing-masing, pemerintah Indonesia, para pendatang yang mengadu nasibnya di Tanah Papua, dan jejaring investasi global dalam berbagai bentuk dan “wajah-wajahnya” yang saling menipu untuk memanfaatkan peluang, keuntungan, dan kekuasaannya.

Artikel ini menggunakan pendekatan reflektif untuk memfasilitasi transformasi sosial yang terjadi di masyarakat. M etodologinya adalah mengedepankan proses reflektif yang transformatif yang terlibat dengan subjek studinya untuk bersama-sama mengorganisasi diri, berefleksi, dan bersama-sama bergerak menuju sejarah baru dalam hidup masing-masing. Refleksi yang ditawarkannya adalah membuka jalan penelitian alternatif transformatif partisipatoris. Penelitian ini melibatkan si peneliti secara partisipatoris ke dalam subjek penelitiannya. Partisipasi observasi dilakukan untuk membangun argumentasi dan teori dari data-data lapangan yang diperoleh si peneliti bersama dengan subjek penelitiannya. Si peneliti menggunakan metode reflektif dengan bersama-sama subjek penelitian membangun pola relasi untuk bersama-sama merumuskan persoalan yang terjadi dan memberikan argumentasinya. M etode penelitian ini tergolong penelitian alternatif transformastif partisipatoris yang percaya bahwa kenyataan itu bersifat partisipatif yang diciptakan oleh (hubungan) pikiran dan lingkungan yang ada. Inilah yang disebut dengan “subyektifitas kritis” yang terjadi melalui transaksi partisipatoris dengan lingkungan. M etode penelitian etnografi yang akan dihasilkan dalam penelitian ini memuat proses reflektif dari temuan bebas nilai yang obyektif. Dalam bahasa Laksono (2009: 4), peneliti maju bersama komunitas yang ditelitinya dalam proses sosial-budaya menjalin sejarah (baru). Dengan demikian, metode penelitian ini menjadikan studi antropologi menjadi bagian dari gerakan sosial komunitasnya dan dituntut berpartisipasi dalam menciptakan sejarah yang menyatu dengan komunitas di mana studi berlangsung.

(5)

2. Pasar Sanggeng dan W osi di Kabupaten M anokwari, Papua Barat 4

M emasuki Pasar Sanggeng M anokwari, Papua Barat pada suatu sore di bulan September 2009, saya melihat sebuah “garis pembatas” yang jelas. Banyak kesan, kisah, dan kompleksitas yang dapat saya tangkap. Pasar Sanggeng berada di pinggiran pantai, di mana pasar ikan menjadi satu di dalamnya. M emasuki ruas jalan Pasar Sanggeng dari jalan umum, saya sudah disapa dengan tawa mama-mama yang menggelar dagangan hasil buminya. Berjejer mama-mama berdagang dengan alas plastik dan koran yang mulai basah. Beragam hasil bumi dijual hanya beralas koran atau karung mulai dari berbagai jenis sayur, pisang, cabai sampai ubi kayu dijual dalam kelompok. Sebagai contoh, cabai atau sayur yang sudah dikelompokkan dan diikat dijual dengan harga Rp. 3000 - Rp. 5000 Demikian pula hasil kebun lainnya diikat-ikat untuk dijual.

Sore itu suasana pasar sangat ramai. M ama-mama Papua menggelar barang-barangnya di depan kios-kios triplek yang disewa untuk pedagang yang sepertinya berasal bukan dari Papua. Ketika memasuki Pasar Sanggeng, saya melihat di kios triplek semi permanen ada penjual gorengan, di sebelahnya penjual mie ayam dan soto ayam. Berseberangan jalan ada pedagang-pedagang baju, VCD dan DVD bajakan yang juga didominasi oleh para pedagang pendatang. Di ujung pasar ada pasar ikan dan terminal angkutan kota. Bersebelahan dengan Pasang Sanggeng, terdapat Pasar Tingkat, yang sering disebut “pasting” tiga lantai yang didominasi oleh para pedagang pendatang yang juga berjualan berbagai jenis pakaian, peralatan elektronik, VCD dan DVD bajakan dan yang lainnya. Saya juga melihat beberapa sudut pasar yang didominasi oleh tukang cukur dan penjual emas di lantai dasar Pasar Tingkat Sanggeng. Saat naik ke lantai tiga pasar, saya melihat penjual batik-batik Papua tetapi berasal dari Sulawesi dan Jawa.

(6)

Gambar 1

Para pedagang mama-mama Papua di bagian paling belakang dari Pasar W osi, Kabupaten M anokwari, Provinsi Papua Barat (foto: I Ngurah Suryawan)

Jalan menyusuri Pasar Sanggeng masih dari tanah, sehingga ketika musim hujan, air menggenang dimana-mana. Saya kemudian menuju pasar ikan. Seikat berisi empat ekor ikan kecil-kecil dijual seharga Rp. 20.000. Suasana sore itu gaduh sekali. Perahu-perahu yang bersandar tampak sibuk menurunkan banyak ember-ember ikan. Saat si nelayan bersiap menurunkan hasil tangkapannya, para pedagang yang sudah tampak menunggu lama di pinggiran pantai berebut untuk mendapatkannya. Di ujung dalam pasar adalah terminal angkutan kota yang menjadi salah satu pusat kesibukan jalur transportasi dalam Kota M anokwari. Saat bergegas menuju terminal, saya dihadang oleh seorang lelaki Papua. “Bos, minta uangnya.” Sontak saja saya terkejut. Saya melihat matanya sudah memerah, dan jalannya sempoyongan. Saya menduga ia sudah dalam keadaan mabuk.

(7)

3. Politik Ruang “Gula-Gula” Otsus dan Pemekaran Daerah

Ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia, ingatan kekerasan dan penderitaan akibat ulah TNI/Polri, keterpinggiran dan diskriminasi dalam pembangunan membuat tuntutan merdeka (M ) seakan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk meredam aspirasi merdeka ini, kebijakan politis Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua) dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Sugandi (2008: 6-7) memberikan pemahaman komprehensif dan kronologis tentang munculnya otonomi khusus untuk Papua. Dengan meningkatnya ketegangan, pada tanggal 26 Februari 1999 Presiden B.J. Habibie menerima sebuah delegasi yang disebut dengan “Tim 100” yang merupakan perwakilan dari masyarakat Papua yang mengekspresikan keinginan mereka untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia. Sebagai tanggapan dari permintaan ini dan untuk memperkuat integritas teritorial NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), pemerintah membuat UU (Undang-undang) No 45/99 tentang pemekaran Irian Jaya (sekarang Papua) menjadi Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang Papua Barat), Kabupaten Paniai, M imika dan Puncak Jaya dan Kota Sorong. Kebijakan ini diikuti dengan penunjukan Dokter Herman M onim sebagai Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen.M ar. (Pensiunan TNI) Abraham Artaruri sebagai Gubernur Irian Jaya Barat berdasarkan Keputusan Presiden RI No 327/M /1999, tanggal 5 Oktober 1999. Kebijakan di atas ditolak oleh pelbagai kelompok masyarakat di Papua yang diperlihatkan dengan sebuah demonstrasi besar, termasuk pendudukan gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Propinsi Irian Jaya dan kantor Gubernur di Dok II, Jayapura pada tanggal 14-15 Oktober 1999. Salah satu alasan penolakan ini adalah bahwa kebijakan ini diambil tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal.

(8)

B.J. Habibie digantikan oleh K.H. Abdurahman W ahid sebagai Presiden. M PR kemudian mengeluarkan Ketetapan M PR No. IV/M PR/2000 mengenai rekomendasi-rekomendasi kebijakan dalam menerapkan peraturan Otsus (Otonomi Khusus) untuk Aceh dan Papua dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang relevan. Setelah menampung pelbagai diskusi yang bertempat di dalam dan luar Papua mengenai Otsus dan mendapat masukan-masukan positif, DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) setuju untuk mengubah RUU (Rancangan Undang-Undang) mengenai Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua menjadi UU (Undang-Undang). Berdasarkan inilah Presiden K. H. Abdurahman W ahid mengesahkan UU No. 21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua yang ditujukan untuk meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan pendaya-gunaan keseluruhan penduduk Provinsi Papua, khususnya masyarakat asli Papua.

Selain Otsus Papua, keinginan Pemerintah Indonesia di Jakarta untuk melakukan “demam pemekaran” di Tanah Papua terlihat jelas. M endagri (M enteri Dalam Negeri) saat itu, M ardiyanto saat melantik lima penjabat bupati di lima kabupaten baru di daerah Pegunungan Tengah, Papua (Lani Jaya, Puncak, Yolimo, Nduga, dan M amberamo Tengah) menyatakan bahwa pemekaran masih sangat diperlukan Papua (Papua Pos, 23 Juni 2008; Brata, 2008: 6). Pernyataan M endagri saat itu jelas memberikan kesan bahwa pemerintah Indonesia masih membuka pintu bagi usulan-usulan baru pemekaran daerah di Tanah Papua. M enurut M endagri, ada dua alasan utama mengapa pemekaran di Papua sangat dibutuhkan. Pertama,

kondisi Papua yang begitu luas dan kedua untuk memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Hampir semua pemekaran daerah menggunakan argumentasi kesejahteraan masyarakat sehingga bukan hal yang spesifik Papua. Di lain pihak, dari sisi luasnya wilayah, Papua memang jauh lebih luas ketimbang wilayah lain di Indonesia. Kalau pertimbangan ini digunakan secara bebas, di atas kertas akan ada begitu banyak daerah di Papua.

(9)

peluang terjadinya praktik-praktik pemburuan rente ekonomi-politik. Timmer (2007; Brata, 2008:8) menyimpulkan bahwa “kekacauan” di Papua bukanlah sekedar kondisi yang diciptakan oleh Jakarta atau suatu penelantaran; ini adalah suatu kondisi yang menyodorkan kesempatan-kesempatan bagi orang-orang di Papua yang tahu betul bagaimana harus memainkan sistem. Kesimpulan ini jelas menunjukkan bahwa justru elit lokal Papua telah memanfaatkan kesempatan yang ada sedemikian rupa untuk kepentingan mereka sendiri.

Kesempatan-kesempatan pemekaran memungkinkan posisi-posisi baru dalam birokrasi dan kekuasaan lokal yang diperebutkan oleh elit-elit lokal yang secara terus menerus mengusulkan pemekaran daerah. Sementara otsus memungkinkan perluasan korupsi-korupsi sistemik sampai ke kampung-kampung dengan jaringan elit lokal korupsi. Semuanya bisa “disesuaikan” (istilah kelompok kelas menengah di Papua untuk menunjukkan semua aturan bisa dimainkan dan dinegosiasikan). Hadirnya Otsus dan pemekaran daerah yang dicita-citakan untuk kesejahteraan rakyat Papua telah “dicuri” oleh elit lokal Papua untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Saya jadi teringat celoteh seorang anak muda Papua, “Tidak ada yang susah di republik ini.”

4. Refleksi: Bangsa di Garis Depan

Apa yang selama ini sudah saya baca, Papua mengalami masalah pendekatan yang kompleks. Kompleksitas itu menyasar pada produksi pengetahuan tentang Papua yang diskriminatif, kolonialistik dan tidak memanusiakan Bangsa Papua. Penjajahan secara produktif dalam cara berpikir itu telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang diskriminatif, dipraktikkan dengan massif dalam kerangka “pembangunan masyarakat tertinggal”. Oleh karena itu tidak heran jika citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar. “Indonesia dorang” merancang secara sistematis menempatkan Bangsa Papua kehilangan kebudayaannya. Kalaupun punya, derajatnya lebih rendah dari kebudayaan Indonesia dan “terasing” serta tidak dinamis.

(10)

Kompleksitas sejarah dan status politik Tanah Papua dan heterogenitas bangsa Papua seolah terlupakan. Rezim otoritarian Orde Baru sejak 1969 menjadikan Tanah Papua sebagai objek pembangunan dengan penyeragaman di segala bidang tanpa pengakuan pada perdebatan sejarah, status politik dan juga beragamnya budaya di Tanah Papua. Pendekatan keamanan, kekerasan, dan kejahatan kemanusiaan melahirkan tragedi kemanusiaan tanpa henti di Bumi Cenderawasih ini. Sejarah ingatan atas penderitaan (memoria passionis) menjadi pengikat yang paling ampuh untuk “melawan kehadiran Indonesia” yang tak akan lekang ditelan jaman.

Pasca reformasi 1998, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua serta Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemekaran daerah semakin mewarnai pergolakan kekuasaan terhadap tanah Papua. Penetrasi agama, birokrasi, keamanan, pendidikan, dan investasi modal melalui perusahaan multinasional semakin menjepit dan meminggirkan Bangsa Papua di tanah kelahirannya sendiri. M enegakkan identitas Papua di tengah semua kepungan itu sungguh sebuah perjuangan yang rumit. Kelokan-kelokan tajam, transformasi, dan siasat Bangsa Papua menghadapi semuanya menjadi sebuah bagian yang sungguh sangat penting untuk dicermati.

(11)

Di sisi lain, kekuatan birokrasi Negara (baca: pemerintah pusat dan daerah serta aparatusnya) berkolaborasi dengan kuasa investasi global untuk menguasai jaringan-jaringan ekonomi makro yang merangsek ekonomi rakyat hingga ke titik nadir. Pengakuan dan tindakan afirmatif (pemihakan) terhadap perekonomian rakyat seakan hanya janji kosong para birokrat dan politisi untuk meraih simpati menjelang perebutan kekuasaan. Deru investasi masuk tanpa henti menghasilkan deretan ruko, hotel, apartemen, supermarket, bahkan menyulap tanah masyarakat lokal menjadi perkebunan kelapa sawit hingga coklat. Pasar tradisional tempat mama-mama Papua berjualan minim sekali untuk terjamah anggaran dana Otsus atau APBD. “Pejabat dong (mereka) hanya pikir perut sendiri saja.

Tong (kita) hanya bisa lihat bagaimana dong baku tipu (mereka saling tipu)

sampeeeee dana habis.” keluh mama-mama di pasar yang saya dengar.

Kompleksitas masyarakat lokal hari ini diantaranya adalah posisi mereka di tengah himpitan penetrasi modal yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Tangan-tangan eksploitasi tersebut dipraktikkan dengan sangat massif oleh perusahaan transnasional dalam bentuk jejaring kuasa kapital global. Di tengah terjangan tersebut, kisah-kisah pelantunan identitas budaya masyarakat lokal berada di garda depan

(frontier). Pada ruang-ruang interkoneksi jejaring kuasa politik global dan

budaya masyarakat lokal ini akan terlihat fragmen-fragmen siasat manusia memanfaatkan peluang ekonomi politik dan juga lantunan-lantunan kisah penegakan identitas budayanya.

Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) manusia di garis depan (frontier) inilah yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. M anusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu

memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini. Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas. Pada ruang-ruang inilah, masyarakat lokal berada di ruang hampa makna, ketika penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku kepada tanahnya yang telah dikuasai kuasa modal global.

(12)

menjadi komoditas yang diceritakan, “diomongkosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti.

Pengakuan terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat lokal tertelan kuasa global kapital. Jauh di kampung-kampung pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerah-daerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap menjadi perkebunan dan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan daerah pertanian. Dengan dana otonomi khusus, pembangunan infrastruktur terus digenjot tanpa henti.

Posisi masyarakat lokal langsung bertemu dengan kekuatan ekonomi global. Berbagai perubahan sosial pun terjadi begitu cepat. Relasi-relasi

baku tipu ekonomi politik yang “mengalahkan” masyarakat setempat

menjadi cerita yang begitu biasa diungkapkan. Kisah-kisah keter-belakangan yang bertemu dengan simbol modernitas bernama industri kapitalisme internasional bagai kisah ironis yang menyesakkan dada.

Puncak-puncak kemewahan yang ditunjukkan perusahaan M NC berhadapan dengan kondisi masyarakat lokal, yang sebenarnya mempunyai hak di atas tanah mereka. Gedung-gedung bertingkat dengan fasilitas mewah berdampingan dengan rumah-rumah papan sederhana masyarakat lokal. Pada relasi-relasi itulah yang terjadi bukan hanya penjajahan dalam bentuk penetrasi ekonomi global, tapi lebih dalam kepada penjajahan secara produktif dalam cara berpikir yang dilakukan industri ekonomi global yang menggandeng pemerintah daerah dalam melakukan intervensinya.

Saya kemudian teringat bagaimana siasat dan perjuangan mama-mama Papua mendapatkan akses ke pasar untuk menjual produk hasil bumi dan

noken-noken beraneka motif. Di Pasar Sanggeng M anokwari misalnya,

(13)

Bangsa Papua berada di garis depan pertarungan kekuatan politik global dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Tanah Papua. M enghadapi situasi tersebut, strategi pembangunan dan serangkaian kebijakan politik struktural pemerintah menjadi “jauh dari bayangan” dan bahkan menjadi serangkaian jejaring kekuasaan yang menipu. M enjadi penting dipikirkan adalah bagaimana Bangsa Papua menghadapai situasi yang memarginalisasi? Oleh sebab itulah praktik, taktik, dan siasat manusia menjadi penting dikemukakan. Dalam siasat, manusia dihadapkan langsung dengan kenyataan di lapangan, fakta di depan mata yang membutuhkan cara dan taktik untuk menghadapinya. Ini sangat berbeda dengan strategi yang masih di atas meja atau kertas yang berupa rancangan untuk menghadapi kenyataan (yang sering menjadi bahan analisis studi kebijakan dan politik). Dalam siasat inilah, de Certau (1984) melihat bahkan praktik keseharian manusia mengandung beragam makna dan pergolakan manusia dan (politik) kebudayaan yang sering dilupakan dengan strategi yang menipu. Dalam siasat, manusia langsung berhadapan dengan jejaring relasi kuasa yang dibentuk oleh ruang yang memberikan kontes persoalan tertentu.

Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang terus berubah. Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.

Referensi

Aditjondro, George, 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi M anusia. Jakarta: Elsam.

Al Rahab, Amiruddin, 2010. Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma dan Separatisme, Jakarta: Komunitas Bambu, Imparsial dan Foker LSM Papua.

Chauvel, Richard, 2005. Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. W ashington: East-W est Center

(14)

Administrative Fragmentation Sponsored by Local Politians,” dalam Inside Indonesia.

De Certeau, M ichel, 1984. The Practice of Everyday Life, California: University of California Press.

Giay, Beny, 2000. M enuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran sekitar Emansipasi Orang Papua. Jayapura: Deiyai/Els-ham Papua.

Hommers, Paulus L, 2003. “Kontroversi dalam Kasus Pemekaran Provinsi di Papua” dalam Jurnal Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih Vol. 1, No. 3, Desember 2003.

Laksono, P.M , 2009. “Intervensi PGR dalam Reformasi Pemerintahan di Papua dari Perspektif Sosial Budaya” (paper tidak diterbitkan)

---, 2009. Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: M emahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah M ada

M angunwijaya, Y.B, 1987. Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (Sebuah Novel Sejarah), Jakarta: Penerbit Djambatan.

Sumule, Agus, 2003. Satu Setengah Tahun Otsus Papua: Refleksi dan Prospek.

M anokwari: Yayasan Topang.

Suryawan, I Ngurah, 2012. Jiwa yang Patah. Yogyakarta: Pusbadaya UNIPA dan Kepel Press

Suryawan, I Ngurah, 2011. “Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Volume 15, Nomor 2, November 2011 (140-153)

Tebay, Nales, 2009. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, Jayapura: SKP.

Timmer, Jaap, 2007. “Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua” (h. 596-625) dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Kliken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom (eds), Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Buku Obor dan KITLV-Jakarta.

Tsing, A.L, 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection, Princeton and Oxford: Princeton University Press.

(15)

I nternet

“Untuk Mama Papua, Bukan Pasar Biasa dalam http://papuawoman.blogspot.com/ 2010/04/untuk-mama-papua-bukan-pasar-biasa.html. (Diakses 20 Oktober 2010).

Gambar

Gambar 1 Para pedagang mama-mama Papua di bagian paling belakang dari Pasar Wosi,

Referensi

Dokumen terkait

Kewirausahaan adalah semangat, sifat, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha dan atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan,

Temuan hasil penelitian ini juga mendukung temuan penelitian yang dilakukan oleh Tigor (2011), yang mengungkapkan bahwa lingkungan kerja dan komunikasi

Pada halaman header Pantai Wediombo di sisi kiri terdapat icon back yang berfungsi jika di tap in kembali ke halaman menu pantai, pada bagian kanan terdapat icon menu

PERUM DAMRI Samarinda, dalam mengakui harga perolehan hanya berdasarkan harga beli saja, sedangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi suatu pemasarun, maka apa yang harus dilakukan dalim kegiatan periklanan

Kedua faktor tersebut, saling berinteraktif dan saling ketergantungan atau saling mempengaruhi satu sama lain, teristimewa berkenaan dengan rasa tanggung jawab

Dari hasil analisis kasus Lehman Brothers tersebut dapat disimpulkan bahwa. Ernst & Young dengan sengaja dan sadar melakukan skandal dengan

Angka penelitian menunjukkan angka persentase pemberian implementasi keperawatan klien Halusinasi pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit khusus Jiwa Soeprapto