Pola Penggunaan Ruang Komunal Di Kampung Deret RT 014 RW 01, Tanah
Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat
Faris Rifqi Ihsan
Jurusan Kajian Pengembangan Perkotaan, Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia
Email : fariz.zone@yahoo.com
Abstrak
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup besar, Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah DKI membangun kampung deret untuk mengatasi permukiman kumuh. keterbatasan lahan membuat perubahan fungsi ruang publik menjadi ruang bersama. Pada penelitian kualitatif ini ingin mengetahui pola penggunaan ruang komunal di Kampung deret tanah tinggi tersebut. Penelitiaan yang menggunakan metode pengamatan prilaku (Behavioural mapping ) ini menunjukan fungsi ruang-ruang yang tidak direncanakan sebagai ruang komunal seperti depan toko klontong dan badan jalan . Hal ini menunjukan ruang komunal tercipta berdasarkan kondisi kognitif penghuninya sebelum mereka tinggal di rumah deret.
Kata Kunci : pola pengunaan , ruang komunal, Kampung deret
1. Latar Belakang
Kota yang baik adalah kota yang dapat
mengakomodir kebutuhan penghuninya (Esariti,
2009). Berbagai macam kebutuhan tersebut
bervariasi bergantung pada karakter penghuni kota. Kesesuaian antara kebutuhan dan karakter penghuni kota kemudian akan mempengaruhi kenyamanan dan kepuasan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Kenyamanan dan kepuasan merupakan tolak ukur salah satu kriteria fit yang merupakan satu dari 5 kriteria pada Konsep Good City Form atau sebuah bentuk kota yang baik. Konsep Good City Form memiliki 5 elemen pembentuk yaitu Vitality, Sense, Fit, Access, dan Control (Lynch, 1975).
Pembangunan tempat tinggal pada saat ini
menunjukkan perkembangan yang cukup besar, dimana hal tersebut merupakan salah satu solusi untuk memenuhi tingginya tingkat kebutuhan para penduduk untuk mendapatkan tempat tinggal sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan, terutama yang tinggal di kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Pesatnya perkembangan penduduk perkotaan tersebut yang umumnya berasal dari urbanisasi tidak selalu dapat diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota sehingga telah berakibat pada semakin meluasnya lingkungan permukiman kumuh. Meningkatnya permukiman kumuh di perkotaan telah menimbulkan dampak pada
peningkatan frekuensi bencana kebakaran dan banjir di perkotaan, meningkatnya potensi kerawanan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan
masyarakat, menurunnya kualitas pelayanan
prasarana dan sarana perrmukiman
Dalam rangka menangani permukiman kumuh di kota, pemerintah DKI Jakarta menerapkan program kampung deret . Konsep tersebut merupakan konsep penataana lingkungan permukiman kumuh melalui Konsolidasi Tanah Perkotaan. Pada konsep ini diarahkan kembali pada pembangunan permukiman
murni melalui pembangunan kembali
(redevelopment) bangunan rumah dan prasarana lingkungannya di atas lahan yang telah ditempati
(lahan asal). Penanganan dilakukan dengan
konsolidasi lahan melalui penataan ulang dan pembagian parsil kapling kembali setelah disisihkan lahan untuk prasarana dan sarana (jalan, ruang terbuka hijau, taman usaha dan bangunan koperasi). Suatu hal terpenting dari bentuk penanganan yang
dilakukan adalah menggunakan pembangunan
Fenomena keterbatasan ruang bisa menjadi salah satu hal yang membuat terjadinya fungsi ruang publik, menjadi ruang bersama. Namun tidak hanya itu, karena ruang bersama merupakan ruang yang aktivitasnya bernilai kebersamaan. Ruang bersama pada masa ini, bukan selalu telah ada sejak dulu atau warisan tradisi. Ruang bersama dapat terjadi dengan atribut atau setting tertentu, misalnya adanya naungan matahari bisa menjadi tempat berkumpul bersama, dimana bayang - bayang dapat menghadirkan ruang(Pangarsa, 2009). Kedinamisan ruang bersama merupakan solusi drikebutuhan ruang akan aktivitas yangguyub. Adanya konflik ruang mungkin terjadi apabila tidak adanya kebersamaan atau kesepakatan bersama mengenai pemakaian ruang
Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh
keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini
dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif untuk mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhannya.
Terjadinya ruang komunal di kampung deret tidak lepas dari pemahaman interaksi manusia dengan lingkungannya. Perilaku manusia merupakan pusat perhatian dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Manusia menginderakan objek di lingkungannya, hasil penginderaan diproses sehingga timbul makna tentang objek tersebut yang kemudian disebut dengan persepsi (Wirawan, 1992). Persepsi merupakan proses untuk memperoleh informasi tentang lingkungan seseorang (Lang, 1987). Persepsi bisa berubah-ubah karena adanya proses fisiologik. Dalam hal interaksi manusia dengan lingkungannya, manusia akan selalu berusaha untuk memperoleh keselarasan dengan lingkungannya. Hal ini dimung- kinkan dengan adanya kemampuan kognitif untuk
mengadakan reaksi-reaksi tertentu terhadap
lingkungan yang memuat hal-hal tertentu yang menarik minatnya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Proses hubungan dengan lingkungan yang terjadi sejak individu berinteraksi melalui penginderaan sampai dengan terjadinya reaksi, digambarkan dalam skema persepsi oleh Bell (dalam Wirawan, 1992) adalah sebagai berikut yang diambil dari pola penggunaan ruang komunal pada rumah susun untuk keluarga pra sejahtera. (lihat Gambar 1).
Hasil interaksi manusia dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek tersebut. Jika persepsi berada dalam batas optimal, maka individu dikatakan dalam keadaan homeo statis, yaitu keadaan yang
serba seimbang dan biasanya selalu ingin
dipertahankan oleh setiap individu karena menimbul-
kan perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas optimal, maka individu akan mengalami stres, terjadi pening- katan energi, sehingga harus dilakukan coping untuk menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya disebut dengan adaptasi, sedangkan penyesuaian lingkungan terhadap individu disebut adjusment.
Demikian pula terkait ruang komunal perkotaan yang dilihat melalui pendekatan teori dalam Good City Form dari Kevin Lynch mengenai kesesuaian (fit).
Lynch mengatakan bahwa kesesuaian ruang
mempengaruhi aktivitas yang berlangsung di
dalamnya, lebih lanjut lagi ia juga berpendapat bahwa kecukupan jumlah merupakan aspek mendasar dari fit (kesesuaian). Selain itu Lynch (1960) juga menyebutkan akan terjadi penyesuaian ruang secara sendirinya yang dipengaruhi oleh perilaku dan proses adaptasi berdasarkan perilaku umum dan dapat diprediksi melalui interaksi-interaksi yang terjadi dalam hubungan sosial. Fleksibilitas pedagang tersebut akan menciptakan tempat baru yang lebih
atraktif supaya dapat mempertahankan
keberadaannya di wilayah tersebut
Pertanyaan muncul mengapa ruang komunal menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan di kawasaan permukiman di kampung deret? Dikatakan penting karena penghuni membutuhkan sebuah tempat atau ruang untuk dapat berinteraksi dengan tetangga. Kegiatan interaksi sosial menjadi kebutuhan yang sangat hakiki apalagi mereka sudah mempunyai kebiasaan sebelum tinggal di Kampung deret. Bagaimana mereka dapat mewujudkan keinginan untuk dapat berinteraksi di kampung deret, sedangkan di sisi lain tempat/ruang sebagai tempat berinteraksi tidak ada lagi seperti halnya saat mereka
menghuni rumah tinggal formal dengan
memanfaatkan halaman, .Penelitian ini akan
mengungkap bagaimana penghuni membangun pola-pola ruang komunalnya di kampung deret yang sudah dihuni puluhan tahun dengan pendekatan adaptasi mereka.
1.1.
Manfaat penelitian.
Berdasarkan pengungkapan pola-pola ruang komunal akan didapatkan sebuah saran yaitu panduan desain
Kampung deret yang mampu mengadaptasi
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan merupakan metode observasi dan survey. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yaitu membuat gambaran/paparan dan menggali secara cermat serta mendalam tentang fenomena sosial terkait interaksi sosial yang menggunakan ruang publik (fisik) tanpa melakukan hipotesis.
Teknik penggalian data dan informasi di lakukan dengan teknik observasi berupa pemetaan perilaku (behavioural mapping). Menurut Haryadi (1995), behavioral mapping digambarkan sebagai cara untuk mengungkap pola-pola ruang yang tercipta akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan ruang, diwujudkan dalam bentuk sketsa dan diagram mengenai suatu area dimana manusia melakukan
kegiatannya. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan perilaku dalam peta,
mengidentifikasikan jenis frekuensi perilaku, serta
menunjukkan kaitan perilaku dengan wujud
perancangan yang spesifik. Terdapat dua cara untuk melakukan behavioral mapping yaitu:
1. Place Centered Mapping
metode pengamatan perilaku untuk mengetahui bagaiman manusia atau sekelompok manusia memanfaat- kan, menggunakan atau mengakomodasikan perilakunya ke dalam suatu situasi waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, perhatian dari teknik ini adalah satu tempat yang spesifik baik kecil maupun besar
2. Person Centered Mapping
metode pengamatan yang
menentukan pada pergerakan manusia pada suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian teknik ini berkaitan tidak hanya satu tempat atau lokasi akan tetapi dengan beberapa tempat atau lokasi.
Sedangkan pada data sekunder berbagai instansi yang terkait dan informasi berupa tulisan, Koran, buku- buku dan studi literature.
3. Tinjauan Pustaka
3.1. Ruang Publik
Secara umum public space dapat didefinisikan dengan cara membedakan arti katanya secara harfiah terlebih dahulu. Public merupakan sekumpulan orang- orang tak terbatas siapa saja, dan space atau
ruang merupakan suatu bentukan tiga dimensi yang terjadi akibat adanya unsur-unsur yang membatasinya (Ching, 1992). Unsur-unsur tersebut berupa bidang linier yang saling bertemu yaitu, bidang dasar/alas, bidang vertikal dan bidang-bidang penutup (atap). Sedangkan public space yang terbentuk di luar ruangan yang dibatasi oleh unsur buatan disebut juga urban space.
Menurut bentuk dan aktifitas yang terjadi pada urban space, Lynch (1987) mengkategorikannya menjadi 2 (dua), yaitu lapangan (square) dan jalur/jalan (the street). Ruang kota, baik berupa lapangan maupun koridor/jaringan, merupakan salah satu elemen
rancang kota yang sangat penting dalam
pengendalian kualitas lingkungan ekologis dan sosial (Shirvani, 1985). Namun pada kenyataannya, dewasa ini semakin terdesak oleh kepentingan ekonomi.
Dalam pengertian yang paling umum, ruang publik dapat berupa taman, tempat bermain, jalan, atau ruang terbuka. Ruang publik kemudian didefinisikan sebagai ruang atau lahan umum, dimana masyarakat dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari atau kegiatan berkala. (Kusumawijaya, 2006).
Ruang publik kota sebagai ruang yang dapat diakses
oleh setiap orang dengan sendirinya harus
memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr (1981), penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya
pengendalian terhadap kebebasan tersebut.
Pengendalian dalam penggunaan ruang publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan bermakna (Putnam, 1993) yang mempunyai arti:
1. Responsif dalam arti ruang publik harus
dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas.
2. Demokratis berarti ruang publik seharusnya
dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibilitas bagi berbagai kondisi fisik manusia.
3. Bermakna yang berarti ruang publik harus
memiliki tautan antara manusia, ruang, dunia luas dan konteks sosial.
pentingnya dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kapital sosial. Ruang-ruang publik tersebut yang selama ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun kebudayaan tanpa dipungut biaya. Tetapi kebanyakan ruang publik kota diduduki secara intens atau menetap dan selama tidak ada yang keberatan maka penguasaan itu akan semakin kuat. Seperti menduduki pedestrian sebagai tempat berdagang, sedangkan pedestrian adalah ruang publik untuk tempat pejalan kaki.
3.2. Ruang Bersama/Communal Space
Menurut (Shirvani, 1985), definisi dari ruang komunal adalah ruang tempat untuk berkumpul, bersosialisasi antar penghuni, tempat bermain anak, dan tempat untuk melakukan aktifitas-aktifitas publik lainnya.
Ruang terbuka menyangkut semua landscape, elemen keras (hardscape) yang meliputi jalan, pedestrian, taman-taman dan ruang rekreasi di lingkungan perkotaan (Shirvani, 1985). Sedangkan Prinz (1980) menyatakan ruang terbuka merupakan pembentuk struktur dasar sketsa sebuah kota. Ruang terbuka dapat berupa tempat-tempat di tengah kota, jalan-jalan, tempat-tempat belanja (mall) dan taman-taman kecil. Simpulan yang bisa ditarik dari beberapa pengertian ruang terbuka (openspace) adalah ruang yang terbentuk, berupa softscape dan hardscape, dengan kepemilikan privat maupun publik untuk melakukan aktivitas bersama (komunal) dalam konteks perkotaan. Secara garis besar tipologi ruang terbuka adalah park (taman), square (lapangan), water front (area yang berbatasan air), street (jalan) dan lost space.
Ruang komunal (berasal dari kata communal yang berarti berhubungan dengan umum) merupakan ruang yang menampung kegiatan sosial dan diguna- kan untuk seluruh masyarakat atau komunitas (Wijayanti, 2000).
Menurut Lang (1987), ruang komunal memberi- kan kesempatan kepada orang untuk bertemu, tetapi untuk menjadikan hal itu diperlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang membawa orang secara bersama-sama dalam sebuah aktifitas, diskusi atau topik umum. Sebuah ruang terbuka publik akan menarik orang jika terdapat aktifitas dan orang dapat menyaksikannya.
Sedangkan ruang publik merupakan suatu lokasi yang didesain (walau hanya minimal) dimana siapa saja mempunyai hak untuk dapat mengaksesnya,
interaksi diantara individu didalamnya tidak
terencana dan tanpa kecuali dan tingkah laku para
pelaku didalamnya merupakan subyek tidak lain dari
norma sosial kemasyarakatan. Sebuah ruang
publik/ruang terbuka dapat dikatakan dapat berfungsi secara optimal ketika bisa memenuhi aspek/kaidah seperti etika (kesusilaan), fungsional (kebenaran) dan estetika/keindahan (Jokomono, 2004)
Aspek etika mengandung pengertian tentang
bagaimana sebuah ruang publik dapat ‘diterima’ keberadaannya dan citra positif seperti apa yang ingin dimunculkan yang senantiasa melekat dengan keberadaan ruang publik tersebut. Aspek fungsional setidaknya
terdapat tiga faktor yang terkandung, yakni sosial, ekonomi dan lingkungan. Faktor sosial merupakan syarat utama menghidupkan ruang komunal, terdapat orang berkumpul dan terjadi interaksi. Selain sosial juga terdapat faktor lingkungan dimana ligkungan yang nyaman mampu menjadi daya tarik bagi orang untuk masuk didalamnya. Sedangkan aspek estetika ruang publik terdapat tiga tingkatan, estetika formal, fenomenologi/ pengalaman dan estetika ekologi. Estetika formal merupakan estetika dimana obyek keindahan memiliki jarak dengan subyek. Estetika
pengalaman dimana obyek dinikmati dengan
partisipasi atau interaksi dan estetika ekologi, obyek keindahan dinikmati melalui proses partisipasi dan adaptasi yang memungkinkan kita berkreasi terhadap ruang tersebut.
3.3. Pembentukan Ruang
manusia yang hanya bisa dirasakan secara kualitas seiring manusia bergerak didalamnya. Namun ruang juga hadir secara visual dalam wujud fisiknya melelui cerapan indrawi manusia. Ruang terpersepsikan berbeda oleh subyeknya, menurut Lefebvre (1991) ruang dipahami sebagai formulasi triadik : conceived space, ruang yang terkonsepsi dalam mental pikir
manusia, perceived space or spatial practice, ruang
yang tercerap indra manusia, lived space, ruang yang tercipta dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia.
Conceived space memunculkan bayangan
pikir kita, bagaimana kita mengalami ruang di perkotaan.
Perceived space adalah keterlibatan representasi yang muncul dari elemen-elemen yang ditimbulkan oleh ruang, yang memunculkan praktek keruangan (spatial practice) sebagai hasil dari kegiatan dan perilaku manusia dalam realita keseharian dan hubungannya
dengan realita kehidupan perkotaan, seperti
hubungannya dengan jaringan jalan ketempat tujuan. Produk arsitektur dalam formulasi perceived space merupakan produk material dari ruang yang bisa dicerap oleh indera manusia melalui wujud lingkung bangun.
Lived space adalah wujud ruang dari realitas itu sendiri (spaces of representation), yaitu ruang yang dihuni oleh penghuni dan pengguna lainnya melalui jejaring hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Ruang yang dihasilkan dalam bentuk ruang-ruang representational (spaces of representation) adalah ruang yang berasal dari kebutuhan manusia penghuninya atas dasar kebiasaan dalam praktik
keseharian. Dalam arti lain lived space-spaces of
representation merujuk pada ruang yang diproduksi dan dihuni oleh mereka yang tidak ikut terlibat dalam
tindakan yang menghasilkan bangunan (perceived
space-spatial practice) maupun yang menggagas ruang kota (conceived space-representation of space).
IV. Gambaran Umum
Penelitian ini akan fokus menyoroti kawasan kampung deret dan RW 01 Kel. Tanah Tinggi Kec. Johar Baru Kotamadya Jakarta Pusat. RW 01 Kel. Tanah Tinggi terdiri dari 14 RT dan merupakan salah satu pintu gerbang bagi kelurahan Tanah Tinggi karena berbatasan dengan kelurahan dan kecamatan lain, dilihat dari letak geografisnya berada di bagian
tengah kota Jakarta dan termasuk kedalam
Kecamatan Johar Baru dengan luas wilayah ± 30.830
m² dengan batas-batas wilayah adalah sebagai berikut
:
• Utara : Jl. Letjend Soeprapto (Kel.
Bungur)
• Timur : Jl. Tanah Tinggi IV (RW 03 Kel.
Tanah Tinggi)
• Barat : Rel KA (Kel. Kramat)
• Selatan : Jl. Tanah Tinggi I Gg 2 ( RW 02
Kel. Tanah Tinggi)
Dari hasil survei terdapat 3 jenis ruang publik yang ada di Kampung Deret RW 01 RT 14 :
1.Ruang Publik I (Taman Bermain)
Ruang publik ini terdapat di ujung Kampung Deret RT 14, berada di dekat portal, menjadi muka kampung. Adanya permainan anak menjadi penanda bahwa ruang publik ini diperuntukkan sebagai ang bermain anak-anak bagi warga sekitar. Ruang
beralaskan perkerasan semen di keseluruhan
permukaan. Batas dengan selokan jalan dihiasi
pot-pot tanaman dari Dinas Pertamanan.
Gambar 4.1
Kondisi Fisik Ruang Publik I
Sumber:peneliti 2014
2.Ruang Publik II
Ruang seluas 3 x 4 m yang tertutup tembok setinggi
1.2 meter dengan pintu terkunci sekiranya
diperuntukkan sebagai ruang bersama, namun hingga saat ini kondisi terkunci sehingga tidak dapat dimanfaatkan warga. Kurangnya kemauan warga untuk menggunakan ruang ini (dilihat dari intensitas
warga untuk menggunakan) menjadi pemicu
terkuncinya ruang
tersebut.
Gambar 4.2
Kondisi Fisik Ruang Publik II
3.Jalan
Jalan raya yang letaknya di depan perkampungan dengan lebar ± 2 meter menjadi ruang yang intensitas penggunaannya paling sering dibandingkan ruang lainnya. Setiap harinya, berbagai kegiatan warga pada jalanan seperti, bermain (anak-anak), berkumpul (orang dewasa) khususnya ibu-ibu. Aktivitas pada umumnya dilakukan mualai pukul 15.00 – 21.00.
Bahkan, jalanan digunakan sebagai tempat
beristirahat malam oleh warga khusunya anak muda dan bapak-bapak.
Gambar 4.3
Kondisi Jalanan depan Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014 Gambar 4.4
Pesebaran Ruang PublikKampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.Pola-Pola Ruang Komunal Di Kampung
deret Tanah Tinggi.
Ruang komunal sebagai ruang yang berfungsi untuk wadah kegiatan interaksi sosial penghuni, baik yang bersifat formal maupun informal merupakan ruang-ruang umum yang bersifat publik yang digunakan bersama di luar unit hunian. Ruang-ruang tersebut berupa koridor dan taman bermain. Pola rumah deret Tanah Tinggi tersusun dalam bentuk blok bangunan yang dihubungkan satu dengan lainnya membentuk ruang bersama di bagian dalam sebagai pusat orientasi. Pola hunian berbentuk deretan memanjang satu sisi dengan penghubung selasar di sebelah depan yang berfungsi sebagai teras maupun ruang bersama.
1. Sifat kegiatan
Sifat kegiatan ditentukan oleh berdasarkan klasi- fikasi formal atau tidak formal, kegiatan formal misalnya arisan, rapat RT,
sedangkan kegiatan formal misalnya
siskamling, duduk santai sambil mengobrol.
2. Frekwensi kegiatan
Frekwensi kegiatan dapat diidentifikasi berdasarkan jam, harian, mingguan, bulanan.
3. Ruang yang digunakan
4. berupa ruang yang direncanakan sejak awal,
berbentuk ruang publik 2 (tanah kosong) tengah rumah deret, ruang terbuka berupa
taman bermain. Ruang yang tidak
direncanakan sejak awal, berupa ruang-ruang yang digunakan sebagai ruang-ruang bersama berupa jalan dan lorong jalan
5. Skala kegiatan
Skala kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu skala intern RT/kelompok-kelompok kecil dan antar RT.
6. Jarak jangkauan
Jarak jangkauan diukur berdasarkan jarak antara unit hunian dengan ruang komunal, bisa dekat, sedang, dan jauh.
Berdasarkan 5 parameter tersebut di atas, pola- pola ruang komunal dibagi dalam 3 kelompok besar, yaitu:
a. Pola dengan intensitas tinggi
Pola ruang komunal dengan intensitas tinggi lebih banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak formal dengan frekwensi jam–harian, me- manfaatkan ruang-ruang yang tidak direncanakan seperti selasar, badan jalan dan, merupakan tempat berinteraksi antar tetangga dengan jarak jangkauan dari hunian relatif dekat.
b. Pola dengan intensitas sedang
Pola ruang komunal dengan intensitas sedang lebih banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal dan tidak formal dengan frekwensi mingguan,
memanfaatkan ruang-ruang yang direncanakan
seperti taman bermain dan tanah kosong dengan jarak jangkauan dari hunian relatif sedang.
c. Pola dengan intensitas rendah
Pola ruang komunal dengan intensitas rendah lebih banyak dipengaruhi oleh parameter kegiatan formal dengan frekwensi mingguan–bulanan, memanfaatkan ruang-ruang yang direncanakan seperti ruang pertemuan tertutup, parkir sepeda motor dengan jarak jangkauan dari hunian relatif jauh.
Berdasarkan identifikasi pola-pola ruang komu- nal terdapat 3 bentuk pola, yaitu [i] pola dengan intensitas tinggi; [ii] pola dengan intensitas sedang; dan [iii] pola dengan intensitas rendah. Dari ketiga pola ruang komunal tersebut, ternyata pola ruang dengan intensitas tinggi lebih banyak dipengaruhi oleh parameter-parameter: kegiatan yang tidak formal dengan frekwensi jam – harian, memanfaatkan ruang- ruang yang tidak direncanakan seperti selasar toko klontong , jalan, merupakan tempat berinteraksi antar tetangga dengan jarak jangkauan dari hunian relatif dekat.
Keberhasilan pola ruang komunal dengan intensitas tinggi dalam mempertahankan eksistensinya lebih banyak dipengaruhi oleh bagaimana penghuni memanfaatkan ruang-ruang tersebut sebagai ruang komunal. Kebutuhan ruang komunal dilakukan ber- dasarkan sebuah kesadaran bahwa interaksi sosial merupakan bagian dari kebutuhan keseharian tanpa
harus dibatasi oleh sekat-sekat formal/tidak
formalnya kegiatan, bisa dilakukan kapan saja setiap saat, dengan memanfaatkan ruang-ruang yang justru tidak direncanakan dan relatif dekat dengan hunian. Dengan kata lain aktifitas komunal lebih banyak dilakukan secara spontan dan demokratis.
Gambar 5.1
Pola penggunaan Ruang Komunal pada Kampung Deret RT 14
Sumber:peneliti 2014
5.1 Pembahasan
Berdasarkan pola-pola ruang komunal yang sudah dipaparkan dalam uraian sebelumnya, kiranya dapat memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya meskipun penghuni sudah mengalami perubahan seting fisik ruang dari yang sebelumnya berupa rumah kumuh menjadi rumah formal, ternyata
penghuni berhasil melakukan upaya adaptasi
terutama dalam berinteraksi dengan tetangganya. Hal tersebut selaras dengan konsep skema persepsi yang dikembangkan oleh Bell (2001) bahwa sebuah kondisi keterpaksaan yang diakibatkan oeh tekanan ruang berdampak pada stres yang kemudian akan mengarahkan kepada dua pilihan, yaitu berhasil atau gagal. Dalam kasus di rumah deret Tanah tinggi, penghuni berhasil mengatasi stres dengan cara melakukan adaptasi dan langkah adjusment, dengan
demikian keberhasilan melakukan adaptasi
merupakan langkah lanjutan yang mereka pilih.
keberadaan konflik pada tanah kosong ini juga menyebabkan tidak terpakanyainya lahan tersebut untuk ruang bersama pada wilayah kampung deret ini sehingga menyebabkan masyarakat bersepakat untuk tidak memakai ruang tersebut.Hal tersebut juga
sesuai dengan pendapat lynch,1983 terjadi
penyesuaian ruang secara sendirinya yang
dipengaruhi oleh perilaku dan proses adaptasi berdasarkan perilaku umum dan dapat diprediksi melalui interaksi-interaksi yang terjadi dalam hubungan sosial.
Pola-pola ruang komunal yang berhasil dibangun merupakan pola-pola dengan intensitas tinggi yang dipengaruhi oleh parameter kegiatan yang tidak formal dengan frekwensi jam–harian, memanfaatkan ruang-ruang yang tidak direncanakan untuk ruang komunal seperti badan jalan dan selasar toko kelontong di depan rumah mereka , merupakan tempat berinteraksi antar tetangga dengan jarak jangkauan dari hunian relatif dekat. Hal tersebut selaras dengan pendapat Bonner (dalam gerungan, 1991) bahwa kebutuhan penghuni dari statu lingkungan permukiman dalam hubungannya dengan
kegiatan interaksi sosial adalah terpenuhinya
kebutuhan untuk melakukan kontak sosial secara individu maupun kelompok. Hal tersebut diperkuat oleh Soekanto (1990), bahwa interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial, karena tanpa adanya interaksi tidak mungkin ada kehidupan bersama. Hal tersebut dipertegas oleh Lang (1987) bahwa ruang komunal memberikan kesempatan kepada orang untuk bertemu, tetapi untuk menjadikan hal itu diperlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang membawa orang secara bersama-sama dalam sebuah aktifitas, diskusi atau topik umum. Sebuah ruang publik akan menarik orang jika terdapat aktifitas dan orang dapat menyaksikannya.
Selanjutnya berdasarkan observasi lapangan saya,
Ruang komunal adalah sebuah seting yang
dipengaruhi oleh tiga unsur selain unsur fisiknya yaitu manusia sebagai pelaku, kegiatan dan pikiran manusia. Berdasarkan pengertian tersebut maka seting tidak dapat dipahami secara utuh tanpa
keterkaitan ketiga unsur-unsur tersebut. Bagi
sebuah interaksi sosial yang terjadi, sehingga menciptakan sebuah ruang, dengan subjek yang melakukannya adalah manusia. Produksi ruang bermula ketika manusia bersosialisasi dalam sebuah ruang yang yang sama, kemudian interaksi tersebut menciptakan zona ruang mereka sendiri, yang kemudian zona tersbut dapat di gunakan dengan orang lain.
Selain itu perubahan persepsi masyarakat
menciptakan sebuah ruang ambigu. Yang menurut Carmona, 2008 tentang Ambiguous space yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk aktivitas peralihan dari kegiatan utama warga yang biasanya berbentuk seperti ruang bersantai,dll . sebenarnya menurut saya ruang tersebut merupakan ruang yang diciptakan antara ruang yang direncanakan dan ruang yang dipakai oleh masyarakat sehingga ruang
tersebut menggunakan ruang sesuai dengan
kebudayaannnya.
Membangun ruang komunal pada hakekatnya merupakan upaya penghuni agar ruang-ruang komunal yang mereka butuhkan tetap dalam posisi yang rigid dan solid sehingga tidak mudah dicerai
beraikan. Mengingat bahwa keberhasilan
membangun ruang komunal merupakan tindakan yang spontan dan demokratis sangat selaras dengan pemikiran Ambrose (dalam Sudaryono, 2004) bahwa penghuni mempunyai peran yang sentral sebagai kekuatan yang menjadi pembentuk lingkungan binaan, dengan kata lain kekuatan berada di tangan penghuni untuk menciptakan ruang komunal.
V. Kesimpulan
Ruang komunal yang berhasil dibangun oleh penghuni kampung deret Tanah Tinggi justru merupakan ruang-ruang yang tidak direncanakan sebagai ruang komunal seperti depan toko klontong dan badan jalan terutama yang dekat dengan hunian dengan sifat kegiatan informal dan dengan frekwensi yang sangat sering. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses adaptasi tidak selamanya menghasilkan keinginan yang sama sesuai dengan perencanaannya.
Pola-pola ruang komunal yang terbangun di Kampung deret Tanah Tinggi memiliki karakteristik
yaitu tercipta berdasarkan kondisi kognitif
penghuninya. Sebelum mereka tinggal di rumah Deret , kognisi mereka sudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan saat tinggal di kampung- kampung. Mereka memanfaatkan halaman rumah, sebagai ruang komunal. Kemudian saat mereka
tinggal di rumah deret, kegiatan berinteraksi sosial masih dipengaruhi oleh kognisi mereka, yaitu cenderung untuk memanfaatkan ruang-ruang terbuka seperti depan toko klontong dan badan jalan dengan jarak yang relatif dekat dari huniannya sebagai ruang komunal. Oleh karena itu pola-pola ruang komunal yang terbangun bersifat berkelompok dengan intensitas penggunaan tinggi, sedang, dan rendah. Ruang komunal dengan intensitas penggunaan tinggi cen- derung dekat dengan huniannya.
Dalam upaya membangun kampung deret
berikutnya, di sarankan agar memperhatikan
kebutuhan ruang komunal karena penghuni
cenderung membutuhkan ruang komunal tanpa sekat-sekat formalitas, dan nampaknya perilaku sosial budaya penghuni masih terpaku dalam kognisinya bahwa interaksi sosial bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun seperti ketika mereka tinggal di tempat sebelumnya..
Daftar Pustaka
• Bell, P.A. (2001). Environmental
Psychology. Harcourt Brace College
Publisher, Forth Worth.
• Budihardjo, E. (2006). Sejumlah Masalah
Permukiman Kota, Cetakan ke-5, PT.
Alumni, Bandung.
• Carr dan Rekan (1992). Public Space.
Cambridge University Press. New York.
• Carmona, M., Heath, T., Oc, T. & Tiesdell,
S. 2003. Public Places Urban Spaces, The
Dimensions of Urban Design. Architectural Press. University Press. Cambridge.
• Gerungan, W.A. (1991). Psikologi Sosial.
Eresco, Bandung.
• Muhadjir, N. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin, Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold Company. New York
• Purwanto, E. (2010). Kecenderungan
Perubahan Bentuk serta Pola Tata Ruang Rumah Standar di Rusun Pekunden dan
Bandarharjo Semarang, Laporan Akhir
• Sudaryono, dkk. (2004). Laporan Akhir: Karakter Ruang Lokal sebagai Sistem Mainstream Perencanaan Pembangunan
Lokal. Dalam: Riset Unggulan Terpadu
Bidang Kemasyarakatan dan kemanusiaan (RUKK III), (tidak dipublikasikan).
• Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu
Pengantar. Rajawali Press, Jakarta.