• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktura"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PL 3001 Aspek Kebencanaan dalam Perencanaan

Taro Sea Wall sebagai Mitigasi Struktural Bencana Tsunami dan

Kegagalannya dalam Membendung The Great East Japan Tsunami 2011

Muhammad Rizki Rayani Ramadani- 15415028

PENDAHULUAN

Jepang merupakan salah satu negara dengan risiko bencana gempa terbesar di dunia. Negara

ini terletak pada daerah “ring of fire” yang terbentuk akibat pertemuan empat lempeng besar tektonik dunia; lempeng Pasifik dan Filipina di bagian Timur serta lempeng Amerika Utara dan Eurasia di bagian Barat. Risiko bencana tektonik Jepang terbentuk akibat bergeraknya lempeng Pasifik dan Filipina ke arah Barat; mensubduksi ke arah bawah, dan mendesak kedua lempeng lainnya. Tekanan yang dihasilkan oleh pergerakan ini sangat kuat yang kemudian mengakibatkan besarnya probabilitas kejadian gempa, utamanya pada pantai Timur Jepang sebagai zona subduksi lempeng tektonik tersebut.

Gambar I. Pertemuan Lempeng-Lempeng Tektonik di Jepang

Sumber : Courtesy of Dr Walter Hays, Global Alliance for Disaster Reduction

Berdasarkan hasil riset Japan National Seismic Hazard Maps untuk risiko bencana gempa oleh Japan’s Headquarters for Earthquake Research Promotion pada tahun 2017, seluruh wilayah

Jepang dinyatakan sebagai wilayah rawan bencana gempa dengan intensitas tinggi. Hasil pemetaan ini

menunjukkan bahwa bagian Timur Pantai (The Great East) Jepang merupakan kawasan dengan

tingkat risiko sangat tinggi. Dengan probabilitas terjadinya aktivitas tektonik di dasar laut Jepang

yang tinggi, kawasan ini pun turut dinyatakan memiliki risiko bencana tsunami. Berdasarkan catatan

historis, bencana tsunami telah sering terjadi pada kawasan The Great East dengan catatan terbesar

(2)

yang mampu menenggelamkan 561 km2 luas negara Jepang. Bencana ini dikenal sebagai The Great

East Japan Disaster.

Gambar II. Peta Probabilitas Risiko Gempa di Jepang Hingga Tahun 2047

Sumber : Japan’sHeadquarters for Earthquake Research Promotion

Dengan berbagai pengalaman bencana historis, Jepang telah sadar akan tingkat risiko bencana gempa maupun tsunami. Sehingga dalam merespon kondisi tersebut dan sebagai upaya memertahankan kehidupan, dilakukanlah intervensi berupa berbagai upaya mitigasi, baik struktural maupun non struktural. Prioritas mitigasi utamanya dilaksanakan pada pesisir timur Pantai Jepang (The Great East) sebagai kawasan risiko bencana sangat tinggi yang diwujudkan melalui strategi pembangunan infrastruktur. Salah satu implementasinya ialah Taro Sea Wall yang utamanya dibangun untuk melindungi Kota Taro. Berdasarkan pendahuluan ini, akan diuraikan karakteristik

Taro Sea Wall sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi struktural bencana tsunami di pesisir timur Pantai Jepang, khususnya bagi Kota Taro, Prefektur Iwate.

PEMBAHASAN

Latar Belakang Pembangunan

Taro Sea Wall

(3)

kali terpapar bencana tsunami, beberapa diantaranya yakni pada tahun 1896 yang menewaskan 1800 korban jiwa dan tahun 1933 dengan korban 911 jiwa. Belajar dari pengalaman tersebut, Jepang sebagai negara dengan perkembangan teknologi dan teknik yang sangat pesat mencari cara untuk membentuk suatu sistem yang mampu menghalau gelombang tsunami. Hingga diputuskan lah untuk membangun sebuah sistem sea wall dengan bentuk struktur X disertai pembendung ke arah darat dan laut setelah proses konsiderasi yang mendalam. Sea wall ini dibangun dari tanah yang dipadatkan dan dilapisi beton dengan ketinggian 10 meter yang mampu menghalau gelombang tsunami setinggi 8 meter serta bentuk strukturnya yang mampu memecah gelombang tersebut ke arah samping dengan dukungan kanal dan tanggul sungai.

Gambar III. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011

Sumber : http://www.kunstkritikk.no

Pembangunan Taro sea wall bukan hanya ditujukan sebagai penghalau gelombang tsunami, melainkan juga untuk menghalau gelombang akibat angin typhoon. Pembangunan sea wall ini dilaksanakan secara hati-hati dan selesai dalam jangka waktu 30 tahun hingga 1958. Selama bertahun-tahun sea wall ini terbukti efektif dalam menahan tsunami kecil dan arus gelombang laut akibat

typhoon. Sistem mitigasi ini bahkan turut diterapkan di Chile dan berhasil menghalau tsunami pada gempa Valdivia 1960. Kondisi ini lah yang menyebabkan kepercayaan masyarakat lokal terhadap sea wall ini sangat tinggi hingga dijuluki sebagai Taro’s Great Wall.

Kegagalan

Taro Sea Wall

Pada

The Great East Tsunami

2011

Mitigasi bencana struktural Taro sea wall nyatanya gagal berfungsi membendung gelombang tsunami pada peristiwa The Great East Japan Tsunami, tepatnya pada 11 Maret 2011 silam. Pada kejadian tersebut, terjadi gempa dengan intensitas 9,0 skala richter di pesisir timur laut Jepang (Laut

(4)

mengakibatkan bencana tsunami. Kegagalan taro sea wall ini disebabkan oleh tiga faktor utama;

pertama, kesalahan peringatan dini; kedua, struktur yang lemah relatif terhadap kekuatan tsunami; dan

terakhir, kurangnya ketinggian sea wall untuk membendung gelombang tsunami yang terjadi.

Kesalahan peringatan terjadi akibat kurang tepatnya estimasi tinggi gelombang yang akan

datang yakni setinggi 8 meter. Mayoritas masyarakat merasa aman dan percaya diri bahwa sea wall

yang ada mampu membendung gelombang tersebut dan tidak melakukan evakuasi. Nyatanya, tinggi

gelombang yang datang mencapai 28,7 meter sehingga tentunya sea wall terebut tidak mampu

menghadang gelombang yang datang. Akibatnya, gelombang tersebut mampu menyapu sejauh 40 mil

dari lepas pantai. Faktor lain dari kegagalan sea wall ini adalah lemahnya struktur relatif terhadap

kekuataan gempa dan tsunami. Guncangan gempa dengan magnitudo sebesar 9.0 skala richter

mengakibatkan penurunan kemampuan tanah dalam menahan beban diatasnya. Dengan energi

hantaman tsunami sebesar 1,9 x 1017 Joule (setara dengan 600 juta kali bom Hiroshima), beberapa

bagian dinding sea wall tidak mampu menahan energi tersebut, mengakibatkan bagian sea wall

selebar 500 meter runtuh dan ikut tersapu oleh gelombang tsunami.

Gambar IV. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011

Sumber : http://www.kunstkritikk.no

The Great East Tsunami merupakan bencana tsunami terparah yang pernah dialami Jepang setelah Perang Dunia ke-2. Korban jiwa meninggal total dari bencana ini diestimasi sebanyak kurang

lebih 15.894 jiwa (Badan Keamanan Jepang, 2015). Dengan tiga prefektur terdampak paling parah,

baik dari korban meninggal dan hilang serta bangunan yang hancur, yakni Prefektur Miyagi,

(5)

penggunaan teknologi sea wall. Hal ini disebabkan pada The Great East Tsunami, air laut yang melewati sea wall setinggi 10 meter terperangkap dalam struktur dalam waktu yang lama, menenggelamkan banyak korban jiwa dan rumah masyarakat yang ada di dalamnya.

Gambar V. Terperangkapnya Air Laut dalam Struktur Sea Wall

Sumber : https://resultanengineering.wordpress.com/tag/sea-wall/

KESIMPULAN

Berdasarkan pengalaman The Great East Tsunami dan Taro Sea Wall sebagai mitigasi struktural seperti yang telah dipaparkan, mitigasi non-struktural merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan utamanya pada daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi. Seperti halnya Jepang yang meninjau ulang sistem pelaksanaan mitigasi. Peringatan dini harus dilaksanakan secara prima dan se-teliti mungkin sebab akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan sebagai respon bencana selanjutnya. Konsep mitigasi harus memerhatikan perencanaan guna lahan daripada konsepsi

countermeasure. Konsepsi countermeasure mengandalkan keberadaan struktur rigid yakni sea wall

(6)

Belajar dari pengalaman The Great East Tsunami ini pula, Jepang sebagai negara dengan tingkat risiko bencana tsunami yang tinggi mengembangkan sistem peringatan dini yang paling mutakhir. Pelatihan kedaruratan bukan hanya diselenggarakan oleh pemerintah namun juga secara partisipatif oleh organisasi umum dan swasta. Infrastruktur bencana pun telah dikembangkan termasuk sensor pendeteksi risiko bencana yang tersebar di seluruh bagian kepulauan. Selain itu, dilakukan revisi building code di seluruh level pemerintahan dengan penyertaan kebutuhan spesifik dan pengecekan wajib secara rutin. Menurut The United Nations Environmental Programme,

pemerintah Jepang sendiri telah memersiapkan beberapa langkah penting yakni;

1. Merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa. Ini sebagai langkah antisipasi awal apabila

terjadi gempa yang muncul sewaktu-waktu.

2. Merencanakan aturan mengenai pemeliharaan lingkungan, seperti perlindungan hutan di pesisir

samudera dan perlindungan awal gelombang tsunami (dengan menempatkan batu-batu pemecah

ombak ditepian laut untuk mengurangi dampak tsunami). Poin kedua ini juga berperan sebagai

langkah pencegahan terhadap gelombang tsunami yang bisa datang seiring gempa.

3. Mengembangkan sistem peringatan dini bencana alam (disaster-early warning system). Ini

dimaksudkan agar semua pihak, mulai dari gugus tugas siaga bencana (disaster task force unit)

supaya bisa merespon dengan cepat, serta masyarakat yang berpotensi mengalami dampak bencana

agar segera mempersiapkan diri untuk berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.

4. Mendirikan area perlindungan (shelter) bagi korban terdampak bencana alam.

5. Memberikan pelatihan rutin kepada masyarakat sebagai respon cepat atas bencana alam yang bisa

datang kapan saja.

6. Mengembangkan secara terus-menerus sistem tanggap darurat bencana agar mampu bekerja secara

efektif.

7. Pelaksanaan latihan evakuasi bencana secara rutin.

Referensi (diakses Senin, 30 Oktober 2017)

1. Nateghi, Roshanak. 2016. Statistical Analysis of the Effectiveness of Seawalls and Coastal Forests in Mitigating Tsunami Impacts in Iwate and Miyagi Prefectures

Gambar

Gambar I. Pertemuan Lempeng-Lempeng Tektonik di Jepang
Gambar II. Peta Probabilitas Risiko Gempa di Jepang Hingga Tahun 2047
Gambar III. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
Gambar IV. Taro’s Great Wall pada The Great East Tsunami Tahun 2011
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dalam penguasaan materi pembelajaran IPA melalui metode snowball pada siswa

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif, pengencer TFTKT merupakan pengencer yang paling baik dalam mempertahankan motilitas spermatozoa (29.63 ± 18.76%) setelah 60

[r]

Dengan demikian ada hubungan yang signifikan antara keseimbangan dan kekuatan otot lengan dengan kemampuan roll ke depan pada cabang olahraga senam pada siswa SD

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan sebagai pertimbangan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng untuk menjaga occupancy rate dan meminimalisir hambatan yang

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi dengan baik, yang berjudul: Analisis Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak

Model Bisnis Untuk Perdagangan Hasil Pertenakan: Study Deskriptif Pada UD HAPPY. INDAH,

Setelah diuji coba kecil kepada 15 siswa dan 3 orang guru, terdapat saran untuk modul Kimia berbasis inkuiri terbimbing, salah satu saran nya adalah untuk merevisi