• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran ASEAN Regional Forum ARF dalam Men

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran ASEAN Regional Forum ARF dalam Men"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Arya Wirawan Maulana 1111113000091

Draft Proposal Penelitian

Metodologi Penelitian Hubungan Internasional

A. Topik Penelitian

“Peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Menjaga Stabilitas Keamanan Kawasan Asia Periode 2009-2013.”

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam menjaga stabilitas keamanan terkait peningkatan kekuatan militer di kawasan Asia?

C. Kerangka Pemikiran

Dalam menjawab pertanyaan penelitian, penulis menggunakan teori realisme, konsep national interests, konsep security dilemma, konsep balance of power, dan konsep balance of threat untuk menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi peningkatan kekuatan militer di kawasan Asia pada periode 2009-2013. Sementara itu untuk menganalisa peran ASEAN Regional Forum (ARF) dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia, penulis menggunakan teori neo-liberalisme, konsep cooperative security, dan konsep preventive diplomacy.

1) Realisme

(2)

nasional yang harus dipenuhinya, untuk memenuhi kepentingan nasionalnya negara harus mempunyai kekuatan yang besar.

Realisme memiliki tiga elemen dasar yaitu statism, survival, dan self-help (Dunne & Schmidt, 2001, pp. 155-156). Statism mengacu pada gagasan negara sebagai perwakilan yang sah dari keinginan kolektif dari bangsa. Realis beranggapan bahwa di luar batas-batas negara, terdapat kondisi anarki di mana politik internasional berlangsung di arena yang kurang memiliki otoritas pusat di atas negara-negara bangsa. Dalam realis tujuan utama dari semua negara adalah survival. Survival merupakan kepentingan nasional tertinggi yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin negara. Self-help menganggap bahwa dalam sistem yang anarki tidak ada pemerintah global. Masing-masing aktor negara bertanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan dan keberlangsungan hidup mereka sendiri. Realis tidak mempercayai lembaga internasional dapat melindungi keamanan sebuah negara. Dengan demikian negara pada akhirnya harus bergantung pada diri sendiri untuk keamanannya. Mekanisme balance of power dianggap sebagai jalan keluar jika terdapat ancaman terhadap sebuah atau sejumlah negara oleh sebuah negara hegemonis.

Dalam keadaan anarkis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri atau self-help. Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan, yang ada hanyalah kondisi abadi ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global (Wohlforth, 2008, pp. 36-37). Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.

(3)

State adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk bisa survive dan mencapai level subsisten manusia perlu hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok. Kohesi dalam grup ini juga berpotensi untuk berkonflik dengan kelompok-kelompok lain. State merupakan pengelompokan manusia (groupism) yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-group yang paling kuat adalah nasionalisme. (Wohlforth, 2008, p. 32)

Dalam konteks internasional yang anarkis, prioritas politik luar negeri negara-negara dengan demikian adalah menjaga kelangsungan hidupnya atau survival dari ancaman negara lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional. Sementara kepentingan lainnya, seperti ekonomi, adalah kurang penting (low politics). Kode etik realis adalah sesuatu yang harus dinilai dari hasilnya, bukan dari apakah tindakan individu itu benar atau salah. Realis tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain, dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan adagium klasik realis: inhumanity is just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian di bawah tekanan) (Wohlforth, 2008, p. 32).

Menurut Morgenthau ada enam prinsip realisme dalam (Jackson & Sorensen, 1999, p. 70), antara lain: (1) realisme politik menganggap bahwa politik seperti masyarakat umunya, dikendalikan oleh hukum-hukum objektif yang berakar pada hakikat manusia, (2) politik internasional merupakan wadah suatu negara dalam memenuhi interest-nya sebagai tujuan mendapatkan power, (3) bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam (kontekstual) tetapi kepentingan nasional akan tetap sama, (4) prinsip moral universal tidak menuntut sikap negara, (5) tidak ada prinsip moral universal, (6) secara intelektual politik itu otonom.

(4)

ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti, adalah variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan orientasi politik luar negeri.

Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mempublikasikan data temuannya terkait kenaikan impor senjata dunia pada kurun 2009-2013. Menurut data SIPRI, jumlah impor senjata konvensional utama dunia mengalami kenaikan sebesar 14 persen pada 2009-2013 dibandingkan kurun waktu sebelumnya, 2004-2008. Dari 10 besar negara importir senjata dunia, 5 berasal dari benua Asia, yaitu India, China, Pakistan, Korea Selatan, dan Singapura (Wezeman & Wezeman, 2014, p. 4). Data terbaru SIPRI tersebut menunjukkan adanya peningkatan kekuatan militer negara-negara di kawasan Asia, bahkan bisa kita simpulkan telah terjadi “perlombaan senjata” di antara negara-negara kawasan Asia.

Keamanan nasional dalam teori realisme ini lah yang menurut penulis mendorong negara-negara di kawasan Asia berlomba-lomba dalam meningkatkan kekuatan militernya masing-masing. Hal ini juga merupakan bentuk perwujudan dari bagaimana suatu negara yang dianggap sebagai aktor paling penting bagi para realis, mempertahankan keberadaannya (survive). Karena negara akan melakukan apa saja dan akan mempertahankan mati-matian demi mendapatkan rasa aman bagi negara itu sendiri. Disamping itu, negara juga tidak memikirkan keadaan negara lain dan hanya mementingkan negaranya sendiri, inilah kondisi yang dinamakan struggle of power.

2) Konsep National Interest

Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara bangsa atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan, (yang mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dan kesejahteraan (Prosperity) merupakan kepentingan nasional yang utama. Kepentingan nasional diidentikkan dengan dengan “tujuan nasional” (Rudy, 2002, p. 116). Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.

(5)

perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai “Kepentingan Nasional”. Sedangkan menurut Morgenthau, “Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik” (Rudy, 2002, p. 116).

3) Konsep Security Dilemma

Secara konseptual, dalam situasi security dilemma suatu negara berupaya untuk memelihara keamanannya sendiri dengan mengambil langkah-langkah yang berdampak mengurangi keamanan negara lainnya yang pada gilirannya negara-negara tersebut akan mengambil langkah-langkah tertentu yang telah diambil oleh negara pertama. Dalam situasi dilema tersebut suatu negara dapat mengambil langkah defensif yang memungkin terjadinya kerjasama dan mengurangi terjadinya kerugian maksimal, yaitu perang (Frazier & Stewart-Ingersoll, 2010, p. 732).

Definisi security dilemma seperti yang di jelaskan oleh Robert Jervis bahwa The security dilemma: “many of the means by which a state tries to increase its security decrease the security of others” (ketika satu negara meningkatkan kapabilitas militer demi tujuan keamanannya dengan mengurangi tingkat keamanan negara lainnya) (Jervis, 1978, p. 172). Ketika suatu negara mengalami perasaan takut atau terancam, maka negara tersebut akan meningkatkan kapabilitas militer untuk melindungi kepentingan nasional. Apabila suatu negara tidak mampu meningkatkan kapabilitas militernya, dalam situasi security dilemma negara dimungkinkan untuk melakukan kerjasama.

(6)

memaksa beberapa negara untuk saling berhadapan dalam perebutan pengaruh/menciptakan daerah penyangga demi kepentingan geopolitik. Berdasarkan pilihan-pilihan tersebut, suatu negara harus memperhatikan strategi yang akan digunakan dalam situasi security dilemma.

Dengan demikian konsep security dilemma cukup tepat dalam menjawab fenomena peningkatan kekuatan militer pada negara-negara di kawasan Asia. Dengan naiknya anggaran militer dan impor senjata salah satu negara di kawasan Asia seperti yang dilansir oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada periode 2009-2013, maka negara-negara lain di kawasan Asia mengalami security dilemma sehingga untuk mempertahankan eksistensi dan kepentingan nasional mereka harus menaikan anggaran militer dan impor senjata negaranya. Masih adanya sengketa perbatasan antar negara Asia ini juga menjadi faktor lain terciptanya security dilemma di kawasan Asia.

4) Konsep Balance of Power

Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat internasional sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen (assymetris): power berhadapan dengan weakness. Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak saling mengawasi terhadap posisi masing-masing (check and balance). Karena politik internasional yang anarkis berlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang, maka nation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam sistem power, sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan pengaruh dapat kemudian lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang negarawan untuk mendemonstrasikan dan memprioritaskan kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan stabilitas yang kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance of power dan politik luar negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari itu, merupakan mekanisme penting untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan, 1996, p. 20).

(7)

memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Konsep balance of power maka dari itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan pandangan tradisional realis mengenai hubungan internasional. Secara tidak langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional yang stabil dan damai, sekaligus sebagai faktor penstabil dalam masyarakat negara-negara yang berdaulat (Emmers, 2003, p. 45).

Peningkatan kekuatan militer pada negara-negara di kawasan Asia periode 2009-2013 tidak lepas dari konsep balance of power. Hal ini dikarenakan pergeseran aktivitas militer AS ke Asia, tampaknya juga telah memengaruhi negara-negara di kawasan untuk menyesuaikan diri atas kemampuan militernya. Setidak-tidaknya, hal itu dilakukan untuk bisa sedikit mengimbangi kehadian militer AS yang kini diproyeksikan ke wilayah Asia. Negara-negara di kawasan, sebagai “tuanrumah”, tentunya tidak ingin hanya menjadi penonton dalam melihat kehadiran militer AS di Asia. Mereka juga perlu menampilkan diri dengan “percaya diri” dalam menghadapi kekuatan militer AS sebagai salah satu kekuatan militer terbesar di dunia. Untuk itu, peningkatan kekuatan militer menjadi pilihan yang harus dilakukan oleh negara-negara Asia sekaligus untuk membangun kemandirian dalam hal pengamanan wilayah kedaulatan negara. Penulis melakukan analisa dengan melihat tampilnya China, sebagai negara besar di kawasan dengan modernisasi militernya dan belanja militernya yang terus meningkat (kedua tertinggi setelah AS), terus membangun kekuatan militer yang lebih modern guna menerapkan konsep balance of power di kawasan Asia terhadap aktivitas militer AS yang bergeser ke Asia.

5) Konsep Balance of Threat

(8)

yang memiliki power (militer, ekonomi, teknologi, dll) besar atau lebih besar dari yang dimiliki negara tersebut. Berbeda dari konsep perimbangan kekuasaan yang melihat pengaruh power itu sendiri terhadap sistem internasional, konsep perimbangan ancaman melihat akibat dari kepemilikan power tersebut terhadap sistem.

Berangkat dari asumsi bahwa sistem internasional adalah anarkis, tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara sehingga setiap negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan setiap negara bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun keamanan, Walt memandang bahwa kepemilikan power oleh sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya. Walt lebih lanjut menjabarkan sumber-sumber ancaman bagi negara, yaitu: (1) aggregate power, (2) proximity, (3) offensive power, dan (4) alliances and bandwagoning (Legro & Moravcsik, 1999, pp. 9-13).

6) Neo-Liberalisme

Neoliberal institusionalis percaya bahwa institusi internasional sangat berperan dalam mewujudkan kerjasama. Perspektif ini tidak melihat institusi pada sebatas organisasi formal yang memiliki kantor utama dan staff terspesialisasi, tetapi lebih luas, seperti ungkapan Young (Keohane, 1984, p. 39), sebagai “recognized patterns of practice around which expectations converge.” Pola-pola praktek tersebut dianggap signifikan karena mampu memengaruhi perilaku negara sehingga menginginkan adanya kerjasama. Ketika kepentingan yang sama telah ditemukan dan syarat-syarat kondisional telah terpenuhi, kerjasama dapat terjalin. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kerjasama yang dicita-citakan tidak selalu tercapai.

(9)

Institusi dapat memengaruhi konteks aktor dalam memilih alternatif pilihan yang ada (Keohane, 1984, p. 48). Kondisi tersebut karena institusi memiliki prinsip, norma, peraturan, dan prosedur, yang kemudian disebut sebagai rezim, yang menjadi pedoman bagi aktor dalam bertindak. Konstruksi dari rezim tersebutlah yang memfasilitasi terjalinnya kerjasama, sehingga tiap-tiap aktor yang terikat dalam rezim tersebut diharapkan berperilaku tertentu sesuai dengan apa yang disepakati bersama. Ada beberapa alasan yang mendasari kepatuhan negara pada institusi, yaitu legal liability, transaction cost, dan problems of uncertainty.

Institusi internasional membantu negara-negara dalam menghadapi masalah-masalah di atas. Prinsip dan aturan yang terkandung dalam suatu institusi mengurangi harapan perilaku, meminimalkan ketidakpastian, serta informasi menjadi lebih terbuka, oleh karena itu penyebaran informasi juga semakin merata. Dengan demikian, institusi internasional menjadi berguna bagi pemerintah suatu negara karena membantu negara dalam memperoleh objektifnya, yang tidak akan tercapai apabila tanpa melalui institusi.

7) Konsep Cooperative Security

Salah satu strategi balancing yang digunakan ASEAN yakni cooperative security yang melibatkan aksi diplomasi melalui dialog dan forum regional misalnya ASEAN Regional Forum, yang di dalamnya membahas berbagai permasalahan sosial dan ekonomi utamanya. Sayangnya strategi cooperative security yang demikian memiliki kelemahan. Sebagaimana yang diungkapkan terdahulu oleh Morgenthau dimana strategi balance of power menawarkan solusi parsial semata dan mengandung ketidakpastian dan kurang efektif sebagaimana dikutip: “Morgenthau refers to its main weaknesses as being ‘its uncertainy, its unreality, and its inadequacy” (Emmers, 2003, p. 61). Emmers mengutarakan cooperative security tidak memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran, disebabkan pertemuan dan diskusi melalui forum yang terjadi hanya angin semata dan tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna merenggangkan tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun saling curiga. “…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit not through problem solving” (Emmers, 2003, p. 62).

(10)

negara lain, dan kedua, sulit dibedakannya antara kekuatan defensif dengan kekuatan defensif. Hal ini bisa mengakibatkan terjadinya salah kalkulasi (miscalculation), salah penilaian (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust) (Tan, 2014). Untuk menghindari hal tersebut maka negara-negara di kawasan perlu membangun rezim transparansi strategis dalam kerangka keamanan bersama (common security) melalui forum dialog. Forum untuk itu sebenarnya sudah ada di kawasan, terutama yang diinisiasi oleh ASEAN, yakni ASEAN Regional Forum (ARF). ARF merupakan forum dialog dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap stabilitas dan keamanan kawasan. Dalam kaitan tersebut, ASEAN merupakan penggerak utama dalam ARF.

ARF merupakan satu-satunya forum di level pemerintahan yang dihadiri oleh seluruh negara-negara kuat di kawasan Asia Pasifik dan kawasan lain, seperti AS, Republik Rakyat China, Jepang, Rusia dan Uni Eropa. Peserta ARF berjumlah 27 negara yang terdiri atas seluruh negara anggota ASEAN, 10 negara Mitra Wicara, serta beberapa negara di kawasan. Berdasarkan peserta ARF tersebut, sesungguhnya ARF dapat memainkan peran penting dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan. ARF perlu meningkatkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian bersama, dan memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujudkan confidence building measures (CBMs), constructive engagement dan preventif diplomacy di kawasan (Emmers, 2003, p. 66).

(11)

8) Konsep Preventive Diplomacy

Diplomasi preventif ada atau muncul setelah perang dingin atau diawal abad ke-20. Diplomasi ini banyak dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga yakni negara yang merdeka dan diakui kedaulatannya setelah perang dingin, dan dilakukan untuk mencegah berbagai konflik yang berpotensi perang senjata. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan negara-negara super power atau negara-negara besar dalam sebuah konflik lokal maupun regional, karena negara-negara yang sedang berkonflik ingin menyeleseikan masalahnya secara mandiri.

Diplomasi preventif dipandang sebagai upaya-upaya pihak ketiga untuk meredam sengketa sebelum menjadi kekerasan (Roskin & Berry, 1990). Selain itu diplomasi preventif merujuk pada inisiatif diplomatik yang diambil untuk membujuk pihak-pihak yang memiliki potensi untuk berperang agar tidak terlibat dalam permusuhan (Brown & Snow, 2000, pp. 56-57). Dari pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengungkapkan bahwa definisi dari diplomasi preventif ialah sebuah langkah metode resolusi perselisihan secara damai seperti yang disebutkan dalam Artikel 33 piagam PBB yang diterapkan sebelum perselisihan melewati ambang batas untuk memicu konflik. menurut PBB diplomasi preventif juga merupakan tindakan mencegah sengketa agar tidak muncul, untuk mencegah sengketa yang ada dari kemungkinan semakin meningkat menjadi konflik dan untuk membatasi penyebaran konflik apabila telah terjadi.

(12)

Bibliography

Brown, E. & Snow, D. M., 2000. International relations: the changing contours of power. New Jersey: Longman.

Dunne, T. & Schmidt, B. C., 2001. Realism. In: J. Baylis & S. Smith, eds. The Globalization of World Politics: An introduction to international relations. New York: Oxford University Press, pp. 141-161.

Emmers, R., 2003. Cooperative security and the balance of power in ASEAN and ARF. London: RoutledgeCurzon.

Frazier, D. & Stewart-Ingersoll, R., 2010. Regional powers and security: A framework for

understanding order within regional security complexes. European Journal of International Relations, XVI(4), pp. 731-753.

Holsti, K. J., 1967. International Politics: A Framework for Analysis. Englewood Cliffs: Prentince-Hall.

Jackson, R. & Sorensen, G., 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press.

Jervis, R., 1978. Cooperation Under the Security Dillema. World Politics, XXX(2), pp. 167-214.

Keohane, R. O., 1984. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. New Jersey: Princeton University Press.

Legro, J. W. & Moravcsik, A., 1999. Is Anybody Still a Realist?. International Security, XXIV(2), pp. 5-55.

Mearsheimer, J. J., 2007. Structural Realism. In: T. Dunne, M. Kurki & S. Smith, eds. International Relations Theories: Discipline and Diversity. New York: Oxford University Press, pp. 72-88.

Roskin, M. & Berry, N. O., 1990. IR: the new world of international relations. New Jersey: Prentice Hall.

Rudy, T. M., 2002. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: Refika Aditama.

Sheehan, M., 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York: Routledge Publishing.

Tan, A. T., 2014. The Arms Race in Asia: Trend, Causes and Implications. New York: Routledge.

United Nations, 1993. An agenda for peace: preventive diplomacy, peacemaking and peace, New York: United Nations.

Walt, S. M., 1985. Alliance Formation and The Balance of World Power. International Security, IX(4), pp. 3-43.

Waltz, K. N., 1979. Theory of International Politics. Michigan: McGraw-Hill.

Wezeman, S. T. & Wezeman, P. D., 2014. Trends in International Arms Transfer, 2013, Stockholm: Stockholm International Peace Research Institute.

Referensi

Dokumen terkait

Bidang Pelayanan Sosial di YKI selain mendanai pemeriksaan deteksi dini dan skrining beberapa jenis kanker seperti Pap Smear, Mammografi dan lain-lain, juga mendanai

11 Penelitian yang dilakukan oleh Pramono (2012) menunjukkan bahwa ada perubahan histopatologis hati tikus wistar berupa degenerasi parenkimatosa, degenerasi hidropik,

3.1 Mengenal teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindra, wujud dan sifat benda, serta peristiwa siang dan malam dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia

indonesia ini,tidak terlepas dari para pejuang-pejuang, pemikir-pemikir pendidikan baik yang awal masuknya agama islam di indonesia kemudian awal perkembangan pendidikan di

Bangunan dirancang dengan konsep strong coloum weak beam dengan sistem rangka pemikul momen khusus agar lebih daktail. Dalam perencanaan tahanan gedung terhadap

Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat Sistem Informasi Ruang Baca Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya yang mencakup empat proses,meliputi proses

Sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit graha sehat, dilakukan serangkaian pembenahan manajemen dan pembangunan fisik (gedung) secara menyeluruh,

dijelaskan secara lebih lanjut mengenai instansi yang berwenang dan tidak ada kriteria dan kualifikasi akuntan publik yang dapat ditunjuk untuk menghitung kerugian