• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ngunduh Rerasan di Tanah Sasak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ngunduh Rerasan di Tanah Sasak"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

NGUNDUH RERASAN DI TANAH SASAK1

Lombok Garden, 11-13 Februari 2014

Disarikna oleh: Sahrul Aksa2

“Kembalilah wahai negara pada kearifan lokal” (Raden M Rais, Kepala Desa Mambalang, Lombok Utara)

Pada Awalnya

Rencana FGD di Nusa Tenggara Barat (khususnya untuk wilayah Lombok) dipenuhi

rasa optimis, setidaknya bagi saya sebagai fasilitator yang sedikit banyak sudah membaca

beberapa laporan tentang dinamika desa-desa di Lombok. Sejak era penelitian BUMDes

oleh ACCESS/FPPD tahun 2010 gambaran geliat desa dapat saya tangkap, bahwa ada

serangkaian bibit-bibit tradisi berdesa yang sedang menyemai di sana. Sikap optimis

kedua, diprovokasi oleh selembar Koran Bali Post edisi 10 Februari 2014 yang

diberikan flight attendant Garuda saat berangkat dari Yogyakarta. Di halaman depan

bagian bawah menyampaikan hasil surve redaksi melalui telepon sehubungan dengan

Undang-Undang Desa yang baru saja diundangkan. Hasil survey Bali Post menjelaskan

bahwa sebanyak 60 persen responden memberikan harapan posotof terhadap regulasi

baru itu. Sedangkan yang tidak begitu yakin kalau undang-undang ini tidak member

jaminan perubahan signifikan pada desa sebesar 36 persen. Hanya 4 persen yang

menyatakan sama sekali tidak tahu menyangkut peraturan baru itu. Sepertinya isu

undang-undang tentang desa cukup menyita perhatian media di Bali. Apakah ini dipicu

oleh dinamika desa di sana dalam mencari posisi dualisme antara Desa Pakraman dan

Desa Dinas, atau sebatas menjadikannya trending topic? Dari sini saya ingin memulai

1

Tulisan ini adalah rangkuman dua seri Focus Group Discussion untuk perwakilan desa-desa dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Nusa Tenggara Barat. FGD di NTB merupakan salah satu dari empat FGD di lokasi berbeda, diselenggarakan dalam rangka mendapatkan masukan bagi tim perumus Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU No 6/2014 tentang Desa.

2 Staf Pengajar di STPMD “APMD” Yogyakarta, belajar Antropologi di Fakultas Ilmu Budaya UGM.

(2)

2

persepsi, bahwa pembicaraan tentang undang-undang desa di Lombok sedikit banyak

bisa tergambarkan dari pulau tetangganya.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan sehubungan dengan respon positif responden,

diantaranya bahwa undang-undang desa menjadi momentum menuju pembangunan

desa berbasis kerakyatan karena semua program pembangunan lebih realistis dan

berbasis publik. Hal itu dimungkinkan karena desa merupakan penyedia data

kependudukan, pertanian, dan masalah kebencanaan, bahkan informasi sosial budaya

yang detail. Semua itu bisa terwujud dan akan semakin baik apabila ada dukungan dana

alokasi ke desa yang lebih jelas dengan proporsi memadai.

Sementara suara-suara tidak yakin bahwa regulasi ini akan memberi dampak positif

dilandasi oleh alasan-alasan kesiapan aparatur di desa. Mereka menganggap bahwa

pemerintah desa belum memiliki kapasitas memadai untuk mengelola secara otonom,

terutama menyangkut kemampuan mengelola dana yang tidak sedikit. Mereka juga

mengingatkan bahwa dalam proses pemilihan kepala desa, saat ini aroma politik uang

sudah sangat kental, pemilihan kepala desa tidak murni lagi seperti dulu. Sehingga

otonomi desa dikhawatirkan akan menjadi perangsang kian suburnya politik uang di

desa. Informasi Bali Post menjadi bahan yang bagus untuk membangun asumsi dasar

menggali informasi di Lombok.

Pembicaraan Hangat di Ruang Sejuk, Membincangkan Kewenangan Desa Persepsi bahwa desa lemah dan tidak mampu menjalakan otonomi harus dihentikan, karena itu kan

belum pernah diuji. Kami yakin, kalau diberi kewenangan pasti bisa dikelola dengan baik. Intinya

adalah, memberi kewenangan kepada desa.

Peserta diskusi terfokus berasal dari tiga kabupaten di Pulau Lombok; masing-masing

Lombok Tengah, Lombok Barat dan Lombok Utara. Dengan pertimbangan jarak yang

jauh, Kabupaten Lombok Timur tidak diundang dalam diskusi ini. Semua desa yang

diundang adalah desa-desa dampingan ACCESS, sehingga hasil diskusi tidak bisa serta

(3)

3

diskusi terdiri dari beberapa kepala desa, perwakilan BPD, kader penggerak PKK,

perwakilan kelompok pengrajin tenun, dan pengurus BUMDes.

Sebagai provokasi dan pemantik diskusi pagi di hari pertama, kami menayangkan

Permendagri nomor 30 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan

Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Di aturan tersebut ada 31 kewenangan

yang dapat dilimpahkan ke desa. Begitu melihat jenis-jenis kewenangan tersebut, semua

peserta serentak menyambut dengan komentar bahwa belum ada satu pun yang

dilimpahkan kepada pemerintah desa. Dari sini kemudian diskusi bergulir.

Persoalan krusial menyangkut kewenangan pemerintah desa yang banyak dibicarakan

adalah pengakuan setengah hati dari pemerintah kabupaten. Persoalan utama ini mereka

sebutkan sebagai terkikisnya pengakuan atas “Jati Diri” desa. Salah satu contoh

dikemukakan oleh Raden M Rais, Kepala Desa Mambalang, Lombok Utara. Dia

mengatakan bahwa Desa Mambalang sudah ada sejak tahun 1868, sedangkan eksistensi

kabupaten, khususnya Lombok Utara ada pasca reformasi. Tetapi dalam praktiknya,

kabupaten yang jauh lebih muda justru mengambil hampir semua kewenangan asal-usul

yang dimiliki sejak lama. Ini berakibat pada hilangnya Jati Diri desa. Saat ini kesan yang

timbul, desa hanya menjadi kepanjangan program dari kabupaten. “Desa hanya seperti

„loket masuk‟ bagi pemerintah kabupaten. Ditumpangi Alokasi Dana Desa 250 juta, tapi

sudah diberi titipan alokasi penggunaan dana dari kabupaten.” Kondisi seperti ini

membuat desa tidak bisa bergerak leluasa, karena nyaris semua programnya didikte dari

atas.

Persoalan kewenangan menjadi isu pokok dan menyita waktu lebih banyak sepanjang

diskusi. Beberapa peserta menegaskan bahwa, apabila UU Desa nanti diberlakukan hal

pertama yang harus direalisasikan adalah mempertegas sejauh mana wewenang desa

dalam otonomi yang hendak diberikan. Sebab praktik sejauh ini, pemberian wewenang

ini hanya sebatas wacana saja. Faktanya, pemerintah kabupaten setengah hati dalam hal

(4)

4

masuk ke desa lebih didominasi oleh keinginan pemerintah kabupaten. Najamuddin,

kepala LPM Desa Pemenang menegaskan bahwa “kewenangan adalah hak otonomi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.” Dia berharap UU Desa kelak akan

menghentikan proses pengebirian desa oleh kabupaten. Untuk memastikan hal itu,

Najamuddin menyampaikan dua hal. Pertama, perjelas apa saja yang menjadi

kewenangan desa, posisi antara pemerintah kabupaten dan pemerintah desa harus

ditegaskan. Kedua, seberapa jauh peran pemerintah daerah dalam kerangka otonomi

desa. Tanpa dua hal ini, desa tetap berada dalam posisi dilema, karena pada dasarnya

pemerintah desa bisa berbuat banyak dalam hal pembangunan. Tetapi faktanya, kepala

desa juga sering takut tidak sejalan dengan bupati karena bisa terancam tidak dapat

program. “Apa lagi kalau antara bupati dengan kepala desa beda partai, itu pasti repot,” imbuh Kepala Desa Badrain, Lombok Tengah. Dalam hal kewenangan desa, ke depan,

“jangan sampai ada penafsiran yang setengah-setengah mengenai kewenangan ini,” tegas Agus Adriyanto.

Sejauh ini selalu dikatakan bahwa kabupaten sudah melimpahkan beberapa kewenangan

kepada desa, tetapi sampai sekarang bukti itu tidak ada, hanya setengah-setengah. Jika

memang ada pasti ada aturannya berupa Perda. Tetapi sampai sekarang penegasan itu

tidak ada, Agus kembali menambahkan. Mengomentari hal yang sama, pihak SKPD

bersikap hati-hati. Jawaban agak rinci diberikan oleh Dinas Kesehatan Lombok Tengah,

bahwa sejauh ini untuk urusan kesehatan pembagian kewenangan itu sudah jelas.

Misalnya untuk pengelolaan sampai ke tingkat Puskesmas tetap dalam pengelolaan

kabupaten, sedangkan urusan Puskesmas Pembantu (Pustu) sampai Posyandu

sepenuhnya diberikan kepada desa. Untuk bangunan fisik Pustu biasanya melalui

program SKPD, ada juga melalui PNPM, selanjutnya pengelolaannya diserahkan ke

desa. Mungkin nanti yang perlu ditegaskan adalah pada pembiayaan dan pembinaan

tenaga kesehatan di setiap Pustu, apakah masuk ke DAD atau bagaimana, ini yang perlu

dijelaskan. Kalau Posyandu, sejauh ini sudah jelas dan tidak ada masalah. Inisiatif

(5)

5

Posyandu, tidak semata pada pelayanan Balita dan Lansia, tapi diupayakan menjadi

ujung tombak pelayanan dasar di desa berbasis kesehatan.

Sedangkan Dinas Pendidikan Lombok Barat menegaskan alur yang nyaris sama, bahwa

tugas menyukseskan wajib belajar 12 tahun menjadi tanggung jawab kabupaten. Apalagi

dengan kebijakan baru kembali melakukan sentralisasi untuk urusan guru karena

dampak politisasi guru di tingkat kabupaten. Ini menegaskan bahwa urusan pendidikan

menjadi sangat khusus. Tetapi untuk urusan pendidikan usia dini (PAUD), silakan desa

mengaturnya, termasuk pengadaan tenaga pendampingnya, karena sejauh ini pengelola

PAUD pun masih diperdebatkan apakah tenaga pendidik atau bukan. Desentralisasi

urusan guru sejauh ini ternyata tidak mampu mengatasi persoalan sebaran tenaga

pendidik sampai ke desa-desa. Sebagian besar guru menumpuk di perkotaan, sedangkan

wilayah terpencil lebih banyak dihindari meski telah diberi tunjangan khusus. Kendala

lain adalah sentimen lokal masyarakat bahwa mereka hanya mau menerima guru yang

berasal dari daerah setempat. Hal itu yang membuat beberapa sekolah di Sekotong

(Lombok Barat) agak tertinggal, karena ada penolakan-penolakan seperti itu. Illustrasi

dari persoalan ini adalah ternyata ada peluang menguatnya identitas lokal di beberapa

daerah yang perlu diantisipasi dan diatur, sehingga nantinya desa yang memiliki

kewenangan mampu mengatasi persoalan-persoalan sosial semacam ini.

Kewenangan desa dalam kerangka otonomi yang akan dijalankan melalui UU 6/2014

begitu luas ditanggapi beragam oleh peserta diskusi dalam dua seri. Untuk

melaksanakan wewenang yang luas itu, peserta diskusi sepakat bahwa syaratnya adalah

kemampuan dan kapasitas kepala desa yang memadai. Melihat begitu rumitnya

menjalankan tata kelola di tingkat desa diikuti dengan dana alokasi desa yang tidak

sedikit membutuhkan kemampuan manajerial seorang kepala desa. Karena itu sebagian

peserta menyampaikan bahwa syarat pendidikan kepala desa minimal SMP dianggap

(6)

6

Meski bisa dipahami bahwa kepala desa adalah jabatan politik, tetapi sebagian besar

peserta sepakat bahwa seorang kepala desa harus memiliki pendidikan minimal SMA.

Najamuddin, misalnya, mengatakan “bagaimana bila seorang kepala desa pendidikannya

hanya sampai SMP, sedangkan sekretarisnya minimal tamat SMA, kelihatannya ini

kurang bagus.” Hal sama dikemukakan pihak Dinas Pendidikan Lombok Barat, bahwa syarat minimal SMP melanggar program pemerintah mengenai pendidikan dasar 12

tahun. Dia menegaskan bahwa syarat pendidikan SMA untuk mendukung suksesnya

Program Wajib Belajar 12 tahun. Di luar itu, syarat pendidikan minimal SMP jangan

sampai mengingkari tugas-tugas pemerintah yang lain untuk meningkatkan kualitas

hidup masyarakat. “masak pemerintah menerapkan wajib belajar 12 tahun, ini malah

cuma 9 tahun”, imbuhnya. “Tentu saja kita semua tidak ingin otonomi itu nantinya

kebablasan bila dijalankan oleh oknum yang tidak memadai pengetahuannya”, tegasnya

lagi.

Kepala desa Badrain juga menyampaikan bahwa ke depan tugas-tugas memimpin desa

ini membutuhkan kemampuan luar biasa. Sekarang saja sudah banyak kepala desa yang

berpendidikan S-1, dan saya sangat merasakan dampak pendidikan pada kualitas

kepemimpinan. Sehingga dia juga menyarankan syarat pendidikan minimal kepala desa

sangan cuma SMP, “sebaiknya SMA lah,” imbuhnya.

Selain faktor pendidikan, tak kalah pentingnya untuk diperhatikan bersama adalah batas

usia kepala desa. Di undang-undang Cuma membatasi bahwa kepala desa maksimal

menjabat selama tiga periode saja. Itu tidak jadi soal bila yang terpilih adalah kepala desa

yang masih muda. Bisa dibayangkan kalau yang terpilih adalah orang yang sudah tua,

kemudian berniat unutk maju lagi. Kalau ternyata menang sampai tiga periode, bisa

dibayangkan berapa usianya, masih efektifkah dia menjalankan tugas-tugas

pemerintahan? Perosoalan usia ini perlu diatur, supaya yang terpilih sebagai kepala desa

(7)

7

Kepala desa yang berkualitas dan mampu menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang

efektif akan mempengaruhi kualitas tata kelola pemerintahan desa, setidaknya hal itu

yang diinginkan peserta diskusi perihal tingkat pendidikan kepala desa. Juga untuk

mengurangi gesekan-gesekan antar aktor pemerintahan desa. Misalnya bagaimana relasi

kepala desa dengan BPD yang sejauh ini dianggap tidak ada masalah, tetapi sering

menghangat. Menurut Sairah Rais, anggota BPD Desa Jelantik, bahwa semua

tergantung pada kemampuan komunikasi antara kepala desa dengan BPD. Dia

menggambarkan keadaan di desanya, dimana hubungan kedua belah pihak cukup

harmonis. Bahkan Sairah memperlihatka ekspresi yang membela kepala desa. “Kalau

ada masalah di desa, itu bukan salah kepala desanya. Itu juga kesalahan semuanya,

termasuk BPD.” Bagi Sairah bila komunikasi dan koordinasi dalam pemerintahan desa

berlangsung dengan baik, tidak akan timbul persoalan, dan masyarakat akan tenang.

Sedikit berbeda dengan komentar Dodik dari Desa Sokong. Da mengatakan bahwa

sebenarnya Tupoksi semuanya sudah jelas, cuma memang tidak semua bisa mengetahui

tugas masing-masing. Itu yang membuat BPD tidak efektif, sebab masih ada segelintir

belum paham tugasnya. Selain itu person-person dalam BPD biasa juga jalan

sendiri-sendiri tanpa koordinasi. Hal ini yang harus diperjelas lagi, karena masih ada anggota

BPD yang menganggap bahwa BPD itu seperti lembaga sosial yang harus membuat

Renja (rencana kerja). Padahal tugasnya sudah jelas sebagai legislatif.

Tidak hanya dengan BPD, relasi kepala desa dengan sekretaris desa pun mendapat

banyak sorotan. Ada yang menganggap bahwa sekretaris desa yang berstatus sebagai

PNS merupakan kepanjangan tangan pemerintah kabupaten yang senantiasa melakukan

aksi mata-mata untuk kepentingan pihak kabupaten. Sehingga bagi sebagian peserta

FGD desa menginginkan sekretaris desa yang PNS nantinya dikembalikan ke kabupaten

atau kantor kecamatan dan fungsinya sebatas memperlancar kebutuhan pemerintah

desa di tingkat supra desa. Orang desa lebih senang apabila yang duduk sebagai

sekretaris desa adalah orang setempat dan pilihan mereka, bukan orang yang

(8)

8

Sedangkan pihak kabupaten melalui BPMPD pada FGD keesokan harinya menanggapi

erbeda. Makmun, dari BPMPD Lombok Barat mengatakan bahwa keberadaan PNS

sebagai sekretaris sejauh ini sangat membantu membereskan administrasi pelaporan di

setiap desa. Kalau administrasi dilepas begitu saja, semua bisa kacau, laporan tidak akan

selesai. Tetapi dia tidak akan memaksakan apabila peraturan memang tidak lagi

menghendaki hal seperti itu. Dengan catatan bahwa perlu peningkatan kapasitas dan

kualitas aparatur pemerintahan desa, bila ingin semua berjalan baik.

***

Keterbatasan kewenangan pemerintah desa paling dirasakan sejak dari tahap

perencanaan pembangunan melalui Musrenbang. Sebagai gambaran, hampir semua desa

di Lombok memulai perencanaan dengan menggelar musyawarah dari tingkat paling

bawah, tingkat RT. Di desa-desa sebenarnya sudah memiliki kebiasaan membicarakan

perencanaan pembangunan berbasis RT. Usulan warga selanjutnya dibicarakan dalam

forum ngunduh rerasan yang diselenggarakan di tingkat dusun. Rekomendasi dari ngunduh

rerasan inilah yang dibicarakan pada kegiatan Gundem di tingkat desa untuk membuat

semacam kesepakatan, atau mereka sebut membuat SANGKEP. Tradisi ini tetap

bertahan meski ada yang sudah tidak lagi memakai istilah setempat. Introduksi

perencanaan berjenjang menyebabkan perubahan tersebut.

Persoalan muncul ketika kesepakatan program yang telah dicapai di tingkat Musrenbang

desa meningkat ke jenjang kecamatan untuk dilakukan sinkronisasi. Di sini muncul

pe-ranking-an. Bagi pemerintah desa, proses ini adalah awal pengingkaran atas kewenangan

desa menyusun prioritas pembangunan di wilayahnya. Proses yang sama di tingkat

kabupaten menjadi semakin kompleks, karena ternyata ego tiap SKPD lebih

mendominasi forum dibanding menerima inisiatif program dari desa. Ego sektoral itu

bentuknya bermacam-macam. Pertama, biasanya pemerintah kabupaten melalui SKPD

telah memiliki acuan program yang termanifetasi dalam peruntukan ADD sehingga

(9)

9

menyusup menyertai Musrenbang yang diistilahkan oleh pemerintah desa sebagai

proposal titipan. Hal seperti ini sulit ditolak karena ada kesan yang muncul bila program

ditolah maka proses pencairan ADD akan terhambat. Sepertinya ada sebuah

mekanisme tak tampak yang menciptakan kondisi itu, sebab pihak SKPD sendiri

mengatakan bahwa sepanjang laporannya beres tidak ada alasan untuk menghambat

ADD. “Sehingga Musrenbang hanya menjadi medan pertarungan antara partisipasi

masyarakat, kepentingan pemerintan daerah, dan broker anggaran”, demikian imbuh

Agus Adriyanto Kepala Desa Kopang Rembiga, Lombok Tengah.

Bagaimanapun eksistensi Musrenbang adalah muara dari perencanaan partisipatif yang

digagas dari tingkatan paling bawah, inisiatif warga. Masyarakat desa yang paling

mengetahui kebutuhan mereka. Satu hal yang diingatkan oleh pihak SKPD adalah,

hendaknya Musrenbang tetap harus dikawal oleh pemerintah kabupaten. Hal ini

dibutuhkan untuk menjaga konsistensi dan sinkronisasi visi dan misi kabupaten.

“Logikanya, program desa harus sesuai dengan visi dan misi bupati, otonomi ini jangan

sampai membuat semuanya kebablasan, desa dengan keinginannya sendiri sehingga

melenceng dari visi dan misi pemerintah kabupaten.”

Arena Musrenbang tetap dibutuhkan desa, meski ada beberapa pertanyaan

mengikutinya. Halimah, kader pemberdayaan masyarakat (KPM) dari Lombok Utara

mempertanyakan masa depan eksistensi Musrenbang selanjutnya bagaimana, apakah

tetap akan sampai ke tingkat kabupaten seperti selama ini yang banyak memangkas

program mereka. “Jika besok UU Desa ini diberlakukan dan menjamin bahwa

Musrenbang selesai di tingkat desa, maka inilah saatnya bagi saya mewujudkan

mimpi-mimpi besar saya untuk memajukan desa,” Halimah menyampaikannya dengan

antusias. Sementara Agus Adriyanto menanggapi bahwa “sebaiknya memang seperti itu,

Musrenbang harus selesai di tingkat desa demi kepastian program. Tetapi kalau di

tingkat kabupaten masih ada Musrenbang lain yang tidak ada kaitannya dengan program

kita, misalnya ada program kabupaten yang mau direalisasikan di desa, mari kita

(10)

10

Dinamika Musrenbang tidak melulu berada dalam kondisi optimis, selalu ada gugatan

baik substansi maupun mekanisme yang sudah berjalan selama ini. Secara mekanisme,

Musrenbang tetap dibutuhkan, tentu saja kualitas dan dinamika forum musyawarah

menentukan seberapa besar dan seberapa jauh Musrenbang memberi maslahat bagi

masyarakat. Najamuddin, Ketua LPM Desa Kayangan menyampaikan bahwa

Musrenbang akan memberi maslahat sebagaimana diharapkan warga apabila bermula

dari musyawarah desa yang berkualitas. “Selama ini usulan pembangunan adalah

keinginan segelintir orang karena musyawarah desa tidak efektif. Hal ini dipengaruhi

oleh kapasitas masyarat, juga oleh politik di desa.

Sudah menjadi hal jamak bahwa perpolitikan di desa sangat dipengaruhi oleh peta

politik di kabupaten dan ikut mewarnai musyawarh desa. Akibatnya, perencanaan

menjadi tidak matang.” Selain itu, menurut Najamuddin, masih ada beberapa hal yang

membuat Musrenbang bisa keluar dari kebutuhan warga. Pertama, beberapa kelompok

masyarakat sering jalan sendiri untuk mencari bantuan. Kelompok-kelompok yang

tumbuh di masyarakat ada yang terafiliasi dengan beragam organisasi di tingkat

kabupaten, baik organisasi politik maupun sosial. Relasi-relasi yang langsung ini sering

dimanfaatkan kelompok-kelompok di desa untuk mencari celah mendapatkan program.

Kedua, lemahnya perencanaan berimbas pada proporsi nilai swadaya dan nilai proyek

yang diprogramkan di desa. Wawasan dan kapasitas pemahaman mengenai proyek

sering berimbas pada keswadayaan warga yang tidak diduga. Sehingga apabila beban itu

dirasakan warga, program menjadi terhambat. Ketiga, adalah realisasi dari dana aspirasi

anggota dewan yang berbasis konstituen. Selain karena sifatnya yang transaksional

antara anggota dewan dan konstituennya, program dari dana aspirasi ini lebih sering

tidak diketahui warga, bahkan pemerintah desa. Rangkaian kejanggalan-kejanggalan ini

bagi Najamuddin dianggap sebagai kesewenang-wenangan terhadap desa. Peserta

mengharapkan regulasi tentang desa ke depan menjamin kedaulatan perencanaan

pembangunan, sehingga bisa membantu mewujudkan program yang tepat fungsi dan

(11)

11 ***

Dapat dikatakan semua peserta sepakat bahwa kualitas perencanan tidak bisa dilepaskan

dari kualitas data yang menjadi basis perencanaan. Selama ini, data memang sering

menjadi pertarungan yang tidak sederhana. Mereka menjadikan kasus E-KTP sebagai

contoh kurang bagus dari sentralisasi pendataan yang belum memadai bagi kebutuhan

pembangunan di desa. Peserta banyak menggugat peran Badan Pusat Statistik karena

tidak jarang menggunakan indikator yang tidak sinkron di lapangan. Kekacauan

distribusi beras miskin di beberapa tempat ditengarai dipicu oleh pengukuran statistik

yang bertentangan dengan kondisi di lapangan. Fenomena masyarakat yang

berbondong-bondong menjadi miskin saat datang bantuan pemerintah juga banyak

disampaikan peserta. Sri Rahmadani, dari Lombok Barat menyampaikan bahwa saat ini

di daerahnya sedang terjadi kekacauan distribusi beras. Hal ini disebabkan karena

pemerintah kabupaten memaksakan distribusi berdasarkan data yang mereka miliki.

Bukan itu saja, pemaksaan distribusi ini disertai ancaman penjara bagi siapa saja oknum

yang menghalangi-halangi pembagian beras miskin itu.

Bagi Sri, ini sebuah ironi, mengapa data yang dimiliki Pemda bisa tidak sinkron dengan

kondisi di lapangan, atau jangan-jangan ada kepentingan lain di balik itu semua. Dia

menyarankan sebaiknya data berbasis desa. “Bukankah di desa sudah ada kelompok dasa wisma di setiap dusun. Kelompok ini secara rutin melakukan pencatatan dan selalu

diperbaharui.” Kondisi sosial di desa hanya diketahui oleh masyarakat desa itu sendiri.

Sehingga menurut dia, “desa merupakan basis data yang otentik untuk segala keperluan.” Menimpali kekacauan data yang disampaikan Sri, Lalu Mas‟ad yang

menjabat sebagai sekretaris BUMDes Bareng Makmur dari Desa Waja Geseng,

Lombok Tengah mengatakan “Apa sebenarnya maksud Negara dengan program miskin yang dipaksakan itu, karena kenyataannya sering tidak sesuai dengan keberagaman

(12)

12

Ada beberapa faktor pemicu kekacauan data antara yang milik desa dengan data yang

digunakan pemerintah kabupaten. Pertama, selama ini administrasi kependudukan

sifatnya hanya sebagai program titipan dari kabupaten. Sehingga bagi pemerintah desa

tidak selalu ditangani dengan serius mengingat peruntukannya tidak jelas. Kedua, sudah

menjadi rahasia umum bahwa masing-masing SKPD juga selalu membuat data versinya

masing-masing mengikuti kebutuhan programnya. Sehingga tidak heran bila banyak

versi data yang muncul. Ketiga, dalam konteks Pulau Lombok, problematika

kependudukan begitu beragam. Fenomena kawin di usia muda memiliki angka cukup

tinggi, demikian juga angka perceraian. Banyak keunikan-keunikan yang muncul sebagai

akibat tingginya angka pekerja migran, terutama di Lombok Tengah. Ikatan pernikahan

yang rentan menjadi sebab tingginya angka kawin-cerai, termasuk istilah “anak impor”

yang muncul akibat dampak kekerasan seksual yang diperoleh pekerja wanita di luar

negeri.

Pihak SKPD dari catatan sipil sepakat bahwa perlu peningkatan kualitas data. Ketika

Lalu Iqbal dari Dinas Catatan Sipil Lombok Barat menyampaikan sekian daftar

kerumitan administrasi penduduk di atas, peserta yang lain menyarankan bahwa

peningkatan kapasitas petugas pendata perlu terus ditingkatkan. Hanya saja selama ini

tugas itu ada di Badan Pusat Statistik Kabupaten yang bekerja secara periodik mengikuti

musim sensus. Sehingga cukup rasional apabila keinginan dari pihak pemerintah desa

yang menegaskan bahwa desa merupakan basis data yang otentik untuk seluruh

kebutuhan masyarakat.

Ketika poin-poin urusan yang dapat dialihkan ke desa dalam Permendagri 30/2006 di

mana salah satunya adalah persoalan kependudukan dan catatan sipil kami perlihatkan

kepada peserta FGD SKPD, beragam tanggapan muncul. Sebagian besar memberikan

komentar rumitnya administrasi kependudukan di wilayah Lombok.

Untuk merealisasikan keinginan di atas, sebenarnya sudah ada beberapa program yang

(13)

13

ini bisa membantu mengatasi persoalan data kependudukan. Ketika FGD Desa

berlangsung, salah satu desa dari Lombok Utara bahkan berhasil mendemonstrasikan

laman administrasi desanya di dunia maya. Kepala Desa-nya mendemonstrasikan

liputan cepat kegiatan dan segera diunggah ke laman miliknya. Kecanggihan teknologi

informasi yang sudah dimiliki beberapa desa juga diakui oleh pejabat dari Bappeda

Lombok Utara. Mereka malah takjub dan tidak menduga bahwa desa bisa menyajikan

informasi secanggih itu. Sangat mudah dan tersaji dengan lengkap.

Selain itu di wilayah Kecamatan Bayan, Lombok Utara, desa-desa di sana berhasil

mendirikan sebuah stasiun radio komunitas yang terus-menerus memberikan informasi

seputar desa-desa di Bayan. Memang keberlangsungan program semacam ini butuh

sumber daya manusia yang memadai dan mau menjaga keberlangsungannya. Kebetulan

salah satu kepala desa di Bayan sangat senang dan mampu menggunakan teknologi

tersebut. Padahal menurut fasilitator mitra ACCESS, Dian Aryani, kepala desa itu

awalnya menolak SID, tapi malah menjadi desa pertama yang berhasil

mengaplikasikannya. Menanggapi hal itu, perwakilan dari Bayan mengatakan bahwa

mungkin kita belum paham manfaatnya, sehingga fasilitator harus bisa menjelaskan

setiap program yang masuk ke desa dengan baik dan jelas.

Sebagian desa juga sedang memulai program pendataan kualitatif dan partisipatif untuk

menemukan indikator-indikator lokal menyangkut beragam kebutuhan mereka. Harus

diakui kalau indikator kemiskinan di tiap desa sangat beragam, demikian ungkap Agus

Adriyanto, sehingga ke depan pengakuan terhadap keragaman indikator ini jangan

sampai diabaikan oleh kekuatan dari atas. “Sudah saatnya desa sebagai basis data untuk

kebijakan nasional, karena selama ini data sebagai sumber kebijakan tidak pernah

dikoordinasikan dengan desa. Sehingga desa harus diperkuat dengan indikator

partisipatif,” demikian Dodik, anggota BPD Desa Sokong, Lombok Utara

(14)

14

Masih menyangkut problematika administrasi kependudukan, dalam hal ini aturan yang

tumpang-tindih antara peraturan daerah dengan yang terjadi di desa, khususnya masalah

pungutan yang diberlakukan di desa. Semua perwakilan kabupaten menegaskan bahwa

seharusnya layanan atas dokumen dasar warga harus digratiskan, seharusnya ini menjadi

perhatian dan direalisasikan. Kenyataannya peraturan ini tidak serta merta diikuti

pemerintah desa. Beberapa desa memberlakukan pungutan untuk setiap pelayanan

surat-menyurat yang diajukan warga. Sebagai contoh, Desa Badain berhasil membuat

sebuah aturan mengenai standar operasional prosedur (SOP) tentang Pelayanan Publik.

SOP ini cukup memadai dan memperjelas alur pengurusan yang harus dilalui warga.

SOP ini menetapkan bahwa setiap urusan dikenai biaya 5.000 rupiah per surat.

Kemudian warga yang harus mengurus lanjut ke kecamatan sampai ke kabupaten harus

membawa langsung, tidak boleh menitipkan ke perangkat desa. Alasannya supaya

memutus praktik transaksi di luar prosedur dan praktik pungli.

Demikian juga di Desa Sokong, Lombok Utara. Di awal tahun ini BPD sudah

menyiapkan rancangan Perdes tentang pungutan desa yang nanti menjadi pendapatan

asli desa. Ada 14 jenis pungutan yang masuk dalam rancangan tersebut. Meski

pemerintah kabupaten menegaskan bahwa layanan dokumen dasar digratiskan, tetapi

desa bisa berkelit dengan alasan: pertama, untuk memperjelas dan mempertegas

pungutan yang harus diberikan warga supaya tidak ada lagi angka yang mengambang.

Kedua, alasan transparansi. Dengan menetapkan angka nominal pungutan tiap urusan,

semua menjadi jelas. Tetapi bagi pihak kabupaten mengatakan bahwa justru

prakti-praktik seperti ini yang menghambat pemutakhiran data, karena masyarakat berpikir

semua butuh biaya jadi malas untuk mengurus surat-surat. Dampaknya kembali ke

kualitas data.

Terlepas dari perdebatan kualitas data di atas, masalah yang dialami Desa Kopang

Rembiga juga menarik dibicarakan karena ada sangkut pautnya pada soal pemekaran

desa. Separti disampaikan Agus Adriyanto bahwa saat ini penduduk Kopang Rembiga

(15)

15

tidak sebanding. Menurutnya jumlah ini sudah sangat padat dan layak untuk dibagi

menjadi dua desa. Kalau aturan yang lalu pemekaran desa dimungkinkan dengan alasan

jumlah penduduk dan luas wilayah, sedangkan di undang-undang baru, alasan yang

dikemukakan hanya luas wilayah saja. Agus mengusulkan supaya hal ini tetap harus

diperjelas, mengingat ke depan perkembangan wilayahnya makin pesat dan akan

semakin padat, pasti semakin rumit mengaturnya.

Jangan Jadi Kelompok Burung Merpati

Dana satu miliar bagi kami terhitung kecil, sebab sejauh ini pembangunan yang kami lakukan di

desa bila diakumulasi toh bisa mencapai 3-4 miliar per tahun.

Beragam problematika yang disampaikan peserta sehubungan dengan eksistensi

lembaga sosial yang ada didesa. Lembaga sosial di desa yang bisa dikatakan eksis hanya

yang bersifat korporatis. Semua desa memiliki LPM, karang taruna, PKK, kelompok

tani. Tetapi semuanya tergantung pada ADD. Kondisi ini merupakan ironi karena di

satu sisi ketergantingan pada ADD sangat tinggi, tetapi representasi mereka dalam

musyawarah desa sering diabaikan. Sehingga di tingkat desa pun terjadi ketimpangan,

lembaga sosial terpaksa menjalankan program yang tidak murni berasal dari usulan

mereka.

Najamuddin berharap, posisi lembaga sosial di desa harus diperjelas, supaya tercermin

juga dalam perencanaan pembangunan desa. Selain itu, desa juga harus mesponsif

terhadap inisiatif masyarakat membentuk kelompok yang didorong oleh motif-motif

ekonomi. Di desa Kayangan misalnya, muncul kelompok keramba yang kemudian

menjadi besar dan difasilitasi pemerintah desa mencari akses permodalan. Pola-pola

seperti ini perlu dikembangkan, jangan hanya terus-terus membina kelompok “burung

merpati.” Kelompok burung merpati menurut Najamuddin, adalah kelompok-kelompok yang mendekat di saat masa-masa pencairan ADD kemudian pergi seiring

(16)

16

tumbuhnya lembaga-lembaga sosial yang berbasis ekonomi, termasuk meningkatkan

kapasitas kelompok-kelompok yang sudah ada.

“Lembaga sosial di desa tidak boleh fiktif,” tegas Agus Adriyanto. Maksudnya sejauh ini

ada lembaga sosial yang memiliki keanggotaan fiktif, bukan petani tetapi masuk

kelompok tani. Maksudnya untuk mendapatkan akses bantuan permodalan, untuk

kepentingan pribadi. Tindakan seperti ini melemahkan eksistensi kelompok sosial di

mata masyarakat, juga menghalangi hak warga yang lebih membutuhkan akses bantuan.

Meneruskan apa yang disampaikan Najamuddin, Mindrawati, ketua kelompok tenun

dari Desa Rembitan menerangkan bahwa mungkin karena persoalan representasi dalam

Musdes sehingga proporsi ADD untuk lembaga sosial juga menghadapi persoalan.

PKK misalnya, di Rembitan mendapat alokasi 10 juta per tahun, sementara karang

taruna 15 juta. Padahal PKK memiliki 10 Pokja dan aktifitasnya lebih banyak dibanding

karang taruna. Kendala-kendala seperti ini yang membuat lembaga sosial tidak bisa

leluasa.

Mindrawati kembali menegaskan, bahwa penting untuk menumbuhkan rasa butuh

terhadap lembaga sosial, minimal untuk membantu mengatasi kesulitan-kesulitan di

masyarakat. Targetnya, bagaimana lembaga sosial ini member dampak ekonomi yan

berarti. Dia menyontohkanapa yang terjadi di Rembita, kelompok tani di sana

mengumpulkan iuran sebesar 5.000 tiap bulan. Sekarang kelompok tani sudah memiliki

dana kelompok sebesar 500 juta, semua untuk dimanfaatkan kelompok. Ada juga 39

kelompok perempuan penenun berhasil mengelola dana bergulir sekitar setengah miliar,

sehingga mereka tidak khawatir akan kehabisan modal usaha. Demikian juga dengan

kelompok pemuda di Kampung Sade, dengan kreatifitasnya mereka berhasil mengakses

permodalan untuk mengembangkan kampong mereka sebagai kampong adat Sasak dan

menjadi obyek wisata yang menguntungkan. “Jadi, kesadaran masyarakat adalah kunci,”

(17)

17

Bila semua potensi lembaga sosial bisa digerakkan, akan banyak potensi lokal yang bisa

digali dan menghasilkan. Di Badrain, sedang digagas kelompok BSS (Bank Sampah

Syari‟ah). Inisiatif ini muncul akibat perkembangan Lombok Tengah yang kian pesat dengan perubahan pola konsumsi ikut menyertainya. Sampah kemudian menjadi

persoalan serius. Kalau hanya mencemari tanah mungkin masih bisa ditolerir, tetapi

sejauh ini sudah menghambat kelancaran distribusi air untuk kebutuhan petani. Kondisi

ini memaksa pemerintah desa untuk menggerakkan potensi warga, mengolah sampah

menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Muncullah BSS itu. “BSS tidak hanya

memberikan nilai ekonomi, tetapi juga mengajak warga untuk beribadah,” demikian

tegas kepala desanya yang masih muda.

Sebenarnya potensi lokal bila dikelola warga akan member manfaat besar, bahkan nilai

ekonominya tidak kecil. Tidak heran bila semua peserta FGD desa sepakat dengan

pernyataan “Dana satu miliar bagi kami terhitung kecil, sebab sejauh ini pembangunan yang kami lakukan di desa bila diakumulasi toh bisa mencapai 3-4 miliar per tahun.”

Pernyataan itu selalu diulang, untuk menanggapi kekhawatiran besarnya DAD yang

akan masuk ke desa, dan diliputi sikap khawatir oleh pemerintah kabupaten.

Titik Balik Tata Kelola Lingkungan

Salah satu peserta, Lalu Mas‟ad pada hari kedua memberikan penjelasan yang

menginspirasi peserta lainnya. Dia secara khusus didaulat untuk menjelaskan

keberadaan BUMDes pengelolaan air bersih miliknya, BUMDes “Bareng Makmur” Desa Waja Geseng, Lombok Tengah. Mas‟ad menyampaikan bahwa saat ini pengelolaan air bersih-nya sudah memberikan pemasukan memadai bagi BUMDes dan

untuk kas desa. Dari laporan bulan Desember yang disampaikan tertera bahwa bisnis air

bersih yang dikelola berhasil mencatat pemasukan sebesar 2.631.500 rupiah. Dengan

perolehan rata-rata bulanan sebesar itu, menurut Mas‟ad manfaatnya dapat dirasakan

(18)

18

pengurus, dan 20% masuk ke kas desa. Bulan Desember lalu, BUMDes menyetor

526.300,- ke kas desa. Angka yang cukup lumayan untuk pemasukan bulanan desa.

Air bersih yang dikelola BUMDes Bareng Makmur adalah air yang bersumber di desa

lain, dan sudah sekian lama tidak dimanfaatkan secara optimal. Bersama beberapa

warga, Mas‟ad melihat air yang melimpah ini sebagai aset yang bisa dimanfaatkan.

Hanya saja lokasinya di luar desa tempat tinggal mereka. Langkah pertama yang mereka

tempuh adalah melakukan pendekatan kultural dan personal kepada pemilik lahan.

Negosiasi dilakukan dan pemilik lahan sepakat menyewakan lahannya sebesar 1.000.000

rupiah tiap tahun. Setelah mencapai sepakat, kelompok pengelola air bersih bentukan

As‟ad membuat proposal program dan prospek usaha ke pihak Dinas Pekerjaan Umum.

Ternyata usulan mereka diterima dan mendapat bantuan pembiayaan program. Sampai

di sini, pemerintah desa belum diberitahu mengenai rencana usaha tersebut. Setelah

sebaga urusan dengan pihak PU dianggap beres baru mereka memberitahukan kepala

desa, dan disambut dengan baik.

Untuk menjamin keberlangsungan dan keamanan usaha air bersih, mereka meminta

dibuatkan peraturan desa sebagai payung hukum. Maka terbitlah peraturan desa nomor

01 tahun 2012 tentang “Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Air Bersih Desa Waja Gesang”. Di Perdes ini menegaskan BUMDes sebagai pelaksana tugas perlindungan

dan pemanfaatan. Jadi Perdes yang terbit bukan Perdes tentang BUMDes, tetapi Perdes

pengelolaan air bersih. Sejauh ini tidak ada masalah, karena pihak pengelola

terus-menerus menjalin komunikasi dengan pemilik lahan dan desa tempat sumber air.

Sekarang BUMDes sudah memiliki 331 pelanggan. Dengan besar iuran 500 rupiah per

kubik, BUMDes berhasil mencatat penghasilan rata-rata 3 juta tiap bulan.

Pihak pengelola membuat aturan bahwa air bersih tersebut diperuntukkan bagi

konsumsi keluarga, bukan untuk usaha. Sehingga bila dikemudian hari ada pelanggan

(19)

19

untuk kolam, pengelola tidak segan-segan menghentikan sambungan pipanya.

“Aturannya sudah jelas, jadi kami tidak ragun mengambil tindakan,” tegas Mas‟ad.

Peserta lain antusias mendengar pemaparan Mas‟ad, termasuk menyampaikan gagasan

-gagasan serupa untuk diterapkan di desanya. Persoalan hampir sama di dialami desa

lain, karena sebagian besar sumber air yang melimpah ini terletak jauh dari desa.

Misalnya di Lombok Utara, terutama desa yang terletak di daerah lereng, mengalami

kendala ketersediaan air bersih. Tetapi daerah sekitarnya kaya akan sumber mata air.

Sehingga butuh upaya-upaya kerjasama antar desa untuk memanfaatkan potensi

tersebut. Raden M. Rais, mengemukakan bahwa persoalan sumber daya yang ada di

desa lain ini cukup pelik, seperti dia kemukakan bahwa di desa tetangganya pernah ada

aksi ancaman pemutusan jalur pipa air bersih yang melibatkan dua desa. Sampai

sekarang masalahnya belum selesai dan masing-masing saling menahan diri sambal

menunggu mediasi. Hal-hal seperti ini perlu diatur karena menyangkut kerjasama antar

desa untuk memanfaatkan sumber daya alam.

Kasus berbeda disampaikan salah satu SKPD dari Lombok Tengah bahwa, bukan

hanya persoalan air yang perlu diperjelas. Saat ini di Lombok Tengah ada masalah

pengolahan hasil tambang di satu desa, tetapi bahan bakunya diperoleh dari desa lain.

Desa itu tidak punya tambang tetapi terkena limbahnya karena diolah di situ.

Lambat-laun hal seperti ini berbahaya dan bisa memicu konflik sehingga perlu diatur.

Inventarisasi aset-aset desa juga disampaikan sebagai persoalan penting dan sering

tumpang-tindih. Di Lombok Utara, pihak pemerintah kabupaten sering melakukan

pematokan pada lokasi-lokasi yang masih belum jelas kepemilikannya, “tanah kuburan

pun dipasang patok milik kabupaten,” kata Najamuddin. Bahkan di Sokong, pihak

pemerintah desa berupaya mencari artefak kuno yang menegaskan batas-batas wilayah

adat mereka. Menurut Dodik, “sampai saat ini kami sudah berhasil mendata ribuan

hektar tanah adat kami. Kami butuh dukungan jaringan dan regulasi untuk menegaskan

(20)

20

mendukung.” Dia berharap UU Desa bisa menghidupkan kembali kejayaan ulayat

mereka di masa lalu.

Pengakuan Adat Sasak oleh pemerintah kabupaten dinilai juga masih setengah hati.

Timbul kesan bahwa keberadaan desa-desa adat yang selama ini banyak dikenal (Sade di

Lombok Tengah dan Bayan di Lombok Utara) hanya dijadikan sebagai bahan promosi

pemerintah, tetapi sesungguhnya mereka tidak mampu dan mau merawat kekayaan

budaya ini. “Kami dibiarkan berjuang sendiri, sementara mereka cuma melakukan promosi. Tidak bisa seperti itu,” demikian kata Dodik.

Memang tidak mudah mengurai persoalan aset budaya ini, sebab ada perbedaan

persepsi antara pemerintah desa dengan kabupaten. Desa, seperti disampaikan Dodik

ingin diakui secara substansi, bukan sekadar sebagai obyek wisata. Sedangkan pihak

kabupaten melihat dari perspektif lain, mereka melihatnya sebagai etalase atau gerbang

untuk memasuki Lombok secara lebih dalam. Pihak kabupaten sepakat “bahwa yang

namanya warisan budaya, kearifan lokal, itu harus selalu dijaga, jangan sampai hilang.

Kami tidak ingin teman-teman di Lombok Utara mengulangi kesalahan kami seperti di

Senggigi, di mana tanah-tanah yang ada di sana sudah jadi milik orang lain semua.

Referensi

Dokumen terkait

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur

Pada pelaksanaan siklus I nilai-nilai yang diperoleh peserta didik kelas XI TPM B SMK Negeri 2 Surakarta pada pembelajaran mata diklat CNC Dasar TU-3A

Merakit (pemasangan setiap komponen, handle, poros pemutar, dudukan handle alas atas bawah, dan saringan).. Mengelas (wadah dengan alas atas, saringan, handle, dan

SDIT AL uswah Surabaya is one unified Islamic elementary school that has problems ranging from frequent mistake inputting data, loss of data that has been collected, the data is not

 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh tim penulis, maka kompos yang diberikan pada tanaman sangat berpengaruh sebagai pemberi nutrisi sehingga tanaman dapat tumbuh

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN

Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap siswa pasti memiliki kelebihan pada bidang tertentu.. Howard Gardner, seorang pakar psikologi dari

1) Crumb rubber dan pecahan genteng dapat digunakan sebagai agregat halus untuk membuat beton dengan kategori beton ringan. 2) Dalam membuat beton ringan struktural