• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monopsoni dan Dampak Kesejahteraan Masya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Monopsoni dan Dampak Kesejahteraan Masya"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Monopsoni dan Dampak Kesejahteraan Masyarakat

Kemajuan pesat sektor usaha di Indonesia, ternyata memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor lainnya, sektor hukum salah satunya. Hal tersebut terkait dengan kenyataan bahwa sektor penting seperti usaha memerlukan sebuah kepastian hukum, singkat kata sebuah undang-undang yang sifatnya komprehensif sangat dinantikan. Beberapa praktik-praktik ekonomi yang tidak sehat seperti kolusi dan nepotisme antara pemilik usaha besar lokal dengan pemerintahan, menjadi alasan utama. Sebenarnya aturan tersebut telah dibentuk namun tersebar dalam beberapa aturan secara sektoral. Sifat sektoralnya, membuat peraturan tersebut menjadi kurang efektif terhadap sasaran yang diinginkan. Selain itu, kegiatan perekonomian nasional semakin jauh dari amanat pasal 33 UUD 1945 dan bersifat sangat monopolistik. Khususnya selama masa pemerintahan orde baru, dimana pengusaha besar nasional didominasi oleh orang terdekat dari penguasa. Kenyataan ini berbanding terbalik dengan apa yang akan kita hadapi di masa mendatang, saat kita dituntut untuk mampu bersaing dengan mengandalkan kekuatan secara mandiri.

Singkatnya, praktik-praktik nyata dalam kegiatan usaha Indonesia yang semakin tidak sehat, mengilhami badan legislatif setelahnya untuk sesegera mungkin membentuk perundang-undangan tentang persaingan usaha. Sebagai tambahan, aturan ini pada nantinya akan menjadi jembatan penyambung hubungan bisnis antarbangsa. Hasil akhirnya antara lain dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional untuk berinvestasi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang selanjutnya disebut Undang-Undang-Undang-Undang Anti monopoli merupakan produk akhir sebagai perwujudan cita-cita tersebut diatas.

Dalam Undang-Undang Antimonopoli, terdapat beberapa perbuatan yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha di Indonesia, salah satunya adalah perbuatan Monopsoni. Berbalik dengan monopoli, yang lebih familiar, perbuatan ini hanya dirangkumkan dalam pasal yang lebih sedikit. Untuk itu, salah satu tujuan tulisan ini adalah mengenalkan arti praktik monopsoni dalam Undang-Undang Antimonopsoni serta dampaknya terhadap social welfare.

Pembahasan

(2)

Monopsoni adalah situasi pasar dimana hanya ada satu atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pasar dan berperan sebagai pembeli1. Dalam Black’s Law Dictionary, definisi monopsoni adalah “A market situation in which one buyer control the market2. Praktik monopsoni dilakukan oleh pelaku usaha

dengan mengurangi pembeliannya pada input cost, selanjutnya mengakibatkan turunnya harga dibawah level kompetitif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Natalie Rosenfelt, bahwa “A monopsonist exercises its market power by reducing its purchase of an input, thereby decreasing its input price below compatitive level”3.

Yang membedakan antara praktik monopsoni dan monopoli adalah dampak yang dirasakan oleh konsumen dan produsen. Sebagai hasil dari sebuah praktik monopoli, maka konsumen langsung yang akan dirugikan dalam hal ini.

Pengaturan Monopsoni dalam UU Antimonopsoni

Larangan mengenai monopsoni di Indonesia diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Persaingan Usaha. Definisi monopsoni diletakkan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Persaingan Usaha, bahwa monopsoni adalah perbuatan pelaku usaha yang menguasai dan/atau menjadi pembeli tunggal atas suatu barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan, dengan indikatornya selanjutnya diletakkan pada ayat (2) pasal yang sama, bahwa pelaku usaha tersebut melakukan penguasaan dalam penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebanyak lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa.. Penjabaran atas unsur-unsur yang terdapat pada pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Persaingan Usaha, yang dimaksud pelaku usaha adalah :

“Orang perorangan atau badan usaha, badan hukum atau non badan hukum yang didirikan, berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik

1 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Indonesia, h.72

2 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,9th. Ed, St. Paul-Minnesota, West Publishing Co,. 2004,h

1098

(3)

sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang ekonomi.”

b. Unsur barang, berdasarkan pasal 1 angka 16 Undang-Undang Persaingan Usaha :

“Barang adalah setiap benda, baik berujud atau tidak berujud, bergerak atau tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunaka atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”

c. Unsur Jasa berdasarkan pasal 1 angka 17 Undang-Undang Persaingan Usaha adalah :

“Jasa adalah tiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”

maka dapat disimpulkan jika monopsoni dapat terjadi baik dalam komoditas perdagangan berupa barang atau jasa sekalipun, selama terdapat pelaku usaha yang menguasai pembelian atas barang tersebut yang berdampak pada nilai jual.

Merujuk pada teori pendekatan yuridis dalam interpretasi pasal-pasal hukum persaingan usaha, dengan diletakkannya indikator pengenaan pasal 18 UU Antimonopoli, maka pendekatan yang digunakan dalam pendekatan pasal ini menggunakan Rule of Reason. Pengertian pendekatan Rule of Reason adalah perumusan untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, diperlukan pertimbangan keadaan disekitar kasus tersebut. Fungsinya untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, sehingga penegak hukum wajib dapat menunjukkan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang ditimbulkan serta bersifat nyata terhadap persaingan.4. Kesimpulannya, berdasarkan pengaturan dalam UU Antimonopsoni, dikatakan sebuah praktik monopsoni jika sebuah praktik telah memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 18 Ayat 2 (dua) UU Antimonopsoni.

4 Materi kuliah Hukum Persaingan Usaha 2005, Universitas Indonesia mengutip dari Daniel V., et.all.,

(4)

Dampak Praktik Monopsoni

Sebagai sebuah praktik yang dilarang dalam sebuah Undang-Undang, dapat dipastikan jika praktik ini memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat. Efek atau dampak yang ditimbulkan akibat kekuatan monopsoni atau praktik monopsoni, menurut Aryeh Friedman5 digolongkan menjadi dua golongan, yakni Adverse welfare effects dan Distributional effects.

1. Welfare effects, atau dampak yang berpengaruh pada kesejahteraan baik bagi pelaku usaha lainnya, juga bagi masyarakat sebagai end-user dari suatu komoditi tertentu.

2. Distributional effects, atau dampak yang berpengaruh pada sistem pendistribusian produk.

Keduanya dapat diketahui dengan memahami apakah penjual di upstream market sebagai monopolist, dan apakah monopsonist juga bertindak sebagai monopolist di downstream market, dan jika pelaku usaha sebagai oligopsonist apakah mereka saling bersaing di downstream market. Apabila hal yang menjadi tolok ukur tersebut terbukti, maka hasil atau outcome akan dikurangi kuantitasnya dan meningkatkan harga pada downstream market. Apabila tidak terbukti, maka cost savings sepertinya akan dikenakan pada konsumen.

Pertama, Welfare Effects, dampak tersebut dapat dirasakan secara otomatis sebagai akibat pengenaan cost savings pada harga akhir sebuah barang dan jasa. Setelah penambahan cost savings, secara otomatis harga jual komoditi juga bertambah. Hasilnya, masyarakat harus membayar lebih untuk sebuah komoditi tersebut. Jika keadaan ini berlanjut, kemudahan masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa tertentu yang telah menjadi hak akan terganggu. Secara otomatis, itu akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, pelaku usaha lain yang dimaksud adalah pelaku usaha yang menggunakan produk

(5)

barang dan jasa dari monopsonist. Sebagai sebuah ilustrasi, BPPC membeli seluruh pasokan cengkeh dari petani cengkeh. Dengan menggunakan kekuatan monopsoni yang dimiliki, BPPC dapat mengatur harga belinya, yang terkadang dibawah standar harga pasar. Oleh karenanya, petani dengan keterpaksaan bersedia menjual hasil panen dengan resiko kehilangan keuntungan. Hal tersebut membuktikan jika praktik monopsoni dapat merugikan pelaku usaha lain. Kerugian pelaku usaha lain, dapat pula dibuktikan dengan tingginya harga jual sebuah barang dan jasa setelah terjadi praktik monopsoni oleh buruh yang meningkatkan biaya produksi suatu komoditas. Pelaku usaha yang dirugikan adalah perantara dari distribusi sebuah komoditi. Sebagai sebuah ilustrasi, Perusahaan A menjual sebuah barang produksi dengan harga lebih tinggi, maka Perusahaan B yang menggunakan komoditas tersebut sebagai bahan baku juga akan menambah nilai produksinya. Bertambahnya nilai produksi pada akhirnya akan berdampak pada harga jual produk, yang jika tidak memenuhi daya beli masyarakat, maka produk tersebut akan ditinggalkan. Sebagai hasilnya, Perusahaan B akan kehilangan konsumen.

Kedua, Distributional Effects, sistem pendistribusian produk barang dan jasa akan mengalami hambatan. Pihak distributor akan menolak untuk menjadi perantara perdagangan barang dan jasa, jika sebuah produk itu tidak memenuhi daya beli masyarakat dan memiliki kecenderungan untuk tidak diminati. Sebagai sebuah konsekuensi, masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan.

Kedua efek yang disebutkan oleh Friedmann, lebih mengarah pada social effects yang ditimbulkan oleh monopsoni. Dengan kata lain, efek tersebut merupakan dampak monopsoni dalam hal non pricing.

Kesimpulan

(6)

tersebut guna melindungi kepentingan masyarakat secara general, khususnya produsen dan konsumen yang secara jelas akan dirugikan melalui praktek ini. Sekalipun telah diatur, pendekatan yuridis yang digunakan cenderung lunak. Sehingga memudahkan pelaku usaha untuk menyamarkan praktik monopsoni yang dilakukan. Dampak yang dapat ditimbulkan adalah, terjadinya pembatasan atas sebuah komoditi yang berakhir pada tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat atas komoditas tertentu. Serta, tingginya harga jual yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebagai akibat turunan monopsoni, yakni perilaku monopolistik, sehingga menurunkan daya beli suatu barang oleh masyarakat. Fakta ini selanjutnya akan berdampak langsung terhadap operasional pelaku usaha baik barang maupun jasa, yang dengan menurunnya jumlah permintaan pasar, maka menurun pula proses produksi. Pada akhirnya, pengurangan jumlah pekerja menjadi jalan keluar. Hal-hal diatas adalah gambaran singkat dampak praktik monopsoni dalam lingkup social welfare.

Saran

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan

Konsumen kepada peraturan baru yang dibuat sepihak oleh pihak Pelaku Usaha yang melanggar Pasal 18 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan pasal 229 ayat (1) dikatakan bahwa perbuatan aborsi yang disengaja atas

Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah “persaingan antar pelaku usaha dalam

Sedangkan penetapan harga secara vertikal yang juga dilarang oleh undangundang diatur dalam Pasal 19 huruf b Undang-Undang Persaingan Usaha, yaitu pelaku usaha dilarang

Definisi pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : “Pelaku usaha adalah setia orang perorangan atau badan usaha, baik yang

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat 1 melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila: menyatakan pengalihan tanggung

Bentuk pertanggungjawabannya adalah tanggung jawab karena kesalahan pelaku usaha harus memberikan ganti kerugian kepada konsumen Dengan adanya Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8