PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU
TESIS
Oleh NIZARLY 087011086/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
NIZARLY 087011086/MKn
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM DALAM KONTRAK BAKU
Nama Mahasiswa : Nizarly
Nomor Pokok : 087011086
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Ketua
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH ) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Anggota Anggota
Ketua Program Magister kenotariatan Dekan
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Telah diuji pada
Tanggal : 24 September 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum
ABSTRAK
Perjanjian berlangganan jasa telepon kabel merupakan salah satu perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Sementara itu dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi tetap saja terdapat klausula baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek. Jenis penelitian yang diterapkan ialah yuridis normatif dengan dilengkapi dengan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan tersebut.
PT. Telkom selaku penyedia jasa telekomunikasi dalam hal ini telepon kabel yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari konsumen, dimana bentuk, isi, format dan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Telkom dan pihak konsumen hanya bisa menerima atau tidak menerima ketentuan tersebut (take it or leave it contract). Sehingga dalam hal ini menyebabkan lemahnya kedudukan pihak pelanggan dibandingkan PT. Telkom. Hal ini tertuang didalam pasal 18 (1) UUPK, yaitu : “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT. Telkom yang diatur dalam ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi kepada pelanggan di wujudkan dalam bentuk garansi dan kompensasi. Dalam hal terjadi sengketa konsumen dapat menempuh dengan dua cara, yaitu : penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kata Kunci : Sengketa, Konsumen Jasa Telekomunikasi, Perlindungan.
ABSTRACT
The agreement of cable telephone service subscription is one of the agreements that exist because of the freedom of contract as regulated in Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No.8/1999 on Customer Protection is determined that, in offering the goods and/or service to be traded, a businessmen is not allowed to make or put a standard clause on each document and/or agreement. But, in the agreement made between the consumer and the telecommunication service provider, the standard clause is always found, and this is a violation of what decided in law of Consumer Protection which is used by the service provider to shift their responsibility stated in the agreement.
This was a descriptive study because the method used to describe, analyze, and explain the existing regulation of legislation then to relate it to the condition or phenomenon in practice. This was also a normative juridical study with empirical juridical approach the problems by looking at the existing stipulations and those regulating a legal protection for the customers of PT. Telkom based on a standard contract and how the stipulation was implemented.
PT. Telkom as the telecommunication service provider, in this context cable telephone, has a higher position compared to the consumer that the form, content, format and agreement itself was unilaterally decided by PT. Telkom and the consumers can only take or leave the contract. This made the position of customers was weaker than PT. Telkom’s. This is stated in Article 18 (1) of Law No. 8/1999as follows: “This prohibition is meant to put the position of consumer at the same level as business practitioner based on the principle of freedom of contract”. The legal protection given by PT. Telkom regulated in the stipulation of telecommunication connection subscription to the customers is materialized in the form of guarantee and compensation. In case of dispute, the consumer can settle it in two ways that is the dispute is settled through the court of the first instance or outside of court of law.
Key words: Dispute, Consumer, Telecommunication Service, Protection
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia
Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun
tujuan dari penulisan tesis ini guna memenuhi salah satu syarat akademik dalam
menyelesaikan program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, sekaligus ketua komisi pembimbing yang dengan
penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis;
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. sekaligus anggota
komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, semangat, dan masukan
kepada penulis;
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang
telah memberikan masukan kepada penulis;
5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M.H. selaku anggota komisi pembimbing yang
selalu memberi semangat, arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;
6. Bapak Dr. Dedi Herianto, SH, M.HUM., selaku penguji yang selalu memberi
arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;
7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada
penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister
Kenotariatan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
8. Seluruh Staf Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, selaku para pihak yang selalu
membantu selama penulis menyelesaikan urusan besar dan urusan kecil yang
berhubungan dengan perkuliahan.
9. Ayahanda H. NASRULLAH, SH, CN. dan Ibunda Tercinta CUT AINUL
MARDHIAH, selaku orang tua terbaik yang selalu sabar, tulus, ikhlas, dan tabah
dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok, dan seterusnya menjadi bagian
terindah dalam hidup penulis;
10. Kakanda Rizkia, SH, beserta Adinda Rizaldi, Nazlia, dan Marisa, yang telah
menjadi motivasi untuk menyelesaikan studi dan dalam penulisan tesis ini;
11. Dwi Ayu Rosari, selaku penggemar rahasia dan penjaga hati yang melengkapi
hari-hari penulis dengan hal-hal indah selama menjadi bagian hidup penulis;
12.Rekan-rekan satu angkatan 2008 pada Program Studi Magister Kenotariatan
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan moral
maupun material kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini;
13.Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu memberikan data informasi sehingga dapat digunakan dalam penulisan
dan penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi penulisan maupun substansi yang masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penulisan tesis ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.
Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, September 2010
Penulis,
NIZARLY
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
Nama : Nizarly
Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/22 Juni 1983
Alamat : Jl. Rawa Sakti I No. 13 Jeulingke, Banda Aceh
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status Perkawinan : Belum Menikah
II. DATA ORANG TUA
Nama Ayah : H. Nasrullah, SH, CN
Nama Ibu : Cut Ainul Mardhiah
III.PENDIDIKAN
1. SD : SD Negeri 61 Banda Aceh
(Tamat Tahun 1995)
2. SLTP : SLTP Negeri 13, Banda Aceh
(Tamat Tahun 1998)
3. SMU : SMU Negeri 4, Banda Aceh
(Tamat Tahun 2001)
4. S-1 : Fakultas Hukum UNSYIAH, Banda Aceh
(Tamat Tahun 2007)
5. S-2 : Program Studi Magister Kenotariatan USU, Medan
(Tamat Tahun 2010)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN ... x
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsep ... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Konsepsional... 21
G. Metode Penelitian ... 23
1. Spesifikasi Penelitian ... 23
2. Lokasi Penelitian ... 24
3. Metode Pengumpulan Data ... 24
4. Sumber Data ... 25
5. Analisis Data ... 26
BAB II. KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM... 27
A. Bentuk Perjanjian Antara Pelanggan dengan PT. Telkom ... 27
1. Pengertian Perjanjian ... 27
2. Kontrak Baku ... 41
BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PELANGGAN DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM ... 61
A. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia ... 61
1. Asas Perlindungan Konsumen ... 62
2. Tujuan Perlindungan Hukum ... 62
3. Hubungan Hukum Antara Konsumen dan Produsen... 63
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 65
1. Hak Konsumen dan Pelaku Usaha ... 65
2. Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 67
C. Perlindungan Hukum Terhadap Pelanggan PT. Telkom ... 70
1. Perlindungan Konsumen Menurut UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 70
2. Perlindungan Konsumen Menurut UU No.36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi ... 72
BAB IV. PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA PELANGGAN DENGAN PT. TELKOM ... 89
A. Klausula penyelesaian sengketa ... 90
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ... 90
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 96
B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Negeri ... 102
C. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan ... 106
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
DAFTAR SINGKATAN
BPSK : Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
BW : Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata)
IKR/G : Instalasi Kabel Rumah/Gedung
JARTEL : Jaringan Telekomunikasi
JASTEL : Jasa Telekomunikasi
KBST : Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi
KTB : Kotak Terminal Batas
LPKSM : Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyakat
RPU : Rangka Pembagi Utama
RK : Rumah Kabel
SLJJ : Sambungan Langsung Jarak Jauh
TP : Titik pembagi
UUPK : Undang-undang Perlindungan Konsumen
DAFTAR TABEL
TABEL 1, Garansi dan Kompensasi Layanan Baru ... 79
TABEL 2, Garansi dan Kompensasi Layanan Perbaikan Gangguan ... 81
TABEL 3, Batas Waktu Pengajuan Keberatan ... 82
TABEL 4, Garansi dan kompensasi Layanan Mutasi ... 85
ABSTRAK
Perjanjian berlangganan jasa telepon kabel merupakan salah satu perjanjian yang lahir akibat adanya asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Sementara itu dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ditentukan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Namun, dalam perjanjian yang dibuat antara konsumen dan penyedia jasa telekomunikasi tetap saja terdapat klausula baku yang merupakan pelanggaran dari ketentuan UUPK, yang dimanfaatkan oleh penyedia jasa untuk mengalihkan tanggung jawab dalam perjanjian.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek. Jenis penelitian yang diterapkan ialah yuridis normatif dengan dilengkapi dengan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan-ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan tersebut.
PT. Telkom selaku penyedia jasa telekomunikasi dalam hal ini telepon kabel yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari konsumen, dimana bentuk, isi, format dan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Telkom dan pihak konsumen hanya bisa menerima atau tidak menerima ketentuan tersebut (take it or leave it contract). Sehingga dalam hal ini menyebabkan lemahnya kedudukan pihak pelanggan dibandingkan PT. Telkom. Hal ini tertuang didalam pasal 18 (1) UUPK, yaitu : “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak”. Perlindungan Hukum yang diberikan oleh PT. Telkom yang diatur dalam ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi kepada pelanggan di wujudkan dalam bentuk garansi dan kompensasi. Dalam hal terjadi sengketa konsumen dapat menempuh dengan dua cara, yaitu : penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kata Kunci : Sengketa, Konsumen Jasa Telekomunikasi, Perlindungan.
ABSTRACT
The agreement of cable telephone service subscription is one of the agreements that exist because of the freedom of contract as regulated in Article 1338 in connection with Article 1320 of the Indonesian Civil Codes. Article 18 (1) of Law No.8/1999 on Customer Protection is determined that, in offering the goods and/or service to be traded, a businessmen is not allowed to make or put a standard clause on each document and/or agreement. But, in the agreement made between the consumer and the telecommunication service provider, the standard clause is always found, and this is a violation of what decided in law of Consumer Protection which is used by the service provider to shift their responsibility stated in the agreement.
This was a descriptive study because the method used to describe, analyze, and explain the existing regulation of legislation then to relate it to the condition or phenomenon in practice. This was also a normative juridical study with empirical juridical approach the problems by looking at the existing stipulations and those regulating a legal protection for the customers of PT. Telkom based on a standard contract and how the stipulation was implemented.
PT. Telkom as the telecommunication service provider, in this context cable telephone, has a higher position compared to the consumer that the form, content, format and agreement itself was unilaterally decided by PT. Telkom and the consumers can only take or leave the contract. This made the position of customers was weaker than PT. Telkom’s. This is stated in Article 18 (1) of Law No. 8/1999as follows: “This prohibition is meant to put the position of consumer at the same level as business practitioner based on the principle of freedom of contract”. The legal protection given by PT. Telkom regulated in the stipulation of telecommunication connection subscription to the customers is materialized in the form of guarantee and compensation. In case of dispute, the consumer can settle it in two ways that is the dispute is settled through the court of the first instance or outside of court of law.
Key words: Dispute, Consumer, Telecommunication Service, Protection
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh
globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengakibatkan
perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
pembangunan. Sejalan dengan kemajuan pembangunan tersebut, maka
penyelenggaraan jasa telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan,
mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta
meningkatkan hubungan antar bangsa.
Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang dalam penyelenggaraannya harus melindungi kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global, dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan serta perlu
peran serta masyarakat.1
Telepon secara konvensional adalah untuk komunikasi suara, namun
demikian telah banyak telepon yang difungsikan untuk komunikasi data. Pembahasan
berikut ini akan ditekankan pada penggunaan telepon sebagai komunikasi suara. Pada
1 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf (d) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang
dasarnya pesawat telepon terdiri dari alat pengirim suara (mikropon) dan alat
penerima suara (speaker). Pesawat ini dihubungkan dengan sentral telepon
menggunakan sepasang kabel tembaga yang dikenal sebagai 2 kawat.
Pengaturan mengenai telekomunikasi telah diatur tersendiri di dalam
Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam
hal ini yang akan dibahas dalam tesis ini adalah telepon kabel. Telepon kabel
(wireline) adalah layanan jasa telekomunikasi suara berbasis akses kabel dengan
jaringan yang berawal dari sentral telepon menuju rangka pembagi utama (RPU)
dilanjutkan ke rumah kabel (RK) disalurkan ke titik pembagi (TP) berakhir pada roset
pesawat telepon.
Pelaksanaan jasa telekomunikasi di Indonesia tersebut dikelola oleh PT.
Telkom dan yang mana terus berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas
pelayanannya kepada seluruh masyarakat. Telepon merupakan suara dari jarak jauh,
merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan
pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia.2 Telepon sangat berarti
didalam masyarakat karena sifat penggunaannya sangat mudah, praktis dan cepat
dalam melakukan aktifitas komunikasi jarak jauh dan dapat menghemat biaya, tenaga
dan waktu.
Dalam rangka pelaksanaan pelayanan jasa telekomunikasi tersebut, maka akan
terjadi suatu hubungan hukum antara calon pelanggan atau pelanggan dengan PT.
2 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia Edisi Revisi, Bandung, Alfabeta,
Telkom. Oleh karena itu perlu diadakan suatu perjanjian yang disebut dengan
“Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi” yang harus ditandatangani oleh
kedua belah pihak yaitu pihak PT. Telkom dan calon pelanggan. Perjanjian ini
termasuk dalam kontrak baku yaitu suatu kontrak/perjanjian yang bentuk dan isinya
ditentukan oleh salah satu pihak dan pihak yang membuat adalah PT. Telkom,3
Sedangkan pelanggan adalah para pengguna jasa Telekomunikasi yang telah menanda
tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk
berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut
telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.4 Hal ini dimaksudkan untuk membantu
kelancaran dalam pelayanan kepada calon pelanggan baru.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa kontrak baku adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.5 Setiap
bentuk perjanjian harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dan dianggap
sah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata yang bunyinya “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat
syarat:6
1. Kesepakatan dari para pihak. Akibatnya, pihak yang tidak sepakat dengan suatu
kontrak dan (karenanya) tidak menanda tanganinya, tidak terikat oleh kontrak
3
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal 39.
4 Gouzali Saydam, Op.cit, hal 84.
5 Mariam Darus Badrulzaman dalam Tan Kamelo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Fakultas Hukum USU 1979 – 2001, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 14.
6 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, PT. Gramedia
tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu.
2. Kecakapan dari masing-masing pihak. Jadi, suatu pihak dapat terikat oleh suatu
kontrak hanya jika dia cakap untuk mengikatkan dirinya.
3. Suatu hal tertentu. Dalam hal suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan
ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa.
4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal ini isi kontrak tersebut tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Jika unsur-unsur tersebut dipenuhi, para pihak yang membuat kontrak
kemudian juga akan tunduk pada pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya: “Semua
perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.7
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu. Dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat
perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan
bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan dipakai untuk
perjanjian itu dan inilah yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak. Azas
tersebut tetap ada rambu-rambunya yaitu tidak bertentangan dengan Undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum.8
7 Ibid, hal. 17
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata
berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:9
1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun;
2. Bebas mengatur isinya;
3. Bebas mengatur bentuknya.
Seperti telah diuraikan, isi kontrak baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai
pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak
terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan
berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or
leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan
saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.
Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi kontrak baku yang
memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya
syarat-syarat dalam kontrak baku adalah mengenai:10
1. Cara mengakhiri perjanjian;
2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian;
3. Cara penyelesaian sengketa;
4. Klausula eksonerasi.
9
Sihar Roni Sirait, Klausula Baku dalam Kontrak Baku,
http://www.goldencontract.blogspot.com/2008/01/klausula-baku-dalam-kontrak-baku.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2010, pukul 22.50 Waktu Indonesia Bagian Barat.
10
Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat
perhatian utama dalam kontrak baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie
klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan
pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis
perjanjian tersebut.
Perlindungan Hukum bagi konsumen telah diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11 Sebelum muncul UUPK
(Undang-undang Perlindungan Konsumen) yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000, 1(satu) tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-undang perlindungan konsumen.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli
hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai , pemakai produksi
terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diesten).12
11 Shidarta, (Edisi revisi) Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004, hal. 1.
12 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai
terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.
Rumusan-rumusan seperti yang disimpulkan oleh Hondius, menunjukan
sangat beragamnya pengertian tentang konsumen. Untuk itu, dengan mempelajari
perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian
konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi konsumen.13
Konsumen adalah:
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (recht persoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata: ”orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi
pengertian konsumen itu sebatas pada orang perorangan.14 Namun, konsumen
harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata “orang” tidak digunakan. Dalam Undang-undang itu hanya ditemukan kata “pemakai” yang dapat di interpretasikan baik sebagai orang perseorangan maupun badan usaha.
13 Shidarta, Op.Cit, hal. 5-10.
14 Az. Nasution, salah seorang penyusun draf RUU Perlindungan Konsumen, menyatakan
UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen) tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.
2. Pemakai
Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari traksaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privitiy of
contract).
Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana.
3. Barang dan/atau jasa.
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.
4. Yang tersedia dalam masyarakat.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (e) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang makin komplek dewasa ini; syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk, makhluk hidup lain.
6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.
Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang di inginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak
dirancang oleh pihak yang kedudukan lebih kuat.15
Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang memiliki
kedudukan lebih kuat dalam hal ini adalah PT. Telkom, dapat dipastikan bahwa
kontrak tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau
meringankan atau menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu
yang seharusnya menjadi bebannya yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi.
Menurut Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang
dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri
untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang
terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.16
Dengan adanya kontrak berstandar itu dengan sendirinya pihak PT. Telkom
dapat mencantumkan syarat-syarat sesuai dengan kemauannya. Syarat-syarat ini
sering memberatkan pihak pelanggan dalam arti kewajiban yang dipikul oleh
pelanggan lebih berat, jika dibandingkan dengan haknya. Biasanya pihak pelanggan
langsung saja menerima syarat-syarat yang diajukan PT. Telkom sebab mereka sangat
memerlukan jasa telkom tersebut sekalipun terpaksa dan tidak adanya keseimbangan
hak dan kewajiban. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan adanya perselisihan
dikemudian hari, baik yang bersifat teknik (kerusakan) maupun non teknis (pulsa
tinggi) bagi pengguna jasa tetap yang telah terikat kontrak baku dengan PT. Telkom.
Sebelum pelanggan mendapatkan saluran pemasangan baru dari PT. Telkom biasanya
pelanggan diberikan beban untuk pemasangan maupun pembelian tiang, hal inilah
yang sering muncul pada masyarakat sehingga mereka agak keberatan dengan beban
tersebut. Selain itu timbul perselisihan karena pihak PT. Telkom tidak segera
melakukan pemasangan sambungan sampai batas waktunya 14 (empat belas) hari
disamping itu PT. Telkom tidak segera memperbaiki pesawat telepon setelah adanya
pengaduan pelanggan sampai batas waktunya yaitu 17 (tujuh belas) hari, sehingga
kerusakan sambungan telepon atau gangguan telepon yang dapat terjadi mulai dari
penyambungan saluran sampai pada pesawatnya. Adapun penyebabnya ialah karena
kerusakan kabel, pemasangan alat tambahan, pencurian kabel bahkan pulsa tinggi
padahal jarang dipakai. Hal inilah yang seringkali menyebabkan rasa jengkel dan
mengeluh dari pelanggan kepada PT. Telkom.
Sementara dipihak PT. Telkom apabila pelanggan terlambat melakukan
pembayaran, dalam hal ini PT. Telkom melakukan pencabutan secara sepihak tanpa
menunggu keputusan dari hakim. Di lain pihak yaitu PT. Telkom sendiri juga
menghadapi masalah mengenai pemakaian pulsa telepon yang relatif kecil yang akan
mengakibatkan menurunnya pendapatan. Oleh sebab itu, akan diuraikan upaya yang
dilakukan oleh PT. Telkom dalam mengantisipasi serta jalan penyelesaiannya.
Perselisihan antara pelanggan dengan PT. Telkom sehubungan dengan
perjanjian berlangganan telepon itulah yang membuat penulis tertarik sekali untuk
mengetahui, mempelajari, memahami, dan mengupasnya dalam bentuk tesis dengan
judul: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM
DALAM KONTRAK BAKU”.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan
sebagai berikut :
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pelanggan dalam pelaksanaan
perjanjian dengan PT. Telkom?
3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Antara Pelanggan dengan PT. Telkom?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui klausula-klausula yang memberatkan dalam perjanjian dengan
PT. Telkom.
b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pelanggan dalam sengketa yang
berkenaan dengan klausula baku.
c. Untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-haknya apabila haknya
D. Manfaat Penelitian :
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:
1. Secara Teoritis :
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dalam
ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perlindungan konsumen pada
khususnya, terutama mengenai masalah hak-hak konsumen pengguna jasa dengan
adanya klausul baku dalam perjanjian telekomunikasi telepon kabel.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para penegak hukum
dan instansi terkait terutama dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap
pelanggan atau konsumen. Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan
pemikiran tentang hal-hal yang harus diperhatikan para pihak dalam menyelesaikan
kasus antara pelanggan dengan yang dalam hal ini adalah perseroan terbatas PT.
Telkom.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini difokuskan untuk meneliti tentang Perlindungan Hukum Bagi
Pelanggan PT.Telkom Dalam Kontrak Baku. Berdasarkan penelusuran kepustakaan
dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, khususnya di Universitas Sumatera
Utara. Penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT.Telkom Dalam
ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.
Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :
1. Analisis Hukum Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (Sharing Profile) PT. TELKOM
Dengan Pelaku Usaha Warnet Dan Wartel (Studi Pada Kota Medan), Oleh : Ali
Imran, NIM : 067011110, Tahun : 2006, Mahasiswa Program Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.
2. Transaksi Cross Ownership Antara PT. Indosat, Tbk Dan PT. TELKOM, Tbk
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Oleh :
Anton Deven Varma, NIM : 047005049, Tahun : 2004, Mahasiswa Program Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi,17 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
17
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 27. Menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis.19
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perlindungan oleh mekanisme
pasar tanpa intervensi (unregulated-market place) dan perlindungan konsumen
dengan intervensi pemerintah terhadap pasar (government regulated place).20 Hukum
berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan
masyarakat di bidang hukum perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur
dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara
harmonis.21
Teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.22 Segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan.
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.
Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian
hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen dan Undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku
untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam bidang hukum
19 M. Solly Lubis, Op.Cit, hal. 80.
20 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, cet I, Jakarta : Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal 26.
21 Tan Kamelo, Hukum Jaminan fidusia, Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hal 18.
privat (perdata), maupun hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi
negara).23
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan
landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.24 Berdasarkan teori sistem ini, dapat
dirumuskan bahwa sistem hukum perlindungan konsumen adalah kumpulan asas-asas
hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum
perlindungan konsumen itu dibangun. Jadi dengan adanya ikatan asas-asas hukum
tersebut, berarti hukum perlindungan konsumen merupakan suatu sistem hukum.25
Asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari Pancasila,
sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural),
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan
Undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai
tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.26
Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan idiil
(filosifis) hukumnya pada sila kelima yaitu : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya
terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality)
di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian
subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.
23 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 1-2.
24 Lihat lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
Bandung, Alumni, 1986, hal. 14-18.
Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan
untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.27
Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan
hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.28
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak
memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi
menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan
sebagai konsumen disisi lain.
Hukum perlindungan konsumen juga memperoleh landasan konstitusional
(struktural) dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea keempat
(setelah empat kali amandemen), yang menyatakan sebagai berikut :
“….Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …….”
Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi
lahirnya hukum perlindungan konsumen, yaitu, kata “segenap bangsa” dan kata
“melindungi”. Dalam dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada
segenap bangsa tanpa kecuali. Baik laki-laki atau perempuan, orang kaya atau miskin,
orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, pelaku usaha atau
27 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan
Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006, hal.152.
konsumen, semuanya tanpa kecuali wajib memperoleh perlindungan hukum dari
negara.29
Penjabaran hukum perlindungan konsumen dituangkan pula melalui ketetapan
majelis permusyawaratan rakyat (TAP MPR) nomor II/MPR1993, pada BAB IV,
huruf F butir 4a, sebagai asas konsepsional (politis) yaitu :
“…Pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen…..” . (kursif dari penulis).
Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan MPR tentang
kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya)
dan kepentingan konsumen. Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat disebut
dengan istilah pelaku usaha sesuai UUPK) telah ditunjukkan oleh MPR.
Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang,
menggunakan produk atau jasa sebagai bahan baku, bahan tambahan, bahan
penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan produk
atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan atau berdagang itu, adalah
untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersial).
Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu, adalah
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (kepentingan
non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus bermanfaat bagi
29 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media,
kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau
rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan), dan juga membantu
mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.
Perbedaan prisipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan
produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan
sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda
pula.
Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus diperhatikan
adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha
terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka dalam keadaan
bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian dan
keseimbangan diantara keduanya. Pendekatan sistem terhadap pemecahan masalah
perlindungan konsumen akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari
sistem hukum yaitu budaya hukum.30
Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur
yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).
Pada prinsipnya pengaturan perlindungan konsumen secara umum dalam hukum
positif di Indonesia sebelum lahirnya UUPK, terbagi dalam tiga bidang hukum, yaitu
bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara. Perlindungan di bidang
30 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.67, menerjemahkan legal culture, dengan istilah kultur
keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik-menarik kepentingan antar sesama
anggota masyarakat.
Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari
perjanjian atau karena Undang-undang. Dua pengertian ini sangat mempengaruhi
perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan
konsumen di dalamnya.31
Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa
perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati
bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan
wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen
tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam konsepsi perbuatan
melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk menggugat, sepanjang dipenuhi
tiga unsur, yaitu, adanya unsur kesalahan (dilakukan pihak lain/tergugat), ada
kerugian (diderita si penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan
kerugian itu.32
Pasal 1365 juncto Pasal 1366 jo Pasal 1367 KUHPerdata, intisarinya
menyatakan bahwa, tiap perbuatan melanggar hukum, kelalaian atau kurang
hati-hatinya seseorang atau orang lain yang menjadi tanggungannya, yang membawa
kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang tersebut yang karena salahnya atau
kesalahan orang yang menjadi tanggungannya tersebut menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut. Seseorang juga diwajibkan mengganti kerugian kepada
orang lain yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.33
2. Konsepsional
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
disebut dengan operational definition.34 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu
istilah.35
Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk
membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu
pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang
sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi, jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja
yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu
karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.36
Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan
penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain
33 Inti sari yang dirangkum oleh penulis dari pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. 34 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 10.
35 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, Hal. 35.
untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.
Dalam hal ini seolah-olah konsepsi tidak berbeda dari suatu teori, tetapi
perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan
gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan
suatu konsepsi lebih bersifat subjeksif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian
atau penguraian yang akan dirampungkan.37 Oleh karena itu, untuk dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar
dalam rangka menyamakan persepsi atas judul tersebut adalah:
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. PT. Telkom adalah perusahaan perseroan (persero) PT. Telekomunikasi
Indonesia, Tbk, pihak yang berinterkoneksi dengan mitra.
4. Telekomunikasi adalah setiap pemancar, pengiriman, dan atau penerimaan dari
setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.
5. Telepon adalah suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang
disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan pada saat ini telah mencapai ke
seluruh pelosok Indonesia.
6. Pelanggan adalah para pengguna jasa telekomunikasi yang telah menanda tangani
surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk
berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku
tersebut telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.
7. Kontrak baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi oleh konsumen.
G. Metode penelitian
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis38, Karena metode yang digunakan
untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan
yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam
praktek, yang memerlukan evaluasi terhadap substansi peraturan hukum tentang
Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT. Telkom Dalam Kontrak Baku.
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari
38 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 8,
premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini
dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan
kebenaran-kebenaran induk (teoritis).
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif dengan
dilengkapi juga dengan penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan
masalah dengan melihat ketentuan yang ada, dan juga melihat
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom
dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut
dalam prakteknya.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis gunakan adalah PT. Telkom cabang Kota
Banda Aceh.
3. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang
berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan
4. Sumber Data
Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :
1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari :
a. Norma atau kaidah dasar.
b. Peraturan dasar.
c. Peraturan perundang-udangan yang terkait dengan perlindungan konsumen.
d. Kontrak atau perjanjian berlangganan jasa telepon kabel yang memuat
klausula baku.
2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian
ini.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder,
seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta
bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya
yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat
dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau
sebagai data penunjang dari penelitian ini.
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian
lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan,
yang dapat berupa wawancara langsung dengan pimpinan dan staf PT. Telkom, yang
5. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk
kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data sekunder
yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan
sesuai dengan data yang sejenis, dan selanjutnya dilakukan penarikan secara
kualitatif, yang didasarkan pada pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Baru kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode syllogism
yang di dasarkan pada cara induktif yaitu dimana pengambilan kesimpulan dimulai
BAB II
KEDUDUKAN HUKUM PARA PIHAK
DALAM PERJANJIAN DENGAN PT. TELKOM
A. Bentuk Perjanjian Antara Pelanggan dengan PT. Telkom
1. Pengertian Perjanjian
Bab II Buku III KUHPerdata berjudul “perikatan yang lahir dari kontrak atau
perjanjian”. Digunakanya kata “atau” diantara “kontrak” dan “perjanjian”
menunjukkan kepada kita bahwa kata “kontrak” dan “perjanjian” menurut Buku III
BW adalah sama dan cara penyebutannya secara berturut-turut seperti tersebut di atas
memang disengaja dengan tujuan untuk menunjukkan, bahwa pembuat
Undang-undang menganggap kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama.39
Jadi disini kita tidak menafsirkan dalam arti sebagai yang sehari-hari kita
kenal, di mana ada anggapan, bahwa kontrak adalah perjanjian yang berlaku untuk
jangka waktu tertentu. Pembentuk Undang-undang dalam pasal 1313 KUHPerdata
mencoba memberikan suatu definisi mengenai perjanjian (dalam Undang-undang
disebut persetujuan) dengan mengatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.40
39 Hofmann, Het Ned. Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, J.B. Wolters
Groningen, Batavia, 1935. hal. 151.
Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula
terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian
sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di
dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian
juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku
III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III kriterianya dapat dinilai
secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.41
Dari pengertian perjanjian menurut pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut
J. Satrio nampak ada 3 kelemahan yaitu : 42
a. Kata “perbuatan” atau “rechtshandeling” disini mengandung makna yang dalam
skema peristiwa hukum, maka peristiwa hukum yang timbul karena perbuatan/tindakan manusia meliputi baik “tindakan hukum” maupun “tindakan manusia yang lain” (yang bukan tindakan hukum).
b. Kata “dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Setiap orang yang membaca kalimat tersebut akan membayangkan adanya satu orang atau lebih yang terikat kepada satu orang atau lebih lainnya. Jadi kesan yang timbul adalah : di satu pihak ada kewajiban dan dilain pihak ada hak. Yang demikian itu hanya cocok untuk perjanjian yang sepihak, sebab didalam perjanjian yang timbal-balik pada kedua pihak ada baik hak maupun kewajiban.
c. Pengertian perjanjian disitu tidak memperlihatkan adanya konsensus/
sepakat/persetujuan dan tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Istilah perjanjian sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu
overeenkomst dan dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia sendiri ada berbagai
macam pendapat di kalangan para sarjana, menterjemahkan sebagai, kontrak dan ada
41 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti. 2001, hal. 65.
pula yang menterjemahkan sebagai perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman
berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat dalam buku ke III KUHPerdata
tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja. Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada
suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat tertulis, maka
perjanjian ini bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan.43
Sedangkan menurut Purwahid Patrik definisi atau batasan atau juga dapat
disebut rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan pasal 1313 KUHPerdata
kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu banyak mengandung
kelemahan-kelemahan, diantaranya pertama perjanjian tersebut hanya menyangkut perjanjian
sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih” sedangkan
maksud dari perjanjian sebenarnya adalah mengikatkan dirinya terhadap satu
orang/lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya
datang dari satu pihak saja yaitu mengikatkan diri dari kedua belah pihak. Kedua kata
perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/kesepakatan. Dalam pengertian perbuatan
termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan
hukum.44
Karena banyak mengandung kelemahan rumusan perjanjian dalam pasal 1313
KUHPerdata maka muncullah doktrin (pendapat ahli hukum) yang mencoba
melengkapi pengertian perjanjian tersebut. Menurut Doktrin Perjanjian adalah suatu
43 Mariam Darus Badrulzaman.Op.Cit. hal. 18.
perbuatan hukum (rechtshandeling) yang berdasarkan kata sepakat dapat
menimbulkan suatu akibat hukum.
Rutten memberi rumusan perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi
sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau
demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.45
Dalam perkembangannya, pengertian perjanjian tersebut mengalami
perubahan sebagaimana dikemukakan oleh J. Van Dunne, menyebutkan : “Perjanjian
ditafsirkan sebagai suatu hubungan hukum penawaran dari satu pihak dan perbuatan
hukum penerimaan dari pihak lain.”46
Jadi dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian timbul atau
terjadi karena adanya kata sepakat atau persetujuan kedua belah pihak, dan kata
sepakat terjadi karena adanya persesuaian kehendak diantara para pihak. Perjanjian
menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian
itu. Perjanjian dinamakan juga persetujuan dan/atau kontrak karena menyangkut
kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.
a) Asas-asas perjanjian
Hukum perjanjian mengenal asas-asas yang merupakan dasar dalam
pelaksanaan perjanjian. Tujuannya tiada lain untuk menjamin kepastian hukum dan
membatasi dominasi salah satu pihak dalam perjanjian. Asas-asas ini merupakan
pedoman bagi para pihak, antara lain:
(1) Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (contractsvrijheid/partij autonom/freedom of
contract) berhubungan dengan isi dan bentuk perjanjian, yaitu kebebasan menentukan
“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah
satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. Kebebasan berkontrak
ini berlatar belakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam
zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam
zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes,
John Locke dan Rousseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah
revolusi Peranc