• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Tertulis Hambatan Investasi pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembelajaran Tertulis Hambatan Investasi pdf"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

~ 1 ~

Pembelajaran Tertulis:

Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek

Energi Terbarukan di Indonesia

Hotel Pullman, 1 Maret 2016

ditulis oleh Henriette Imelda, Deni Gumilang

© GIZ melalui kerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas dan Otoritas Jasa Keuangan

Pada tanggal 1 Maret 2016, bertempat di Hotel Pullman Jakarta Pusat, Deutsche Gesellchaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, mengadakan Focus Group Discussion dengan judul "Hambatan Investasi dan Pendanaan Proyek Energi Terbarukan di Indonesia". FGD ini menghadirkan empat narasumber: (i) Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR) yang menyampaikan hasil studi dengan judul ͞Mapping barriers, risk mitigation instrument and financing mechanism to enhance investment on renewable energy͟; (ii) Bapak Darwin Trisna Djajawinata, Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); (iii) Bapak Rifki Hasan, Assistant Vice President Danareksa Capital, dan (iv) Bapak Rico Syah Alam, Direktur PT Buana Surya Persada.

FGD ini dibuka oleh Ibu Wahyuningsih Darajati, Direktur Lingkungan Hidup dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Ibu Wahyuningsih Darajati menyampaikan bahwa kebutuhan akan energi di masa yang akan datang, akan meningkat. Pada saat yang bersamaan, pada tahun 2009 yang lalu, Indonesia sudah menyampaikan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26% di tahun 2020, dan pada pertemuan COP 21 UNFCCC di Paris pada bulan Desember 2015, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% di tahun 2030 dengan upaya sendiri. Komitmen ini, akan dituangkan dalam revisi Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011, yang saat ini sedang dalam proses penyelesaian.

Ibu Wahyuningsih Darajati juga menyampaikan pentingnya keterlibatan dan kerja sama para pemangku kepentingan yang ada di dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor energi. Bagaimana pemangku kepentingan yang lain diluar pemerintah bisa berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca, apa yang dibutuhkan oleh pemerintah agar pemangku kepentingan lain dapat berkontribusi secara maksimal.

(2)

~ 2 ~

investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan tersebut diperkirakan USD 110-135 milyar hingga tahun 2025.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan "Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia", yang memiliki sejumlah sasaran strategis, di antaranya adalah meningkatkan supply dan demand pendanaan keuangan berkelanjutan. Salah satu kendala dalam pelaksanaan ini antara lain adalah bagaimana dapat mempertemukan antara pasokan pendanaan dengan kebutuhan pendanaannya.

Terdapat beberapa kendala pembiayaan kegiatan energi terbarukan, diantaranya adalah:

1. Keengganan dari bank dalam menyediakan pendanaan, dikarenakan tingkat keberhasilan yang rendah dan ketidakpercayaan bank terhadap kelayakan proyek.

2. Kapasitas teknis bank yang terbatas untuk mengevaluasi proyek energi terbarukan. Untuk melakukan hal ini, diperlukan adanya divisi-divisi yang melakukan assessment, yang mungkin tidak dimiliki oleh perbankan. Capacity building untuk bank menjadi sangat penting dengan diversifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dikerjakan.

3. Panduan internal bank tidak mendukung pendanaan proyek seperti yang dibutuhkan, khususnya dalam kaitannya dengan proyek-proyek lingkungan/perubahan iklim.

4. Belum adanya insentif yang menarik bagi lembaga keuangan dalam pelaksanaan peningkatan "green portfolio"

5. Tingginya suku bunga bank

Adapun tujuan dari diskusi ini adalah:

Mendalami lebih rinci hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh institusi jasa keuangan yang ada dalam mendukung pendanaan proyek-proyek kegiatan energi terbarukan, serta memahami tantangan yang dihadapi oleh pengembang energi terbarukan untuk berinvestasi dan mendapatkan pendanaan dari institusi jasa keuangan domestik.

Clean Energy Financing in Indonesia : A Mapping

Paparan ini disampaikan oleh Bapak Fabby Tumiwa dari Institute for Essential Services Reform (IESR), terkait dengan temuan dari berbagai literatur yang ada terkait dengan pendanaan energi bersih di Indonesia. Dalam lima tahun terkakhir, studi-studi yang terkait dengan perubahan iklim, energi terbarukan dan efisiensi energi telah banyak dilakukan. Apabila seluruh rekomendasi yang dipaparkan dalam studi tersebut dilaksanakan, maka tantangan-tantangan yang ada terkait dengan pendanaan energi bersih, bisa diatasi.

(3)

~ 3 ~

itu adalah untuk mengamankan pasokan energi, dikarenakan ketika pembahasan tersebut dilakukan, saat itu harga minyak dunia sangat tinggi, sehingga kelangkaan energi tidak bisa dihindari.

Di akhir tahun 2009, banyak pihak berbicara mengenai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Kemudian, muncul Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 79/2014 yang mencantumkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dan 31% di tahun 2050. Demikian pula untuk efisiensi energi, dimana diharapkan terjadi penurunan elastisitas energi dari saat ini 1.6 menjadi di bawah 1 di tahun 2025.

Gambar 1 Diskusi mengenai hambatan investasi dan pendanaan energi terbarukan di Indonesia

Indonesia masih memerlukan energi untuk melistriki daerah-daerah yang terpencil. Kementerian ESDM bahkan mencatat masih ada 1.200 desa di Indonesia yang belum memiliki akses pada listrik. Untuk melistriki desa-desa tersebut, energi terbarukan lah yang seharusnya menjadi motor. Energi terbarukan yang kita miliki sendiri sebenarnya belum optimal pemanfaatannya. Bahkan, jika kita menganalisis sumber daya energi terbarukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih sangat kecil. Saat ini, panas bumi masih dilihat sebagai potensi yang paling besar, dan baru-baru ini ditemukan bahwa matahari dan angin juga memiliki potensi yang sangat besar. Angin, contohnya, berdasarkan wind map terakhir, potensinya sampai 107 GW. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada potensi energi yang belum dioptimalkan.

(4)

~ 4 ~

digarap secara baik. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan pendingin di hotel-hotel di Indonesia. Elastisitas energi Indonesia saat ini adalah 1.6, cukup tinggi bila dibandingkan dengan Singapura 1.1, dan Thailand 1.4. Saat ini, diperlukan investasi sekitar USD 118-135 milyar untuk mencapai komposisi energi terbarukan hingga 23% di tahun 2025. Untuk upaya pencapaian target KEN di bidang efisiensi energi, dibutuhkan sekitar USD 6.1 milyar untuk retrofit.

Seringkali dalam pengembangan energi baru terbarukan, fokus diberikan kepada pendanaannya, dan tidak memperhatikan keekonomian proyek dan juga kondisi politik ekonominya. Ini harus ditanyakan apa memang perencanaannya salah atau memang tidak sesuai dengan kebutuhan investor.

Terdapat tiga elemen pokok untuk hambatan-hambatan finansial yang ada di Indonesia:

1. Pengalaman bank dan non-bank yang masih sedikit, di mana institusi pendanaan di Indonesia hampir tidak memiliki cukup pengalaman untuk menilai suatu proyek;

2. Persepsi terkait dengan resiko dan bagaimana melihat kesempatan. Sering kali resiko dilihat terlalu besar, namun tidak pernah ada upaya yang dilakukan untuk memitigasi resiko-resiko tersebut;

3. Kondisi pendanaan yang tersedia. Permintaan pendanaan seringkali tidak sesuai dengan pasokan pendanaannya.

Sedangkan hambatan-hambatan non-finansial yang ada, adalah:

1. Negosiasi terkait PPA (Power Purchasing Agreement), FiT (Feed in Tariff) dan PLN;

2. Kapasitas pengembang untuk mengembangkan proyek yang bagus juga minim, misalnya bagaimana mencari EPC (Engineering, Procurement, Construction) yang tepat untuk solar di Indonesia.

Bagaimana dengan pengalaman bank? Dari 87 bank yang di-survey di tahun 2014, 25% dari bank tersebut menyalurkan pendanaan untuk energi terbarukan. Sebagian besar maturity-nya memang lebih dari empat tahun; jadi, hanya 25%. Mungkin 25-30%, jadi mungkin kurang dari 20% yang punya pengalaman untuk mendanai energi terbarukan.

Dari asuransi, hanya empat asuransi yang menawarkan produk yang terkait dengan proyek energi terbarukan. Tapi yang menawarkan asuransi proyek hanya dua dari 22, yang satu panas bumi dan hidro, sementara yang satu lainnya hanya hidro. Berdasarkan fakta ini, memang harus diakui bahwa Indonesia belum memiliki pengalaman dalam memanfaatkan instrumen pendanaan. Hasil survey tersebut juga menyatakan bahwa belum pernah ada bank yang berpengalaman di dalam melakukan project finance.

(5)

~ 5 ~

Akibat tidak adanya pengetahuan detail terkait energi, sumber daya manusia di dalam bank sangat terbatas untuk bisa meninjau studi-studi teknis, seperti feasibility study, kebutuhan untuk melakukan construction work dan keistimewaan dari masing-masing teknologi terbarukan: angin, matahari, biomassa (sampah, dll). Berbicara mengenai jenis teknologi sampah saja, contohnya, ada berbagai macam, ada anaerobic digestion atau zero waste. Demikian halnya jika kita berbicara mengenai incinerator, yang juga memiliki jenis yang beragam. Mulai dari yang paling bawah kualitasnya sampai ke yang paling tinggi. Bank tidak terlalu memahami perihal ini. Ini memang salah satu kelemahan dari bank-bank di Indonesia yang memang tidak memiliki pengetahuan dan kapasitas di dalam institusinya.

Bisa dibayangkan jika pihak bank menerima proposal. Tanpa pengetahuan, kemudian diputuskan untuk mempekerjakan konsultan. Namun, karena keterbatasan pengetahuan, bahkan tipe konsultan yang dibutuhkan pun, tidak dapat diputuskan. Berdasarkan hasil studi yang ada, dari empat feasibility study, hanya satu yang memuaskan, sisanya tidak memuaskan. Hal ini menyatakan bahwa, pemilihan konsultan pun akan menjadi sulit tanpa adanya pengetahuan dan jaringan.

Karena pendanaan energi bersih dilihat sebagai investasi yang beresiko, termasuk energi terbarukan dan energi efisiensi dan yang lain-lain, investment grid audit; oleh karena itu, bank pada umumnya akan meminta dokumentasi yang kompleks. Dokumentasi yang harus diajukan sangat banyak, sampai bank tersebut diyakinkan dengan proposal yang diajukan. Bagi project developer dengan kemampuan finansial yang terbatas, ketentuan dokumen yang banyak ini menyulitkan dan mahal bagi mereka. Sehingga, tidak semua project developer bisa memenuhi persyaratan yang dimintakan oleh bank. Padahal kriteria yang digunakan oleh bank untuk menilai project developer dilakukan melalui 5C1. Jika dokumentasi yang dimintakan oleh bank tidak dapat dipenuhi oleh project developer, maka project developer ini akan mendapatkan penilaian yang tidak baik terkait dengan condition dan character, walaupun mungkin, project developer tersebut memiliki capital, collateral, dan condition.

Hal lainnya yang juga berpengaruh adalah pengalaman negatif (negative experience) dari bank terhadap proyek-proyek energi terbarukan. Boleh dikatakan bahwa selama lima tahun terakhir banyak proyek-proyek yang macet.

Ada juga hal yang terkait dengan kepercayaan, yang diakibatkan oleh ketidakjelasan kebijakan. Misalnya penetapan Feed in Tariff (FiT). Jika dilihat dari tahun 2012-2015, ada FiT yang di-revisi sampai tiga kali, seperti untuk biomassa atau biogas. Demikian pula halnya untuk panas bumi, FiT-nya dari tahun 2009 sudah berganti. Ketidakjelasan ini membuat keraguan di pihak investor. Apalagi, pada umumnya jika FiT berubah, harga jual listriknya lebih tinggi. Jadi, investor memutuskan untuk menunggu. Inilah yang terjadi di hidro.

Hal lainnya yang menjadi hambatan adalah lack of adequate financial instrument, di mana kebutuhan pendanaan dan pendanaan yang tersedia tidak sesuai. Contohnya adalah hutang. Sebagian besar hutang akan mature pada 5-7 tahun, padahal maturity project untuk energi terbarukan pada umumnya sekitar 15-25 tahun. Proyek seperti ini mungkin baru balik modal setelah 10 tahun, namun, bank meminta dalam waktu lima tahun, hutang sudah dibayar. Ketidaksesuaian inilah yang seringkali

(6)

~ 6 ~

merugikan. Grace period yang ditetapkan adalah dua tahun. Padahal dalam waktu dua tahun itu, seringkali tidak cukup hanya untuk persiapan saja. Kerangka yang digunakan oleh bank seringkali tidak sama dan bunganya juga tinggi. Ketentuan kolateral yang diberlakukan sekitar 120%-150% dari total, di mana ini tidak favorable untuk energi terbarukan, apalagi untuk energi terbarukan dengan skala 1-10 MW.

Indonesia juga tidak memiliki skema project finance, demikian pula mezzanine finance. Hanya PT SMI yang memiliki produk mezzanine finance. Bank di Indonesia juga sangat jarang yang memiliki mezzanine finance. Untuk equity, dalam memenuhi 30% dari ketentuan equity, hal tersebut sangat sulit. Ketentuan dalam daftar negatif investasi juga memberikan kendala tersendiri. Jika dalam daftar negatif investasi maksimal 140%, maka investor asing akan reluctant, karena kepemilikan mereka itu dibatasi hingga 49% aja, sehingga mereka tidak menguasai. Ada lagi aturan terkait dengan deposit, di mana 5% dari biaya modal dibuat deposit. Ini membuat negative liquiditas. Untuk PLN dengan 35 GW-nya, deposit yang diberlakukan bukan hanya 5% melainkan 10%.

Indonesia juga tidak memiliki risk mitigation instrument. Pada umumnya bank tidak mau mengambil construction risk, sehingga construction risk diberikan kepada EPC. Jika EPC yang melakukan hal ini tidak berpengalaman, maka hal ini akan berbahaya. Sementara de-risking instrument yang ada di pasar itu hampir-hampir tidak tersedia, hanya dua dari 22, dan itu pun pengalamannya dari tiga proyek.

Masih banyak juga yang lainnya, seperti FiT, difficult collaboration between IPP dan PLN (tidak ada trust). Untuk mengatasi masalah-masalah ini sebenarnya bisa dilihat beberapa pilihan kebijakan, dan ini seharusnya menjadi tanggung jawab dari beberapa pihak. OJK, misalnya yang terkait dengan kolateral dan peraturan perbankan. Kemudian suku bunga yang tinggi, dengan kisaran 13-14%. Intinya adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah ini, tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, harus ada kolaborasi dari pemangku kepentingan lainnya.

Peran dari pendanaan publik sebenarnya sangat penting, namun, hingga kini belum dijajaki. Misalnya, jika pengurangan resiko mau dilakukan secara serius, untuk mobilisasi dana APBN yang terbatas, dapat dioptimalkan melalui resource mapping. Hal ini dapat dilakukan misalnya sampai per kecamatan atau bahkan per desa, seperti berapa kecepatan angin di suatu daerah, atau berapa radiasi panas matahari yang ada di situ, atau berapa besar debit air. Apabila ini sudah disiapkan, tahapan berikutnya adalah klarifikasi, sehingga kalau investor datang, akan jadi lebih mudah. Ini yang dilakukan oleh PLN di tahun 1980-an, dengan pendanaan Bank Dunia. Project-project yang saat ini sudah ada, sebenarnya berasal dari resource mapping tersebut. Resource mapping sudah ada dari tahun 1980-an, yang kemudian datanya beredar kemana-mana, dan dipakai oleh investor.

(7)

~ 7 ~

2. Pengalaman PT SMI di dalam pendanaan energi bersih

PT SMI merupakan institusi pendanaan di Indonesia yang menerapkan project finance dan no-recourse2, atau lebih tepatnya limited recourse. Hal ini dikarenakan dalam menerapkan hal-hal ini masih banyak tantangannya. Limited recourse dilakukan, supaya dapat melihat bagaimana pembiayaan itu bisa langsung ke project sponsor-nya atau langsung ke project owner. Walau demikian, masih tetap berharap bahwa project sponsor tetap memberikan dukungan pada project-nya, mana kala ada ketidakmampuan membayar project.

PT SMI sendiri berdiri sebagai institusi non-bank, atau, menggunakan nomenklatur yang ada di bawah OJK, Institusi Keuangan Non-bank (IKNB). Itu sebabnya, PT SMI diberikan fleksibilitas, walaupun tetap diawasi, termasuk dalam multi-finance. Pembiayaan inti dari PT SMI adalah yang terkait dengan pendanaan dan investasi. Tapi karena status PT SMI termasuk dalam IKNB, maka status mereka adalah seperti kegiatan lainnya, advisory maupun employed. Untuk proyek-proyek yang masih mengalami masalah dalam dokumentasi yang menjadi requirement dari sisi kredit pembiayaan investasi, biasanya akan diberikan investasi di sisi proyek.

Portfolio PT SMI masih banyak bergerak di mini-hydro. Berdasarkan pengalaman dari PT SMI, memang ada kesulitan pada saat melakukan limited recourse, terutama dari keluaran listrik yang bisa dibeli. Untuk kegiatan-kegiatan energi terbarukan lainnya, seperti angin, matahari, juga sedang dijajaki. Saat ini, status PT SMI masih sebagai project advisory. PT SMI melapor kepada Kementerian Keuangan, dan karena tidak melaporkan ke BUMN, maka bentuk badan PT SMI adalah Persero. PT SMI memiliki tujuan untuk memiliki proyek energi terbarukan, dan memiliki project sponsor yang kuat dengan menggunakan equity, memiliki cashflow project yang cukup stabil, sebagai bagian dari enabling environment. Itu sebabnya, PT SMI berharap untuk bisa mewujudkan enam poin yang terdapat di presentasi (Lihat Gambar 2).

PT SMI menyebutkan bahwa untuk peningkatan kapasitas, PT SMI mendapatkan bantuan dari program USAID ICED untuk melakukan review dan peningkatan kapasitas, dimulai dari 0.5 MW untuk mini hydro yang didanai oleh PT SMI. Saat ini, portfolio PT SMI untuk mini-hydro sudah cukup banyak.

Proposal dari project developer nanti masuk, kemudian akan ditinjau, dicek kelengkapan dokumennya, feasibility study, tinjauan teknis, tinjauan segi legal, akan dilakukan di tahap awal oleh bagian kredit. Bagian kredit kemudian akan mengajukan ke bagian risk committee dan risk management. Walaupun PT SMI selalu berusaha untuk mengedepankan energi terbarukan, namun, bagian manajemen resiko selalu melihat perbedaan. Ini adalah contoh dari bagaimana teman-teman risk management melihat suatu proyek energi, khususnya mini-hydro. Biasanya, bagian resiko di PT SMI akan memberikan

2 A non-recourse debt is a type of loan that is secured by collateral, which is usually property. If the borrower

(8)

~ 8 ~

(9)
(10)

~ 10 ~ Gambar 3 Studi kasus PT SMI tentang pendanaan mini hydro power plant

Untuk kasus pendanaan mini-hydro, bagian resiko di PT SMI menilai bahwa, PLN memberikan resiko yang sangat rendah. Hal ini dapat dimaklumi, karena PLN adalah proven offtaker, supported by the Government, dan sebagainya. Aspek-aspek inilah yang memberikan penilaian yang cukup baik. Pada bagian sponsor, seringkali sponsor yang dihadapi adalah mereka yang bisa beralih dari bisnis yang non-investment ke non-investment.

Untuk technology adviser, jika masuk ke dalam bisnis tersebut, bisnis utamanya lebih ke mechanical engineering. Ketika masuk dalam bisnis mini-hydro, karena kebanyakan pekerjaan mini-hydro itu banyak di civil works, maka harus juga berhadapan dengan faktor kestabilan tanah. Jika pada saat mau dibangun dan dioperasikan, tanahnya longsor, maka COD (Cash On Delivery) yang diharapkan berjalan pada waktu tersebut harus tertunda selama satu tahun. Oleh karenanya, akan terjadi perencanaan ulang, dan harus dilakukan structuring.

Untuk hal seperti ini, jika investasi asing masuk, maka hal tersebut akan sangat menolong PT SMI karena mereka punya pengetahuannya. Sebenarnya tidak ada salahnya juga untuk Indonesia, karena pengetahuan yang dimiliki oleh investor asing akan diberikan kepada kita. Proyek kedua bisa dilakukan sendiri. Dari sisi operator misalnya, mereka dapat melihat bagaimana mereka mengelola portfolio dari proyek yang mereka tangani.

Terkait dengan EPC sebagai kontraktor, hanya beberapa nama yang mungkin bisa dibilang boleh masuk dalam rating yang lebih memadai. Salah satu pengalaman PT SMI adalah proyek angin, yang juga menarik. Posisinya, PT SMI dengan UNDP, bersamaan mencari investor. Ketika mencari investor, kembali lagi kekhawatiran mengenai kepemilikan sebesar 49% muncul. Walau demikian, dari sisi pendanaan, hal ini sangat reliable.

Hal spesifik lainnya yang terkait dengan energi terbarukan adalah dari sisi green liability. Jadi, untuk proyek-proyek seperti solar PV, wind, fluktuasinya cukup besar dari sisi sistem. Ketika grid di Indonesia masih berada dalam konteks yang cukup tertinggal, kesulitan akan muncul di sisi PLN.

Masalah lain yang dihadapi adalah terkait dengan feasibility study. Pengalaman PT SMI, ada satu proyek minihydro PT SMI di Solok Sumatera Barat, di mana sudah ada kesepakatan dengan pengembang bahwa listrik yang akan dihasilkan sebesar 8 MW. Namun, pihak manajemen PLN menyampaikan bahwa permintaannya sebenarnya tidak demikian. Maka permintaan yang tadinya dilempar ke satu titik, sementara ada permintaan yang cukup potensial, dan mungkin bisa di-unlock untuk memenuhi kebutuhan di tempat tersebut, sampai akhirnya tidak bisa memenuhi permintaan yang ada di sana.

(11)

~ 11 ~

lebih lanjut dengan lembaga-lembaga donor, ICCTF, mungkin juga dengan lembaga-lembaga multilateral, dengan memberikan grant to loan, mungkin dapat menyelesaikan masalah kesenjangan ini.

Walau demikian, mekanisme grant to loan akan menyebabkan accounting-nya menjadi sulit. Lebih baik memberlakukan pinjaman lunak berjangka panjang. Peran SMI sendiri adalah sebagai pemasok dari produk-produk tersebut. Namun, karena sifatnya persero, maka ruangnya masih terbatas. Perihal pricing juga, membuat PT SMI harus menerbitkan surat hutang, karena sumber pendanaan yang dimiliki. PMN saat ini sedang sulit, sehingga PT SMI harus menerbitkan surat hutang atau dari lembaga-lembaga donor lain, di pasar. Inilah proses yang sedang dijalani.

PT SMI mendapatkan bantuan dari AfD sebesar USD 100 juta, dan juga sebuah fasilitas di mana jika terjadi kegagalan proyek, maka fasilitas itu dapat digunakan sebagai pintu dan masuk sebagai equity. Fasilitas ini disebut dengan Kuasa Equity Facility. Model-model seperti ini bisa digunakan untuk lembaga-lembaga donor, dalam membantu lembaga-lembaga-lembaga-lembaga perbankan yang jauh lebih konservatif daripada PT SMI.

Terkait dengan proses pengajuan dokumentasi untuk kredit, jika berbicara mengenai limited recourse, karena yang akan menjadi basic lending-nya adalah project asset, maka dokumen yang diperlukan akan sangat banyak. Namun, untuk mempermudah project developer, SMI akan mengeluarkan template-template yang bisa membantu project developer. Ini memang hal-hal yang memang harus dilakukan dalam jangka waktu dekat.

3. Pembelajaran dari Danareksa Capital

Sama seperti PT SMI, Danareksa Capital merupakan anak perusahaan dari Danareksa Persero, yang merupakan BUMN yang saat ini sudah menjadi holding company di bawah pengaturan OJK dalam institusi pendanaan nonbank. Fungsi Danareksa Capital sendiri, bergerak di bidang private equity dan investment serta financial advisory. Danareksa persero didirikan pada tahun 1976, sementara Danareksa Capital berdiri di tahun 2010. Walau demikian, Danareksa Capital sudah masuk ke dalam beberapa investasi baik secara equity, project financing, risk financing maupun triangular financing.

Seperti layaknya perusahaan untuk private equity, posisi Danareksa Capital memang berbeda dengan PT SMI, di mana Danareksa Capital hanya menjembatani saja, dan tidak memegang long-term debt untuk financing.

(12)

~ 12 ~

oleh Danareksa Capital adalah menganalisa, melakukan due dilligence, mencoba untuk menggandeng technical consultant, yang kemudian memasuki pendanaan tersebut hanya tiga minggu sebelum COD. Sebagai bagian dari exit strategy, Danareksa Capital sudah memiliki bank yang akan membiayai atau take over pendanaannya. Jadi fungsi Danareksa Capital sebenarnya adalah untuk menjembatani ketika bank tidak mau mengambil construction risk, dan Danareksa Capital mengambil resiko dari sisi pembiayaan. Namun, semuanya kembali lagi ke investor.

Untuk masuk ke project, keputusan akan kembali kepada investor. Sebagai sebuah private equity, Danareksa Capital juga memiliki investor yang mengharapkan return dari bank maupun bunga di pasar modal. Termin tenor yang diberlakukan juga tidak panjang; hanya sekitar 1.5-2 tahun, maksimum. Itu untuk proyek PLTMH. Selama mengerjakan proyek PLTMH, Danareksa Capital menghadapi beberapa kendala bahkan ketika technical consultant sudah digandeng. Kendala yang dihadapi terkait dengan proyek ini adalah di construction risk. Misalnya, sempat ada resiko konstruksi seperti adanya longsor. Longsor ini akan menunda commissioning dan juga COD. Dalam hal seperti ini, pada umumnya akan diperlukan semacam equity injection, melalui BUMD terkait misalnya. Misalnya satu proyek di mana BUMD Jabar menjadi back up dari proyek. Peran yang akan dimainkan oleh BUMD tersebut adalah setiap ada equity injection, mitigation risk yang diberlakukan adalah asuransi. Asuransi yang pernah digunakan adalah Jasindo.

Pada proyek tersebut, lack of experience baik dari project developer maupun juga dari EPC sebagai kontraktor, tapi dalam pelaksanaan proyek sangat dimungkinkan untuk terjadi dispute antara project owner dan EPC. Walaupun EPC yang digunakan adalah EPC BUMN yang sudah berpengalaman. Bagi institusi pendanaan seperti Danareksa Capital, tantangan di aspek finansial menjadi salah satu risk concern dari institusi pendanaan. Hal ini disebabkan karena jika terjadi dispute antara EPC dan project owner, otomatis pengembalian pendanaan juga akan terlambat. Itu terjadi di proyek minihydro.

Kedua, pembelajaran dari proses untuk mendanai proyek PLTS dengan size 1 MW3. Berdasarkan penilaian Danareksa Capital, energi terbarukan berbasis surya memang masih baru di Indonesia, walaupun potensinya cukup besar. Proyek ini juga merupakan proyek on-grid yang ditempatkan di wilayah timur Indonesia, di mana dibangun untuk mengurangi kebutuhan solar; jadi lebih ke arah energi efisiensi.

Memang kalau dilihat di NTT itu banyak nelayan yang di siang hari malah ada di rumah, menyalakan TV, kulkas, listriknya dipasok dari tenaga surya ini. Kompleksitasnya dibandingkan dengan minihydro, memang surya lebih sederhana, karena yang dipegang bukan konstruksi listrik, tapi lebih ke energy design system.

Danareksa Capital juga menggandeng technical consultant dari Jerman untuk melakukan assessment. Setelah melakukan pertemuan dengan final producer-nya, termasuk untuk inverter, yang dinilai dapat memitigasi resiko-resiko yang ada, maka Danareksa Capital kemudian memutuskan untuk mendanai proyek tersebut. Dana yang dikeluarkan sekitar 70-80% dari total project cost, namun, Danareksa Capital juga meminta back-up dari holding-nya/project sponsor. Selain mengikat asset-asset

3 Danareksa Capital dalam forum diskusi ini menyatakan bahwa untuk pendanaan PLTS dengan kapasitas yang

(13)

~ 13 ~

tersebut, mekanisme asset equity facility juga ditetapkan, di mana Danareksa Capital memiliki hak atas kepemilikan saham. Apabila terjadi kegagalan project, maka Danareksa Capital berhak untuk mengambil saham proyek yang adalah 51%. Untuk berikutnya, Danareksa Capital menyatakan ketertarikannya untuk masuk dari sisi equity. Tapi karena ini salah satu teknologi yang relatif baru di Indonesia, Danareksa Capital memutuskan untuk masuk ke project financing terlebih dahuulu. Hambatan juga terkait dengan FiT dan regulasi.

Kalau dari sisi source of funding, OJK sempat menempatkan Danareksa Capital pada posisi membolehkan Danareksa Capital untuk mengelola dana ventura. Potensi dari dana ventura ini adalah bisa menarik dana pensiun atau asuransi, untuk masuk ke dalam proyek-proyek energi terbarukan. Dana ventura ini tidak masuk dalam pendanaan, hanya boleh untuk equity, pembiayaan. Namun, dari sisi investor Danareksa Capital, ketentuan ini sedikit bertentangan, karena para investor cenderung untuk masuk sebagai pendanaan, bukan equity. Terkait dengan hal ini, Danareksa Capital memberikan masukan kepada OJK untuk merevisi bagian terkait dengan IKNB.

4. PT Buana Energy Surya Persada

PT Buana Energy Surya Persada adalah sebuah perusahaan yang memiliki fokus pada pembangkit listrik berbasiskan energi terbarukan. Saat ini masih mengerjakan hal terkait dengan PLTS, namun ke depannya berminat untuk masuk ke minihydro dan biomass.

Menurut analisis dari PT Buana Energy Surya Persada, saat ini terdapat tiga sumber energi terbarukan yang memiliki potensi yang besar: surya, mini-hydro, dan biomassa. Dibandingkan ketiga sumber tersebut, yang memiliki resiko paling rendah adalah surya. Terdapat empat komponen utama dalam pengembangan energi surya: solar module (yang berfungsi untuk mengubah cahaya menjadi listrik), inverter yang memiliki fungsi untuk mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik, molding system yang berfungsi sebagai dudukan solar module, storage dan distribution system.

Berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh PT Buana Energy Surya Persada, dinyatakan bahwa garansi yang ditawarkan oleh manufaktur maupun kontraktor EPC, memberikan status aman bagi PT Buana Energy Surya Persada. Kontrak yang dibuat dengan PLN adalah selama 20 tahun, sedangkan produknya sendiri bisa digaransi dari 10-25 tahun, sedangkan keseluruhan sistem energi terbarukan akan digaransi minimal lima tahun.

(14)

~ 14 ~

solusi, mungkin saat ini yang dilihat adalah harga minyak murah, namun sebenarnya bukan hal itu yang terjadi. Harga juga menjadi pertimbangan, dan yang kedua masalah availability/ketersediaan.

Terkait dengan masalah ketersediaan. Mungkin saat ini harga solar murah, namun ketersediaan solar di tempat tersebut tidak terjamin. Bahkan pada saat melakukan sosialisasi pada masyarakat setempat, masyarakat menyatakan bahwa frekuensi listrik tersedia jauh lebih sedikit daripada frekuensi listrik tidak tersedia. Hal ini artinya adalah tidak tersedianya listrik merupakan suatu hal yang biasa. Ini menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri, bagaimana caranya mengembangkan suatu daerah apabila infrastruktur energi tidak tersedia? Tanpa infrastruktur energi, pembangunan pun tidak akan terjadi.

Strategi bekerja dari PT Buana Energy Surya Persada adalah setelah mendapatkan kontrak Power Purchase Agreement (PPA) dengan PLN selama 20 tahun, EPC dan financial institution (baik yang perbankan maupun yang non-perbankan) kemudian digandeng untuk bekerja sama. Dalam pengelolaan PLTS, listrik yang dihasilkan akan dibayarkan oleh PLN, kemudian uangnya itu akan dibayarkan untuk institusi pendanaan itu sendiri, financial debt institution. Penekanan yang diberikan oleh PT Buana Energy Surya Persada di sini adalah, ketika ada kontrak dari PLN, atau setelah membangun pembangkit listrik berbasiskan energi terbarukan, engagement dengan institusi pendanaan menjadi cukup penting. Hal ini disebabkan karena, tanpa dukungan pendanaan dari proyek itu sendiri, maka proyek tidak akan dapat berlangsung.

Dalam pencapaian financial close, PT Buana Energy Surya Persada memberikan pembelajarannya. Apa yang dihadapi adalah, ketika tender dimenangkan pada bulan Maret tahun 2013, penandatanganan PPA baru dilakukan pada tanggal 20 Agustus tahun yang lalu. Itu artinya, diperlukan waktu lebih dari satu tahun untuk persiapan dokumentasinya. Permasalahan yang dihadapi adalah, setelah memenangkan tender, pemenang tender harus memberikan dana sebesar 20% dari CAPEX. Itu artinya ada dana dari pengembang yang terendap selama lebih dari satu tahun. Saat ini institusi pendanaan masih memperlakukan resiko dari energi terbarukan, sama untuk seluruh teknologi. Padahal seharusnya ada perbedaan perlakuan terhadap masing-masing teknologi.

Saat ini, dalam setiap pembahasan mengenai pembiayaan teknologi energi terbarukan, yang diundang barulah divisi bisnis; ada baiknya, divisi resiko juga mengetahui tentang pemaparan ini secara langsung. Pada umumnya, sisi manajemen resiko hanya mendapatkan informasi dari data tertulis. Itu sebabnya, disarankan pemerintah melalui OJK, bisa memberikan sosialisasi kepada perbankan untuk semua divisi, bukan hanya divisi bisnis, tapi juga divisi manajemen resiko.

(15)

~ 15 ~

pendanaan. Kalau perubahan terjadi terus menerus, akan membuat pengembang menjadi tidak tertarik untuk mengerjakan proyek. Di sinilah peran pemerintah sebagai regulator dijalankan, untuk menyusun regulasi.

Gambar 4 Diskusi mengenai hambatan dan investasi energi terbarukan di Indonesia

5. Diskusi

Dalam diskusi, beberapa isu muncul terkait dengan paparan yang diberikan:

A. Sinkronisasi antar kebijakan

Pemerintah saat ini sudah punya banyak kebijakan, tapi, masalahnya adalah kebijakan tersebut tidak terhubung dengan yang dimiliki oleh OJK. Saat ini, misalnya, PTPN IV sedang membangun pembangkit listrik dengan menggunakan energi terbarukan. Tahun ini akan dibangun dengan kapasitas 2 MW, dan 1 PLTMH 4 MW. PTPN IV juga akan membuat green-diesel, dengan tingkatan lebih advance dari bio-diesel. Masalahnya kembali ke tarif. Tarif yang ditentukan oleh ESDM sudah cukup baik. Namun, ketika sudah ke PLN, seringkali tidak semulus dengan apa yang ada di PerMen, yang sudah jelas, seakan-akan bisa langsung jual. Hal ini sepertinya harus dibenahi.

Terkait dengan perbankan, PTPN IV menyatakan bahwa sampai dengan saat ini belum ada hambatan terkait dengan perbankan. Masalah justru muncul di sisi off-taker-nya.

B. Perijinan di tingkat pemerintah daerah

(16)

~ 16 ~

PT SMI menyatakan bahwa dalam hal ini, diperlukan adanya semacam template atau standar. Terkait dengan perizinan, memang sangat penting untuk mengikutsertakan pemerintah. Misalnya izin pinjam-pakai, mengurusnya cukup menyita waktu dari sisi pengembang. Proses penyiapan proyek sebenarnya bisa dibantu oleh Pemerintah, ketika izin semua diperoleh, indikatif PPA-nya sudah ada, baru kemudian dilelang. Hal tersebut sepertinya lebih menarik.

Beberapa hambatan yang juga diidentifikasi oleh Bappenas dalam hal ini adalah terkait masalah regulasi, seperti izin, regulasi untuk hutan, serta permasalahan proses izin yang sangat panjang.

C. Pendanaan clean energy

Bappenas menyatakan bahwa clean energy adalah produk yang mewah dan mahal, terutama untuk Indonesia. Sisi yang lain, Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Indonesia punya potensi untuk menjadi produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia. Namun kebijakan ini tidak ada, contohnya, untuk memproduksi green-diesel, kita perlu biaya konversi USD 160/ton. Apa yang dilakukan oleh ESDM adalah menyediakan USD 125/ton, karena mengacu pada minyak bumi. Padahal, harusnya Indonesia sudah meninggalkan paradigma minyak bumi dan harus mulai masuk dengan paradigma bahan bakar nabati. Itu lah yang seharusnya menjadi referensi. Referensi yang digunakan jangan lagi menggunakan MOPS singapura, misalnya, melainkan menggunakan harga biodiesel-nya Indonesia, misalnya untuk harga BBN.

Terkait dengan biaya ini, siapa yang akan membayarkan selisihnya; apakah Pertamina, PLN, atau pihak pengembang? Pihak pengembang kemungkinan besar tidak akan mau melakukannya. Sedangkan Pertamina dan PLN juga tidak boleh melakukan hal tersebut, sesuai dengan UU PT. Pertanyaannya kemudian adalah apakah subsidi akan ada? Ini musti dibereskan, agar Indonesia menjadi negara yang ramah lingkungan, di mana semua energinya berasal dari energi terbarukan. Apakah mungkin ada kesepakatan baik dari Bappenas maupun keuangan, untuk memberikan special rate guna mengembangkan proyek-proyek ini. Jika menggunakan rate 15%, bisa dipastikan ini tidak menjadi menarik. Karena dari Bank Mandiri saja, suku bunga yang diberikan adalah 9%. Jadi, di mana istimewanya pendanaan energi terbarukan ini?

Peserta dari Gikoko menyebutkan bahwa solusi yang mungkin untuk diberlakukan adalah subsidi dari kementerian langsung diberikan kepada proyek.

PT SMI menyatakan bahwa saat ini telah didirikan sebuah unit khusus di dalam PT SMI sendiri; yaitu unit pendanaan untuk energi terbarukan. Di dalam unit tersebut, telah disiapkan anggaran terkait dengan penyusunan dokumen dan lain-lain. Walau demikian, PT SMI menyatakan bahwa mereka tidak dapat bergerak sendiri, dan memerlukan dukungan dari pihak lain seperti OJK, ESDM, Bappenas, dan juga profesional.

D. Pembentukan taskforce

(17)

~ 17 ~

stimulus terkait dengan kebijakan ini. Stimulus ini diperlukan, terutama karena memang dari sisi bisnis bank, saat ini energi terbarukan masih masuk dalam kategori 'high risk'. Jika hal ini ingin diatasi, peningkatan kapasitas,perlu dijembatani regulasi dengan stimulus ataupun relaksasi supaya bank bisa masuk secara bertahap. Kalau melihat ke belakang, UMKM pun awalnya juga dibuat gradual, tahun 2015 bunganya 15%, di tahun 2016 jadi 10%.

Menurut OJK, sebenarnya bobot permasalahan itu lebih banyak di sektor real, sehingga harusnya yang lead adalah kementerian terkait dan OJK akan menyesuaikan. Salah satu yang saat ini difokuskan adalah dari sisi pendanaannya, tentang bagaimana OJK mendorong perbankan untuk semakin terbiasa dengan project based financing. Masalah dari pembiayaan yang ada adalah rata-rata project owner-nya itu adalah pengusaha menengah dengan modal sangat terbatas.

E. Pembentukan sindikasi

Usulan lain adalah terkait dengan pembentukan sindikasi, dimana ada pertukaran pengetahuan dan energi yang ada. Danareksa Capital menyatakan perlunya sindikasi, dan hal tersebut yang dilakukan terkait dengan beberapa proyek, terutama yang terkait dengan equity dan project financing, di mana harus ada exit strategy. Misalnya untuk proyek-proyek ini, yang dari awal sudah mengikutsertakan bank dan telah dilakukan penyesuaikan terms.

PT SMI juga menyatakan kesiapannya terkait dengan pembentukan sindikasi. PT SMI sendiri menyatakan bahwa PT SMI tidak mengambil seluruh pembiayaan energi terbarukan, melainkan menjadi katalisator.

F. Kolaborasi antar pihak

Mengambil contoh untuk pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 23% dari total energi di Indonesia. Berbicara mengenai energi terbarukan, sebenarnya komposisi terbesar didominasi oleh big hydro power dan juga panas bumi, yang investasinya luar biasa besar. Seringkali, dana yang diperlukan di luar kemampuan. Sedangkan untuk yang skala kecil sebenarnya terletak di wilayah Indonesia Timur. Namun, yang jadi pertimbangan dengan pembangunan sistem energi di wilayah tersebut adalah: (i). single buyer, PLN; (ii). kecil-kecil, kemungkinan grid system-nya adalah island mode, jadi tidak masuk dengan grid-nya PLN. ; (iii). Ukurannya kecil dan tersebar, yang merupakan tantangan bagi para pengembang, terutama pengembang lokal, bukan Jakarta.

Sebetulnya energi terbarukan bisa menjadi engine of growth kalau berbicara mengenai REBID (renewable energy based industrial development, ukurannya besar, dan itu sangat mungkin untuk dibangun di daerah timur dengan tambang yang memerlukan smeltering plant, dan lain-lain) dan REBED (Renewable Energy based Economy Development), apalagi jika dikembangkan di Indonesia Timur.

(18)

~ 18 ~

reputasi yang baik. Kolaborasi inilah yang diperlukan untuk dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% dari total energi di Indonesia.

G. Harga dan pricing policy

Pricing policy menjadi penting dalam hal ini, karena jika tidak, maka masalah pengembangan energi terbarukan di Indonesia tidak akan pernah selesai. Menurut Fabby Tumiwa, referensi harga yang digunakan harus ditinjau ulang. Apakah menggunakan harga CPO ekspor sebagai basis, atau menggunakan model cost-plus, yang menggambarkan biaya yang diperlukan untuk menghasilkan CPO dan biodiesel dibandingkan dengan menggunakan harga market. Pricing policy memang penting, tapi bagaimana formulanya, itu yang perlu ditetapkan. Jika menghitung dana CPO fund, misalnya, untuk membayarkan subsidi biofuel, pada tingkatan harga tertentu, dana tersebut tidak akan cukup. Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai Saudi Arabia-nya CPO, maka isu terkait dengan pricing policy memerlukan diskusi lebih lanjut.

H. Resiko teknis dari pengembangan energi terbarukan

Sumber energi terbarukan seperti air, matahari, angin, mungkin tidak memiliki resiko keberlanjutan bahan baku. Tapi kalau untuk biomassa, resiko keberlanjutan bahan baku mungkin untuk terjadi. Ada kebijakan bahkan dari pemerintah sendiri, bahwa kalau biomassa itu diekspor malah bebas pajak, tapi kalau digunakan dalam negeri malah kena PPN. Namun, saat ini dengan perdagangan, sudah ada peraturan akan ada bea ke luar karena itu turunannya sawit, bahwa ekspor tersebut akan dikenakan biaya sebesar 10% dari biaya ekspor.

Menurut Danareksa Capital, saat ini bioenergi belum dikembangkan karena proposal yang masuk baru hidro (PLTMH) dan solar. Sebelumnya ada juga yang datang ke Danareksa Capital, yaitu angin. Tapi Danareksa Capital menilai bahwa, angin memiliki resiko yang tinggi. Setelah dipelajari, beberapa lokasi di Indonesia, kecepatan anginnya tidak sustain. Jadi, perputaran turbinnya akan sangat terpengaruh; dan bagi project owner, ini sangat beresiko. Sebenarnya yang harus dilihat bukan hanya dari sektornya, namun juga dari backup dan holding dari sponsornya.

I. Pembangunan energi terbarukan lainnya

Beberapa teknologi energi terbarukan sebenarnya sudah grid parity, artinya cost-effective dengan fossil fuel, misalnya solar PV. Solar PV saat ini melalui kontrak-kontrak terbaru, harganya adalah USD 7-8c/kWh. Jadi, tidak semahal dulu. Saat ini, pada utility scale dengan biaya USD 7-8c/kWh dan proyeknya sudah jalan; beberapa bahkan sudah commission. Secara sumber daya, Indonesia memiliki sumber daya tersebut. Indonesia bisa mengembangkan di Jawa; kalaupun ada permasalahan lahan, bisa diatasi dengan rooftop. Di luar Jawa juga bisa, tapi tentunya ini harus size-specific.

(19)

~ 19 ~ J. Merit order PLN4

Terkait dengan masalah merit order dari PLN, bagi PLN sendiri, ini merupakan masalah resiko di sistem. Memang merit order yang akan sangat menentukan berapa yang mau masuk ke sistem. Oleh karena itu, pasti pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan. Oleh karena itu, memang prinsip merit order ini akan menyebabkan pembangkit yang paling mahal akan masuk belakangan. Jadi memang untuk energi terbarukan, jika ini memang mau dimasukkan ke sistem, solusinya memang hanya dua: (i) untuk membuat harga energi terbarukan kompetitif; (ii) jika energi terbarukan tidak bisa cost-competitive, maka memang harus diberlakukan subsidi.

Tujuan PLN adalah berusaha untuk mempertahankan, atau membuat system cost-nya murah. Oleh karena itu pembangkit yang lebih murah dulu yang akan didahulukan dan pembangkit yang paling mahal akan masuk belakangan.

Pertanyaan lain yang timbul adalah: siapa yang akan menanggung system reability cost? Di Amerika, system reability cost harus ditanggung oleh Independent Power Producer (IPP), karena yang punya transmission-nya bukan utility, tapi system operation-nya. Sehingga semua peserta, siapa pun juga, harus menanggung system reability cost-nya. Di Indonesia, hal ini belum berlaku. Oleh karena itu memang menjadi dilema untuk PLN, karena semakin banyak energi terbarukan yang masuk, maka PLN harus menanggung system IP yang lebih besar. Ini memang harusnya ditanggung dengan menggunakan regulasi.

Ini aspek-aspek yang terkait dengan merit order dan reability cost. Merit order dan reability cost, memang harus dibahas, dan regulasi yang ada belum lengkap. Banyak aspek regulasi yang ada di Indonesia adalah regulasi yang sifatnya di permukaan, umum. Padahal integrasi energi terbarukan dengan grid, regulasi yang ada sudah harus melingkupi faktor teknis.

K. Pembelajaran dari pihak-pihak atau negara-negara lain

Skema pendanaan juga harus berbeda, beberapa pembelajaran misalnya dari kasus-kasus di India, atau Banglades, cukup menarik. Jika ingin mempelajari penggunaan skema pendanaan untuk energi terbarukannya, mereka menggunakan instrument development financing; seperti development bank, tapi dana murahnya diambil dari international financial institution (KfW atau bilateral), dapat bunga murah. Itulah yang kemudian digunakan untuk mendanai pembangunan. Model-model seperti ini yang belum pernah digali.

Itu sebabnya, pengembangan energi terbarukan yang akan masuk ke pasar dengan yang sifatnya baru dirintis akan berbeda. Saat ini memang tidak ada strategi pengembangan energi terbarukan. Ini yang sebenarnya menjadi tantangan untuk Bappenas dan ESDM, untuk merancang bagaimana strategi yang pas, terutama untuk Indonesia Timur, bagaimana menyediakan energi untuk sekitar 12.000 desa, dan 2.5 juta kepala keluarga. Jadi, pendekatan strateginya berbeda, demikian pula dengan strategi pendanaannya.

4 Daftar unit pembangkit dengan urutan biaya operasi yang marginal, sudah termasuk pertimbangan: biaya

Gambar

Gambar 1 Diskusi mengenai hambatan investasi dan pendanaan energi terbarukan di Indonesia
Gambar 2 Lokasi proyek energi terbarukan PT SMI
Gambar 4 Diskusi mengenai hambatan dan investasi energi terbarukan di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh bahwa rata-rata pendapatan peternak ayam ras pedaging di Kecamatan Cingambul Kabupaten Majalengka berbeda-beda berdasarkan jenis pola usaha,

corporate governance yang diproksi dengan kepemilikan institusional, komposisi dewan komisaris independen, dan ukuran dewan komisaris. Model penelitian empiris

Dalam kesempatan yang sangat baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir untuk

Untuk memperoleh implementasi transformasi wavelet diskret Haar di FPGA yang efisien maka perlu dilakukan pemilihan struktur filter bank , format data, dan tingkat

GOL TMT NAMA TMT THN BLN NAMA TH JAM NAMA TAHUN TK MUTASI KEPEGAWAIAN..

Hasil analisis regresi logistik biner berganda dari 6 variabel bebas, yaitu umur (X1), tekanan darah sistolik (X2), tekanan darah diastolik (X3), kandungan kolesterol (X4), tinggi

Salah satunya di South Florida, perluasan kawasan perkantoran ke wilayah pinggiran terjadi karena beberapa hal, diantaranya misi kota untuk mencapai lingkungan

Untuk mengetahui harapan apa saja yang saat ini diinginkan oleh mahasiswa, sejauh mana pelayanan itu diberikan dan bagaimana tingkat kepuasan pelayan dari fasilitas pendukung di