• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSES KONTRAK TEORI AGENSI DAN CORPORAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROSES KONTRAK TEORI AGENSI DAN CORPORAT"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PROSES KONTRAK, TEORI AGENSI, DAN CORPORATE GOVERNANCE

Edwin Triyuwono e.triyuwono@yahoo.com

Universitas Atma Jaya Makassar

Abstract

This paper aims to review the research conducted on the contract process between

principal and agent. This paper will explain the agency theory based on existing literature.

This paper will also discuss the role of accounting in the contract process and the critique

toward agency theory. Finally, this paper will discuss the relationship between agency theory

and corporate governance.

Keyword : Contracting Process, Agency Theory, Corporate Governance

Abstrak

Paper ini bertujuan untuk mereview penelitian-penelitian yang dilakukan yang

membahas tentang proses kontrak antara prinsipal dan agen. Paper ini akan menjelaskan

tentang teori agensi berdasarkan literatur yang telah ada. Kemudian, paper ini juga akan

membahas peranan akuntansi dalam proses kontrak serta kritik terhadap teori agensi.

Terakhir, paper ini akan membahas hubungan antara teori agensi dan corporate governance.

(2)

2

1. PENDAHULUAN

Hubungan yang terjadi antara seorang pemilik modal dan pengelola modal telah lama

diteliti oleh peneliti-peneliti akuntansi. Yang paling terkenal adalah penelitian yang dilakukan

oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling dalam penelitian mereka yang berjudul

Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure.

Penelitian ini menjadi landasan yang mendasari terbentuknya teori keagenan yang sering

digunakan dalam penelitian-penelitian beraliran positivistik. Teori keagenan menghubungkan

aspek perilaku manusia dalam teori ini di mana teori keagenan mengasumsikan bahwa baik

pemilik modal (prinsipal) maupun pengelola (agen) adalah pihak yang rasional serta memiliki

kepentingan masing-masing. Pihak yang rasional tentunya akan memaksimalkan kepentingan

diri sendiri. Jika kedua belah pihak dalam hubungan tersebut adalah pemaksimal utilitas, ada

alasan kuat untuk percaya bahwa agen tidak akan selalu bertindak demi kepentingan terbaik

dari prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976).

Secara spesifik, Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi sebagai

kontrak di mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk

melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian wewenang

pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Akibat hubungan agensi ini, maka munculnya

agency problem yang dalam hal ini pihak agen akan berupaya untuk memaksimalkan

kepentingan dirinya sendiri sementara mengabaikan kepentingan prinsipal padahal tujuan

utama dari suatu perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik modal.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk pengendalian untuk mengendalikan tindakan pihak

agen.

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan prinsipal dapat membatasi perbedaan dari

ketertarikannya dengan menetapkan insentif yang sesuai untuk agen dan dengan

menimbulkan biaya pemantauan (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas

agen yang menyimpang. Lebih lanjut, dalam beberapa situasi, prinsipal tersebut akan

membayar agen untuk mengeluarkan sumber daya (biaya ikatan/bonding cost) untuk

menjamin bahwa agen tidak akan mengambil tindakan tertentu yang akan merugikan

prinsipal atau untuk memastikan bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika dia melakukan

tindakan tersebut (Jensen dan Meckling, 1976).

Selanjutnya, perusahaan disebut terbentuk dari kumpulan kontrak (nexus of contract).

Hal ini memiliki makna bahwa dalam perusahaan pasti ada kontrak antara pemilik modal dan

(3)

3

yang bertindak sebagai kumpulan dari seperangkat hubungan kontrak di antara individu

(Jensen dan Meckling, 1976). Organisasi-organisasi ini mencakup perusahaan pada

umumnya, organisasi nirlaba, organisasi gotong royong, hingga organisasi pemerintahan.

Perusahaan dipandang sebagai seperangkat kontrak di antara faktor produksi, dengan setiap

faktor dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri (Fama, 1980).

Karena adanya kontrak antara prinsipal dan agen, muncul masalah agensi (agency

problem) yang mencakup masalah agency cost dan pemantauan oleh prinsipal. Masalah

agency cost dan pemantauan ada karena kontrak ini (Jensen dan Meckling, 1976). Eisenhart

(1989) menjelaskan bahwa adanya kontrak antara prinsipal dan agen menimbulkan 2 (dua)

masalah utama yaitu moral hazard dan adverse selection. Moral hazard mengacu kepada

agen mungkin tidak melakukan tindakan yang telah disepakati; yakni agen lalai. Adverse

selection mengacu pada kekeliruan kemampuan oleh agen. Agen tersebut mungkin

mengklaim memiliki keterampilan atau kemampuan tertentu saat dipekerjakan dan prinsipal

tidak dapat melakukan verifikasi sepenuhnya keterampilan atau kemampuan agen saat

perekrutan atau saat agen bekerja.

Banyaknya penelitian yang terkait dengan proses kontrak antara prinsipal dan agen

mengindikasikan bahwa hal ini menjadi hal yang penting dan menarik untuk diteliti maupun

dijelaskan. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk mereview penelitian-penelitian yang

dilakukan yang membahas tentang proses kontrak antara prinsipal dan agen. Paper ini akan

menjelaskan tentang teori agensi ditinjau dari literatur yang telah ada. Kemudian, paper ini

akan membahas peranan proses kontrak dalam akuntansi serta kritik terhadap teori agensi.

Terakhir, paper ini akan membahas antara hubungan teori agensi dan corporate governance.

Paper ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan

kontrak antara prinsipal dan agen terutama tentang teori agensi serta pengaplikasiannya

dalam dunia nyata.

2. PEMBAHASAN

TEORI AGENSI: TINJAUAN LITERATUR

Fondasi dari teori agensi yang berkembang hingga saat ini bermuara dari penelitian

yang berjudul Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership

Structure. Penelitian ini dilakukan oleh Michael C. Jensen serta William H. Meckling tahun

1976. Walaupun demikian, penelitian ini secara garis besar tidak hanya membahas tentang

(4)

4

kepemilikan dan teori keuangan untuk mengembangkan teori struktur kepemilikan

perusahaan.

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi sebagai kontrak di

mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan

beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan

keputusan kepada agen tersebut. Akibat hubungan agensi ini, maka munculnya agency

problem yang dalam hal ini pihak agen akan berupaya untuk memaksimalkan kepentingan

dirinya sendiri sementara mengabaikan kepentingan prinsipal padahal tujuan utama dari suatu

perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik modal. Oleh karena itu,

dibutuhkan suatu bentuk pengendalian untuk mengendalikan tindakan pihak agen.

Karena hubungan antara pemegang saham dan manajer perusahaan sesuai dengan

definisi hubungan agensi murni, seharusnya tidak mengherankan jika mengetahui bahwa

masalah yang terkait dengan "pemisahan kepemilikan dan pengendalian" di perusahaan

modern dengan kepemilikan yang menyebar sangat erat terkait dengan masalah umum agensi

(Jensen dan Meckling, 1976). Masalah untuk memengaruhi agen berperilaku seolah-olah dia

memaksimalkan kesejahteraan prinsipal itu cukup umum. Masalah ini ada di semua jenis

organisasi maupun perusahaan terutama yang memisahkan antara kepemilikan dan

pengendalian.

Eisenhardt (1989) mengemukakan bahwa unit analisis dari teori agensi ialah kontrak

yang mengatur hubungan antara prinsipal dan agen, sehingga fokus dari teori ini adalah pada

penentuan kontrak yang paling efisien yang mengatur hubungan prinsipal dan agen, di mana

dilandasi oleh 3 asumsi, yaitu:

1. Asumsi tentang sifat manusia

Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki kecenderungan

sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan

rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion).

2. Asumsi tentang keorganisasian

Asumsi keorganisasian mengemukakan adanya konflik antar anggota organisasi,

efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal

dan agen.

3. Asumsi tentang informasi

Asumsi tentang informasi mengemukakan bahwa informasi dipandang sebagai barang

(5)

5

Sebagai akibat adanya hubungan antara prinsipal dan agen ini, pihak prinsipal harus

mengeluarkan biaya yang disebut dengan agency cost. Agency cost akan muncul sebagai

akibat perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen. Jensen dan Meckling (1976)

mendefinisikan agency cost sebagai jumlah dari :

a. The monitoring expenditures by the principal

Biaya ini merupakan biaya pengawasan yang harus dikeluarkan oleh principal untuk

mengawasi perilaku dan tindakan agent.

b. The bonding expenditures by the agent

Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk menjamin bahwa

agent tidak akan melakukan tindakan yang merugikan principal.

c. The residual loss

Biaya penurunan kemakmuran setara nilai mata uang yang dialami oleh principal

akibat perbedaan kepentingan antara principal dan agent.

Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka

menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan pemegang

saham karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.

Prinsipal selaku pemberi mandat kepada agen harus mengeluarkan biaya yang disebut

agency cost sebagai sebuah upaya pengendalian terhadap perilaku dan tindakan agen

meskipun pada dasarnya, agency cost ini tidak dapat mengurangi keseluruhan tindakan

penyelewangan dari agen.

Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa terdapat dua aspek masalah yang terdapat dalam

agency problem, yaitu:

1. Adverse Selection, yang mengacu pada kondisi di mana prinsipal tidak dapat

memastikan kemampuan oleh agen apakah telah sesuai dengan kemampuan yang

dimilikinya.

2. Moral Hazard, yang mengacu pada tindakan agen yang tidak sesuai dengan apa yang

disepakati bersama dengan prinsipal. Hal ini dapat terjadi karena adanya pemisahan

antara kepemilikan dan pengendalian yang melingkupi sebagian besar organisasi

bisnis.

Fama dan Jensen (1983), dalam "Pemisahan Kepemilikan dan Pengendalian"

berpendapat bahwa masalah agensi ini dikendalikan oleh sistem keputusan yang memisahkan

manajemen (inisiasi dan implementasi) dan pengendalian (ratifikasi dan pemantauan)

keputusan penting di semua tingkat organisasi. Lebih lanjut, perangkat untuk memisahkan

(6)

6

1. Hierarki keputusan di mana inisiatif keputusan dari agen tingkat rendah diteruskan ke

agen tingkat yang lebih tinggi, pertama untuk ratifikasi dan kemudian untuk

pemantauan,

2. Dewan direksi yang meratifikasi dan memantau keputusan organisasi yang paling

penting dan mempekerjakan, memecat, dan mengkompensasi manajer keputusan

tingkat atas, dan

3. Struktur insentif yang mendorong pemantauan bersama di antara agen keputusan.

Biaya mekanisme semacam itu untuk memisahkan manajemen keputusan dari kontrol

keputusan adalah bagian dari harga yang perusahaan publik membayar untuk

keuntungan klaim sisa saham biasa yang tidak terbatas.

Menurut Messier et al. (2017:6), hubungan antara pemilik dan manajer umumnya

menciptakan asimetri informasi antara kedua belah pihak. Asimetri informasi bermakna

bahwa manajer umumnya memiliki informasi yang lebih banyak tentang posisi keuangan dan

hasil operasi yang sebenarnya dari entitas daripada pemilik. Kemudian, Messier et al.

(2017:6) menjelaskan karena ada tujuan yang berbeda, terdapat konflik kepentingan (conflict

of interest) yang alami muncul antara manajer dan pemilik. Jika kedua pihak berusaha

memaksimalkan kepentingan pribadi, manajer tidak akan selalu bertindak demi kepentingan

pemilik.

Atas kedua masalah ini, Messier et al. (2017:6) menjelaskan bahwa manajer mungkin

menyetujui beberapa jenis ketentuan pemantauan dalam kontrak kerjanya, memberikan

kepastian kepada pemilik bahwa dia tidak akan menyalahgunakan sumber daya. Bentuk

kepastian yang di maksud di atas adalah melalui audit. Jensen dan Meckling (1976)

berpendapat bahwa prinsipal dapat mengendalikan perilaku agen dengan menetapkan insentif

yang sesuai untuk agen dan mengeluarkan biaya pemantauan (monitoring cost) yang

dirancang untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.

Pertama, pemberian insentif berupa kompensasi bertujuan untuk memotivasi manajer

sehingga manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan sehingga manajer

tersebut dapat memperoleh insentif berupa tambahan penghasilan meskipun pada dasarnya

manajer bisa saja melakukan penyimpangan yang dikenal dengan bonus plan hypothesis yang

dikemukakan oleh Watts and Zimmerman (1986). Akan tetapi, ketika manajer tidak mampu

mencapai target yang sebelumnya telah ditetapkan, maka manajer akan menerima hukuman

atau sanksi. Di sini, berlaku reward and punishment bagi manajer. Kedua, Pemantauan

berarti adanya kontrol prinsipal terhadap agen. Audit yang telah disebutkan sebelumnya

(7)

7

saat ini yang ditujukan untuk mengurangi konflik keagenan adalah corporate governance

atau tata kelola perusahaan yang akan dijelaskan pada bagian tersendiri.

Ada beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost yang dikutip dari Susilawati

(2007) yaitu: (1) Dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajer,

sehingga manajer merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan bila ada

kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.

Kepemilikan ini akan mensejajarkan kepentingan manajer dengan pemegang saham (Jensen

dan Meckling, 1976 dalam Susilawati, 2007). Dengan demikian maka kepemilikan saham

oleh manajer merupakan insentif bagi para manajer untuk meningkatkan kinerja perusahaan

dan manajer akan menggunakan hutang secara optimal, sehingga akan meminimumkan

agency cost. (2) Dengan meningkatkan dividend payout ratio, sehingga tidak tersedia cukup

banyak free cash flow dan manajer terpaksa mencari pendanaan dari luar untuk membiayai

investasinya (Crutchley et al., 1989 dalam Susilawati, 2007). (3) Dengan meningkatkan

pendanaan dari hutang. Peningkatan hutang akan menurunkan besarnya konflik antara

pemegang saham dengan manajer. Disamping itu, hutang juga akan menurunkan excess cash

flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan dilakukan

oleh manajer (Jensen, 1986; Jensen et al., 1992 dalam Susilawati, 2007). (4) Kepemilikan

institusional (institutional ownership) sebagai monitoring manajer. Moh’d et al. (1998 dalam

Susilawati, 2007) menyatakan bahwa distribusi saham ke pemegang saham dari luar yaitu

institutional ownership dan publik dapat mengurangi agency cost. Karena kepemilikan

mewakili suatu sumber kekuasaan (source of power) yang dapat digunakan untuk mendukung

atau sebaliknya terhadap keberadaan manajer. Adanya kepemilikan oleh investor institusional

seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh publik akan

mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajer.

Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk meminimalkan konflik kepentingan yang

muncul akibat hubungan agensi. Perlu diingat, esensi utama yang menyebabkan muncul

masalah keagenan adalah karena egoisme tiap individu, dalam hal ini prinsipal dan agen.

KRITIK TERHADAP TEORI AGENSI

Kritik terhadap teori agensi diajukan oleh Donaldson dan Davis dengan teori

penandingan yakni teori stewardship. Teori ini menggambarkan situasi dimana para manajer

tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih tertuju pada tujuan-tujuan

organisasi demi kepentingan organisasi. Teori Stewardship didefinisikan sebagai situasi

(8)

8

prinsipal (Raharjo, 2007). Teori tersebut mengasumsikan bahwa adanya hubungan yang kuat

antara kesuksesan organisasi dan kepuasan prinsipal (Davis et al., 1997). Kesuksesan

organisasi menggambarkan maksimalisasi utilitas kelompok prinsipal dan manajemen.

Maksimalisasi utilitas kelompok ini pada akhirnya akan memaksimumkan kepentingan

individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut.

Donaldson dan Davis (1991) berpendapat manajer eksekutif, dalam teori ini, yang

jauh dari ketidakpedulian oportunis, pada intinya ingin melakukan pekerjaan dengan baik,

menjadi pelayan aset perusahaan yang baik. Dengan demikian, teori stewardship berpendapat

bahwa tidak ada masalah umum dari motivasi eksekutif.

Podrug et al. (2010) menjelaskan teori Stewardship menolak asumsi teori agensi dan

mengandaikan konteks di mana para manajer menganggap bahwa menyenangkan pemegang

saham juga untuk kepentingan pribadi mereka. Pemisahan kepemilikan dan kendali

perusahaan tidak secara otomatis mengarah pada konflik tujuan dan kepentingan antara

pemilik dan pengelola. Teori Stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi yang

didesain untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak sesuai

kepentingan pemilik (Donaldson & Davis, 1989; 1991 dalam Raharjo, 2007). Ketika

kepentingan steward dan pemilik tidak sama, steward akan berusaha bekerja sama daripada

menentangnya, karena steward merasa kepentingan bersama dan berperilaku sesuai dengan

perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional karena steward lebih melihat pada

usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Davis et al., 1997).

Davis et al. (1997) menjelaskan teori stewardship mengasumsikan hubungan yang

kiat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Steward akan melindungi dan

memaksimalkan kekayaan organisasi dengan kinerja perusahaan, sehingga dengan demikian

fungsi utilitas akan maksimal. Asumsi penting dari stewardship adalah manajer meluruskan

tujuan sesuai dengan tujuan pemilik. Namun demikian tidak berarti steward tidak mempunyai

kebutuhan hidup.

Menurut Donaldson dan Davis (1993) dalam Podrug et al. (2010) perbedaan

mendasar antara teori agensi dan stewardship adalah dalam model perilaku manusia: model

sosio-psikologis perilaku manusia untuk teori stewardship dan model ekonomi perilaku

manusia untuk teori agensi. Teori agensi memandang setiap manajer sebagai individualistik,

oportunistik dan melayani diri sendiri, sementara teori stewardship memandang manajer

sebagai kolektivis, pro-organisasi serta dapat dipercaya (Davis et al., 1997)

Raharjo (2007) menjelaskan prinsipal juga memilih menciptakan suatu hubungan

(9)

9

baik manajer atau prinsipal merasa bahwa pihak yang lain akan berperilaku secara aktivitas

(bertahan), maka keuntungan terbaik darinya berperilaku sebagai agensi, dan organisasi

menerima kembalian yang cukup optimal atas investasinya. Namun, jika kedua pihak

memilih mengembangkan hubungan stewardship, organisasi merealisasikan imbalan

maksimum.

Meskipun demikian, karena teori stewardship relatif baru, kontribusi teoritisnya

belum cukup mapan (Davis et al., 1997; Raharjo, 2007). Dengan demikian, diperlukan

penelitian dan riset yang lebih lanjut dalam teori stewardship sehingga teori ini dapat

berkontribusi dalam menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen.

PERANAN AKUNTANSI DALAM PROSES KONTRAK

Watts dan Zimmerman (1986) menjelaskan kontrak tidak akan menurunkan biaya

konflik (biaya agensi) kecuali pihak-pihak tersebut bisa menentukan apakah kontrak itu

dilanggar atau tidak. Lebih lanjut, dalam pandangan “nexus of contract” tentang sebuah

perusahaan, ada permintaan untuk memonitor kontrak. “Hak properti” atau literatur tentang

proses kontrak menunjukkan hipotesis bahwa akuntansi memiliki peranan penting baik dalam

hal persyaratan kontrak dan dalam memonitor kontrak-kontrak itu. Jumlah akuntansi

biasanya digunakan dalam kontrak. Ada tuntutan untuk melakukan kalkulasi dan melaporkan

angka-angka tersebut (yaitu permintaan akan akuntansi).

Ada banyak contoh tentang penggunakan akuntansi secara sistematis dalam kontrak

perusahaan. Perjanjian peminjaman antara manager dan banknya seringkali mengharuskan

perusahaan untuk mempertahankan rasio cakupan bunganya (pendapatan sebelum bunga dan

pajak yang dikenai bunga) diatas level tertentu. Ini akan menciptakan permintaan akan

pendapatan akuntansi untuk menentukan apakah perjanjian cakupan bunga sudah dipenuhi

atau belum. Skema pemberian bonus adalah komponen penting dalam skema kompensasi

eksekutif. Rumus yang digunakan dalam skema tersebut didasarkan pada pendapatan

akuntansi dan itu membutuhkan dilakukannya kalkulasi terhadap pendapatan-pendapatan

tersebut. selain itu, penghitungan pendapatan juga digunakan untuk menilai laba perusahaan

dan akuntansi biaya untuk menilai manajer cost center.

Selain itu, akuntansi memainkan peranan penting dalam proses kontrak dalam

pengungkapan informasi. Pengungkapan informasi secara menyeluruh (full disclosure) yang

sangat terkait erat dengan hubungan agensi atau proses kontrak. Hal ini lantaran terjadinya

(10)

10

agen sehingga mendorong dilakukannya pengungkapan penuh (full disclosure) untuk

meminimalkan asimetri informasi ini.

TEORI AGENSI DAN CORPORATE GOVERNANCE

Pada tahun 1992, The Financial Aspects of Corporate Governance atau yang lebih

dikenal dengan nama Cadburry Report diterbitkan dan berisi sejumlah rekomendasi untuk

meningkatkan praktik tata kelola perusahaan. Laporan ini menjadi landasan terbentuknya

praktik corporate governance. Banyaknya skandal-skandal penipuan yang terjadi di tahun

1990-an dan melibatkan perusahaan-perusahaan besar seperti Enron, Worldcom meruntuhkan

kepercayaan para pemilik modal. Corporate governance kemudian menjadi salah satu cara

untuk memulihkan kepercayaan pemilik modal.

Cadbury Report (1992) mendefinisikan corporate governance sebagai sistem dimana

perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Dewan direksi bertanggung jawab atas tata kelola

perusahaan mereka. Peran pemegang saham dalam tata kelola adalah menunjuk direktur dan

auditor dan untuk memuaskan diri mereka bahwa ada struktur tata kelola yang tepat.

Tanggung jawab dewan direksi termasuk menetapkan tujuan strategis perusahaan,

memberikan kepemimpinan untuk menerapkannya, mengawasi pengelolaan bisnis dan

melaporkan kepada pemegang saham atas penatalayanan mereka. Tindakan dewan tunduk

pada peraturan perundang-undangan, peraturan dan pemegang saham pada rapat umum.

Menurut Rankin et al. (2012:188) corporate governance dalam hal yang sangat

sederhana adalah sistem di mana bisnis perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Lebih lanjut,

“definisi tata kelola perusahaan yang digunakan oleh organisasi untuk ekonomi pembangunan

dan kerja sama (OECD) menjelaskannya sebagai: “Prosedur dan proses menurut di mana

organisasi diarahkan dan dikendalikan. Struktur tata kelola perusahaan menentukan

pembagian hak dan tanggung jawab di antara para peserta yang berbeda dalam

organisasi-seperti direksi, manajer, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya - dan

menetapkan aturan dan prosedur untuk pengambilan keputusan. Dengan melakukan ini, juga

menyediakan struktur melalui mana tujuan perusahaan ditetapkan, dan cara mencapai tujuan

tersebut dan memantau kinerja.”

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Randy (2013)

mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur

hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,

(11)

11

berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang

mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Hubungan antara teori agensi dan corporate governance tergambar jelas dalam kasus

enron, terutama pada ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen.

Keruntuhan perusahaan enron disebabkan adanya window dressing yang dilakukan oleh

manajemen untuk menyembunyikan fakta dari kondisi perusahaan yang sebenarnya. Window

dressing ini adalah salah satu akibat dari asimetri informasi. Window dressing yang dilakukan

oleh pihak manajemen membuat seolah-olah kondisi keuangan perusahaan sangat bagus

padahal kenyataannya perusahaan merugi besar. Belum lagi, pihak auditor sebagai penjamin

kewajaran laporan keuangan turut berperan dalam menutupi tindakan ini. Akibatnya,

kerugian yang semakin besar yang pada akhirnya membuat Enron bangkrut.

Teori agensi menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki antara prinsipal dan agen

menciptakan kondisi yang tidak seimbang yang dinamakan asimetri informasi. Dalam kasus

enron, karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak tentang kondisi perusahaan,

maka manajemen dapat menggunakan informasi tersebut demi kepentingannya. Akibatnya,

kondisinya sebenarnya perusahaan tidak terungkap kepada publik maupun investor. Sejak

keruntuhan enron ini, kemudian diterbitkanlah undang-undang Sarbanes Oxley yang berisi

peraturan tentang tranparansi dan pengungkapan perusahaan-perusahaan publik di Amerika.

Corporate governance kemudian mutlak perlu ada dalam setiap perusahaan.

Tujuannya adalah untuk mengurangi perilaku-perilaku yang dapat merugikan pihak prinsipal

seperti yang dijelaskan dalam teori agensi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, corporate

governance adalah seperangkat mekanisme yang dapat mengatur hubungan antara banyak

pihak yang terlibat dalam perusahaan. Corporate govenance ini kemudian dapat melindungi

kepentingan pihak prinsipal yang sering dirugikan akibat tindakan menyimpang agen. La

Porta et al. (2000) menjelaskan corporate govenance pada umumnya, merupakan seperangkat

mekanisme di mana investor dari luar melindungi diri mereka dari pengambilalihan oleh

orang dalam. Pengambilalihan bisa muncul dalam berbagai bentuk. Di beberapa negara,

orang dalam hanya mencuri laba. Di negara lain, orang dalam menjual output atau aset

perusahaan yang mereka kendalikan tapi yang dibiayai investor dari luar, ke entitas lain yang

mereka miliki di bawah harga pasar. Pengalihan dan pelepasan aset semacam itu, meski

seringkali legal, sebagian besar memiliki efek yang sama dengan pencurian.

Secara umum, pengambilalihan berkaitan dengan masalah agensi yang dijelaskan oleh

Jensen dan Meckling (1976), yang berfokus pada konsumsi "perquisites" oleh manajer dari

(12)

12

dirinya sendiri daripada mengembalikan uang tersebut kepada investor luar (La Porta et al.,

2000).

Dengan demikian, adanya corporate governance diharapkan dapat semakin

mengurangi dan menyelaraskan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen yang mana

seringkali tidak memiliki satu pandangan yang sama. Hal ini telah dijelaskan dengan baik

oleh teori agensi yang mengasumsikan bahwa setiap manusia atau pribadi adalah

pemaksimum kepentingan. Egoisme setiap manusia memainkan peranan penting dalam hal

ini. Oleh karena itu, corporate governance dapat menjadi salah satu mekanisme yang

mengurangi masalah agensi ini. Corporate governance dapat memonitor kontrak yang telah

ada antara prinsipal dan agen. Ketika ditemukan pelanggaran kontrak oleh baik oleh agen,

maka akan ada sanksi yang diberikan oleh prinsipal sebagai pihak yang mendelegasikan

wewenang kepada agen.

3. KESIMPULAN

Hubungan agensi didefinisikan dengan jelas oleh Jensen dan Meckling (1976)

mendefinisikan hubungan agensi sebagai kontrak di mana satu atau lebih orang (principal)

melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang

melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Akibat

hubungan agensi ini, maka munculnya agency problem yang dalam hal ini pihak agen akan

berupaya untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri sementara mengabaikan

kepentingan prinsipal padahal tujuan utama dari suatu perusahaan adalah untuk

memaksimalkan kesejahteraan pemilik modal.

Meskipun teori agensi berkembang dengan begitu pesat, ada kritik yang ditujukan

kepada teori ini. Donaldson dan Davis yang mengritik teori agensi dengan mengembangkan

sebuah teori penandingan yang bernama teori stewardship. Davis et al. (1997) menjelaskan

teori agensi memandang setiap manajer sebagai individualistik, oportunistik dan melayani

diri sendiri, sementara teori stewardship memandang manajer sebagai kolektivis,

pro-organisasi serta dapat dipercaya. Teori Stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi

yang didesain untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak

sesuai kepentingan pemilik (Davis et al., 1997).

Akuntansi memiliki peranan penting baik dalam hal persyaratan kontrak dan dalam

memonitor kontrak-kontrak itu. Jumlah akuntansi biasanya digunakan dalam kontrak. Ada

(13)

13

akan akuntansi). Selain itu, akuntansi memainkan peranan penting dalam proses kontrak

dalam pengungkapan informasi. Pengungkapan informasi secara menyeluruh (full disclosure)

yang sangat terkait erat dengan hubungan agensi atau proses kontrak. Hal ini lantaran

terjadinya asimetri informasi atau adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh

prinsipal dan agen.

Terakhir, hubungan antara teori agensi dan corporate governance tergambar jelas

dalam kasus enron, terutama pada ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal

dan agen. Teori agensi menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki antara prinsipal dan

agen menciptakan kondisi yang tidak seimbang yang dinamakan asimetri informasi.

Corporate governance dapat menjadi salah satu mekanisme yang mengurangi masalah

agensi. Corporate governance dapat memonitor kontrak yang telah ada antara prinsipal dan

agen. Ketika ditemukan pelanggaran kontrak oleh baik oleh agen, maka akan ada sanksi yang

diberikan oleh prinsipal sebagai pihak yang mendelegasikan wewenang kepada agen.

DAFTAR PUSTAKA

Cadbury, A. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee & Co. Ltd

Davis, J. H., Schoorman, F. D., & Donaldson, L. (1997). Toward a Stewardship Theory of Management. Academy of Management Review, 22(1), 20-47.

Donaldson, L., & Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns. Australian Journal of Management, 16(1), 49-65.

Eisenhardt, K. M. (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, 14(1), 57-74.

Fama, E. F. (1980) Agency Problems and the Theory of the Firm. Journal of Political Economy, 88, 288-307.

Fama, E. F., & Jensen, M. C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal of Law and Economics, 26(2), 301-325.

Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360.

La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., & Vishny, R. (2000). Investor Protection and Corporate Governance. Journal of financial economics, 58(1), 3-27.

Messier, W. F., Glover, S. M., & Prawitt, D. F. (2017). Auditing & Assurance Services: A Systematic Approach (10th ed). United States of America, New York: McGraw-Hill Education.

Podrug, N., Filipovic, D., & Milic, S. (2010). Critical Overview of Agency Theory. Retrieved From http://www.freepatentsonline.com/article/Annals-DAAAM-Proceedings/246014179.html

(14)

14

Randy, V. (2013). Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan 2007-2011. Business Accounting Review, 1(2), 306-318.

Rankin, M., Stanton, P. A., McGowan, S. C., Ferlauto, K., & Tilling, M. (2012). Contemporary issues in accounting. Milton, Australia: Wiley.

Susilawati, R. A. E. (2007) Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif Agency Theory. Modernisasi 3(2), 86-102.

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang dilakukan penulis berjudul “Pembelajaran Tahfidz Juz ‘Amma di TPQ Ath-Thohiriyyah Parakanonje Karangsalam Kidul Kedungbanteng Banyumas”, dapat

yang munasabah bagi satu peristiwa atau pemerhatian dengan menggunakan maklumat yang diperolehi dan boleh menerangkan kesimpulan awal yang dibuat3. Menyatakan satu kemungkinan

fasilitas umum pada setiap kecamatan di Kab. Aceh Besar yang dimiliki, maka dapat disusun wilayah agropolitan setiap kecamatan pada Tabel 6. Dari Tabel analisis potensi lahan

Faktor personal adalah faktor yang berada pada diri sendiri. Faktor personal antara lain sifat dan bakat. Selain itu harga diri, efikasi diri, dan kemampuan

Mengingat bahwa perairan Indonesia masih luas dan potensi lestari yang masih berada sangat jauh di atas hasil produksi tangkapan tuna saat ini, maka peluang untuk meningkatkan

Pada saat pengakuan awal, Entitas dan Entitas Anak mengklasifikasikan instrumen keuangan dalam kategori berikut : aset keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba

Tabel 4 dapat diketahui bahwa asupan energi sebagian besar responden dengan status gizi gemuk berada pada kategori cukup yaitu sebesar 87,5% dan sebagian besar

Data yang dibutuhkan dalam penelitian tugas akhir untuk mendukung perhitungan yang akan dilakukan adalah data pemakaian produk, data biaya pembelian produk, data