• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN TINGGI kepariwisataan PARIWISATA Kontribusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN TINGGI kepariwisataan PARIWISATA Kontribusi"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN TINGGI PARIWISATA,

Kontribusi Untuk Daya Saing Nasional dalam Membangun

Pariwisata Berkelanjutan

Himawan Brahmantyo dan Kusmayadi

Orasi Ilmiah disampaikan pada Lustrum VII Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti. Auditorium

Kampus Pesona, 2 Juni 2004.

Pendahuluan

Competitiveness is a country’s capacity to sustain and expand its share of international markets and at the same time to improve its people’s standard of living. (Fajnzylber, 1988)

Isu rendahnya daya saing bangsa (nation competitiveness) dapat ditelusuri dari berbagai studi dengan menggunakan berbagai indikator. Survey Polititical and Economic Risk Consultancy (PERC) tentang penilaian kualitas pendidikan di kawasan Asia, menyimpulkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-102 atau setingkat di bawah Vietnam. Menurut survey tersebut, Indonesia memi-liki sistem pendidikan terburuk di kawasan Asia yang berbanding terbalik dengan Korea Selatan yang memiliki sistem pendidikan terbaik. Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia merupakan Negara yang memiliki peringkat system pendidikan baik. Penelitian lain (IMD, 2000 dalam Taufik, 2001) telah mensurvei 47 negara menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tingkat kompetisi Indonesia berada pada posisi ke-45, Singapura urutan ke-2, Malaysia urutan ke-25, Thailand dan Philippina masing-masing pada urutan ke-33 dan 38. Penelitian tersebut juga menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan berada pada posisi ke-46 dari 47 negara yang disurvey, kapabilitas ilmu dan teknologi urutan ke-42, dan manajemen kapabilitas sumberdaya manusia berada pada urutan ke-44.

(2)

dan Philipina yang mencapai lebih dari 90 persen. Sedangkan indeks sumber daya manusia (HRI) Indonesia hampir dua poin di bawah Zimbabwe (Tabel 1).

Tabel 1. Perbadingan enam indeks untuk beberapa Negara (2003)

Negara

Note: Green, amber and red lights indicate respectively, above average, average and below average performance.

The nation’s competitiveness can only be achieved under the framework of strong nation’s character and civilization

Beberapa hasil studi di atas merupakan fakta empiris yang menunjukkan betapa rendahnya daya saing bangsa ini, padahal daya saing bangsa merupakan suatu kekuatan untuk membangun, pertumbuhan, sustainability dan pengakuan dari bangsa-bangsa lain pada abad ke-21 ini (Ruhanen dan Cooper, 2003).

Langkah awal untuk meningkatkan daya saing hanya dapat ditempuh melalui kerangka kerja yang sistematis dalam menguasai pengetahuan, teknologi, dan informasi. Sistem pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya berkualitas merupakan satu-satunya pilihan.

Kebijakan Pendidikan Tinggi untuk Daya Saing

Lemahnya daya saing sebagimana diuraikan di atas telah direspon melalui kebijakan dasar pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang 2003-2010. Hal tersebut sepenuhnya disadari bahwa daya saing bangsa melalui produk perekonomian di pasar dunia tidak lagi bertumpu pada kekayaan sumber daya alam atau ongkos buruh yang murah namun semakin ditentukan oleh inovasi (teknologi) dan/atau kreativitas dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan.

(3)

saing bangsa, (2) Otonomi dan desentralisasi dan (3) kesehatan organisasi. Kebijakan dasar ini ditetapkan untuk mewujudkan visi pendidikan nasional 2010 dalam rangka tercapainya (1) peningkatan Kualitas, (2) Akses dan ekuitas, dan (3) otonomisasi.

National prosperity will be determined by a nation’s intellectual capabilities and its ability to expertly transfer, deploy and capitalize on that knowledge base (Shariq, 1997)

Kualitas pendidikan diperguruan tinggi dapat diketahui dengan adanya (a) efektivitas dan link antara kebutuhan mahsiswa dalam mengembangkan intelektual dan kapabilitas mereka agar menjadi orang yang bertanggungjawab dan memberikan kontribusi terhadap daya saing nasional. (b) program penelitian sebagai incubator dan kebutuhan dalam adaptasi, keberlanjutan (sustainability), ekonomi berbasis pengetahuan dan state-of-the-art dalam mamaksimalkan akses dan penggunaan teknologi untuk meningkatkan pengetahuan, (c) memberikan kontribusi bagi pengembangan demokrasi, keberadaban, sosial, dan akuntabilitas, (d) struktur pengelolaan keuangan yang transparan. Kesehatan organisasi menyangkut pengelolaan lembaga pendidikan tinggi dalam usahanya untuk menghasilkan lulusan berkualitas. Kapasitas institusi perlu dibangun agar mampu memberikan jaminan kualitas secara konsisten menuju suatu standard tertentu melalui tata pamong (good governance), academic atmosphere, dengan meningkatkan partisipasi seluruh stakeholder.

Pariwisata Makin Penting dalam Pembangunan

Apabila digunakan sebagai alat pembangunan, pariwisata bukan merupakan suatu tujuan. Ini mengandung pemahaman bahwa pariwisata dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pembangunan nasional maupun sektoral. Berbicara pembangunan pertanian berkelanjutan misalnya, pariwisata dapat mendekatinya dengan konsep agri-tourism atau farm-tourism, pembangunan kelautan dapat didekati dengan marine-tourism, atau eco-tourism dalam pembangunan kehutanan dan banyak lagi yang lainnya.

Beberapa alasan penting yang kasat mata antara lain pariwisata sebagai penggerak ekonomi, industri luas dan variatif, mendukung sustainability, dan alat untuk poverty alleviation dan social harmony.

Pariwisata Penggerak Ekonomi

(4)

Dalam konteks ekonomi, pariwisata berdampak antara lain terhadap penciptaan lapangan kerja, investasi atraksi, pertukaran mata uang. Dalam konteks sosial, berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja muda, memperkaya dan memperkuat jati diri masyarakat, ekualitas gender, dan pemeliharaan serta penjagaan budaya. Ilustrasi secara tepat pariwisata sebagai stimulant pembangunan dilihat pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Pariwisata sebagai stimulant pembangunan (WTTC, 2003)

Bukti lain yang menunjukkan bahwa sektor pariwisata merupakan penggerak ekonomi dunia dapat dilihat dari kontribusinya sebagai penghasil devisa dan penyerapan jutaan tenaga kerja. Catatan World Tourism Organization (WTO, 2004), pada tahun 2003 jumlah wisatawan dunia mencapai 694 juta orang dengan penerimaan dari kunjungan wisatawan mencapai US$474 milyar pada tahun 2002. Sementara itu World Travel and Tourism Council (WTTC) melaporkan data tahun 2003 sektor ini mampu menghasilkan 3.7 persen dari PDB dan 67,441,100 pekerjaan. Sementara itu, nilai ekonomi travel & tourism diharapkam memberikan 10.2 persen dari total PDB dan 194,562,000 lapangan kerja. Melihat ke depan, estimasi permintaan terhadap sektor ini tumbuh 2.9 persen (pertumbuhan real tahun 2003) dan 4.6 persen per per tahun antara tahun 2004 sampai tahun 2013 (WTTC, 2004).

…daya saing rendah, citra buruk, membuat pariwisata Indonesia sangat terpuruk Pariwisata dan

(5)

Sebagai konsekuensi dari besarnya pengaruh aktivitas pariwisata terhadap perekonomian tersebut, telah mendorong setiap negara di dunia untuk menarik wisatawan sebanyak-banyaknya dengan mengeksploitasi sumber daya pariwisata yang dimilikinya. Ambil contoh pertumbuhan empat besar komoditi ekspor negara-negara berkembang dan belum berkembang antara tahun 1990 sampai 2000 menunjukkan sektor pariwisata berada pada urutan ketiga (Tabel 2).

Tabel 2. Pertumbuhan Ekspor Empat Sektor Negara-negara Berkembang dan Belum Berkembang tahun 1990-2000.

Ekspor Negara

Ber-kembang (%) Urutan

Negara Belum

berkembang (%) Urutan

Manufaktur 208 1 217 2

Makanan 58 2 -71 4

Pariwisata 154 3 47 3

Migas 16 4 1.444 1

Sumber: WTO, 2002 (diolah)

Namun Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya pariwisata terkaya di dunia, belum mampu menggarap sektor ini dengan baik, sehingga jauh tertinggal oleh negara-negara lain. Hal ini antara lain disebabkan karena masih lemahnya pengelolaan daya tarik wisata, dan rendahnya daya saing bangsa ini. Citra buruk sebagai negara ‘teroris’ melekat di benak sementara orang wisatawan, lemahnya hukum, tidak adanya aturan yang pasti dan fleksibelnya penerapan hukum serta rendahnya penghargaan terhadap hak-pribadi orang lain (HAM) telah memperparah citra pariwisata Indonesia.

Pariwisata Industri Luas dan Variatif

Perdebatan istilah ‘industri pariwisata’ dengan ‘usaha jasa pariwisata’ sering muncul di dalam diskusi kalangan industri, birokrasi dan akademisi. Perdebatan pemahaman atas pariwisata sebagai industri, merupakan salah satu faktor penghambat dalam pengembangan pariwisata, karena kebijakan makro akan berpengaruh terhadap implementasinya di lapangan. Ambil contoh, oleh pemerintah sekarang, pariwisata dikelompokkan pada sektor kesejahteraan rakyat (Kesra) dan tidak di bawah koordinator Ekuin. Akibatnya, kebijakan ekonomi untuk pengembangan pariwisata sangat tidak menguntungkan.

.…tourism industries as all establishments whose principal productive activity is a tourism characteristic activity

Dari sudut pandang ekonomi, industri diartikan sebagai suatu group atau individu yang secara independen menghasilkan suatu produk (Davidson, 1994) baik yang bersifat tangible maupun

(6)

di atas, maka pariwisata merupakan industri yang memiliki perspektif sangat luas di dalam kegiatan ekonomi, karena dapat menghasilkan pendapatan, nilai tambah, capital invesment penciptaan lapangan kerja maupun pajak (Theobalt, 1994; Davidson, 1994). Menurut Seth (1999) industri pariwisata dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:

a. direct provider of service, yaitu provider yang secara langsung memberikan service terhadap wisatawan. Contoh kategori ini adalah airline, hotel, transportasi, restoran dan cinderamata.

b. support service to direct suplier, yang termasuk ke dalam kategori ini antara lain adalah tour organizer, laundry, kontraktor catering, travel publication,

c. kategori ketiga termasuk di dalamnya organisasi pengembangan pariwisata seperti planner, institusi keuangan, institusi pendidikan.

Pendapat lain dari Jackson (1989), menyebutkan bahwa “The tourism industry encompasses all activities by individuals, companies or organisations which supply, directly or indirectly, goods or services to tourists at their destinations”.

Adapun Tourism Satellite Account (TSA) mendefinisikan “…tourism industries as all establishments whose principal productive activity is a tourism characteristic activity”. Untuk kepentingan klasifikasi, WTO mengembangkan Standard International Classification of Tourism Activities (SICTA) yang dipadankan atas Standard Industrial Classification of all Economic Activities (ISIC). Di samping itu, ditetapkan pula pengklasifikasian Tourism Characteristic Product (TCP) yang mengacu pada pengkodean yang digunakan oleh UN Central Product Classification (CPC). Di dalam CPC, industri pariwisata terdapat pada tujuh kelompok besar (WTO, 2000) yaitu:

a. accomodation services. Industri ini meliputi jasa hotel dan motel, pusat liburan dan home holiday service, jasa penyewaan furniture untuk akomodasi, youth hostel service, jasa training anak-anak dan pelayanan kemping, pelayanan kemping dan caravan, sleeping car service, time-share, bed and breakfast dan pelayanan sejenis.

b. food and beverage-serving services. Yang termasuk ke dalam industri adalah full-restoran dan rumah makan, kedai nasi, catering service, inflight catering, café, coffee shop, bar dan sejenis yang menyediakan makanan dan minuman bagi wisatawan.

c. passenger transport services. Yang termasuk kelompok ini antara lain jasa angkutan darat seperti bis, kereta api, taxi, mobil carteran; jasa angkutan perairan baik laut, danau, maupun sungai meliput jasa penyeberangan wisatawan, cruise ship dan sejenisnya. Dan terakhir adalah jasa angkutan udara melalui perusahan-perusahaan airlines. Di samping itu, sector pendukung antara lain navigation and aid service, stasion bis, jasa pelayanan parker penumpang, dan lainnya.

d. travel agency, tour operator and tourist guide services. Yang termasuk kepada kelompok ini antara lain, agen perjalanan, konsultan perjalanan, biro perjalanan wisata, pemimpin perjalanan dan yang sejenis.

(7)

gedung dan tempat bersejarah, botanical and zoological garden service, pelayanan pada perlindungan alam termasuk suaka margasatwa.

f. recreation and other entertainment services. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pelayanan olah raga dan olah raga rekreasi, pelayanan golf course, ski, sirkuit balapan, taman rekreasi dan pelayanan pantai. Pelayanan taman bertema, taman-taman hiburan, pelayanan pameran dan sejenisnya.

g. miscellaneous tourism services. Yang temasuk kelompok ini adalah jasa keuangan, asuransi, tempat penukaran mata uang dan yang sejenis.

Demikian luasnya cakupan pariwisata, maka tidak ada alasan untuk me-nafi-kan pariwisata sebagai industri, dan merupakan argumen kuat untuk menjadikan pariwisata sebagai alat atau pendekatan dalam pembangunan setiap sektor.

Pariwisata Mendukung Konsep Keberlanjutan (Sustainability)

Sustainability saat ini sudah diadopsi oleh berbagai bidang yang sangat luas, tidak hanya untuk lingkungan dan ekonomi. Konsep mengenai sustainabledevelopment telah diperkenalkan oleh World Commision on Environtment and Development di Brundtland Report pada tahun 1987, yang mendefinisikannya sebagai "development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs". Sedangkan Pariwisata berkelanjutan memiliki konsep yang beragam (dan seringkali diperdebatkan). Sesuai dengan definisi dari Federation of Nature and National Parks, pariwisata yang berkelanjutan adalah "seluruh bentuk dari pengembangan, pengelolaan dan kegiatan pariwisata yang berpedoman lingkungan, integritas sosial dan ekonomi, alam yang tertata dengan baik serta mengembangkan sumberdaya budaya secara terus menerus." (FNNP, 1993). Sedangkan Tourism Concern and the World Wide Fund for Nature mendefinisikan sebagai "operates within natural capacities for the regeneration and future productivity of natural resources; recognises the contribution that people and communities, custom and lifestyles, make to the tourism experience; accepts that these people must have a equitable share in the economic benefits of tourism; and is guided by the wishes of local people and communities in the host areas".

… dalam mendukung pelaksanaan konsep keberlanjutan, sektor pariwisata , sejak 1992 telah telah menghasilkan berbagai dokumen teknis dan kesepakatan global…

(8)

pariwisata yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat setempat serta untuk menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan dalam hal melayani para wisatawan.

Oleh karena pentingnya aspek sustainability dalam mengembangkan pariwisata, sejak tahun 1992 WTO telah memesankan negara-negara anggotanya untuk memperluas dan menerapkan prinsip-prinsip Agenda 21. Petunjuk implementasi tersebut telah disusun antara lain (1) Agenda 21 for the Travel and Tourism Industry (2) Global Code of Ethics for Tourism (3) National and regional tourism planning (4) Guide for local authorities on developing sustainable tourism (5) Indicators of sustainable tourism (6) Voluntary initiatives for sustainable tourism (7) Compilation of good practices in sustainable tourism (8) Sustainable tourism development at specific destinations: coastal areas and islands, cultural heritage sites, natural and rural areas (9) International Year of Ecotourism, 2002: (a) Guidelines for Sustainable Tourism in Protected Areas (b) Compilation of good practices in ecotourism (c) Ecotourism market studies (d) Regional conferences and seminars (e) World Ecotourism Summit (Quebec, Canada, May 2002) (f) Quebec Declaration on Ecotourism.

Tourism: a driving force for poverty alleviation, job creation and social harmony (World Tourism Day, 2003)

Jadi tidak ada alasan untuk menuding pariwisata sebagai sector yang merusak sumber daya alam dan lingkungannya. Oleh karena itu, pemahaman secara utuh atas pembangunan dengan pendekatan pariwisata perlu diperluas ke setiap stakeholder.

Pariwisata Mengurangi Kemiskinan dan Harmonisasi Sosial

Konsep ini mulai dicanangkan pada hari pariwisata dunia tahun 2003, yang ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan antara lain jaringan Sustainable Tourism-Eliminating Poverty (STEP) yang mengkoordinasikan pilot project dan mobilisasi pendanan. Dalam mengurangi kemiskinan, pada hakekatnya pariwisata tidak berbeda dengan sektor produktif lain, namun ada empat keunggulan yang potensial pada sektor ini (WTO, 2003) yaitu (1) memiliki potensi lebih besar untuk link dengan pengusaha lokal lainnya karena kastemer datang ke daerah tujuan wisata, (2) intensif tenaga kerja dan penyerapan tenaga wanita relative tinggi, (3) potensial pada negara-negara miskin dan wilayah yang tidak memiliki daya saing komoditi ekspor (4) produk pariwisata dapat dikembangkan berdasarkan sumber daya alam dan budaya yang merupakan asset yang dimiliki masyarakat lokal.

(9)

Pendidikan Tinggi Pariwisata dalam Membangun Pariwisata Berkelanjutan

Secara umum peranan pendidikan tinggi adalah untuk (1) menghasilkan sumber daya manusia yang berkualifikasi tinggi dan mampu beradaptasi terhadap perubahan IPTEKS, (2) secara ber-kesinambungan melahirkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan baru, dan (3) selalu meningkatkan akses dan adaptasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia.

Pendidikan Tinggi: Penghasil Sumber Daya Pariwisata

Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia pariwisata, sebagaimana sektor lainnya dapat dipenuhi oleh pendidikan tinggi dan pelatihan, yang pada berbagai literature dapat saling bertukar makna. Jafar Jafari (2002) membedakan kedua istilah tersebut berkaitan dengan kualifikasi dan karakteristik pasar kerja. Ia membagi tiga tingkatan pekerjaan yaitu (1) tenaga kerja semiskilled dan

unskilled (2) supervisory dan skilled personnel, (3) top manajemen. Ketiga kelompok tersebut digambarkan dalam suatu piramida di mana top manajemen jumlahnya paling kecil dan unskilled

tenaga kerja jumlah sangat melimpah. Dalam kaitan ini, pelatihan meliputi apa yang ditawarkan untuk mereka yang ingin mengisi hands-on atau mengkombinasikan antara pendidikan dengan pekerjaan. Seseorang yang ingin mencapai top manajamen harus didukung oleh kemampuan field of vision yang dimilikinya, tingkat dan jenis pendidikan, kemampuan koseptual, daya fikir,

diacrhornic (a vision of the future), dan memiliki kemampuan untuk pengetahuan “mengapa” ( know-why). Sebaliknya, tingkatan bukan top manajemen memiliki karakteristik, menghasilkan ilmu ditempat kerja, training, kemampuan teknik, belajar dari pengalaman, synchronic dan pengetahuan “bagaimana: (know how). Hubungan diatas digambarkan Jafari sebagai Tourism Education-Training Continuum (Gambar 2).

(10)

Perbedaan bentuk batang pada gambar 2 di atas tergantung lingkungan di mana mereka bekerja, semakin runcing kerucut batang tersebut, maka semakin kecil pula peranan pendidikan/pelatihan yang harus diberikan. Berdasarkan Gambar 2. dapat diketahui bahwa pendidikan ditujukan untuk menghasilkan tenaga kerja level atas, sedangkan pelatihan ditujukan untuk menghasilkan level bawah. Pada gambar tersebut teridentifikasi sembilan kemampuan yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia pariwisata yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan. Dari kesembilan kemampuan yang harus dimiliki tersebut, tiga diantaranya memiliki intensitas yang sama yang harus dimiliki oleh ketiga level yaitu profesionalisme, hospitality dan cosmopolitanism. Professionalisme merupakan hal yang sangat penting untuk memasuki dunia pekerjaan, sehingga bentuk batangnya tidak mengerucut. Hal ini berarti memiliki kepentingan sama untuk setiap level. Profesionalisme juga harus ditunjang oleh hospitality dan cosmopolitanism yang diartikan sebagai kemampuan untuk memahami budaya wisatawan untuk mempermudah cultural communication. Apabila diberikan analogi dengan menggunakan pensekoran, maka terlihat seperti pada tabel berikut:

Pendikan Tinggi: melahirkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan baru

(11)

suatu area di mana pengetahuan pariwisata dikembangkan. Salah satunya adalah pengetahuan dikembangkan dari luar komunitas akademik yang disebut sebagai extradisciplinary. Dalam kaitan ini pengetahuan diperoleh dari industri, pemerintah, tink-tank, kelompok pemerhati pariwisata dan institusi penelitian dan konsultan (Tribe’s, 1999).

Untuk area baru seperti pariwisata, yang sangat kental dipengaruhi oleh kebutuhan vokasi tidak mengherankan apabila pengetahuannya sangat didominasi oleh industri. Sebagai indikasi, secara alami awal-awal pengetahuan pariwisata dapat dilihat dalam tulisan-tulisan tentanga pariwisata. Sebagai contoh Burkat dan Medlik (1974) menulis referensi buku teks yang komprehensif yang didominasi oleh pemerintah dan laporan-laporan studi. Pada saat itu sangat banyak dibahas tentang state of knowledge yang terjadi pada waktu itu. Tipe lain dari pengetahuan diidentifikasi oleh Tribe adalah bahwa secara tradisional pengetahuan akademik dikembangkan oleh academia yang menurutnya dinamakan ‘disciplinary-based methodology and peer review are the hallmarks of quality control’ (Tribe, 1999).

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas bahwa lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan pengetahuan kepariwisataan.

Pendikan Tinggi: akses dan adaptasi terhadap ilmu pengetahuan

Di era persaingan saat ini, Polloc (2004) mengidentifikasi empat dimensi utama yang mempengaruhi dunia pekerjaan yaitu (1) digitisation, (2) Connectivity, Convergence and

Community (3) Interoperability dan (4) Automation. Dengan tekanan tersebut, setiap orang

dituntut untuk beradaptasi dengan cepat terhad pengetahuan baru. Cepatnya perubahan pengetahuan, mempercepat inovasi dan perubahan teknologi, sehingga pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang berdaya adaptasi tinggi. Digitalisasi telah mengubah pengetahuan menjadi hanya dua angka yaitu satu dan nol. Sedangkan konektivitas telah mendorong dunia menjadi komunitas yang sangat sederhana.

Pendidikan Tinggi: mengelola pengetahuan

Pertumbuhan ekonomi pada abad 21 tidak lagi bertumpu pada komoditas, namun lebih didominasi oleh pengembangan pengetahuan, inovasi dan komersialisasi (Australian Institute for Commercialisation, 2002). Sehingga kemampuan mengelola pengetahuan benar-benar menjadi asset dalam persaingan. Menurut Shariq (1997), kemakmuran nasional akan ditentukan oleh kapabilitas intelektual nasional dan kemampuannya secara ekpertis dan investasi pada

pengetahuan.

(12)

Pendidikan Tinggi: tidak hanya vokasi

Menurut Airey (2003) pendidikan pariwisata saat ini berada pada titik di mana pendidikan sudah cukup berbasiskan pada teori yang dengan mudah disampaikan melalui pelatihan vokasi dan menyampaikannya kepada para mahasiswa pada kajian pengetahuan yang lebih luas dan pendalaman teori. bagaimanapun program pendidikan pariwisata yang meninggalkan vokasi dan/atau pengetahuan ekstradisipliner maka akan kehilangan pertumbuhan bidang vokasional. Tantangan kuncinya adalah pendidikan pariwisata tidak untuk vokasional sempit dan sederhana untuk memuaskan keinginan pekerja industri tetapi mengembangkan pengetahuan yang merupakan kontribusi sukses terhadap pengembangan pariwisata secara keseluruhan. Satu dari kekuatan terbesar dari pariwisata ialah bahwa posisi saat ini dapat menawarkan ekstradisipliner, multidispliner sebagaimana pengetahuan interdispliner. Dengan berbasiskan pada pendekatan tersebut maka akan mengasilkan sesuatu yang mengasikan, menantang dan area yang relevan dari pendidikan yang merupakan kontribusi akademia bagi dunia pada abad 21.

Pendidikan Tinggi: Kontribusi untuk Pariwisata Berkelanjutan

Dukungan pendidikan terhadap pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat dilihat dari kurikulum pendidikan itu sendiri. Untuk saat ini, dari sejumlah pendidikan tingi pariwisata lebih memfokuskan pada upaya untuk menyiapkan tenaga trampil untuk level menengah dan bawah. Sedangkan untuk mencetak top manajemen masih sangat kurang. Disadari atau tidak, pendidikan tinggi pariwisata di Indonesia seluruhnya berbasiskan vokasi, sehingga kontribusi bagi pengelolaan pengetahuan sangat rendah.

Pengetahuan yang berasal dari industri (extradisciplinary) tampak lebih mewarnai pendidikan tinggi pariwisata di Indonesia. Hal ini sangat berarti dalam mengembangkan pendidikan yang berbasis vokasi. Warna ini sangat kental terlihat dari penggunaan kompetensi kerja sebagai acuan dalam menyusun kurikulum dan proses pembelajaran.

Di sisi lain, kebutuhan untuk mengembangkan pariwiasata, pengelolaan daerah tujuan wisata, innovasi produk pariwisata, memerlukan sumber daya berbasiskan akademik (bukan vokasi). Dari pendidikan tinggi yang ada di Indonesia rasanya belum ada yang memfokuskan untuk itu. Oleh karena itu, seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan, maka kebutuhan sumber daya manusianya perlu dipenuhi.

Menuju Pengelolaan Pendidikan Tinggi Pariwisata untuk Daya Saing

(13)

Menurut Gordon (1995) kompetisi ekternal pada tahun 2005 antara lain akan terjadi (1) pergeseran akademik di dalam pendidikan menuju pendidikan yang tinggi, (2) adopsi secara luas oleh perusahaan dan pekerja professional terhadap standar kompetensi nasional yang lebih tinggi, (3) tumbuhnya penyedia program pendidikan maupun materi pendidikan.

Sementara itu menurut Mihardjo (1999) melihat kompetisi yang sangat ketat di berbagai bidang kehidupan telah menimbulkan pergeseran poros dunia dari Barat ke Timur atau dari Eropa ke Asia Timur. Pergeseran ini memberikan bentuk atau ciri pengembangan ilmu dan teknologi (iptek) antara lain: (1) Sumber daya manusia yang diperlukan adalah tenaga kerja tukang yang memiliki ketrampilan tinggi (highly-skilled craft worker) (2) Manajemen sumber daya manusia yang ditekankan untuk mengendalikan proses produksi yang digerakkan dengan mengikuti aturan-aturan yang berulang-ulang dan rutin, (3) Orientasi produksi yang bersifat massal, terpusat dan miskin akan nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan bermasyarakat, (4) Kebutuhan spesialisasi yang sangat dalam sehingga menimbulkan kekakuan atau kecanggungan bila harus berganti bidang pekerjaan yang lain.

Untuk mengantisipasi hal itu, William and Fray (1994) merumuskan enam strategi pengelolaan pendidikan tinggi sampai tahun 2004. Strategi tersebut adalah: (1) diversity and differentiation; (2)

graduate employment; (3) qualification and the organization of teaching quality; (4) Opportunities offered by new technology; (5) Increasing income from the private sector; dan (6) staff recruitement.

Diversifikasi dan diferensiasi. Lembaga pendidikan tinggi yang hanya menawarkan satu macam produk dipastikan akan segera mengalami stagnasi. Hal ini terjadi karena cepat berkembangnya pengetahuan dan teknologi yang mengakibatkan cepat usangnya ilmu dan teknologi. Di samping itu, produk pendidikan yang ditawarkan harus memberikan warna yang berbeda dengan pendidikan lain yang sejenis. Ini dapat dicapai apabila institusi memiliki core competence, yaitu sumber daya dan kemampuan yang dimiliki institusi sebagai sumber keunggulan bersaing terhadap institusi pesainnya. Apabila corecompetencies yang dimiliki institusi memiliki keunggulan superior dari pada institusi competitor-nya maka disebut distinctive competence.

Pemberdayaan lulusan. Penyerapan lulusan oleh industri selalu tidak sebanding dengan jumlah banyaknya lulusan yang ditawarkan lembaga pendidikan tinggi. Terdapat dua kemungkinan yang utama hal ini dapat terjadi. Pertama, kesempatan kerja yang ditawarkan lebih sedikit dibandingkan dengan supply calon tenaga kerja yang akan mengisi jabatan pekerjaan tersebut. Kedua, lulusan tidak memenuhi kriteria kompetensi yang dibutuhkan industri. Oleh karena itu, institusi harus membentuk jaringan kerja secara luas guna menempatkan lulusannya.

(14)

Peluang pemanfaatan teknologi baru. Teknologi computer dan informatika ternyata telah merubah dunia secara revolusioner. Tatanan pendidikan dipastikan berubah secara cepat. Learning without walls, tampaknya sudah tidak dibendung lagi. Akankah pendidikan dalam kelas dapat berlangsung? Ini tergantung pada kemampuan mengelola institusi ini menawarkan produk unggul bagi para calon mahasiswanya.

Peningkatan pendapatan dari sector swasta. Dipastikan tidak akan mencapai kualitas baik apabila orientasi pendidikan hanya mengejar kuantitas mahasiswa dan atau lulusan. Karena jumlah mahasiswa sebagai sumber pendapatan institusi. Untuk itu, pendapatan di luara tuition fee harus diusakan. Membentuk unit-unit bisnis strategis yang mendukung proses pembelajaran menjadi suatu keharusan. Atau meningkatkan distinctivecompetence untuk menjadi researchuniversity. Salah satau ciri researchuniversity adalah memiliki pusat kreativitas yang dapat digunakan sector swasta sebagai penyumbang dana. Menurut Ginkel (1994) “the university will remain the centre of creativity and innovation well into the middle if the next century, remain firmly fixed in the middle of society [but the] university will look rather diffrenet from university… knowledge management will occupy the centre stage”

Rekruitmen Staf. Dalam isntitusi pendidikan, staf dikelompokkan menjadi stam pengajar dan non pengajar. Staf pengajar sebagai motor utama dalam proses pembelajaran, sangat menentukan kualitas lulusan. Dedikasi yang tinggi, kapabilitas yang memadai, profesionalime yang menjadi dasar perekrutan akan mendorong institusi pendidikan memiliki distinctive competence. Williams and Fry (1994) menyimpulkan: “The university of 2004 will be evolving towards one with a small core of high quality full-time staff, more formally specialised than at present in terms of teaching and research skills, under-taking core teaching themselves, but also acting as creators and facilitators of high technology learning materials and forming the nodes of networks of part-time staff”.

Belajar dari porses pendidikan tinggi di Amerika, Bruce Johnstone (1993): “American higher education in the last decade of the twentieth century faces escalating costs, uneven demographics, faltering revenues and a serious erosion of public confidence–not of its fundamental importance, but of its institutional integrity and stewardship. The failure to surmount these challenges could well lead to losses that are serious and irrevocable”.

Catatan Penutup

Pendidikan pariwisata harus dikembangkan untuk membangun daya saing bangsa melalui penguasaan pengetahuan, teknologi dan inovasi. Pariwisata yang memiliki peran penting perlu ditunjang oleh kemampuan sumber daya yang tidak hanya dibekali pengalaman tetapi harus dikombinasikan dengan pengetahuan.

(15)

Daftar Pustaka

Airey D., (2002), ‘Growth and Change in Tourism Education’ Rethinking of Education and Training for Tourism (ed) Vukonic B and Cavlek N, Graduate School of Economics and Business, University of Zagreb, 2002, pp 13-22

Airey D., (2003) Tourism education the dilemma of succes? Tedqual 6/1, 2003.

Airey, D., (1995), Tourism Degrees -Past, Present and Future, Inaugural Lecture, 31 January 1995, (Nottingham: Nottingham Business School).

Amit, R., & Schoemaker, P. J. (1993). Strategic assets and organisational rent. Strategic Management Journal, 14(1), 33–46.

Bharadwaj, S., Varadarajan, P. R., & Fahy, J. (1993). Sustainable competitive advantage in service indus-tries: A conceptual model and research propositions. Journal of Marketing, 57(4), 83– 89.

Birkinshaw, J., Morrison, A., & Hulland, J. (1995). Structural and competitive determinants of a global integration strategy. Strategic Management Journal, 16(8), 637–655.

Burkart, A.J. and Medlik, S., (1974), Tourism, Past Present and Future, (London: Heinemann).

Butler, R.W., (1980), ‘The Concept of A Tourism Area Cycle of Evolution; impli-cations for management of resources’, Canadian Geographer, 24(1): 5-12.

Collis, D. J. (1994). How valuable are organisational capabilities [special issue]. Strategic Managemet Journal, 15, 143–152.

Davidson, W. H. (1980). The location of foreign direct investment activity: Country characteristics and experience effects. Journal of International Business Studies, 12(3), 9–22.

Dickson, P. R. (1996). The statics and dynamics of competition: A comment on Hunt and Morgan’s comparative advantage theory. Journal of Marketing, 60(4), 102–106.

Eduardo F, Garcia and Adela M. 2002. A Modest proposal: on the tourism policy and destination management research programme. Tedqual 5/1, 2002.

Fahy, J. (1998). The role of resources in global competition. In G. Hooley, R. Loveridge, & D. Wilson (Eds.), Internationalisation: Process, context and markets (pp. 122–135). London: McMillan Press. Taofik, I. 1999. Indonesian recovery and Development. Makalah Seminar daya Saing Indonesia di Era

Global.

Jafari, J. 2002. Tourism education and training model, Getting to core of destination planning and management. Tedqual 5/1, 2002.

McIntosh, RW and C. Goeldner. 1998. Tourism: principles, practices, philosophies. 5th ed. John Wiles &

Sons. Singapore

Mihardjo, M. 1999.

Morrison, A. J., & Roth, K. (1992). A taxonomy of business level strategies in global industries.

(16)

Morrison, A. J., Ricks, D. A., & Roth, K. (1991). Globalisation versus regionalisation: Which way for the multinational? Organisational Dynamics, 19(3), 17–29.

Murtha, T. P., & Lenway, S. A. (1994). Country capabilities and the strategic state: How national political institutions affect multinational corporations’ strategies [special issue]. Strategic Management Journal, 15, 113–129.

Oliver, R. W. (2000). New rules for global markets. Journal of Business Strategy, 21(3), 7–9.

Peteraf, M. A. (1993). The cornerstones of competitive advantage: A resource-based view. Strategic Management Journal, 14(3), 179–191.

Pollock, Anna. 2004. Tourism: A New Role in a New Century. Keynote Speaker PATA Conference, Korea.

Porter, M. E. (1986). Competition in global industries: A conceptual framework. In M. E. Porter (Ed.),

Competition in global industries (pp. 15–60). Boston, MA: Harvard Business School Press.

Ruhanen, L. Chris Cooper. 2002. Developing a knowledge management approach to tourism research.

Tedqual 6/1, 2003.

Travelers’ Use of the Internet (2002), Travel Industry of America (TIA). Available: http://www.tia.org/

Tribe, J., (1997), ‘The Indiscipline of Tourism’ Annals of Tourism Research 24(3): 628-657.

Tribe, J., (1999), The Philosophic Practitioner: Tourism Knowledge and the Curriculum, (London: University of London, unpublished PhD thesis).

Tribe, J., (2000), ‘Balancing the vocation-al: the theory and practice of liberal edu-cation in tourism’ Tourism and Hospitality Research 2(1) 2000: 9-25.

UNESCO World Heritage Website (2003, June) [Online]. Available: http://whc.unesco.org/.

USAID Website (2003, June). Tourism Rapid Assessment. [Online]. Available: www.raise.org/tourism.

Walker, J. R., 2002. Introduction to Hospitality. 3rd edition. Prentice Hall. New Jersey.

Weick, K. E. (1979). The social psychology of organising. Reading, MA: Addison-Wesley.

World Tourism Organization (2002). Voluntary Initiatives for Sustainable Tourism. Madrid, Spain.

World Travel and Tourism Council (2003, June). Steps to Success. [Online]. Available:

http://www.wttc.org/resourceCentre/publi cations.asp.

Gambar

Tabel 1.  Perbadingan enam indeks untuk beberapa Negara (2003)
Gambar 1. Pariwisata sebagai stimulant pembangunan (WTTC, 2003)
Tabel 2.  Pertumbuhan Ekspor Empat Sektor Negara-negara Berkembang dan Belum Berkembang  tahun 1990-2000
Gambar 2. Tourism Education-Training Continuum (Jafari, 2002)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja UMKM, hal ini menjelaskan bahwa jika adanya peningkatan kompetensi para SDM UMKM maka

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelasaikan penyusunan

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, peneliti dapat menarik suatu poin pokok mengenai pengertian dan konsep collaborative governance adalah sebagai suatu usaha dan

Persentase Sumber Daya Aparatur BPKAD yang terlatih dan terdidik dalam bidang pengelolaan keuangan dan aset daerah Persentase kecukupan kebutuhan belanja operasional dan

lan dengan dimatikan u i.php denga h meningk is Yii, ini a a dipakai. APC ankan forma. garuhi debug angan miliar baik, untuk an file katkan adalah Baik na itu, n dan

Keefektifan LKS make a match pada materi tata nama senyawa dapat dilihat dari hasil belajar siswa (nilai pretest dan posttest) Hasil belajar awal siswa (preetest) menunjukkan bahwa

RISKEDAS pada populasi dewasa usia ≥ 15 tahun di Yogyakarta yaitu 32% dan penelitian Sundari, Masdar dan Rosdiana 2015 prevalensi obesitas sentral pada populasi laki-laki dewasa >

Ο προφανής, λοιπόν, σκοπός της επι­ χείρησης δεν μπορεί παρά να ήταν ή η εκ­ καθάριση της ανωτέρω περιοχής των συ­ νόρων από