• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Kajian Etnografi Tanah Adat untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Kajian Etnografi Tanah Adat untuk"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Kajian Etnografi Tanah Adat untuk Pembaruan Hukum Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyrakat Adat di Tingkat Daerah

Oleh:

R. Yando Zakaria

Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (PUSTAKA)1

Pendahuluan

Situasi politik pengakuan hak-hak masyarakat adat menjadi lebih baik dengan munculnya Putusan No. 35 Tahun 2012 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3,

dan seterusnya. Keistimewaan Putusan yang terakhir ini adalah bahwa

Mahkamah Konstitusi tidak lagi sekedar merumuskan kriteria dan kondisionalitas yang diperlukan, melainkan sekaligus menggunakannya dalam menilai legal standing dua komunitas masyarakat adat yang mengajukan judicial review bersama AMAN.2

Pada intinya Putusan (-putusan) Mahkamah Konstutusi tersebut mengatur tentang 3 kriteria pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat itu, lengkap dengan penjelasan tentang kondisionalitas yang perlu dipenuhi untuk setiap kriteria itu.

Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat

1 R. Yando Zakaria, antropolog, yang selama ini banyak terlibat dalam kajian dan aksi advokasi yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat. Beberapa karya tulis dan hasil kajiannya dapat diakses secara gratis pada mini-web independent.academia.edu/YandoZakaria

2 Setidaknya Zakaria (2014) mencatat ada 5 (lima) nilai positif yang dibawa oleh Putusan MK 3 Tahun 2012. Lebih lanjut lihat R. Yando Zakaria, 2014. “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya Terhadap Perebutan Sumber Daya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/@101: Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”, dalam Jurnal WACANA Nomor 33, Tahun XVI, 2014. Yogyakarta; INSIST Press.

(2)

Merujuk pada Putusan MK 35 Tahun 2012, logika hukum yang berlaku adalah bahwa “tanah adat bukan tanah negara; tanah adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak masyarakat hukum adat diakui jika keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan

dalam Peraturan Daerah”.3

Melanjutkan perkembangan itu, saat ini setidaknya tersedia pula lima perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-masing adalah, (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Pelindungan Masyarakat Hukum Adat; dan (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak;

dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian

Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Di tingkat daerah, sebagaimana yang dilaporkan Arizona (2015b),4 hingga

tengah tahun 2015 lalu, ada sekitar 90 produk hukum daerah dan/atau kegiatan

advokasi hukum daerah dalam jumlah yang hampir sama.5 Produk-produk

hukum daerah dimaksud berkaitan dengan upaya (1) pengembangan/penguatan

lembaga adat;6 (2) pengakuan terhadap wilayah masyarakat hukum adat;7 (3)

pengakuan terhadap keberadaan suatu masyarakat hukum adat;8 dan (4)

pengakuan sebagai unit pemerintahan.9Menurut catatan terakhir, sebagaimana

3 Logika hukum yang mensyaratkan pengakuan subyek hukum (masyarakat adat) sebelum pengakuan atas obyek hak (dalam hal ini adalah hutan adat dan/atau tanah adat/tanah ulayat) sejatinya telah dianut dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 4 Yance Arizona, 2015. Sebagaimana dapat diakses pada

https://www.facebook.com/yance.arizona/posts/10207450108040211?comment_id=1020745 6706605171&notif_t=mentions_comment

5 Lihat juga

http://kabar24.bisnis.com/read/20150826/16/465904/masyarakat-adat-produk-hukum-banyak.-hak-tradisional-belum-terjamin

6 Seperti Perda Kabupaten Nunukan Nomor 34 tahun 2003 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat dalam wilayah Kabupaten Nunukan, misalnya.

7 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Baduy. Sebenarnya, tanpa perda ini tanah/ulayat Baduy tidak terancam/tetap dikuasi secara efektif. Saat ini Orang Baduy sdh menguasai tanah di luar wilayah adatnya dua kali lipat dari luas ulayatnya (5000 ha). Komunikasi pribadi dengan peneliti LIPI yang sedang melakukan penelitian tentang masalah/topik dimaksud (2015).

8 Misalnya, Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih; dan (Rencana) Peraturan Daerah Propinsi Sulawes Selatan tentang Amatoa Kajang.

(3)

yang ditunjukan tabel berikut, jumlah regulasi di tingkat daerah itu hampir mencapai angka 200 kasus.10

Meski begitu, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian lain, keberadaan berbagai kebijakan itu justru punya potensi ‘membunuh masyarakat adat’ (Zakaria, 2015).11 Lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan dimaksud

terjadi karena gagalnya para perumus kebijakan memahami fakta-fakta empiris di tingkat lapangan tentang apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sendiri. Para pihak, baik para perumus kebijakan, para ahli, dan juga kalangan pegiat masyarakat sipil, terjebak pada perdebatan soal pendefenisian – dan juga kondisionalitas yang digunakan dalam pengakuan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat itu – yang berkepanjangan dan nyaris kontra produktif. Demikian pula, para pihak itu juga terseret pada arus pandangan yang melihat fenomena keberadaan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu sebagai entitas politik semata, sebagaimana yang telah terjadi pada masa kolonial tempo hari, sehingga

dari mandat kebijakan terkait ‘pemerintahan desa’ sebelum dan sesudah reformasi. Kebijakan tentang kelembagaan adat ini sudah ada sejak zaman Orde Baru cq. UU 5 Tahun 1979.

Sebagaimana pernah diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah. Kebijakan ini efektif meredam dan/atau menaklukan kekuatan adat. Lebaga-lembaga adat senang karena merasa mulai diperhatikan. Namun juga terjadi kerancuan kelembagaan di tingkat komunitas: ada kelembagaan adat yang dibentuk pemerintah yang bertingkat dari desa hingga nasional da nada lebaga-lembaga adat yang asli seperti KAN (Sumbar) dan Desa Pekraman (Bali). Saat ini juga terjadi persaingan antara Dewan Adat Papua (yang terbentuk atas dasat UU Otonomi Khusus Papua) dan Lembaga Masyarakat Adat yang berdasarkan kebijakan kemendagri yang lama, meski kedua-duanya adalah bentukan (atas dasar kebijakan) negara.

10 Malik, Arizona dan Muhajir, 2015. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.

11 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan Hukum Pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat Pasca-Reformasi”. Makalah yang dipersiapkan untuk Konferensi ke 5 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Surakarta, 14 – 15 November 2015.

6

Graphs 1. Trend of Indonesia's regional legisla5on products on recogni5on of adat peoples in the period of 1979-2016

number of regional legislaAon products

(4)

abai terhadap dimensi-dimensi keperdataan yang juga melekat pada beberapa susunan masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat yang memang tidak tunggal itu. Akibatnya muncul logika hukum yang keliru, dalam arti tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologi dari apa yang disebut sebagai (kesatuan) masyarakat (hukum) adat itu. Ke depan, tentu saja muncul suatu kebutuhan pada pendekatan alternatif yang lebih sesuai dengan realitas sosio-antropologis itu (Zakaria, 2016).12

Logika hukum yang keliru: Belajar dari tiga kasus sistem tenurial tanah adat

Di Ranah Minang, susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada yang

disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan

tertentu); suku (keluarga luas berdasarkan garis keturanan nenek moyang

tertentu), dan juga nagari (suatu kesatuan pemukiman/desa teritorial sekaligus

bersifat genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari 4 suku

yang ada (urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah ulayat

yang disebut sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu

andiko yang berbeda pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu

memiliki kewenangan yang penuh atas sako/pusako, dan tidak dapat

mencampuri urusan kaum, suku, atau nagari yang lain Franz von

Benda-Beckmann, 1979;13 dan Keebet von Benda-Beckmann, 2000;14 Franz and Keebet

von Benda-Beckman, 2012;15 Warman, 2010).16

Demikian pula dalam kasus masyarakat Batak Toba misalnya. Berdasarkan kajian etnografi yang dilakukan, baik berdasarkan kajian atas sumber-sumber sekunder maupun primer, pada dasarnya entitas sosial yang dikenal dalam masyarakat Batak Toba yang dapat disebut sebagai wujud susunan dan/atau

kesatuan masyarakat hukum adat itu adalah apa yang disebut sebagai bius,

partolian, golat, dan huta, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan

sebutan ini. Marga raja berikut marga boru, atau penyebutan lain yang

disetarakan dengan sebutan ini, yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

keberadaan marga raja itu sendiri, sebagai pemangku hak utamanya. Dengan

demikian, kesatuan wilayah di mana bius, partolian, golat, dan huta itu berada

dapat pula disebut sebagai wilayah adat dan/atau (tanah) ulayat dari

12 R. Yando Zakaria, “Strategi Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat: Sebuah pendekatan sosiologi-antropologis”, in Jurnal Bhumi, Volume 2 No. 2, November 2016. Lihat juga “HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, Mewujudkan Hak-hak Rakyat:

Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017. 13 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff.

14 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications.

15 Franz and Kebeet von Benda-Beckmann, 2012. 2012. Political and Legal Transformations of an Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University Press.

(5)

masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek hak dari masing-masing hak-hak

pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak itu (baca: bius, partolian,

golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun perorangan di dalam

kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru dimaksud) adalah (1)

kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan harangan, hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah dibersihkan itu disebut tano na

jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah pernah dibersihkan dan

sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area perumahan: Areal perumahan

atau parhutaan terletak pada sebidang tanah berbatasan dengan dua dinding,

parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat sudutnya ditandai dengan

pagopago, biasanya batu besar atau pohon besar, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian: Sawah sawah disebut saoa

atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur. Sebidang tanah

yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau penyebutan

lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan: Jalangan

adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan, sementara

jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah

untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang

berbeda-beda. Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan

ini, adalah area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk

penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi

perluasan huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan

untuk pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar

roh dan jiwa nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean,

parbeguan dan saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan

dengan sebutan ini. Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau

penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki

oleh orang biasa maka disebut partangisan hatopan, sedangkan kuburan

individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan lain yang

disetarakan dengan sebutan ini. Saluran tanah dimana orang melakukan sholat

khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano

langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan

sebutan ini.17

17 Kartini Sjahrir-Pandjaitan, et.al., 2017. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang

(6)

Agar tidak terpaku dengan contoh dari Sumatera saja, mari kita lihat contoh lain dari Kalimantan Tengah, sebagaimana tersaji pada Tabel 2 berikut. Sebagaimana yang dapat kita lihat dengan jelas, ada begitu banyak jenis obyek hak – lengkap dengan sebutan lokalnya sendiri-sendiri -- yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah. Begitu juga dengan (kemungkinan) subyek dan jenis haknya. Lagi-lagi kita akan menemukan subyek, obyek, dan jenis hak

(atas tanah) yang begitu beragam.18

Tabel 2

Pertanyaannya kemudian adalah, mengikuti logika hukum Putusan MK 35 Tahun 2012, yang sejatinya mengukuhkan logika hukum yang terkandung pada Pasal 67 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, apakah

dibutuhkan satu Peraturan Daerah untuk setiap kaum/buah gadang, suku, atau

pun nagari, agar masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang

berupa tanah ulayat) dapat diakui oleh negara sebagaimana dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012 itu? Demikian pula apakah perlu sebuah Peraturan Daerah

agar bius, partolian, golat, dan huta, marga raja berikut marga boru-nya agar

tanah-tanah adat mereka diakui oleh negara? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa dibayangkan betapa sibuknya masyarakat adat dan Pemerintah di negeri ini untuk memenuhi amanat konstitusi. Bukankah itu sama saja dengan ‘membunuh’ masyarakat adat?

18 Sayangnya sejauh data yang tersedia, kita tidak dapat merinci hubungan yang pasti antara satu objek hak dengan suatu subyek (apakah berhubungan dengan lewu, satuan pemukiman

berdasarkan garis genelogi dan territorial, atau dengan suku kecil dan suku besar) dan juga jenis hak untuk masing-masing obyek hak itu (apakah hak pribadi, komunal privat atau komunal publik).

Sistem Tenurial MHA di Kalimantan Tengah (Draf Pergub Pedoman Pemetaan Wilayah Adat, 2014)

Subyek Hak Obyek Hak Jenis Hak

Individu/keluarga Lewu Hak individu: personal atau keluarga (baKh)

Individu/keluarga Petak eka malan-manana saKar (daerah bantara

sungai di sekitar lewu)

Milik perorangan? Keluarga?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? RinKs (tempat pemanenan hasil hutan non-kayu) Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku Kecil?

Individu Tangiran (pohon madu) Hak individu (oleh penemu). Bagaimana dgn tanah di

sekitarnya?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Sepan (mata air) Hak komunal lewu? Antar lewu? Suku besar? Suku kecil?

Individu Petak bahu (bekas ladang) Hak individu

Individu atau ‘warga llewu’? Kaleka (bekas pemukiman) Hak individu atau hak komunal?

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Pasahan raung dan pambak (komplek pemakaman)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Petak rutas (hutan larangan) Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Tajahan (tempat keramat) Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Pahewan (hutan angker) Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Tawun elai (hutan tempat pembuang sial) Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Sungei, anak sungei, saka (anak sungai yg lbh kecil lagi)

Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Tatas (kanal buatan) Hak komunal

Lewu? Antar lewu? Suku Besar? Suku kecil? Baruh atau talaga (danau alam kecil) & Tasik (danau alam lbh besar)

Hak komunal

(7)

Kebijakan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan Hak Adat Atas Tanah sebagai Upaya Mempercepat Penyelesaian Konflik Agraria di Tingkat Daerah

Dalam bagian terdahulu telah disinggung bahwa saat ini terdapat 5 peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat. Jika dikaitkan dengan penggunaannya, kelima peraturan perundang-undangan itu dapat dipilah ke dalam 3 tujuan.

Pertama adalah peraturan perundang-undangan untuk mengakui hak politik masyarakat adat, khususnya untuk menyelenggarakan pemerintahan nasional di tingkat desa oleh desa adat, sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.

Kedua adalah peraturan perundang-undangan untuk mengakui keberadaan suatu masyarakat adat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Peraturan Menteri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Pelindungan Masyarakat Hukum Adat. Peraturan perundang-undangan ini merupakan respons Pemerintah, khususnya Kemneterian Dalam Negari, yang dimaksudkan Pemerintah untuk membantu masyarakat adat untuk memanfaatkan peluang hukum untuk pengakuan haknya, sebagaimana yang dibukakan peluangnya oleh Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012. Sebagaimana diatur oleh putusan tersebut, hak masyarakat adat adat hutan adat diakui jika keberadaan masyarakat adat yang bersangkutan telah ditetapkan dengan peraturan

daerah.19

Ketiga, adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk pengakuan hak masyarakat adat atas hutan dan tanah. Sebagaimana yang diatur oleh (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak; dan (3) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun

2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Menurut

ketiga peraturan perundang-undangan ini, untuk mengakui hak masyarakat adat atas suatu persil tanah atau kawasan hutan, masyarakat adat yang bersangkutan harus ditetapkan dengan perda (jika tanah/hutan yang akan diakui itu berada di dalam kawasan hutan) atau cukup dengan Surat Keputusan Bupati dan/atau Surat Keputusan Gubernur).

Terkait kebijakan-kebijakan ini, setidaknya ada 3 masalah krusial yang pada akhirnya menghambat laju pengakuan hak masyarakat adat itu, khususnya yang berkaitan dengan hak atas tanah. Masalah pertama adalah persoalan kuantitas.

(8)

Sebagaimana telah dijelaskan, jenis tanah ulayat (disebut sako atau pusako) di Minangkabau sangat beragam. Ada tanah ulayat kaum/buang gadang, suku/buek, atau nagari. Masing-masing tanah ulayat itu memiliki organisasi pengurusannya sendiri-sendiri. Perlu dicatat, sebuah nagari bisa terbentuk bila sudah ada urang

ampek jinih (ada sejumlah orang yang terbagi-bagi ke dalam empat suku). Agar

bisa dikategorikan sebagai suatu ‘faksi’ dari suku tertentu dalam pembentukan

nagari, pada suku tertentu itu sudah terdapat beberapa kaum (rata-rata saat ini

setiap suku di suatu nagari terdapat sekitar 10 kaum). Saat ini ada sekitar 800

nagari. Maka akan terdapat pula sekitar 3.200 suku, dan 32.000 kaum. Situasi

yang kurang lebih sama juga terjadi dalam konteks tanah adat di dalam masyarakat Batak Toba dan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Dengan kata lain, kebijakan yang ada saat ini terhalang pelaksanaannya karena begitu banyaknya produk hukum daerah yang harus dihasil.

Masalah kedua menyangkut kapasitas subyek hak untuk dapat mendorong proses proses-proses politik untuk menghasilkan peraturan daerah ataupun sekedar surat keputusan kepala daerah. Model pengakuan seperti yang ada saat ini tidak saja akan membebani biaya negara (Pusat dan Daerah), tetapi lebih-lebih lagi akan membebani masyarakat adat itu sendiri. Faktanya, dari belasan hutan adat yang telah diakui pemerintah hingga tahun 2017 lalu, semua mengandalkan pendampingan organisasi masyarakat sipil yang mendapatkan

dukungan dana dari luar negeri.20

Hambatan ketiga menyangkut persoalan kualitas, dalam arti akumulasi pengetahuan aparatur pemerintahan di tingkat daerah tentang subyek dan obyek tanah/hutan adat di wilayah kerjanya. Jika diamati puluhan peraturan daerah yang bermaksud mengatur pengakuan hak-hak masyarakat adat di daerah yang bersangkutan hanya sedikit yang memuat rincian subyek dan obyek hak masyarakat adat yang akan diakui oleh peraturan daerah yang bersangkutan. Dengan kata lain, aparatur pemerintahan di tingkat daerah itu

banyak yang mengalami illetaracy ethnography (buta huruf etnografi) terkait

hak-hak masyarakat adat di wilayah kerjanya. Tidak terkecuali tentang sistem penguasaan tanah adat.

Oleh sebab itu, perlu terobosan untuk mengatasi hambatan ini. Terobosan itu dapat dilakukan melalui pemberlakuan “Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah”.

Strategi pengakuan hak masyarakat adat semacam ini pernah terjadi dalam kasus Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor .. Tahun .. tentang .... Dalam

(9)

kasus di Kabupaten Lebak itu, melalui sebuah peraturan daerah, sejumlah kesatuan masyarakat (hukum) adat yang disebut di daerah itu sebagai kasepuhan ditetapkan keberadaannya.

Namun demikian, ‘Jalan Lebak’, sebut saja begitu, mengandung dua resiko sekaligus kerumitan yang akan dihadapi di tingkat pelaksanaan. Resiko pertama, jika dapat dikatakan begitu adalah bahwa ‘Jalan Lebak’ mengandaikan keberadaan kasepuhan itu tetap adanya. Padahal, masyarakat adat tidaklah imun dari perubahan. Penetapan keberadaan subyek yang bersangkutan seperti menutup munculnya subyek hak baru di belakangan hari.

Resiko kedua lebih rumit dari resiko yang pertama. Yakni, ‘Jalan Lebak’

mengandaikan bahwa dengan pengakuan keberadaan kasepuhan maka seluruh

hak yang melekat padanya dengan sendirinya terakui. Untuk kasus kasepuhan,

boleh jadi asumsi itu benar adanya. Namun, jika logika itu dibawa ke ranah minang, situasinya boleh jadi tidak sesuai atau tidak cukup. Sebab, subyek hak

atas ulayat nagari, ulayat suku, dan ulayat kaum, berbeda satu sama lainnya.

Masing-masing memiliki organisasi kepengurusannya tersendiri.

Logika dimaksud makin tidak sesuai lagi jika logika itu di bawa ke dalam konteks

masyarakat Batak Toba. Sebagaimana ditemukan oleh Pandjaitan-Sjahrir, et.al.

(2018), kelembagaan masyarakat adat yang memiliki otoritas publik yang dikenal oleh masyarakat yang bersangkutan, yakni huta dan/atau bius, tidak lagi hadir secara merata. Kalaupun masih ada yang eksis dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, otoritas kepublikannya relatif telah memudar. Lebih dari itu, hak masyarakat adat yang bersangkutan atas tanah misalnya, pada dasarnya

tidak (lagi?) berhubungan dengan keberadaan huta dan/atau bius, melainkan

berhubungan langsung dengan keberadaan suatu marga tertentu yang memiliki

status marga raja atas sebidang tanah adat dimaksud.21

Dalam konteks yang demikian, tentu saja kemampuan mengumpulkan

pengetahun tentang seluruh marga yang memiliki hak atas tanah di daerah itu

dan ditetapkan secara sekaligus dalam sebuah peraturan tentulah merupakan suatu yang tidak mungkin untuk dilakukan.

21 Marga adalah pengelompokan sosial berdasarkan hubungan genealogis

(10)

Oleh sebab itu, yang diperlukan kemudian adalah kebijakan yang dapat menampung proses pendaftaran obyek hak, dalam hal ini adalah hak atas tanah, yang terbuka sepanjang waktu. Tidak dibatasi oleh sekali atau beberapa kali penetapan subyek saja.

Langkah-langkah Penyusunan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan dan Pendaftaran Tanah Adat

1. Kajian Kerangka Hukum Pendukung di Tingkat Nasional

2. Studi Etnografi Tanah Adat22

3. Penyusunan Naskah Akademik, dengan Ruang Lingkup Pengaturan:

a. Landasan Hukum

b. Rincian Obyek dan Subyek Hak Atas Tanah Adat

c. Kelembagaan

d. Pendanaan

e. Mekanisme Penyelesaian Sengketa

4. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pengakuan

dan Pendaftaran Tanah Adat.

Landasan Hukum (Kajian Awal)

Pada dasarnya, Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sudah sejak awal mengatur tata cara pelaksanaan amanat konstitusi yang berkenaan dengan hak masyarakat adat atas tanah. Hal ini tergambarkan dengan sangat jelas pada pasal-pasal UUPA 1960 berikut.

• Pasal 2 ayat (1):

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

• Pasal 2 ayat (4):

Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat

dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

22 Lebih lanjut silahkan taut ke

(11)

• Pasal 3:

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Meski begitu, setidaknya hingga sebelum reformasi 1998, bagaimana amanat UUPA 1960 ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, memang belum pernah jelas wujudnya. Perubahan politik yang dibawa oleh pemerintahan pasca-reformasi 1998 membawa angin baru. Pada pertengahan tahun 1999, pasca-kongras masyarakar adat 1999 yang melahirkan Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN), Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang ... Pasal-pasal berikut, antara lain, mengandung arahan bagaimana mekanisme pengakuan hak masyarakat adat atas tanah itu seharusnya dilakukan.

Pada BAB II (PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH ULAYAT) antara lain dinyatakan pula bahwa:

• Pelaksanann hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada

dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.

• Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

– terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh

tatanan hukm adatnya sebgai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerpkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

– terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup

para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan

– terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan

dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Sementara itu, pada BAB III (PENENTUAN MASIH ADANYA HAK ULAYAT DAN

PENGATURAN LEBIH LANJUT MENGENAI TANAH ULAYAT YANG

(12)

• Pasal 5

– Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

– Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah.

• Pasal 6

– Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur

dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Penutup

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pandjaitan-Sjahrir, et.al., 2017 dan lainnya

sebagaimana telah diuraikan di atas, untuk sekedar menyebut satu contoh, dengan jelas menunjukkan bahwa berbagai ketentuan yang disebutkan dalam Permenagraria/Ka BPN 5/1999 di atas telah/dapat terpenuhi.

Gambar

Tabel 1. Kriteria Masyarakat Hukum Adat

Referensi

Dokumen terkait

Perawat adalah salah satu tenaga kesehatan yang sangat berperan dalam pelayanan di rumah sakit, karena perawat merupakan petugas kesehatan yang memiliki kontak paling lama

idiom atau kanyouku adalah gabungan dua kata atau lebih yang memiliki makna.. khusus

Karena merasa sebagai penerus Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan Mataram.. Namun, Banten tidak mau tunduk

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Konflik

Maka yang dimaksud “Manajemen Kegiatan Ekstrakurikuler dalam Pembinaan Qiro’ah Al-Qur’an di MA Hidayatul Muwaffiq Mojokerto adalah upaya/ proses tertentu meliputi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan penyejajaran Gen 16S rRNA menggunakan program NCBI, didapatkan hasil akhir yang menunjukkan bahwa sekuens DNA

Pulau Lombok yang masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan sampai sekarang,.. dimana 80% dari 3 juta jiwa penduduk yang mendiami Pulau Lombok