BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi
Identifikasi menurut Hawadi (2002:107) adalah suatu prosedur yang
dipilih dan yang cocok dengan ciri-ciri yang akan dicari dan selaras dengan
program yang mau dikembangkan. Hansen dan Linden (2002:107) menyatakan
bahwa dalam identifikasi, maka proses identifikasi yang dipilih haruslah
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Prosedur identifikasi haruslah berdasarkan
hal-hal dan tujuan program yang bisa dipertahankan.
Prinsip identifikasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Metode identifikasi haruslah dipilih konsisten dengan defenisi.
2. Prosedur identifikasi haruslah bervariasi
3. Prosedur untuk identifikasi harus baku dan konsisten.
4. Jika ada keterbatasan dalam lingkungan, maka kita harus
mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dalam lingkungan tertentu
(Hawadi, 2002: 108).
Menurut Hawadi (2002:110) proses identifikasi ada dua, yakni pertama,
tahap penjaringan dan tahap identifikasi serta studi kasus. Pada tahap penjaringan
digunakan metode yang majemuk seperti melakukan tes. Pada tahap kedua, yang
juga disebut dengan tahap identifikasi melibatkan pengetesan individu. Dalam hal
ini tahapan terhadap proses identifikasi adalah 1) tahap penjaringan, 2) tahap
2.2 Keberfungsian Sosial
Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh
individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya.
Pun dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok
bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh
setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat.
Penampilan dianggap efektif diantaranya jika suatu keluarga mampu
melaksanakan tugas-tugasnya. Menurut Achlis (2011:32) keberfungsian sosial
adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama
berinteraksi dalam situasi sosial tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan
dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.
Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan
kesinambungan, serta adaptasi resiprokal antara keluarga dengan anggotanya,
dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya, dan lain-lain. Kemampuan
berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya
adalah jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan
fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.
Skidmore, Thackeray dan Farley (dalam Modul Kementerian Sosial RI,
2008:76)menuliskan bahwa: ‘Social functioning to be a central purpose of social
work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.’
Artinya, keberfungsian sosial adalah tujuan utama atau inti dari pekerjaan sosial
dan intervensinya. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi
profesi lainnya. Dimana, ada prinsip 'to help people to help themselves' yang
masih diutamakan dalam praktik pekerjaan sosial, membantu para penyandang
masalah kesejahteraan sosial dapat kembali berfungsi secara sosial.
2.3 Bunuh Diri 2.3.1 Definisi Bunuh Diri
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan
“sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang
ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri
sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan
mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat
bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang
bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup
semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan
melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut
Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka
harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal
yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului,
misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam ,mengakhiri sesuatu
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri
memiliki 4 pengertian, antara lain:
1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri
secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai
penyelesaian atas suatu masalah.
Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh
diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris
dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara
etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri
melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.
Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri
sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang
sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi
hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada
kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah
upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat
2.3.2 Metode Bunuh Diri
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris
dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan
intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode
memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:
1. Obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
2. Menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
3. Senjata api dan peledak
4. Menenggelamkan diri
5. Melompat
6. Memotong (menyayat dan menusuk)
2.3.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri
Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak
fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh
diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut
bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan
derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada
dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,
rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena
menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping
akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis
lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada
saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang
melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut
beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang
berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris
dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):
1. Major-depressive illness, affective disorder
2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh
memiliki level alkohol dalam darah yang positif)
3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
4. Sejarah percobaan bunuh diri
5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
7. Hopelessness dan cognitive rigidity
8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan,
pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal,
kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)
9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
10.Rendahnya tingkat 5-HIAA
11.Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia
12.Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku
persiapan bunuh diri)
13.Akses pada media untuk melukai diri sendiri
14.Penyakit fisik dan komplikasinya
15.Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas
2.3.4 Penjelasan Bunuh Diri
Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya
dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang
kompleks.
1. Penjelasan Psikologis
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180
degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang
atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang berisiko melakukan
bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia
merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum
atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu
mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan
untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif
diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person
terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian
ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan
dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu
menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang
menekankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai
pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan
negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak
berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya,
dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional
(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu
berisiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.
Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk
tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan
agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari
reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya
dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai
reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat
bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup
Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)
mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku
bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting
pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah bipolar disorder atau mood disorder, schizophrenia, borderline dan
antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.
2. Penjelasan Biologis
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh
diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga
yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga
saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung
dengan perilaku bunuh diri.
3. Penjelasan Sosiologis
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan
masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &
Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu Egoistic Suicide, Altruistic
2.3.5 Teori Bunuh Diri Emile Durkheim
Emile Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan
teori bunuh dirinya. Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan
jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi
sosial. Teori ini muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat
orang-orang yang melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile
tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai negara mengenai hal ini. Peristiwa
bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat
dijadikan sarana penelitian dengan menghubngkannya terhadap struktur sosial dan
derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan.
2.3.5.1 Alasan dan Jenis Bunuh Diri
Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Durkheim (2007:17),
yaitu:
a) Karena alasan agama
Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh
diri dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama
Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan
penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan
kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya.
Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar
untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada
agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya
menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi
menganut ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang
menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar
daripada penganut ajaran agama Katolik.
b) Karena alasan keluarga
Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin
kecil pula keinginan untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin
besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada kegiatan sosial di
antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih
besar biasanya lebih akan terintegrasi.
c) Karena alasan politik
Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara
masyarakat militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damai angka
bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih besar daipada
masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat militer
angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer
lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan
saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung
disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.
d) Karena alasan kekacauan hidup (anomie)
Bunuh diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi
mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah
tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada.
Sedangkan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim adalah:
a. Bunuh diri Egoistic
Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa
kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya.
Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role
expectation) di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari),
maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri.
b. Bunuh diri Anomic
Bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu
dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir,
bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat
individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang
akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap
kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari
indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan
bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini,
ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa
mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan
karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini.
Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki
dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat.
sekonyong-konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk
menggantikan tatanan moral sebelumnya.
c. Bunuh diri Altruistic
Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam
masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah
ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang
Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi
membela negaranya.
d. Bunuh diri Fatalisme
Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi
semangat untuk melanjutkan hidup.
2.3.5.2 Teori Struktural Fungsional dan Studi Bunuh Diri
Teori struktural fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang
bagaimana sebuah struktur dalam suatu negara dapat mempengaruhi individu dan
masyarakat dalam berbagai aspek. Teori struktural fungsional dalam studi Emile
Durkheim tentang Bunuh Diri (Suicide). Bunuh diri adalah suatu fakta sosial yang
terjdi dalam masyarakat yang penyebabnya dikarenakan sebuah struktur yang
terjadi dalam suatu negara, yang kemudian dampaknya terjadi kepada masyarakat
ataupun individu.
Kenyataan dari fakta sosial itu sendiri adalah bahwa gejala sosial yang
perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis ataupun
karakteristik yang lain. Karakteristik fakta sosial menurut Durkheim adalah,
pertama bahwa setiap tindakan atau gejala sosial individu dipengaruhi oleh faktor
eksternal. Seperti norma – norma dan peraturan – peraturan bahwa individu selalu
dalam situasi yang sama selalu melakukan dan mematuhi aturan dan norma –
norma yang ada, hal itu terbukti semua tindakan dan aktivitas individu selalu
dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal diluar kesadaran manusia.
Kedua, bahwa fakta sosial itu bersifat memaksa, hal tersebut dapat dilihat
jika individu dalam melaksanakan aturan yang berlaku selalu terdapat paksaan
dalam dirinya. Paksaan tersebut dapat menjadi sesuatu yang biasa, jika proses
yang dilakukan individu berhasil alhasil, semua aturan yang ada telah menjadi
sesuatu yang biasa tanpa adanya paksaan.
Ketiga, bahwa fakta sosial bersifat umum dan menyeluruh. Hal tersebut
dapat diartikan fakta sosial bukan milik individu melainkan milik masyarakat luas
dan fakta sosial bersifat kolektif (Samuel, 2010:25).
Menurut Durkheim, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku
maupun tidak yang dilakukan individu karena adanya paksaan eksternal dan fakta
sosial adalah seluruh tindakan masyarakat yang secara umum dilakukan tanpa
manifestasi dari individu. Durkheim membedakan fakta soaial menjadi dua yaitu
fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material adalah
gaya arsitektur, bentuk teknologi, bentuk perundangan yang mudah dipahami,
karena dapat diamati secara langsung. Fakta sosial material sering
luar individu bersifat memaksa, hal itu disebut fakta sosial nonmaterial. Fakta
sosial nonmaterial dipandang penting oleh Durkheim, karena fakta ini
mengandung batasan – batasan tertentu, ia ada dalam pikiran individu. Semua
ketentuan manusia bukan hanyan berasal dari pikiran individu semata, melainkan
dari interaksi manusia itu sendiri. Pada level lain fakta sosial material yang berupa
struktur (misal birokrasi), yang bercampur dengan komponen morfologis
(kepadatan penduduk dalam lingkungan dan jalur komunikasi mereka), fakta
sosial nonmaterialnya adalah norma birokrasi.
Fakta sosial nonmaterial sesuatu yang sangat penting dalam studi
Durkheim, maka dengan ini akan mempertengahkan jenis – jenis fakta sosial
nonmaterial yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan aliran
sosial. Moralitas, dalam mempelajari moralitas yang harus diperhatikan terdiri
dari dua aspek. Pertama, moralitas adalah fakta sosial yang dipengaruhi oleh
faktor – faktor eksternal yang dapat dipelajari secara empiris bukan secara
fisiologis karena moralitas dapat dilihat bentuknya secara keseluruhan namun
moralitas harus dipelajari secara empiris.
Moralitas sangat erat hubungannya dengan struktur sosial. Kedua,
moralitas adalah sesuatu yang diidentifikasi dengan masyarakat. Masyarakat tidak
mungkin tidak bermoral, namun bisa jadi masyarakat itu kehilangan kekuatan
moralnya jika ia menganggap kepentingan – kepentingan kolektif (bersan)
menjadi kepentingan individu belaka. Selama moralitas itu adala fakta sosial,
moralitas dapat memaksa masyarakat atau individu untuk mematuhi kepentingan
Kesadaran kolektif, menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah
seluruh kepercayaan bersama orang kebanyakan dalam masyarakat yang akan
menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat
umum. Durkheim memandang kesadran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem
bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari
fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat
terwujud melalui kesadaran – kesadaran individu (Samuel, 2010:37).
Representatif kolektif, karena kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang
luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengam
melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih
spesifik dalam karya – karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol
agama, mitos dan lgenda populer. Semua itu adalah cara – cara masyarakat
merefleksikan dirinya dan mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai
kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran – kesadran individu,
karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material.
Aliran sosial, sebagian besar faktas sosial Durkheim selalu di hubungakan
dengan organisasi soial. Tetapi fakta sosial tudk dapat menghadirkan bentuk yang
jelas, karena fakta sosial tidak dapat timbul melalui kesadaran - kesadaran
individu. Aliran atau arus sosial dapat dicontohkan dengan, luapan emosi,
perasaan, amarah, semangat dan rasa kasihan. Kita dapat diseret oleh arus sosial ia
memiliki kekuatan untuk memaksa kita, meski kita baru menyadari ketika kita
Bunuh diri sebagai fakta sosial, dimana Durkheim mendefinisikan bunuh
diri adalah sebagai penyebeb kematian sesorang baik secara langsung maupun
tidak langsung, oleh tindakan positif ataupun negatif yang pelakunya sadar jika
perbuatannya dapat menimbulkan kematian dalam dirinya. Studi tentang bunuh
diri ini sebelumnya didasarkan pada dua penyebab, yaitu gangguan psikologis,
gangguan biologis dan ekologis / kosmis.
Bunuh diri karena gangguan psikologis ada empat jenis pertama, maniacal
suicide yaitu bunuh diri didasarkan adanya halusinasi baik dalam rangka melawan
maupun menuruti halusinasi tersebut, kedua melancholy suicide yaitu dimana
pelaku dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap – luap, ketiga
obsessive suicide yaitu bunuh diri atas dasar obsesi atau keinginan sendiri untuk
membunuh dirinya sendiri, meskipun tindakan bunuh diri tidak didasari oleh
motivasi tertentu yang masuk akal, keempat impulsive suicide yaitu bunuh diri
didasarkan pada dorongan impulsif (Samuel, 2010:67).
Durkheim menafsirkan bahwa bunuh diri tidak selamanya karena adanya
gangguan psikologis, karena tidak dapat dipertanggungjwabkan, data yang
dikumpulkan bersifat terbatas sehingga kesimpulan yang ditarik tidak
menciptakan suatu kesimpulan yang terperinci secara spesifik. Berdasarkan data
statistik Durkheim terlihat adanya hubungan antara kasus bunuh diri dan ciri- ciri
sosial pelakunya. Ciri tersebut adalah agama, jenis kelamin, asal negara, dan usia.
Dari abad ke abad bunuh diri semakin menimbulkan keraguan, singkatnya bunuh
diri tidak sekedar atas gangguan psikologis. Durkheim juga tidak menyetujui jika
bunuh diri karena adanya faktor biologis. Yang menjadi dasar dari faktor biologis
jelas terhadap penjelasan ras itu sendiri. Durkheim menyebutkan bahwa adanya
faktor non – biologis yang dapat mempengaruhi faktor bunuh diri.
Hasil tafsir ekologis atau kosmis adalah bahwa bunuh diri dapat
dipengaruhi karena suhu dan tekanan udara dalam suatu daerah. Berdasarkan data
statistik Durkheim tidak adanya pengaruh bunuh diri dengan pengaruh iklim, suhu
dan kelembaban udara. Durkheim menjelaskan tingkat bunuh diri dalam musim
panas bukan karena cuaca yang panas itu hanya sebuah kondisi geografis dari
alam, tetapi hal tersebut dikarenakan oleh tingkat aktivitas di musim panas lebih
padat dari pada di musim dingin. Intinya kondisi cuaca tidak dapat mempengaruhi
bunuh diri, tetapi terdapat kondisi sosial yang mempengaruhinya. Apa yang
membedakan pandangan Durkheim bukan semata – mata karena faktor dari
individu. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat, bunuh diri
merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat direduksi menjadi fakta sosial
lannya, karena sudah memiliki karakteristik dan dasar – dasar sendiri.
Bunuh diri sebagai fakta sosial dapat dilihat jika kita dapat mencermati
jenis – jenis bunuh diri dan hubungannya dengan dua jenis fakta sosial utamanya,
integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk kepada kuat tidaknya keterikatan
masyarakat, sedangkan regulasi merujuk kepada tingkat paksaan eksternal yang
dirasakan individu. Jika adanya integrasi yang meningkat, dikelompokkan
menjadi bunuh diri alturuistis, jika integrasi menurun dikelompokkan menjadi
bunuh diri egeoistis. Sedangkan bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi
yang tinggi, dan jika regulasi rendah maka hal itu berkaitan dengan bunuh diri
Bunuh diri Egoistis adalah bunuh diri dimana kelompok tidak dapat
berinteraksi dengan baik. Lemahnya integrasi menimbulkan anggapan individu
bukan bagian dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat bukan bagian dari
individu. Menurut Durkheim bagian paling baik dari manusia adalah adanya
moralitas, nilai dan tujuan yang berasal dari masyarakat, dengan hal itu manusia
dapat melampaui keterpurukan dan kekecewaan. Tanpa adanya hal itu, besar
kemungkinn akan terjadi tindakan bunuh diri karena depresi dan frustasi.
Bunuh diri Altruistis terjadi karena adanya integrasi yang kuat yang terjadi
dalam suatu kelompok. Misalnya seseorang yang melakukan bunuh diri karena
terlalu tunduk terhadap ketuanya, contohnya kasus pembunuhan massal yang
dilakukan oleh pengikit pendeta Jim Jones di Jonestwon, Guyana pada tahun
1978. Kasus para teroris pada saat bom bali 11 September 2001, mereka
menanggap bunuh diri itu dapat dikatakan mati syahid untuk membela agamanya.
Durkheim pun meyimpulkan bahwa semakin lemahnya integrasi akan
menimbulkan bunuh diri egoistis, dan semakin tingginya integrasi akan
menimbulkan bunuh diri altruistis.
Bunuh diri Anomik terjadi karena adanya gangguan regulasi yang terjadi di
dalam masyarakat. Dimana masyarakat tidak dapat menahan nafsunya untuk
memenuhi kebutuhan yang belum mencapai kepuasan atau lemahnya kontrol
dalam diri manusia terhadap nafsunya. Angka bunuh diri anomik dapat tejadi dari
karena adanya gangguan positif maupun negatif. Kedua macam gangguan tersebut
menimbulkan otoritas dri masyarakat kepada invidu. Situasi seperti ini
menimbulkan tidak berlakunya norma lama, dan belum timbulnya norma baru
norma yang mengikat. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada kasus depresi
ekonomi. Peningkatan bunuh diri selama periode deregulasi kehidupan sosial,
Durkheim melihat tentang pengaruh merusak dari nafsu individu yang tidak
terbatas dan terbebas dari pengaruh eksternal. Hal tersebut dapat menimbulkan
tindakan dekstruktif tiada batas, termasuk membunuh diri sendiri.
Bunuh diri fatalistis terjadi pada saat regulasi meningkat. Contoh dari
bunuh diri ini adalah bunuh diri budak yang terus ditindas oleh sebuah struktur
yang membatasi setiap tindakannya. Bunuh diri ini tidak banyak di bahas dalam
studi Durkheim tentang bunuh diri.
Hubungan teori struktural fungsional dengan studi bunuh diri sebagai fakta
sosial adalah bahwa sebuah struktur yang dibangun masyarakat berdasarkan atas
kesadaran individu yang dipengaruhi faktor eksternal bersifat memaksa dan
bersifat menyeluruh untuk masyarakat atau bersifat kolektif yang berfungsi untuk
mengatur dan memaksa individu. Teori struktural fungsional berdasarkan atas
fakta sosial masuk dalam ranah fakta sosial nonmaterial dan studi bunuh dirinya
cenderung kepada bunuh diri Fatalistis dan bunuh diri anomik.
2.3.6 Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa
melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang
derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit
atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang
non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya
mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran
yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi
(Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa
antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah
hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan
dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang
paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari
masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris,
dalam Maris dkk., 2000).
Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri
sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris
dkk., 2000). Jobes, Berman, dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar
intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan
verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan
untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).
2.4 Kesehatan Mental
2.4.1 Pengertian Kesehatan Mental atau Jiwa
Definisi sehat menurut badan kesehatan dunia (WHO) adalah suatu
dari penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan
hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera
dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat
merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu
mengatasi tantangan hidup sehari-hari.
Penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan
tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat
secara langsung, seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan
berbagai macam gejala dan disebabkan berbagai hal kejadian masa lalu yang sama
dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda banyak klien
dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan
mungkin menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka
untuk berperan dan menyelesaikan masalah juga bervariasi (Keliat, 2005).
Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966, adalah suatu
kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang
optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadasan orang lain.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan segi
kehidupan manusia dan cara berhubungan dengan orang lain. Dari pengertian
dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu kondisi perasaan sejahtera
secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencangkup aspek konsep
diri, kebugaran dan kemampuan mengendalikan diri (Riyadi, Suyono dan
Purwanto Teguh,2009).
Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk
buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu
disusun mulai dari rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih
umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir
seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya (Daradjat, 2003:45-46).
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa
(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak
dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari
sudut sehat atau sakitnya.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia
hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang
pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh.
Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan
kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa
fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan
harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan
hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar
dari rasa gelisah dan konflik batin.
4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang
lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih
menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan
yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan
bagi orang lain dan dirinya sendiri.
5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaiandiri antara
manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan
ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat
penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan
penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik
dengan sesama manusia.
Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah
Daradjat (2008:9) mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang
dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya
keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya
berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada
padanya seoptimal mungkin.
Ketiga, menurut M.Buchori (dalam Daradjat, 2008:11), kesehatan mental
(mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan
hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip
H.C. Witherington (dalam Daradjat, 2008:12) menambahkan, permasalahan
kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat
lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.
Keempat, Kartini Kartono, Jenny Andari (2009:15) mengetengahkan
rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang
mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya
gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau
menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu
bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang
ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan
kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam
ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin.
Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan
menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki
keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil
memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah
berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun telah
bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.
2.4.2 Ciri-Ciri Kesehatan Mental
Marie Jahoda (dalam Daradjat, 2003:35) memberikan batasan yang agak
absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang
yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
mengenal diri sendiri dengan baik.
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan,
dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam
atau kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta
memiliki empati dan kepekaan sosial.
6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya
secara baik.
Adapun ciri-ciri mental sehat menurut WHO, adalah:
1. Mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara konstruktif pada
kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk,
2. Mempunyai rasa kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya,
3. Mempunyai kesenangan untuk memberi dari pada menerima,
4. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan,
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan,
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian
7. Mengarahkan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif,
8. Mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik.
Sementara itu kriteria fungsi psikologis yang sehat menurut WHO adalah:
1. Menerima diri secara penuh (mencintai & menghargai diri), tetapi bukan
obsesi diri,
2. Memahami diri sendiri
3. Percaya diri, kontrol diri, sehingga menjadi mandiri, asertif, self efficacy,
4. Persepsi yang jernih terhadap realitas,
5. Keberanian dan ketahanan mental,
6. Keseimbangan dan fleksibilitas,
7. Menyukai orang lain,
8. Menghargai kehidupan,
9. Memiliki tujuan hidup.
2.4.3 Kesehatan Mental dan Keberfungsian Sosial
Menurut Moeljono Notosoedirjo (2009:33), guru besar psikiatri dan
kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas
Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan
mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada
dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah
membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada
arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
mental serta pencegahannya.
Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut
kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama secara
tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow
menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya
dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan
banyak yang menyebut dengan mentalhealth.
Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan
meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagian berikut
akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu
persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang
kondisi mental yang sehat.
Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan
Mittlemenn (dalam Daradjat, 2013: 11-13) adalah sebagai berikut:
1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai).
Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan
keluarganya.
2. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang
memadai), yang mencakup:
(a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding
pada diri sendiri dan prestasinya,
(b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral
yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara
sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang
selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.
3. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan
perasaan yang memadai, dengan orang lain).
Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat
dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi
ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan
memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri
sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia
harus memiliki alasan yang tepat.
4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan
realitas).
Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan
diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai dengan:
(a) tiadanya fantasi yang berlebihan,
(b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas
terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi
kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan
(c) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat
dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa
dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).
5. Adequate bodily desires and ability to gratify them
Hal ini ditandai dengan:
(a) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima
mereka tetapi bukan dikuasai;
(b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik
dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari
kelelahan;
(c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan
tanpa rasa takut dan konflik;
(d) kemampuan bekerja;
(e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam
berbagai aktivitas tersebut.
6. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang
wajar). Termasuk di dalamnya, antara lain:
(a) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan,
kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya,
(b) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri
yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri
sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui)
sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara
hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan
selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.
7. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan
konsisten).
(a) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam
beberapa aktivitas;
(b) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan
pandangan kelompok;
(c) mampu untuk berkonsentrasi;
(d) tiadanya konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak
diasosiasi terhadap kepribadiannya.
8. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar).
Hal ini berarti:
(a) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai;
(b) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan;
(c) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.
9. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari
pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya
kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi
elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan
dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting
lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.
10. Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan
memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus:
(a) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang
dianggap penting oleh kelompok:
(b) terinformasi secara memadai dan pada pokoknya menerima cara yang
(c) berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang
dilarang kelompoknya;
(d) dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh
kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung
jawab, kesetiaan, dan sebagainya,
(e) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.
11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai
emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup:
(a) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan yang lain adalah
jelek setidaknya;
(b) dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok;
(c) tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat),
mendorong, atau menyetujui kelompok;
(d) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan
budaya.
Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi
sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental yang sehat. Secara singkat fully
functioning person ditandai dengan:
(1) terbuka terhadap pengalaman;
(2) ada kehidupan pada dirinya;
(3) kepercayaan kepada organismenya;
(4) kebebasan berpengalaman; dan
Golden Allport (dalam Daradjat, 2003:21) menyebut mental yang sehat
dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang
matang itumelalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming. Orang
yangmatang jika:
(l) memiliki kepekaan pada diri secara luas;
(2) hangat dalamberhubungan dengan orang lain;
(3) keamanan emosional atau penerimaandiri;
(4) persepsi yang realistik, ketrampilan dan pekerjaan;
(5) mampumenilai diri secara objektif dan memahami humor; dan
(6) menyatunyafilosofi hidup.
D.S. Wright dan A Taylor (dalam Daradjat, 2003:21) mengemukakan
tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki ciri-ciri
seperti:
(1) bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan;
(2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan
kebutuhannya;
(3) kurang dari kecemasan;
(4) kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari
(5) matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya;
(6) mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya;
(7) memiliki otonomi dan harga diri;
(8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain;
dan
(9) dapat melakukan kontak dengan realitas.
Berangkat dari definisi kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai dengan
bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya pencapaiannya juga beragam.
Kartini Kartono (2009:29-30) berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk
mendapatkan kesehatan mental, yaitu;
1. Pemenuhan kebutuhan pokok
Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan
kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial.
Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah
ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung
menurun jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik atau semakin
banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.
2. Kepuasan
Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah
maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindung, ingin
puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya.
Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang
memberi rasa senang, puas dan bahagia.
3. Posisi dan status sosial
Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial
dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab
cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman atau assurance, keberanian
dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan
bergairah. Karenanya individu-individu
yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka
senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Mereka tidak
mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa
bimbang dan tidak imbang.
2.5 Bipolar Disorder
Penyakit bipolar atau bipolar disorder, selain itu dikenal sebagai manic
depression atau bipolar depression, adalah penyakit suasan hati (keadaan jiwa)
yang relatif umum yang mempengaruhi kira-kira 5,7 juta orang-orang Amerika.
Dikarakteristikan oleh episode-episode dari depresi yang bergantian dengan
keadaan-keadaan euphoric (sangat gembira), gejala-gejala dari penyakit bipolar
adalah beberapa dan seringkali mempengaruhi fungsi harian dari individu dan
hubungan-hubungan antar pribadi (WHO, 2013).
Gejala-gejala penyakit bipolar termasuk depresi dan perasaan-perasaan
bunuh diri, perubahan-perubahan pada pola-pola tidur, dan kehilangan minat pada
aktivitas-aktivitas yang pernah menjadi sumber dari kesenangan.
Apa yang membedakan penyakit bipolar dari depresi utama adalah
kejadian dari episode-episode manik atau mania, seringkali digambarkan sebagai
"puncak-puncak" emosional, diantara episode-episode dari depresi. Gejala-gejala
dari keadaan-keadaan mania adalah kegelisahan, energi yang meningkat, suasana
hati yang sangat gembira, pemikiran-pemikiran yang tergesa-gesa, keputusan
yang buruk, kelakuan yang mengganggu atau provokatif, kesulitan berkonsentrasi,
dan keperluan yang berkurang untuk tidur.
Orang-orang yang mengalami episode-episode mania seringkali berbicara
dengan cepat, terlihat mudah teriritasi atau tersinggung, dan mungkin mempunyai
kepercayaan-kepercayaan yang tidak realistik tentang kekuatan dan kemampuan
mereka sendiri.
Untungnya, penyakit bipolar adalah kondisi yang dapat dirawat. Dengan
perawatan yang tepat, kebanyakan orang-orang yang menderita penyakit bipolar
dapat mencapai penstabilan yang substansial dari turun naiknya suasana hati
mereka dan mampu memimpin kehidupan yang normal.
Perawatan dari penyakit bipolar termasuk obat-obat yang dikenal sebagai
"mood stabilizers" atau obat-obatan penstabil-penstabil suasana hati. Contohnya
adalah lithium (Eskalith, Lithobid), valproate (Depakote) atau carbamazepine
(Tegretol) (WHO, 2013).
Penyakit bipolar, yang dikenal juga sebagai penyakit manic-depressive,
adalah penyakit otak yang menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak biasa
melakukan tugas-tugas harian. Gejala-gejala dari penyakit bipolar bisa dibilang
sangat parah. Perasaan mereka mudah naik dan turun secara berlebihan atau
ekstrim bila dibandingkan manusia normal pada umumnya
. Gejala-gejala penyakit bipolar dapat berakibat pada hubungan-hubungan
sosial yang rusak, pencapaian sekolah atau pekerjaan yang buruk, dan bahkan
bunuh diri. Namun penyakit bipolar dapat dirawat, dan orang-orang dengan
penyakit ini dapat menjalankan kehidupan-kehidupan yang penuh dan produktif.
Penyakit bipolar seringkali berkembang pada akhir masa remaja seseorang
atau pada tahun-tahun awal masa dewasa. Paling sedikit setengah dari semua
kasus-kasus mulai sebelum umur 25 tahun. Beberapa orang-orang mempunyai
gejala-gejala pertama mereka selama masa kanak-kanak, sementara ada juga yang
baru mengalami gejala bipolar ketika sudah dewasa, namun kasus itu jarang
ditemukan (Total Kesehatan Anda, 2013).
Penyakit bipolar tidak mudah dilihat sekilas mata atau diprediksi.
Gejala-gejala mungkin nampak seperti persoalan-persoalan yang terpisah, tidak dikenali
sebagai bagian-bagian dari persoalan yang besar. Beberapa orang-orang menderita
bertahun-tahun sebelum mereka didiagnosa dan dirawat secara benar. Seperti
diabetes atau penyakit jantung, penyakit bipolar adalah penyakit jangka panjang
yang harus dikelola secara hati-hati sepanjag kehidupan seseorang.
2.5.1 Gejala-Gejala Penyakit Bipolar Disorder
Menurut data dari WHO orang-orang dengan penyakit bipolar mengalami
keadaan-keadaan emosional yang hebatnya tidak biasa yang terjadi pada
hati. Keadaan yang sangat penuh kegembiraan disebut manic episode atau mania,
dan keadaan yang sangat sedih atau tanpa harapan disebut depressive episode atau
depresi. Adakalanya, episode suasana hati termasuk gejala-gejala dari keduanya
mania dan depresi. Ini disebut keadaan campuran (mixed state). Orang-orang
dengan penyakit bipolar juga mungkin eksplosif dan teriritasi selama episode
suasana hati (mood episode).
Perubahan-perubahan yang ekstrim pada energi, aktivitas, tidur, dan
kelakuan berjalan bersama dengan perubahan-perubahan pada suasana hati ini.
Adalah mungkin untuk seseorang dengan penyakit bipolar untuk mengalami
periode yang berlangsung lama dari suasana-suasana hati yang tidak stabil
daripada episode-episode yang terpisah dari depresi atau mania.
Seorang penderita bipolar bisa saja memiliki gejala-gejala mania atau
depresi hampir sepanjang hari, setiap hari, atau bahkan berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan. Adakalanya gejala-gejalanya begitu parah sehingga orang itu
tidak dapat berfungsi di tempat kerja, sekolah, atau rumah.
Tabel 2.1 Gejala-Gejala Penyakit Bipolar
Gejala-gejala dari mania atau episode manik Gejala-gejala dari depresi atau episode depresi Perubahan-Perubahan Suasana Hati
Periode yang panjang dari perasaan "puncak", atau suasana hati yang sangat gembira atau ramah
Perubahan-Perubahan Suasana Hati
Suasana hati yang sangat teriritasi, agitasi, merasakan "jumpy (gelisah)" atau "wired".
Perubahan-Perubahan Kelakuan
Berbicara sangat cepat, melompat dari satu ide ke ide yang lainnya, mempunyai pemikiran-pemikiran yang tergesa-gesa
Sangat mudah dikacaukan
Aktivitas-aktivitas yang menuju tujuan yang meningkat, seperti menerima proyek-proyek baru
Menjadi gelisah
Tidur yang sedikit
Mempunyai kepercayaan yang tidak realistik pada kemampuan-kemampuan seseorang
Berkelakuan secara impulsif dan mengambil bagian pada banyak kelakuan-kelakuan yang menyenangkan dan berisiko tinggi, seperti melakukan olahraga bernyali tinggi, belanja tanpa perhitungan panjang untuk kesenangan, seks yang impulsif, dan investasi-investasi bisnis yang impulsif.
dari perasaan khawatir atau kosong
Kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang pernah dinikmati, termasuk seks.
Perubahan-Perubahan Kelakuan
Merasa lelah atau
"slowed down"
Menjadi gelisah atau teriritasi
Merubah kebiasaan-kebiasaan makan, tidur, atau yang lain-lain
Memikirkan kematian atau bunuh diri, atau mencoba bunuh diri.
Sebagai tambahan, pada mania dan depresi, penyakit bipolar dapat
menyebabkan jajaran dari suasana-suasana hati, seperti ditunjukan pada skala.
Satu sisi dari skala termasuk depresi yang parah, depresi yang sedang, dan
suasana hati rendah yang ringan. Depresi sedang mungkin menyebabkan
gejala-gejala yang kurang ekstrim, dan suasana hati rendah yang ringan disebut
dysthymia jika ia kronis atau berjangka panjang. Di tengah-tengah skala adalah
suasana hati yang normal atau seimbang.
Pada ujung lain dari skala adalah hypomania dan mania yang parah.
Beberapa orang-orang dengan penyakit bipolar mengalami hipomania. Selama
episode-episode hipomania, seorang penederita bipolar mungkin mempunyai
energi dan tingkat-tingkat aktivitas yang meningkat atau sangat tinggi namun
tidak separah mania, atau ia mungkin mempunyai episode-episode yang
berlangsung kurang dari satu minggu dan tidak memerlukan perawatan gawat
darurat.
Seseorang yang mempunyai episode hipomania mungkin merasa sangat
baik, berproduktif sangat tinggi, dan berfungsi baik. Orang ini mungkin tidak
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar bahkan ketika keluarga dan
teman-temannya mengenali turun naiknya suasana hati sebagai kemungkinan penyakit
bipolar. Tanpa perawatan yang benar, bagaimanapun, orang-orang dengan
hipomania tetap memiliki mungkin kemungkinan untuk mengalami mania atau
depresi yang parah.
Selama keadaan campuran, gejala-gejala seringkali termasuk agitasi,
kesulitan tidur, perubahan-perubahan utama pada nafsu makan, dan pikiran bunuh
diri. Orang-orang pada keadaan campuran mungkin merasa sangat sedih atau
Adakalanya, seorang dengan episode-episode yang parah dari mania atau
depresi juga mempunyai gejala-gejala psikotik, seperti halusinasi-halusinasi atau
delusi-delusi (khayalan-khayalan). Gejala-gejala psikotik cenderung
mencerminkan suasana hati seseorang yang ekstrim. Contohnya, gejala-gejala
psikotik untuk seseorang yang mempunyai episode mania mungkin termasuk
kepercayaan bahwa ia terkenal, mempunyai banyak uang, atau mempunyai
kekuatan-kekuatan khusus. Pada cara yang sama, seseorang yang mempunyai
episode depresi mungkin percaya ia hancur dan tidak beruang sepeser pun, merasa
jadi orang paling bodoh atau paling gagal di dunia atau telah melakukan
kejahatan. Sebagai akibatnya, orang-orang dengan penyakit bipolar yang
mempunyai gejala-gejala psikotik adakalanya salah didiagnosa sebagai
mempunyai schizophrenia, penyakit mental parah lainnya yang dihubungkan
dengan halusinasi-halusinasi dan khayalan-khayalan (Total Kesehatan Anda,
2013).
Orang-orang dengan penyakit bipolar mungkin juga mempunyai
persoalan-persoalan kelakuan. Mereka mungkin menyalahgunakan alkohol dan
obat-obatan terlarang, mempunyai persoalan-persoalan hubungan sosial, atau
berkinerja buruk di sekolah atau tempat kerja. Pada awalnya, sangat tidak mudah
untuk mengenali persoalan-persoalan ini sebagai tanda-tanda dari penyakit mental
utama.
2.5.2 Jenis-Jenis Penyakit Bipolar Disorder
Penyakit bipolar biasanya berlangsung seumur hidup. Episode-episode
episode-episode, banyak orang-orang dengan penyakit bipolar bebas dari
gejala-gejala dan merasa bahwa hidupnya kembali normal dan baik-baik saja, namun
beberapa orang-orang mungkin mempunyai gejala-gejala yang tetap ada, depresi
dan mania datang silih berganti tanpa fase normal.
Dokter-dokter biasanya mendiagnosa penyakit-penyakit mental
menggunakan petunjuk-petunjuk dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, atau DSM. Menurut DSM, ada empat tipe-tipe dasar dari penyakit
bipolar:
1. Penyakit Bipolar I terutama ditentukan oleh episode-episode mania atau campuran yang berlangsung paling sedikit tujuh hari, atau oleh
gejala-gejala mania yang begitu parah sehingga orang itu perlu segera perawatan
rumah sakit. Biasanya, orang itu juga mempunyai episode-episode depresi,
secara khas berlangsung paling sedikit dua minggu. Gejala-gejala dari
mania atau depresi menjadi perubahan utama dari kelakuan normal
seseorang.
2. Penyakit Bipolar II ditentukan oleh pola dari episode-episode depresi yang berubah mondar-mandir dengan episode-episode hipomania, namun
bukan sepenuhnya episode-episode mania atau campuran.
3. Bipolar Disorder Not Otherwise Specified (BP-NOS) didiagnosa ketika seseorang mempunyai gejala-gejala dari penyakit yang tidak memenuhi
kriteria diagnostik untuk salah satu dari bipolar I atau II. Gejala-gejala
mungkin tidak berlangsung cukup lama, atau orang itu mungkin
atau II. Bagaimanapun, gejala-gejalanya dapat dilihat dari kelakuan di luar
batas normal seseorang.
4. Penyakit Cyclothymic atau Cyclothymia, adalah bentuk ringan dari penyakit bipolar. Orang-orang yang mempunyai cyclothymia mempunyai
episode-episode dari hipomania yang berubah silih berganti dengan
depresi ringan paling sedikit dua tahun.
Beberapa orang-orang ada juga yang didiagnosa dengan rapid-cycling
bipolar disorder. Ini adalah ketika seorang mempunyai empat atau lebih
episode-episode dari depresi utama, mania, hipomania, atau gejala-gejala campuran dalam
satu tahun. Beberapa orang-orang mengalami lebih dari satu episode dalam satu
minggu, atau bahkan dalam satu hari. Rapid cycling nampaknya lebih umum pada
orang-orang yang mempunyai penyakit bipolar yang parah dan mungkin lebih
umum pada orang-orang yang mempunyai episode pertama mereka pada umur
yang lebih muda. Satu studi di National Institute Mental Health menemukan
bahwa orang-orang rapid cycling mempunyai episode pertama mereka kira-kira
empat tahun lebih awal, selama pertengahan sampai akhir tahun-tahun remaja,
dibandingkan dengan orang-orang tanpa penyakit rapid cycling bipolar. Rapid
cycling mempengaruhi lebih banyak wanita-wanita daripada pria-pria.
Penyakit bipolar cenderung memburuk jika ia tidak dirawat. Seorang
penderita bipolar mungkin menderita episode-episode lebih sering dan lebih parah
daripada ketika penyakitnya pertama timbul. Pun, penundaan-penundaan dalam
mendapatkan diagnosis dan perawatan yang benar membuat seseorang lebih
mungkin mengalami persoalan-persoalan pribadi, sosial, dan yang berhubungan
Diagnosis dan perawatan yang benar membantu orang-orang dengan
penyakit bipolar menjalankan kehidupan-kehidupan yang sehat dan produktif.
Pada kebanyakan kasus-kasus, perawatan dapat membantu mengurangi frekwensi
dan keparahan dari episode-episode.
2.5.3 Penyakit Pendamping Bipolar Disorder
Penyalahgunaan zat kimia adalah sangat umum diantara orang-orang
dengan penyakit bipolar, namun alasan-alasan untuk hubungan ini tidak jelas.
Beberapa orang-orang dengan penyakit bipolar mungkin mencoba meringankan
gejala-gejala mereka dengan alkohol atau obat-obatan terlarang. Bagaimanapun,
penyalahgunaan zat kimia mungkin mencetuskan atau memperpanjang
gejala-gejala bipolar, dan persoalan-persoalan mengontrol kelakuan yang berhubungan
dengan mania dapat berakibat pada seorang minum terlalu banyak alkohol.
Penyakit-penyakit ketakutan, seperti post-traumatic stress disorder
(PTSD) dan social phobia, juga sering terjadi bersamaan diantara orang-orang
dengan penyakit bipolar. Penyakit bipolar juga terjadi bersamaan dengan attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD), yang mempunyai beberapa gejala-gejala
yang tumpang tindih dengan penyakit bipolar, seperti kegelisahan dan mudah
dikacaukan dalam konsentrasi, pikiran, perasaan maupun tindakan (NIMH: 2012).
Orang-orang dengan penyakit bipolar juga berada pada risiko yang lebih
tinggi untuk penyakit tiroid, sakit kepala migraine, penyakit jantung, diabetes,
obesitas (kegemukan), dan penyakit-penyakit fisik lainnya. Penyakit-penyakit ini
mungkin menyebabkan gejala-gejala dari mania atau depresi. Penyakit-penyakit
Penyakit-penyakit lain yang ada tersebut menyulitkan proses diagnosa dan
perawatan penyakit bipolar. Orang-orang dengan penyakit bipolar harus
memonitor kesehatan fisik dan mental mereka. Jika gejala tidak menjadi lebih
baik dengan perawatan, mereka harus memberitahu dokter mereka.
2.5.4 Faktor-Faktor Risiko untuk Penyakit Bipolar Disorder
Ilmuwan-ilmuwan sedang mempelajari kemungkinan penyebab-penyebab
dari penyakit bipolar. Kebanyakan ilmuwan-ilmuwan setuju bahwa tidak ada
penyebab tunggal. Agaknya, banyak faktor-faktor kemungkinan beraksi bersama
untuk menghasilkan penyakit atau meningkatkan risiko.
1. Genetik-Genetik
Penyakit bipolar cenderung beredar dan muncul dari keluarga. Hal ini
membuat peneliti-peneliti mencari gen-gen yang mungkin meningkatkan
kesempatan seseoarng mengembangkan penyakit. Gen-gen adalah "building
blocks" dari keturunan. Mereka membantu mengontrol bagaimana tubuh dan otak
bekerja dan tumbuh. Gen-gen dikandung di dalam sel-sel orang yang diturunkan
dari orangtua ke anak-anak. Anak-anak dengan orangtua atau saudara kandung
yang mempunyai penyakit bipolar memiliki kemungkinan empat sampai enam
kali lebih mengembangkan penyakit, dibanding dengan anak-anak yang tidak
mempunyai sejarah penyakit bipolar keluarga.
Penelitian genetik pada penyakit bipolar sedang dibantu oleh
kemajuan-kemajuan dalam teknologi. Tipe penelitian ini sekarang jauh lebih cepat dan lebih
dari Bipolar Disorder Phenome Database, dibiayai sebagian oleh NIMH. Dengan
menggunakan basis data, ilmuwan-ilmuwan akan mampu menghubungkan
tanda-tanda yang terlihat dari penyakit dengan gen-gen yang mungkin mempengaruhi
mereka.
Namun gen-gen bukan satu-satunya faktor risiko untuk penyakit bipolar.
Studi penelitian dari kembar-kembar yang identis telah menunjukan bahwa
kembar dari seseorang dengan penyakit bipolar tidak selalu mengembangkan
penyakit. Ini adalah penting karena kembar-kembar yang identis berbagi semua
gen-gen yang sama. Hasil-hasil studi menyarankan faktor-faktor selain gen-gen
juga berpengaruh. Agaknya, adalah mungkin bahwa banyak gen-gen yang berbeda
dan lingkungan seseorang terlibat menjadi faktor pemicu bipolar. Bagaimanapun,
ilmuwan-ilmuwan masih belum mengerti sepenuhnya bagaimana faktor-faktor ini
berinteraksi untuk menyebabkan penyakit bipolar (NIMH, 2012).
2. Fungsi dan Struktur Otak
Studi-studi pencitraan otak membantu ilmuwan-ilmuwan belajar tentang
apa yang terjadi pada otak dari orang dengan penyakit bipolar. Alat-alat
pencitraan otak yang lebih baru,seperti functional magnetic resonance imaging
(fMRI) dan positron emission tomography (PET), mengizinkan peneliti-peneliti
mengambil gambar-gambar dari otak hidup yang sedang bekerja. Alat-alat ini