• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial Dan Penurunan Risiko Bunuh Diri Bagi Penderita Gangguan Kesehatan Mental Bipolar Disorder Di Kota Medan Melalui Terapi Pendampingan Psikososial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial Dan Penurunan Risiko Bunuh Diri Bagi Penderita Gangguan Kesehatan Mental Bipolar Disorder Di Kota Medan Melalui Terapi Pendampingan Psikososial"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi

Identifikasi menurut Hawadi (2002:107) adalah suatu prosedur yang

dipilih dan yang cocok dengan ciri-ciri yang akan dicari dan selaras dengan

program yang mau dikembangkan. Hansen dan Linden (2002:107) menyatakan

bahwa dalam identifikasi, maka proses identifikasi yang dipilih haruslah

berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Prosedur identifikasi haruslah berdasarkan

hal-hal dan tujuan program yang bisa dipertahankan.

Prinsip identifikasi meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Metode identifikasi haruslah dipilih konsisten dengan defenisi.

2. Prosedur identifikasi haruslah bervariasi

3. Prosedur untuk identifikasi harus baku dan konsisten.

4. Jika ada keterbatasan dalam lingkungan, maka kita harus

mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan dalam lingkungan tertentu

(Hawadi, 2002: 108).

Menurut Hawadi (2002:110) proses identifikasi ada dua, yakni pertama,

tahap penjaringan dan tahap identifikasi serta studi kasus. Pada tahap penjaringan

digunakan metode yang majemuk seperti melakukan tes. Pada tahap kedua, yang

juga disebut dengan tahap identifikasi melibatkan pengetesan individu. Dalam hal

ini tahapan terhadap proses identifikasi adalah 1) tahap penjaringan, 2) tahap

(2)

2.2 Keberfungsian Sosial

Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh

individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat

melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya.

Pun dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan pokok

bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus dilaksanakan oleh

setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam masyarakat.

Penampilan dianggap efektif diantaranya jika suatu keluarga mampu

melaksanakan tugas-tugasnya. Menurut Achlis (2011:32) keberfungsian sosial

adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dan peranannya selama

berinteraksi dalam situasi sosial tertentu berupa adanya rintangan dan hambatan

dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan hidupnya.

Keberfungsian sosial keluarga mengandung pengertian pertukaran dan

kesinambungan, serta adaptasi resiprokal antara keluarga dengan anggotanya,

dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya, dan lain-lain. Kemampuan

berfungsi sosial secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunya

adalah jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan

fungsinya terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

Skidmore, Thackeray dan Farley (dalam Modul Kementerian Sosial RI,

2008:76)menuliskan bahwa: ‘Social functioning to be a central purpose of social

work and intervention was seen as the enhancement of social functioning.

Artinya, keberfungsian sosial adalah tujuan utama atau inti dari pekerjaan sosial

dan intervensinya. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi yang penting bagi

(3)

profesi lainnya. Dimana, ada prinsip 'to help people to help themselves' yang

masih diutamakan dalam praktik pekerjaan sosial, membantu para penyandang

masalah kesejahteraan sosial dapat kembali berfungsi secara sosial.

2.3 Bunuh Diri 2.3.1 Definisi Bunuh Diri

Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan

sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman

mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang

ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri

sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan

mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit

psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat

bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang

bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).

Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup

semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan

melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut

Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka

harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal

yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului,

misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam ,mengakhiri sesuatu

(4)

Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri

memiliki 4 pengertian, antara lain:

1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional

2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi

3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan

kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri

secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai

penyelesaian atas suatu masalah.

Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh

diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris

dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara

etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri

melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri.

Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri

sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang

sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi

hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada

kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah

upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat

(5)

2.3.2 Metode Bunuh Diri

Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris

dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan

intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode

memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:

1. Obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)

2. Menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)

3. Senjata api dan peledak

4. Menenggelamkan diri

5. Melompat

6. Memotong (menyayat dan menusuk)

2.3.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri

Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak

fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh

diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut

bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan

derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada

dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu,

rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena

menua, atau berada dalam keadaan sekarat (dalam Maris dkk., 2000). Di samping

(6)

akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-sinapsis, dan pertanda biologis

lainnya (dalam Maris dkk., 2000).

Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada

saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang

melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut

beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang

berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris

dkk.,2000; Meichenbaum, 2008):

1. Major-depressive illness, affective disorder

2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh

memiliki level alkohol dalam darah yang positif)

3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri

4. Sejarah percobaan bunuh diri

5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga

6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan

7. Hopelessness dan cognitive rigidity

8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan,

pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal,

kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal)

9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas

10.Rendahnya tingkat 5-HIAA

11.Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia

(7)

12.Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku

persiapan bunuh diri)

13.Akses pada media untuk melukai diri sendiri

14.Penyakit fisik dan komplikasinya

15.Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas

2.3.4 Penjelasan Bunuh Diri

Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya

dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang

kompleks.

1. Penjelasan Psikologis

Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk

penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan

pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180

degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang

atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang berisiko melakukan

bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia

merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum

atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu

mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan

untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif

diri terjadi.

Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah

(8)

sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus

pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person

terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian

ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan

dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu

menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.

Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang

menekankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai

pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan

negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak

berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya,

dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional

(automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu

berisiko melakukan bunuh diri.

Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.

Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk

tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya membalikkan

agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari

reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya

dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai

reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat

bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup

(9)

Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)

mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku

bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting

pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya

adalah bipolar disorder atau mood disorder, schizophrenia, borderline dan

antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.

2. Penjelasan Biologis

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis

yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada

gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan

perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh

diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga

yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga

saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung

dengan perilaku bunuh diri.

3. Penjelasan Sosiologis

Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang

perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,

yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan

masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &

Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu Egoistic Suicide, Altruistic

(10)

2.3.5 Teori Bunuh Diri Emile Durkheim

Emile Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan

teori bunuh dirinya. Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan

jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi

sosial. Teori ini muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat

orang-orang yang melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile

tertarik untuk melakukan penelitian di berbagai negara mengenai hal ini. Peristiwa

bunuh diri merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat

dijadikan sarana penelitian dengan menghubngkannya terhadap struktur sosial dan

derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan.

2.3.5.1 Alasan dan Jenis Bunuh Diri

Terdapat empat alasan orang bunuh diri menurut Durkheim (2007:17),

yaitu:

a) Karena alasan agama

Dalam penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh

diri dalam penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama

Protestan cenderung lebih besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan

penganut agama Katolik. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan

kebebasan yang diberiakn oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya.

Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang jauh lebih besar

untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci, sedangkan pada

agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja. Akibatnya

(11)

menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi

menganut ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang

menjadi penyebab laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar

daripada penganut ajaran agama Katolik.

b) Karena alasan keluarga

Semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin

kecil pula keinginan untuk terus hidup. Kesatuan sosial yang semakin

besar, semakin besar mengikat orang-orang kepada kegiatan sosial di

antara anggota-anggota kesatuan tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih

besar biasanya lebih akan terintegrasi.

c) Karena alasan politik

Durkheim disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara

masyarakat militer dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damai angka

bunuh diri pada masyarakat militer cenderung lebih besar daipada

masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam situasi perang masyarakat militer

angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi perang masyarakat militer

lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang keras dibandingkan

saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer cenderung

disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.

d) Karena alasan kekacauan hidup (anomie)

Bunuh diri dengan alasan ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi

mempunyai pegangan dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah

tidak lagi sesuai dengan tuntutan jaman yang ada.

(12)

Sedangkan jenis-jenis bunuh diri menurut Durkheim adalah:

a. Bunuh diri Egoistic

Adalah suatu tindak bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa

kepentingannya sendiri lebih besar daripada kepentingan kesatuan sosialnya.

Seseorang yang tidak mampu memenuhi peranan yang diharapkan (role

expectation) di dalam role performance (perananan dalam kehidupan sehari-hari),

maka orang tersebut akan frustasi dan melakukan bunuh diri.

b. Bunuh diri Anomic

Bunuh diri yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu

dimana terjadi ketidakjelasan norma-norma yang mengatur cara berpikir,

bertindak dan merasa para anggota masyarakat, gangguan itu mungkin membuat

individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang

akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak akan pernah puas terhadap

kesenangan. Menurut Durkheim, suatu keadaan anomik dapat dilihat dari

indikator ekonomi maupun domestik. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan

bahwa krisis ekonomi membuat orang kehilangan arah. Dalam keadaan seperti ini,

ungkap Durkheim mereka harus beradaptasi dengan kondisi yang menimpa

mereka, kondisi yang sangat menyiksa; mereka membayangkan penderitaan

karena serba berkekurangan bahkan sebelum mereka mencoba kehidupan ini.

Pertumbuhan kemakmuran yang mendadak dalam masyarakat juga memiliki

dampak serupa terhadap peningkatan angka bunuh diri dalam masyarakat.

(13)

sekonyong-konyong runtuh, sementara tatanan moral yang baru belum cukup rampung untuk

menggantikan tatanan moral sebelumnya.

c. Bunuh diri Altruistic

Orang melakukan bunuh diri karena merasa dirinya sebagai beban dalam

masyarakat. Contohnya adalah seorang istri yang melakukan bunuh diri yang telah

ditinggal mati oleh suaminya. Serta juga bunuh diri yang dilakukan oleh orang

Jepang “hara kiri”, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh anggota militer demi

membela negaranya.

d. Bunuh diri Fatalisme

Adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi

semangat untuk melanjutkan hidup.

2.3.5.2 Teori Struktural Fungsional dan Studi Bunuh Diri

Teori struktural fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang

bagaimana sebuah struktur dalam suatu negara dapat mempengaruhi individu dan

masyarakat dalam berbagai aspek. Teori struktural fungsional dalam studi Emile

Durkheim tentang Bunuh Diri (Suicide). Bunuh diri adalah suatu fakta sosial yang

terjdi dalam masyarakat yang penyebabnya dikarenakan sebuah struktur yang

terjadi dalam suatu negara, yang kemudian dampaknya terjadi kepada masyarakat

ataupun individu.

Kenyataan dari fakta sosial itu sendiri adalah bahwa gejala sosial yang

(14)

perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis ataupun

karakteristik yang lain. Karakteristik fakta sosial menurut Durkheim adalah,

pertama bahwa setiap tindakan atau gejala sosial individu dipengaruhi oleh faktor

eksternal. Seperti norma – norma dan peraturan – peraturan bahwa individu selalu

dalam situasi yang sama selalu melakukan dan mematuhi aturan dan norma –

norma yang ada, hal itu terbukti semua tindakan dan aktivitas individu selalu

dipengaruhi oleh faktor – faktor eksternal diluar kesadaran manusia.

Kedua, bahwa fakta sosial itu bersifat memaksa, hal tersebut dapat dilihat

jika individu dalam melaksanakan aturan yang berlaku selalu terdapat paksaan

dalam dirinya. Paksaan tersebut dapat menjadi sesuatu yang biasa, jika proses

yang dilakukan individu berhasil alhasil, semua aturan yang ada telah menjadi

sesuatu yang biasa tanpa adanya paksaan.

Ketiga, bahwa fakta sosial bersifat umum dan menyeluruh. Hal tersebut

dapat diartikan fakta sosial bukan milik individu melainkan milik masyarakat luas

dan fakta sosial bersifat kolektif (Samuel, 2010:25).

Menurut Durkheim, fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku

maupun tidak yang dilakukan individu karena adanya paksaan eksternal dan fakta

sosial adalah seluruh tindakan masyarakat yang secara umum dilakukan tanpa

manifestasi dari individu. Durkheim membedakan fakta soaial menjadi dua yaitu

fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material adalah

gaya arsitektur, bentuk teknologi, bentuk perundangan yang mudah dipahami,

karena dapat diamati secara langsung. Fakta sosial material sering

(15)

luar individu bersifat memaksa, hal itu disebut fakta sosial nonmaterial. Fakta

sosial nonmaterial dipandang penting oleh Durkheim, karena fakta ini

mengandung batasan – batasan tertentu, ia ada dalam pikiran individu. Semua

ketentuan manusia bukan hanyan berasal dari pikiran individu semata, melainkan

dari interaksi manusia itu sendiri. Pada level lain fakta sosial material yang berupa

struktur (misal birokrasi), yang bercampur dengan komponen morfologis

(kepadatan penduduk dalam lingkungan dan jalur komunikasi mereka), fakta

sosial nonmaterialnya adalah norma birokrasi.

Fakta sosial nonmaterial sesuatu yang sangat penting dalam studi

Durkheim, maka dengan ini akan mempertengahkan jenis – jenis fakta sosial

nonmaterial yaitu moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan aliran

sosial. Moralitas, dalam mempelajari moralitas yang harus diperhatikan terdiri

dari dua aspek. Pertama, moralitas adalah fakta sosial yang dipengaruhi oleh

faktor – faktor eksternal yang dapat dipelajari secara empiris bukan secara

fisiologis karena moralitas dapat dilihat bentuknya secara keseluruhan namun

moralitas harus dipelajari secara empiris.

Moralitas sangat erat hubungannya dengan struktur sosial. Kedua,

moralitas adalah sesuatu yang diidentifikasi dengan masyarakat. Masyarakat tidak

mungkin tidak bermoral, namun bisa jadi masyarakat itu kehilangan kekuatan

moralnya jika ia menganggap kepentingan – kepentingan kolektif (bersan)

menjadi kepentingan individu belaka. Selama moralitas itu adala fakta sosial,

moralitas dapat memaksa masyarakat atau individu untuk mematuhi kepentingan

(16)

Kesadaran kolektif, menurut Durkheim definisi kesadaran kolektif adalah

seluruh kepercayaan bersama orang kebanyakan dalam masyarakat yang akan

menimbulkan sebuah sistem yang tetap dan memiliki kehidupan sendiri bersifat

umum. Durkheim memandang kesadran kolektif tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan masyarakat secara keseluruhan melalui kepercayaan dan sistem

bersama. Durkheim menilai bahwa kesadaran kolektif tidak dapat telepas dari

fakta sosial dan Durkheim pun tidak memungkiri kalau kesadaran kolektif dapat

terwujud melalui kesadaran – kesadaran individu (Samuel, 2010:37).

Representatif kolektif, karena kesadaran kolektif memiliki sesuatu yang

luas dan tidak memiliki bentuk yang tetap dan hanya bisa dipelajari dengam

melalui fakta sosial material, maka Durkeim pun memilih sesuatu yang lebih

spesifik dalam karya – karyanya. Contoh dari representatif kolektif adalah simbol

agama, mitos dan lgenda populer. Semua itu adalah cara – cara masyarakat

merefleksikan dirinya dan mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai

kolektif dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.

Representasi kolektif tidak dapat ditimbulkan oleh kesadaran – kesadran individu,

karena reperesentatif kolektif berhubungan langsung dengan simbol material.

Aliran sosial, sebagian besar faktas sosial Durkheim selalu di hubungakan

dengan organisasi soial. Tetapi fakta sosial tudk dapat menghadirkan bentuk yang

jelas, karena fakta sosial tidak dapat timbul melalui kesadaran - kesadaran

individu. Aliran atau arus sosial dapat dicontohkan dengan, luapan emosi,

perasaan, amarah, semangat dan rasa kasihan. Kita dapat diseret oleh arus sosial ia

memiliki kekuatan untuk memaksa kita, meski kita baru menyadari ketika kita

(17)

Bunuh diri sebagai fakta sosial, dimana Durkheim mendefinisikan bunuh

diri adalah sebagai penyebeb kematian sesorang baik secara langsung maupun

tidak langsung, oleh tindakan positif ataupun negatif yang pelakunya sadar jika

perbuatannya dapat menimbulkan kematian dalam dirinya. Studi tentang bunuh

diri ini sebelumnya didasarkan pada dua penyebab, yaitu gangguan psikologis,

gangguan biologis dan ekologis / kosmis.

Bunuh diri karena gangguan psikologis ada empat jenis pertama, maniacal

suicide yaitu bunuh diri didasarkan adanya halusinasi baik dalam rangka melawan

maupun menuruti halusinasi tersebut, kedua melancholy suicide yaitu dimana

pelaku dalam keadaan depresi berat dan kesedihan yang meluap – luap, ketiga

obsessive suicide yaitu bunuh diri atas dasar obsesi atau keinginan sendiri untuk

membunuh dirinya sendiri, meskipun tindakan bunuh diri tidak didasari oleh

motivasi tertentu yang masuk akal, keempat impulsive suicide yaitu bunuh diri

didasarkan pada dorongan impulsif (Samuel, 2010:67).

Durkheim menafsirkan bahwa bunuh diri tidak selamanya karena adanya

gangguan psikologis, karena tidak dapat dipertanggungjwabkan, data yang

dikumpulkan bersifat terbatas sehingga kesimpulan yang ditarik tidak

menciptakan suatu kesimpulan yang terperinci secara spesifik. Berdasarkan data

statistik Durkheim terlihat adanya hubungan antara kasus bunuh diri dan ciri- ciri

sosial pelakunya. Ciri tersebut adalah agama, jenis kelamin, asal negara, dan usia.

Dari abad ke abad bunuh diri semakin menimbulkan keraguan, singkatnya bunuh

diri tidak sekedar atas gangguan psikologis. Durkheim juga tidak menyetujui jika

bunuh diri karena adanya faktor biologis. Yang menjadi dasar dari faktor biologis

(18)

jelas terhadap penjelasan ras itu sendiri. Durkheim menyebutkan bahwa adanya

faktor non – biologis yang dapat mempengaruhi faktor bunuh diri.

Hasil tafsir ekologis atau kosmis adalah bahwa bunuh diri dapat

dipengaruhi karena suhu dan tekanan udara dalam suatu daerah. Berdasarkan data

statistik Durkheim tidak adanya pengaruh bunuh diri dengan pengaruh iklim, suhu

dan kelembaban udara. Durkheim menjelaskan tingkat bunuh diri dalam musim

panas bukan karena cuaca yang panas itu hanya sebuah kondisi geografis dari

alam, tetapi hal tersebut dikarenakan oleh tingkat aktivitas di musim panas lebih

padat dari pada di musim dingin. Intinya kondisi cuaca tidak dapat mempengaruhi

bunuh diri, tetapi terdapat kondisi sosial yang mempengaruhinya. Apa yang

membedakan pandangan Durkheim bukan semata – mata karena faktor dari

individu. Bunuh diri merupakan gejala sosial dalam masyarakat, bunuh diri

merupakan sebuah fakta sosial yang tidak dapat direduksi menjadi fakta sosial

lannya, karena sudah memiliki karakteristik dan dasar – dasar sendiri.

Bunuh diri sebagai fakta sosial dapat dilihat jika kita dapat mencermati

jenis – jenis bunuh diri dan hubungannya dengan dua jenis fakta sosial utamanya,

integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk kepada kuat tidaknya keterikatan

masyarakat, sedangkan regulasi merujuk kepada tingkat paksaan eksternal yang

dirasakan individu. Jika adanya integrasi yang meningkat, dikelompokkan

menjadi bunuh diri alturuistis, jika integrasi menurun dikelompokkan menjadi

bunuh diri egeoistis. Sedangkan bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi

yang tinggi, dan jika regulasi rendah maka hal itu berkaitan dengan bunuh diri

(19)

Bunuh diri Egoistis adalah bunuh diri dimana kelompok tidak dapat

berinteraksi dengan baik. Lemahnya integrasi menimbulkan anggapan individu

bukan bagian dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat bukan bagian dari

individu. Menurut Durkheim bagian paling baik dari manusia adalah adanya

moralitas, nilai dan tujuan yang berasal dari masyarakat, dengan hal itu manusia

dapat melampaui keterpurukan dan kekecewaan. Tanpa adanya hal itu, besar

kemungkinn akan terjadi tindakan bunuh diri karena depresi dan frustasi.

Bunuh diri Altruistis terjadi karena adanya integrasi yang kuat yang terjadi

dalam suatu kelompok. Misalnya seseorang yang melakukan bunuh diri karena

terlalu tunduk terhadap ketuanya, contohnya kasus pembunuhan massal yang

dilakukan oleh pengikit pendeta Jim Jones di Jonestwon, Guyana pada tahun

1978. Kasus para teroris pada saat bom bali 11 September 2001, mereka

menanggap bunuh diri itu dapat dikatakan mati syahid untuk membela agamanya.

Durkheim pun meyimpulkan bahwa semakin lemahnya integrasi akan

menimbulkan bunuh diri egoistis, dan semakin tingginya integrasi akan

menimbulkan bunuh diri altruistis.

Bunuh diri Anomik terjadi karena adanya gangguan regulasi yang terjadi di

dalam masyarakat. Dimana masyarakat tidak dapat menahan nafsunya untuk

memenuhi kebutuhan yang belum mencapai kepuasan atau lemahnya kontrol

dalam diri manusia terhadap nafsunya. Angka bunuh diri anomik dapat tejadi dari

karena adanya gangguan positif maupun negatif. Kedua macam gangguan tersebut

menimbulkan otoritas dri masyarakat kepada invidu. Situasi seperti ini

menimbulkan tidak berlakunya norma lama, dan belum timbulnya norma baru

(20)

norma yang mengikat. Kasus seperti ini dapat dijumpai pada kasus depresi

ekonomi. Peningkatan bunuh diri selama periode deregulasi kehidupan sosial,

Durkheim melihat tentang pengaruh merusak dari nafsu individu yang tidak

terbatas dan terbebas dari pengaruh eksternal. Hal tersebut dapat menimbulkan

tindakan dekstruktif tiada batas, termasuk membunuh diri sendiri.

Bunuh diri fatalistis terjadi pada saat regulasi meningkat. Contoh dari

bunuh diri ini adalah bunuh diri budak yang terus ditindas oleh sebuah struktur

yang membatasi setiap tindakannya. Bunuh diri ini tidak banyak di bahas dalam

studi Durkheim tentang bunuh diri.

Hubungan teori struktural fungsional dengan studi bunuh diri sebagai fakta

sosial adalah bahwa sebuah struktur yang dibangun masyarakat berdasarkan atas

kesadaran individu yang dipengaruhi faktor eksternal bersifat memaksa dan

bersifat menyeluruh untuk masyarakat atau bersifat kolektif yang berfungsi untuk

mengatur dan memaksa individu. Teori struktural fungsional berdasarkan atas

fakta sosial masuk dalam ranah fakta sosial nonmaterial dan studi bunuh dirinya

cenderung kepada bunuh diri Fatalistis dan bunuh diri anomik.

2.3.6 Pikiran Bunuh Diri

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa

melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang

(21)

derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit

atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang

non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya

mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran

yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).

Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi

(Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa

antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah

hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan

dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang

paling sering muncul dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari

masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris,

dalam Maris dkk., 2000).

Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri

sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris

dkk., 2000). Jobes, Berman, dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar

intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan

verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan

untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).

2.4 Kesehatan Mental

2.4.1 Pengertian Kesehatan Mental atau Jiwa

Definisi sehat menurut badan kesehatan dunia (WHO) adalah suatu

(22)

dari penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan

hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera

dan bahagia (well being), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat

merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu

mengatasi tantangan hidup sehari-hari.

Penanganan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan

tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat

secara langsung, seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan

berbagai macam gejala dan disebabkan berbagai hal kejadian masa lalu yang sama

dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda banyak klien

dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan masalahnya bahkan

mungkin menceritakan hal yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka

untuk berperan dan menyelesaikan masalah juga bervariasi (Keliat, 2005).

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966, adalah suatu

kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang

optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan keadasan orang lain.

Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan segi

kehidupan manusia dan cara berhubungan dengan orang lain. Dari pengertian

dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah suatu kondisi perasaan sejahtera

secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan mencangkup aspek konsep

diri, kebugaran dan kemampuan mengendalikan diri (Riyadi, Suyono dan

Purwanto Teguh,2009).

Zakiah Daradjat, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk

(23)

buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Kelima rumusan itu

disusun mulai dari rumusan- rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih

umum, sehingga dari urutan itu tergambar bahwa rumusan yang terakhir

seakan-akan mencakup rumusan-rumusan sebelumnya (Daradjat, 2003:45-46).

1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa

(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psichose). Definisi ini banyak

dianut di kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari

sudut sehat atau sakitnya.

2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia

hidup. Definisi ini tampaknya lebih luas dan lebih umum daripada definisi yang

pertama, karena dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh.

Kemampuan menyesuaikan diri diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan

kebahagiaan hidup.

3. Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang

sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk

menghadapi problema-problema yang biasa terjadi, serta terhindar dari

kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini menunjukkan bahwa

fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan

harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan

hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu-ragu dan bimbang, serta terhindar

dari rasa gelisah dan konflik batin.

4. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan

(24)

ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang

lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Definisi keempat ini lebih

menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya dan pembawaan

yang dibawa sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat dan kebaikan

bagi orang lain dan dirinya sendiri.

5. Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang

sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaiandiri antara

manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan

ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di

dunia dan bahagia di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat

penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan

penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik

dengan sesama manusia.

Dalam buku lainnya yang berjudul Islam dan Kesehatan Mental, Zakiah

Daradjat (2008:9) mengemukakan, kesehatan mental adalah terhindar seseorang

dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup

menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya

keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada konflik) dan merasa bahwa dirinya

berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada

padanya seoptimal mungkin.

Ketiga, menurut M.Buchori (dalam Daradjat, 2008:11), kesehatan mental

(mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,

peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan

(25)

hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Jalaluddin dengan mengutip

H.C. Witherington (dalam Daradjat, 2008:12) menambahkan, permasalahan

kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsip-prinsip yang terdapat

lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama.

Keempat, Kartini Kartono, Jenny Andari (2009:15) mengetengahkan

rumusan bahwa mental hygiene atau ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang

mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah timbulnya

gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau

menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.

Dengan demikian mental hygiene mempunyai tema sentral yaitu

bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan batin manusia yang

ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta berusaha mendapatkan

kebersihan jiwa, dalam pengertian tidak terganggu oleh macam-macam

ketegangan, kekalutan dan konflik terbuka serta konflik batin.

Kesehatan mental seseorang berhubungan dengan kemampuan

menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapi. Setiap manusia memiliki

keinginan-keinginan tertentu, dan di antara mereka ada yang berhasil

memperolehnya tanpa harus bekerja keras, ada yang memperolehnya setelah

berjuang mati-matian, dan ada yang tidak berhasil menggapainya meskipun telah

bekerja keras dan bersabar untuk menggapainya.

2.4.2 Ciri-Ciri Kesehatan Mental

Marie Jahoda (dalam Daradjat, 2003:35) memberikan batasan yang agak

(26)

absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang

yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.

1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat

mengenal diri sendiri dengan baik.

2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.

3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan,

dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.

4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam

atau kelakuan-kelakuan bebas.

5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta

memiliki empati dan kepekaan sosial.

6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya

secara baik.

Adapun ciri-ciri mental sehat menurut WHO, adalah:

1. Mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara konstruktif pada

kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk,

2. Mempunyai rasa kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya,

3. Mempunyai kesenangan untuk memberi dari pada menerima,

4. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan,

5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling

memuaskan,

6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran dikemudian

(27)

7. Mengarahkan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan

konstruktif,

8. Mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu mendidik.

Sementara itu kriteria fungsi psikologis yang sehat menurut WHO adalah:

1. Menerima diri secara penuh (mencintai & menghargai diri), tetapi bukan

obsesi diri,

2. Memahami diri sendiri

3. Percaya diri, kontrol diri, sehingga menjadi mandiri, asertif, self efficacy,

4. Persepsi yang jernih terhadap realitas,

5. Keberanian dan ketahanan mental,

6. Keseimbangan dan fleksibilitas,

7. Menyukai orang lain,

8. Menghargai kehidupan,

9. Memiliki tujuan hidup.

2.4.3 Kesehatan Mental dan Keberfungsian Sosial

Menurut Moeljono Notosoedirjo (2009:33), guru besar psikiatri dan

kesehatan mental Fakultas kedokteran dan program Pascasarjana Universitas

Airlangga Surabaya, bahwa meskipun sudah dijelaskan beberapa kesehatan

mental pada bagian di atas, untuk menetapkan suatu keadaan psikologis berada

dalam keadaan sehat tidaklah mudah. Kalangan ahli kesehatan mental telah

membuat kriteria-kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada

(28)

arah yang dapat dituju dalam melakukan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

mental serta pencegahannya.

Di kalangan ahli kesehatan mental, istilah yang digunakan untuk menyebut

kesehatan mental berbeda-beda, kriteria yang dibuat pun tidak sama secara

tekstual, meskipun memiliki maksud yang sama. Dapat disebut di sini, Maslow

menyebut kondisi optimum itu dengan self-actualization, Rogers menyebutnya

dengan fully functioning, Allport memberi nama dengan mature personality, dan

banyak yang menyebut dengan mentalhealth.

Semuanya bermaksud yang sama, tidak ada yang perlu diperdebatkan

meskipun berada dalam kerangka teorinya masing-masing. Pada bagian berikut

akan diuraikan berbagai pandangan tentang kriteria kesehatan mental itu satu

persatu, dengan maksud dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang

kondisi mental yang sehat.

Manifestasi mental yang sehat (secara psikologis) menurut Maslow dan

Mittlemenn (dalam Daradjat, 2013: 11-13) adalah sebagai berikut:

1. Adequate feeling of security (rasa aman yang memadai).

Perasaan merasa aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, sosial, dan

keluarganya.

2. Adequate self-evaluation (kemampuan menilai diri sendiri yang

memadai), yang mencakup:

(a) harga diri yang memadai, yaitu merasa ada nilai yang sebanding

pada diri sendiri dan prestasinya,

(b) memiliki perasaan berguna, yaitu perasaan yang secara moral

(29)

yang berlebihan, dan mampu mengenai beberapa hal yang secara

sosial dan personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang

selalu ada sepanjang kehidupan di masyarakat.

3. Adequate spontanity and emotionality (memiliki spontanitas dan

perasaan yang memadai, dengan orang lain).

Hal ini ditandai oleh kemampuan membentuk ikatan emosional secara kuat

dan abadi, seperti hubungan persahabatan dan cinta, kemampuan memberi

ekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa kehilangan kontrol, kemampuan

memahami dan membagi rasa kepada orang lain, kemampuan menyenangi diri

sendiri dan tertawa. Setiap orang adalah tidak senang pada suatu saat, tetapi dia

harus memiliki alasan yang tepat.

4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efisien dengan

realitas).

Kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek, yaitu dunia fisik, sosial, dan

diri sendiri atau internal. Hal ini ditandai dengan:

(a) tiadanya fantasi yang berlebihan,

(b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan yang luas

terhadap dunia, yang disertai dengan kemampuan menghadapi

kesulitan hidup sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan

(c) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat

dimodifikasi. Kata yang baik untuk ini adalah: bekerja sama tanpa

dapat ditekan (cooperation, with the inevitable).

5. Adequate bodily desires and ability to gratify them

(30)

Hal ini ditandai dengan:

(a) suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti menerima

mereka tetapi bukan dikuasai;

(b) kemampuan memperoleh kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik

dalam kehidupan ini, seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari

kelelahan;

(c) kehidupan seksual yang wajar, keinginan yang sehat untuk memuaskan

tanpa rasa takut dan konflik;

(d) kemampuan bekerja;

(e) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan untuk mengikuti dalam

berbagai aktivitas tersebut.

6. Adequate self-knowledge (mempunyai kemampuan pengetahuan yang

wajar). Termasuk di dalamnya, antara lain:

(a) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi, hambatan,

kompensasi, pembelaan, perasaan rendah diri, dan sebagainya,

(b) penilaian yang realistis terhadap milik dan kekurangan. Penilaian diri

yang jujur adalah dasar kemampuan untuk menerima diri sendiri

sebagai sifat dan tidak untuk menanggalkan (tidak mau mengakui)

sejumlah hasrat penting atau pikiran jika beberapa di antara

hasrat-hasrat itu secara sosial dan personal tidak dapat diterima. Hal itu akan

selalu terjadi sepanjang kehidupan di masyarakat.

7. Integration and concistency of personality (kepribadian yang utuh dan

konsisten).

(31)

(a) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam

beberapa aktivitas;

(b) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan

pandangan kelompok;

(c) mampu untuk berkonsentrasi;

(d) tiadanya konflik-konflik besar dalam kepribadiannya dan tidak

diasosiasi terhadap kepribadiannya.

8. Adequate life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar).

Hal ini berarti:

(a) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai;

(b) mempunyai usaha yang cukup dan tekun mencapai tujuan;

(c) tujuan itu bersifat baik untuk diri sendiri dan masyarakat.

9. Ability to learn from experience (kemampuan untuk belajar dari

pengalaman). Kemampuan untuk belajar dari pengalaman termasuk tidak hanya

kumpulan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan terhadap dunia praktik, tetapi

elastisitas dan kemauan menerima dan oleh karena itu, tidak terjadi kekakuan

dalam penerapan untuk menangani tugas-tugas pekerjaan. Bahkan lebih penting

lagi adalah kemampuan untuk belajar secara spontan.

10. Ability to satisfy the requirements of the group (kemampuan

memuaskan tuntutan kelompok). Individu harus:

(a) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain dalam cara yang

dianggap penting oleh kelompok:

(b) terinformasi secara memadai dan pada pokoknya menerima cara yang

(32)

(c) berkemauan dan dapat menghambat dorongan dan hasrat yang

dilarang kelompoknya;

(d) dapat menunjukkan usaha yang mendasar yang diharapkan oleh

kelompoknya: ambisi, ketepatan; serta persahabatan, rasa tanggung

jawab, kesetiaan, dan sebagainya,

(e) minat dalam aktivitas rekreasi yang disenangi kelompoknya.

11. Adequate emancipation from the group or culture (mempunyai

emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup:

(a) kemampuan untuk menganggap sesuatu itu baik dan yang lain adalah

jelek setidaknya;

(b) dalam beberapa hal bergantung pada pandangan kelompok;

(c) tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk membujuk (menjilat),

mendorong, atau menyetujui kelompok;

(d) untuk beberapa tingkat toleransi; dan menghargai terhadap perbedaan

budaya.

Carl Rogers mengenalkan konsep fully functioning (pribadi yang berfungsi

sepenuhnya) sebagai bentuk kondisi mental yang sehat. Secara singkat fully

functioning person ditandai dengan:

(1) terbuka terhadap pengalaman;

(2) ada kehidupan pada dirinya;

(3) kepercayaan kepada organismenya;

(4) kebebasan berpengalaman; dan

(33)

Golden Allport (dalam Daradjat, 2003:21) menyebut mental yang sehat

dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi yang

matang itumelalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming. Orang

yangmatang jika:

(l) memiliki kepekaan pada diri secara luas;

(2) hangat dalamberhubungan dengan orang lain;

(3) keamanan emosional atau penerimaandiri;

(4) persepsi yang realistik, ketrampilan dan pekerjaan;

(5) mampumenilai diri secara objektif dan memahami humor; dan

(6) menyatunyafilosofi hidup.

D.S. Wright dan A Taylor (dalam Daradjat, 2003:21) mengemukakan

tanda-tanda orang yang sehat mentalnya adalah mereka yang memiliki ciri-ciri

seperti:

(1) bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan;

(2) efisien dalam menerapkan dorongannya untuk kepuasan

kebutuhannya;

(3) kurang dari kecemasan;

(4) kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari

(34)

(5) matang, sejalan dengan perkembangan yang sewajarnya;

(6) mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya;

(7) memiliki otonomi dan harga diri;

(8) mampu membangun hubungan emosional dengan orang lain;

dan

(9) dapat melakukan kontak dengan realitas.

Berangkat dari definisi kesehatan mental yang berbeda-beda sesuai dengan

bidang dan pandangan masing-masing, maka upaya pencapaiannya juga beragam.

Kartini Kartono (2009:29-30) berpendapat ada tiga prinsip pokok untuk

mendapatkan kesehatan mental, yaitu;

1. Pemenuhan kebutuhan pokok

Setiap individu selalu memiliki dorongan-dorongan dan

kebutuhan-kebutuhan pokok yang bersifat organis (fisik dan psikis) dan yang bersifat sosial.

Kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan itu menuntut pemuasan. Timbullah

ketegangan-ketegangan dalam usaha pencapaiannya. Ketegangan cenderung

menurun jika kebutuhan-kebutuhan terpenuhi, dan cenderung naik atau semakin

banyak, jika mengalami frustasi atau hambatan-hambatan.

2. Kepuasan

Setiap orang menginginkan kepuasan, baik yang bersifat jasmaniah

maupun yang bersifat psikis. Dia ingin merasa kenyang, aman terlindung, ingin

puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati dan diakui harkatnya.

(35)

Sense of Mastery, (kesadaran nilai dirinya dan kesadaran penguasaan) yang

memberi rasa senang, puas dan bahagia.

3. Posisi dan status sosial

Setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial dan status sosial

dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati. Sebab

cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman atau assurance, keberanian

dan harapan-harapan di masa mendatang. Orang lalu menjadi optimis dan

bergairah. Karenanya individu-individu

yang mengalami gangguan mental, biasanya merasa dirinya tidak aman. Mereka

senantiasa dikejar-kejar dan selalu dalam kondisi ketakutan. Mereka tidak

mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dan hari esok, jiwanya senantiasa

bimbang dan tidak imbang.

2.5 Bipolar Disorder

Penyakit bipolar atau bipolar disorder, selain itu dikenal sebagai manic

depression atau bipolar depression, adalah penyakit suasan hati (keadaan jiwa)

yang relatif umum yang mempengaruhi kira-kira 5,7 juta orang-orang Amerika.

Dikarakteristikan oleh episode-episode dari depresi yang bergantian dengan

keadaan-keadaan euphoric (sangat gembira), gejala-gejala dari penyakit bipolar

adalah beberapa dan seringkali mempengaruhi fungsi harian dari individu dan

hubungan-hubungan antar pribadi (WHO, 2013).

Gejala-gejala penyakit bipolar termasuk depresi dan perasaan-perasaan

(36)

bunuh diri, perubahan-perubahan pada pola-pola tidur, dan kehilangan minat pada

aktivitas-aktivitas yang pernah menjadi sumber dari kesenangan.

Apa yang membedakan penyakit bipolar dari depresi utama adalah

kejadian dari episode-episode manik atau mania, seringkali digambarkan sebagai

"puncak-puncak" emosional, diantara episode-episode dari depresi. Gejala-gejala

dari keadaan-keadaan mania adalah kegelisahan, energi yang meningkat, suasana

hati yang sangat gembira, pemikiran-pemikiran yang tergesa-gesa, keputusan

yang buruk, kelakuan yang mengganggu atau provokatif, kesulitan berkonsentrasi,

dan keperluan yang berkurang untuk tidur.

Orang-orang yang mengalami episode-episode mania seringkali berbicara

dengan cepat, terlihat mudah teriritasi atau tersinggung, dan mungkin mempunyai

kepercayaan-kepercayaan yang tidak realistik tentang kekuatan dan kemampuan

mereka sendiri.

Untungnya, penyakit bipolar adalah kondisi yang dapat dirawat. Dengan

perawatan yang tepat, kebanyakan orang-orang yang menderita penyakit bipolar

dapat mencapai penstabilan yang substansial dari turun naiknya suasana hati

mereka dan mampu memimpin kehidupan yang normal.

Perawatan dari penyakit bipolar termasuk obat-obat yang dikenal sebagai

"mood stabilizers" atau obat-obatan penstabil-penstabil suasana hati. Contohnya

adalah lithium (Eskalith, Lithobid), valproate (Depakote) atau carbamazepine

(Tegretol) (WHO, 2013).

Penyakit bipolar, yang dikenal juga sebagai penyakit manic-depressive,

adalah penyakit otak yang menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak biasa

(37)

melakukan tugas-tugas harian. Gejala-gejala dari penyakit bipolar bisa dibilang

sangat parah. Perasaan mereka mudah naik dan turun secara berlebihan atau

ekstrim bila dibandingkan manusia normal pada umumnya

. Gejala-gejala penyakit bipolar dapat berakibat pada hubungan-hubungan

sosial yang rusak, pencapaian sekolah atau pekerjaan yang buruk, dan bahkan

bunuh diri. Namun penyakit bipolar dapat dirawat, dan orang-orang dengan

penyakit ini dapat menjalankan kehidupan-kehidupan yang penuh dan produktif.

Penyakit bipolar seringkali berkembang pada akhir masa remaja seseorang

atau pada tahun-tahun awal masa dewasa. Paling sedikit setengah dari semua

kasus-kasus mulai sebelum umur 25 tahun. Beberapa orang-orang mempunyai

gejala-gejala pertama mereka selama masa kanak-kanak, sementara ada juga yang

baru mengalami gejala bipolar ketika sudah dewasa, namun kasus itu jarang

ditemukan (Total Kesehatan Anda, 2013).

Penyakit bipolar tidak mudah dilihat sekilas mata atau diprediksi.

Gejala-gejala mungkin nampak seperti persoalan-persoalan yang terpisah, tidak dikenali

sebagai bagian-bagian dari persoalan yang besar. Beberapa orang-orang menderita

bertahun-tahun sebelum mereka didiagnosa dan dirawat secara benar. Seperti

diabetes atau penyakit jantung, penyakit bipolar adalah penyakit jangka panjang

yang harus dikelola secara hati-hati sepanjag kehidupan seseorang.

2.5.1 Gejala-Gejala Penyakit Bipolar Disorder

Menurut data dari WHO orang-orang dengan penyakit bipolar mengalami

keadaan-keadaan emosional yang hebatnya tidak biasa yang terjadi pada

(38)

hati. Keadaan yang sangat penuh kegembiraan disebut manic episode atau mania,

dan keadaan yang sangat sedih atau tanpa harapan disebut depressive episode atau

depresi. Adakalanya, episode suasana hati termasuk gejala-gejala dari keduanya

mania dan depresi. Ini disebut keadaan campuran (mixed state). Orang-orang

dengan penyakit bipolar juga mungkin eksplosif dan teriritasi selama episode

suasana hati (mood episode).

Perubahan-perubahan yang ekstrim pada energi, aktivitas, tidur, dan

kelakuan berjalan bersama dengan perubahan-perubahan pada suasana hati ini.

Adalah mungkin untuk seseorang dengan penyakit bipolar untuk mengalami

periode yang berlangsung lama dari suasana-suasana hati yang tidak stabil

daripada episode-episode yang terpisah dari depresi atau mania.

Seorang penderita bipolar bisa saja memiliki gejala-gejala mania atau

depresi hampir sepanjang hari, setiap hari, atau bahkan berminggu-minggu bahkan

berbulan-bulan. Adakalanya gejala-gejalanya begitu parah sehingga orang itu

tidak dapat berfungsi di tempat kerja, sekolah, atau rumah.

Tabel 2.1 Gejala-Gejala Penyakit Bipolar

Gejala-gejala dari mania atau episode manik Gejala-gejala dari depresi atau episode depresi Perubahan-Perubahan Suasana Hati

 Periode yang panjang dari perasaan "puncak", atau suasana hati yang sangat gembira atau ramah

Perubahan-Perubahan Suasana Hati

(39)

 Suasana hati yang sangat teriritasi, agitasi, merasakan "jumpy (gelisah)" atau "wired".

Perubahan-Perubahan Kelakuan

 Berbicara sangat cepat, melompat dari satu ide ke ide yang lainnya, mempunyai pemikiran-pemikiran yang tergesa-gesa

 Sangat mudah dikacaukan

 Aktivitas-aktivitas yang menuju tujuan yang meningkat, seperti menerima proyek-proyek baru

 Menjadi gelisah

 Tidur yang sedikit

 Mempunyai kepercayaan yang tidak realistik pada kemampuan-kemampuan seseorang

 Berkelakuan secara impulsif dan mengambil bagian pada banyak kelakuan-kelakuan yang menyenangkan dan berisiko tinggi, seperti melakukan olahraga bernyali tinggi, belanja tanpa perhitungan panjang untuk kesenangan, seks yang impulsif, dan investasi-investasi bisnis yang impulsif.

dari perasaan khawatir atau kosong

 Kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang pernah dinikmati, termasuk seks.

Perubahan-Perubahan Kelakuan

 Merasa lelah atau

"slowed down"

 Menjadi gelisah atau teriritasi

 Merubah kebiasaan-kebiasaan makan, tidur, atau yang lain-lain

 Memikirkan kematian atau bunuh diri, atau mencoba bunuh diri.

Sebagai tambahan, pada mania dan depresi, penyakit bipolar dapat

menyebabkan jajaran dari suasana-suasana hati, seperti ditunjukan pada skala.

(40)

Satu sisi dari skala termasuk depresi yang parah, depresi yang sedang, dan

suasana hati rendah yang ringan. Depresi sedang mungkin menyebabkan

gejala-gejala yang kurang ekstrim, dan suasana hati rendah yang ringan disebut

dysthymia jika ia kronis atau berjangka panjang. Di tengah-tengah skala adalah

suasana hati yang normal atau seimbang.

Pada ujung lain dari skala adalah hypomania dan mania yang parah.

Beberapa orang-orang dengan penyakit bipolar mengalami hipomania. Selama

episode-episode hipomania, seorang penederita bipolar mungkin mempunyai

energi dan tingkat-tingkat aktivitas yang meningkat atau sangat tinggi namun

tidak separah mania, atau ia mungkin mempunyai episode-episode yang

berlangsung kurang dari satu minggu dan tidak memerlukan perawatan gawat

darurat.

Seseorang yang mempunyai episode hipomania mungkin merasa sangat

baik, berproduktif sangat tinggi, dan berfungsi baik. Orang ini mungkin tidak

merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar bahkan ketika keluarga dan

teman-temannya mengenali turun naiknya suasana hati sebagai kemungkinan penyakit

bipolar. Tanpa perawatan yang benar, bagaimanapun, orang-orang dengan

hipomania tetap memiliki mungkin kemungkinan untuk mengalami mania atau

depresi yang parah.

Selama keadaan campuran, gejala-gejala seringkali termasuk agitasi,

kesulitan tidur, perubahan-perubahan utama pada nafsu makan, dan pikiran bunuh

diri. Orang-orang pada keadaan campuran mungkin merasa sangat sedih atau

(41)

Adakalanya, seorang dengan episode-episode yang parah dari mania atau

depresi juga mempunyai gejala-gejala psikotik, seperti halusinasi-halusinasi atau

delusi-delusi (khayalan-khayalan). Gejala-gejala psikotik cenderung

mencerminkan suasana hati seseorang yang ekstrim. Contohnya, gejala-gejala

psikotik untuk seseorang yang mempunyai episode mania mungkin termasuk

kepercayaan bahwa ia terkenal, mempunyai banyak uang, atau mempunyai

kekuatan-kekuatan khusus. Pada cara yang sama, seseorang yang mempunyai

episode depresi mungkin percaya ia hancur dan tidak beruang sepeser pun, merasa

jadi orang paling bodoh atau paling gagal di dunia atau telah melakukan

kejahatan. Sebagai akibatnya, orang-orang dengan penyakit bipolar yang

mempunyai gejala-gejala psikotik adakalanya salah didiagnosa sebagai

mempunyai schizophrenia, penyakit mental parah lainnya yang dihubungkan

dengan halusinasi-halusinasi dan khayalan-khayalan (Total Kesehatan Anda,

2013).

Orang-orang dengan penyakit bipolar mungkin juga mempunyai

persoalan-persoalan kelakuan. Mereka mungkin menyalahgunakan alkohol dan

obat-obatan terlarang, mempunyai persoalan-persoalan hubungan sosial, atau

berkinerja buruk di sekolah atau tempat kerja. Pada awalnya, sangat tidak mudah

untuk mengenali persoalan-persoalan ini sebagai tanda-tanda dari penyakit mental

utama.

2.5.2 Jenis-Jenis Penyakit Bipolar Disorder

Penyakit bipolar biasanya berlangsung seumur hidup. Episode-episode

(42)

episode-episode, banyak orang-orang dengan penyakit bipolar bebas dari

gejala-gejala dan merasa bahwa hidupnya kembali normal dan baik-baik saja, namun

beberapa orang-orang mungkin mempunyai gejala-gejala yang tetap ada, depresi

dan mania datang silih berganti tanpa fase normal.

Dokter-dokter biasanya mendiagnosa penyakit-penyakit mental

menggunakan petunjuk-petunjuk dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders, atau DSM. Menurut DSM, ada empat tipe-tipe dasar dari penyakit

bipolar:

1. Penyakit Bipolar I terutama ditentukan oleh episode-episode mania atau campuran yang berlangsung paling sedikit tujuh hari, atau oleh

gejala-gejala mania yang begitu parah sehingga orang itu perlu segera perawatan

rumah sakit. Biasanya, orang itu juga mempunyai episode-episode depresi,

secara khas berlangsung paling sedikit dua minggu. Gejala-gejala dari

mania atau depresi menjadi perubahan utama dari kelakuan normal

seseorang.

2. Penyakit Bipolar II ditentukan oleh pola dari episode-episode depresi yang berubah mondar-mandir dengan episode-episode hipomania, namun

bukan sepenuhnya episode-episode mania atau campuran.

3. Bipolar Disorder Not Otherwise Specified (BP-NOS) didiagnosa ketika seseorang mempunyai gejala-gejala dari penyakit yang tidak memenuhi

kriteria diagnostik untuk salah satu dari bipolar I atau II. Gejala-gejala

mungkin tidak berlangsung cukup lama, atau orang itu mungkin

(43)

atau II. Bagaimanapun, gejala-gejalanya dapat dilihat dari kelakuan di luar

batas normal seseorang.

4. Penyakit Cyclothymic atau Cyclothymia, adalah bentuk ringan dari penyakit bipolar. Orang-orang yang mempunyai cyclothymia mempunyai

episode-episode dari hipomania yang berubah silih berganti dengan

depresi ringan paling sedikit dua tahun.

Beberapa orang-orang ada juga yang didiagnosa dengan rapid-cycling

bipolar disorder. Ini adalah ketika seorang mempunyai empat atau lebih

episode-episode dari depresi utama, mania, hipomania, atau gejala-gejala campuran dalam

satu tahun. Beberapa orang-orang mengalami lebih dari satu episode dalam satu

minggu, atau bahkan dalam satu hari. Rapid cycling nampaknya lebih umum pada

orang-orang yang mempunyai penyakit bipolar yang parah dan mungkin lebih

umum pada orang-orang yang mempunyai episode pertama mereka pada umur

yang lebih muda. Satu studi di National Institute Mental Health menemukan

bahwa orang-orang rapid cycling mempunyai episode pertama mereka kira-kira

empat tahun lebih awal, selama pertengahan sampai akhir tahun-tahun remaja,

dibandingkan dengan orang-orang tanpa penyakit rapid cycling bipolar. Rapid

cycling mempengaruhi lebih banyak wanita-wanita daripada pria-pria.

Penyakit bipolar cenderung memburuk jika ia tidak dirawat. Seorang

penderita bipolar mungkin menderita episode-episode lebih sering dan lebih parah

daripada ketika penyakitnya pertama timbul. Pun, penundaan-penundaan dalam

mendapatkan diagnosis dan perawatan yang benar membuat seseorang lebih

mungkin mengalami persoalan-persoalan pribadi, sosial, dan yang berhubungan

(44)

Diagnosis dan perawatan yang benar membantu orang-orang dengan

penyakit bipolar menjalankan kehidupan-kehidupan yang sehat dan produktif.

Pada kebanyakan kasus-kasus, perawatan dapat membantu mengurangi frekwensi

dan keparahan dari episode-episode.

2.5.3 Penyakit Pendamping Bipolar Disorder

Penyalahgunaan zat kimia adalah sangat umum diantara orang-orang

dengan penyakit bipolar, namun alasan-alasan untuk hubungan ini tidak jelas.

Beberapa orang-orang dengan penyakit bipolar mungkin mencoba meringankan

gejala-gejala mereka dengan alkohol atau obat-obatan terlarang. Bagaimanapun,

penyalahgunaan zat kimia mungkin mencetuskan atau memperpanjang

gejala-gejala bipolar, dan persoalan-persoalan mengontrol kelakuan yang berhubungan

dengan mania dapat berakibat pada seorang minum terlalu banyak alkohol.

Penyakit-penyakit ketakutan, seperti post-traumatic stress disorder

(PTSD) dan social phobia, juga sering terjadi bersamaan diantara orang-orang

dengan penyakit bipolar. Penyakit bipolar juga terjadi bersamaan dengan attention

deficit hyperactivity disorder (ADHD), yang mempunyai beberapa gejala-gejala

yang tumpang tindih dengan penyakit bipolar, seperti kegelisahan dan mudah

dikacaukan dalam konsentrasi, pikiran, perasaan maupun tindakan (NIMH: 2012).

Orang-orang dengan penyakit bipolar juga berada pada risiko yang lebih

tinggi untuk penyakit tiroid, sakit kepala migraine, penyakit jantung, diabetes,

obesitas (kegemukan), dan penyakit-penyakit fisik lainnya. Penyakit-penyakit ini

mungkin menyebabkan gejala-gejala dari mania atau depresi. Penyakit-penyakit

(45)

Penyakit-penyakit lain yang ada tersebut menyulitkan proses diagnosa dan

perawatan penyakit bipolar. Orang-orang dengan penyakit bipolar harus

memonitor kesehatan fisik dan mental mereka. Jika gejala tidak menjadi lebih

baik dengan perawatan, mereka harus memberitahu dokter mereka.

2.5.4 Faktor-Faktor Risiko untuk Penyakit Bipolar Disorder

Ilmuwan-ilmuwan sedang mempelajari kemungkinan penyebab-penyebab

dari penyakit bipolar. Kebanyakan ilmuwan-ilmuwan setuju bahwa tidak ada

penyebab tunggal. Agaknya, banyak faktor-faktor kemungkinan beraksi bersama

untuk menghasilkan penyakit atau meningkatkan risiko.

1. Genetik-Genetik

Penyakit bipolar cenderung beredar dan muncul dari keluarga. Hal ini

membuat peneliti-peneliti mencari gen-gen yang mungkin meningkatkan

kesempatan seseoarng mengembangkan penyakit. Gen-gen adalah "building

blocks" dari keturunan. Mereka membantu mengontrol bagaimana tubuh dan otak

bekerja dan tumbuh. Gen-gen dikandung di dalam sel-sel orang yang diturunkan

dari orangtua ke anak-anak. Anak-anak dengan orangtua atau saudara kandung

yang mempunyai penyakit bipolar memiliki kemungkinan empat sampai enam

kali lebih mengembangkan penyakit, dibanding dengan anak-anak yang tidak

mempunyai sejarah penyakit bipolar keluarga.

Penelitian genetik pada penyakit bipolar sedang dibantu oleh

kemajuan-kemajuan dalam teknologi. Tipe penelitian ini sekarang jauh lebih cepat dan lebih

(46)

dari Bipolar Disorder Phenome Database, dibiayai sebagian oleh NIMH. Dengan

menggunakan basis data, ilmuwan-ilmuwan akan mampu menghubungkan

tanda-tanda yang terlihat dari penyakit dengan gen-gen yang mungkin mempengaruhi

mereka.

Namun gen-gen bukan satu-satunya faktor risiko untuk penyakit bipolar.

Studi penelitian dari kembar-kembar yang identis telah menunjukan bahwa

kembar dari seseorang dengan penyakit bipolar tidak selalu mengembangkan

penyakit. Ini adalah penting karena kembar-kembar yang identis berbagi semua

gen-gen yang sama. Hasil-hasil studi menyarankan faktor-faktor selain gen-gen

juga berpengaruh. Agaknya, adalah mungkin bahwa banyak gen-gen yang berbeda

dan lingkungan seseorang terlibat menjadi faktor pemicu bipolar. Bagaimanapun,

ilmuwan-ilmuwan masih belum mengerti sepenuhnya bagaimana faktor-faktor ini

berinteraksi untuk menyebabkan penyakit bipolar (NIMH, 2012).

2. Fungsi dan Struktur Otak

Studi-studi pencitraan otak membantu ilmuwan-ilmuwan belajar tentang

apa yang terjadi pada otak dari orang dengan penyakit bipolar. Alat-alat

pencitraan otak yang lebih baru,seperti functional magnetic resonance imaging

(fMRI) dan positron emission tomography (PET), mengizinkan peneliti-peneliti

mengambil gambar-gambar dari otak hidup yang sedang bekerja. Alat-alat ini

Gambar

Tabel 2.1 Gejala-Gejala Penyakit Bipolar
Gambar 2.1 Skala Depresi, Normal dan Mania

Referensi

Dokumen terkait

Nilai tercatat aset tersebut berkurang melalui penggunaan akun penyisihan dan jumlah kerugian diakui dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif

Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) siswa tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula siswa diajak membuat

Di Desa Hutaimbaru Kecamatan Halongonan terdapat sebuah usaha rumahan yaitu perusahaan minyak rambut pomade milik Bapak Mara Ilong, perusahaan tersebut memiliki 15 orang

setiap perusahaan akan hanya memperoleh laba normal di mana biaya rata-rata sama dengan biaya variabel rata-rata, karena dalam jangka panjang semua biaya adalah

Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana anak mampu menggunakan bahasa saat berinteraksi dengan orang lain terutama saat merespon dan memproduksi tuturan tidak

Pada sesi ini akan dibagikan potensi pengembangan gula baik di Jawa maupun luar Jawa, strategi yang dijalankan pemerintah atau asosiasi untuk mengstabilkan harga,

Dalam meta-analisis mereka tentang studi risiko bunuh diri dalam semua gangguan psikiatri, Harris dan Barraclough [10] menganalisis secara terpisah risiko

Dikatakan demikian karena yurisprudensi selain menggambarkan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, juga selaras dengan kesadaran hukum masyarakat