• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN PADA KULTUR IN VITRO EKSPLAN DAUN TEMBAKAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH KOMBINASI NAA DAN KINETIN PADA KULTUR IN VITRO EKSPLAN DAUN TEMBAKAU"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMBINASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) DAN KINETIN

PADA KULTUR IN VITRO EKSPLAN DAUN TEMBAKAU

(Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95)

Daniar robbiani*, Tutik Nurhidayati1, Nurul Jadid1

Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

ABSTRAK

Penelitian Pengaruh Kombinasi Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Kinetin Terhadap Kultur In vitro Eksplan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95) bertujuan untuk menentukan kombinasi konsentrasi NAA dan Kinetin yang efektif dan mengetahui pengaruh morfogenesis eksplan dari kombinasi tersebut. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Program Studi Biologi ITS Surabaya. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor. Faktor pertama konsentrasi NAA, terdiri atas 6 level yaitu 0 ppm; 0,5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm, dan 2,5 ppm. Faktor kedua konsentrasi Kinetin, terdiri atas 5 level yaitu 0 ppm; 1 ppm; 2 ppm; 3 ppm; and 4 ppm. Hasil menunjukkan bahwa jumlah proliferasi tunas tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan 0 ppm NAA dan 4 ppm Kinetin (62,75 tunas/eksplan) dan perlakuan dengan 2,5 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin memberikan hasil terbaik untuk proliferasi akar (37,75 akar/eksplan). Kalus yang didapatkan paling dominan berwarna putih kehijauan dan tekstur kompak.

Kata kunci: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, NAA, Kinetin, Kalus, Kultur jaringan tumbuhan

ABSTRACT

The research of the influence of Naphthalene Acetic Acid (NAA) and Kinetin combination on in vitro culture of Tobacco leaf explant (Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95) was conducted to determine the effective combination of NAA and Kinetin concentration and to observe the explant morphogenetic effect of its combination. This research was carried out in the plant tissue culture laboratory, department of Biology ITS, Surabaya. This research was designed with completely randomize design with two factors. The first factor was the NAA concentration, consisted of six levels i.e. 0 ppm; 0.5 ppm; 1 ppm; 1,5 ppm; 2 ppm; and 2,5 ppm. The second factor was Kinetin concentration, consisted of five levels i.e. and 0 ppm ; 1 ppm; 2 ppm, 3 ppm, and 4 ppm. The result showed that highest amount of shoot proliferation was obtained from treatment with 0 ppm NAA and 4 ppm Kinetin (62,75 shoot/explant) and the treatment for 2,5 ppm NAA and 0 ppm Kinetin gave the best result for root proliferation (37,75 root/explant). The most dominant callus obtained were white greenish in colour and compact in texture.

Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, NAA, Kinetin, Callus, Plant Tissue Culture

*Corresponding author Phone : +6285719149996 e-mail : niar.snoopy21@gmail.com

1 Alamat sekarang : Prodi Biologi, Fak MIPA,

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

I PENDAHULUAN

Penanaman dan penggunaan tembakau di

Indonesia

Penanaman dan penggunaan

tembakau di Indonesia sudah dikenal sejak

lama. Komoditi tembakau mempunyai arti

yang cukup penting, tidak hanya sebagai

(2)

serangga

sehingga

nikotin

dapat

dimanfaatkan

oleh

manusia

sebagai

bioinsektisida (Susilowati, 2006). Tembakau

juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarna

kain sutera dengan menggunakan daunnya

untuk menjadi larutan celup pada proses

pencelupan kain sutera (Santosa, 2007).

Keistimewaan dan manfaat yang besar dari

tembakau membuat tembakau mempunyai

potensi untuk dikembangkan dalam berbagai

bidang.

Salah satu tanaman yang sering

dikembangkan adalah tembakau Madura.

Pada saat ini tembakau Madura yang

berkembang sebagai bahan baku rokok

adalah adalah var.

Prancak 95

dan

Cangkring 95

(Basuki

et al

., 1999).

Keunggulan tembakau var.

Prancak 95

adalah memiliki sifat hasil sedang, mutu

tinggi, aromanya khas, kadar nikotin rendah,

tahan terhadap penyakit lanas dan sesuai

ditanam di lahan tegal dan gunung. Selama

ini budidaya tembakau Madura dilakukan

secara konvensional. Budidaya tembakau

secara konvensional memerlukan proses

yang tidak sederhana dan waktu yang relatif

lama, selain itu sifat-sifat genetis tidak sama

persis seperti induknya. Seiring dengan

berkembangnya ilmu pengetahuan, tanaman

tembakau juga mulai dibudidayakan melalui

program pemuliaan tanaman. Hal tersebut

bertujuan

untuk

meningkatkan

jumlah

produksi tanaman tembakau.

Salah

satu

program

pemuliaan

tanaman tembakau tersebut adalah dengan

teknik kultur jaringan. Manfaat utama kultur

jaringan adalah menghasilkan tanaman baru

dalam jumlah yang besar dalam jangka

waktu yang relatif singkat dengan sifat dan

kualitas yang diharapkan sama dengan

induknya (Rahardja, 1995 dalam Yunus,

2007). Salah satu perbanyakan tanaman

tembakau secara

in vitro

yang efisien adalah

dengan mengkulturkan organ yaitu eksplan

dari daun muda tembakau (Hendaryono,

1994). Penggunaan eksplan dari jaringan

muda lebih sering berhasil karena sel-selnya

aktif membelah, dinding sel tipis karena

belum terjadi penebalan lignin dan selulose

yang menyebabkan kekakuan pada sel.

Selain

itu

faktor

lain

yang

memberikan pengaruh terhadap keberhasilan

perbanyakan tanaman secara

in vitro

adalah

zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh

yang banyak digunakan dalam kultur

jaringan adalah auksin dan sitokinin. NAA

(

Naphthalene Acetic Acid

) merupakan salah

satu

auksin

yang

berperan

dalam

perpanjangan sel. Sedangkan Kinetin (

6-furfury amino purine

) adalah salah satu

sitokinin yang berperan untuk pembelahan

sel. Sitokinin bersama-sama dengan auksin

akan

memberikan

pengaruh

interaksi

terhadap diferensiasi jaringan dalam kultur

jaringan tanaman (Hendaryono, 1994).

Penelitian terhadap interaksi antara

kinetin dan auksin pada kultur tembakau

telah membuktikan adanya peranan dari

kedua zat tumbuh ini terhadap pertumbuhan.

Kinetin yang berimbang dengan auksin dapat

menyebabkan pertumbuhan kalus (Abidin,

1985 dalam Fitrianti, 2006). Jumlah auksin

dan sitokinin yang perlu ditambahkan

kedalam kultur tergantung kandungan auksin

dan

sitokinin

endogen

pada

eksplan.

Berdasarkan penelitian Maryanto (1987)

dalam Suryowinoto (1991) pada kultur

tembakau (

Nicotiana tabacum

) dengan

perbandingan auksin : kinetin 5:0 atau 4:1

hanya terjadi pertumbuhan akar saja. Pada

jumlah perbandingan sebaliknya yaitu auksin

: kinetin 0:5 atau 1:4 hanya terjadi tunas

besar, tanpa ada akar sama sekali. Sedangkan

menurut

Suryowinoto

(1991)

dalam

Hendaryono (1994), pada kultur in vitro

daun muda tembakau pada medium MS

perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh IAA

dan Kinetin dengan perbandingan 2:3 ppm.

(3)

II METODOLOGI

1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2010 di Laboratorium Kultur Jaringan Program Studi Biologi ITS. Jenis tembakau Madura yang digunakan adalah (Nicotiana tabacum L.var. Prancak 95) yang diperoleh dari PT. Sadhana-Pasuruan.

2 Alat, Bahan, dan Cara Kerja 2.1 Tahap Persiapan

a. Sterilisasi Alat dan Ruang Kerja

Semua peralatan baik alat pembuatan media (botol kultur) dan alat inokulasi eksplan (cawan petri, scalpel blade, gunting eksplan, pinset, kertas saring, dll) disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 121oC tekanan 1,5 atm selama 15 menit (Nugroho, 2004).

Laminair Air Flow (LAF) disemprot dengan alkohol 70% dan alat-alat yang dimasukkan ke dalam LAF juga harus disemprot dengan alkohol 70%. Ruang tanam disterilisasi dengan sinar UV selama 1 jam sebelum LAF digunakan. Ketika LAF digunakan maka sinar UV harus dimatikan dan blower dihidupkan (Fitrianti, 2006).

b. Sterilisasi Eksplan

Sterilisasi permukaan eksplan daun ini ada 2 tahap yaitu sterilisasi tahap I yang dilakukan di ruang persiapan dan sterilisasi tahap II yang dilakukan di LAF. Sterilisasi tahap I meliputi: Daun tembakau muda (daun kedua sampai ketiga dari pucuk) diambil dari green house dibilas dengan air mengalir hingga bersih. Sedangkan sterilisasi tahap II meliputi: Daun tembakau dimasukkan ke dalam 70 % etanol selama 0,5 menit. Kemudian dibilas dengan aquades steril selama 5 menit. Potongan daun tembakau disterilisasi dengan 1% sodium hypochlorite (Bayclin ™) selama ± 10 menit. Kemudian dibilas tiga kali dengan aquades steril selama 5 menit sebanyak 3 kali sambil digojog. Selanjutnya eksplan diambil dengan pinset dan ditiriskan pada kertas saring. (Fowke, L.C. et al,

1983).

2.2 Pembuatan Media

a. Pembuatan Stok Zat Pengatur Tumbuh NAA dan Kinetin

Untuk pembuatan larutan stok NAA (MerckTM), dilakukan penimbangan bahan sebanyak 10 mg dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer berukuran 100 ml yang diberi aquades sedikit. Sambil diaduk, diteteskan sedikit demi sedikit larutan NaOH 1 N dengan hati-hati sambil dikocok sampai zat pengatur

tumbuh larut benar. Kemudian ditambahkan aquades steril ke dalam erlenmeyer hingga volume mendekati 70 ml sambil dikocok-kocok. Kemudian ditambahkan kembali aquades steril ke dalam erlenmeyer sampai volume menjadi 100 ml. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam wadah stok, ditutup rapat dengan aluminium foil dan kapas dan diberi label NAA. Selanjutnya disimpan dalam lemari es. Untuk pembuatan larutan stok Kinetin (TCITM) caranya juga sama seperti pembuatan larutan stok NAA. Apabila zat pengatur tumbuh belum larut, dapat dibantu dengan memanaskannya dengan pemanas atau

hot plate (Santoso dan Nursandi, 2003).

Perhitungan perlakuan zat pengatur tumbuh (Lampiran 4) menggunakan rumus pengenceran yaitu:

V1.M1 = V2.M2

V1 = volume larutan stok yang dicari M1 = dosis larutan stok yang tersedia V2 = volume medium yang akan dibuat M2 = dosis medium yang akan dibuat

(Hendaryono, 1994).

(4)

perlakuan dan disimpan di dalam ruang steril (Hendaryono, 1994).

2.3 Inokulasi Eksplan

Proses inokulasi dilakukan di laminar air flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat inokulasi ditata didalam laminar air flow. Setiap alat tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 70% dan dipanaskan di atas nyala api bunsen selama 1-2 menit. Bunsen yang akan dipakai hendaknya terisi penuh. Daun Nicotiana tabacum L.

dikeluarkan dari botol sterilisasi dan diletakkan pada cawan petri steril yang telah dilapisi kertas tissue/kertas serap steril untuk menyerap aquades. Kemudian daun dipotong-potong persegi di atas petridish dengan ukuran 0,5 - 1 cm2. Eksplan tersebut kemudian diinokulasikan ke dalam botol kultur yang telah berisi media MS modifikasi dengan posisi horizontal (mendatar) dan bagian abaksial menempel pada permukaan medium (Dhaliwal et al., 2004). Media MS modifikasi ini terdiri atas unsur makro, unsur mikro, sukrosa, vitamin, agar, zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin. Setiap botol kultur berisi 2 eksplan. Botol ditutup rapat dan diberi label yaitu tanggal dilakukan inokulasi eksplan dan konsentrasi hormon yang digunakan. Kemudian ditata rapi dalam rak kultur bertingkat. Botol berisi eksplan diinkubasi pada suhu 25-28oC, kelembaban 70% dengan fotoperiode 12 jam terang dan 12 jam gelap selama ± 1 bulan. Setiap kolom rak kultur diberi pencahayaan dengan lampu flourescen 40 watt (Gunawan, 1995).

3. Rancangan Penelitian dan Hipotesis

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor (Faktor 1= konsentrasi NAA dan Faktor 2=konsentrasi Kinetin) dan masing-masing 4 kali ulangan. Rancangan penelitian disajikan pada tabel 2.

3.2 Uji Kuantitatif

Jika eksplan yang ditumbuhkan menghasilkan tunas atau akar, maka akan dihitung jumlah tunas dan jumlah akar, selanjutnya seluruh data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan jika ada pengaruh maka dilanjutkan dengan uji Tukey dengan tingkat kesalahan 5% menggunakan Minitab.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H0 = Tidak ada pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin terhadap morfogenesis eksplan tanaman tembakau.

H1 = Ada pengaruh kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin terhadap morfogenesis eksplan tanaman tembakau. Sedangkan variabel yang digunakan adalah :

Variabel bebas : perbandingan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA

Jika eksplan yang ditumbuhkan menghasilkan kalus maka dilakukan pengamatan secara deskriptif yaitu morfologi kalus. Menurut Ali et al. (2007) warna kalus yang terbentuk antara lain kuning, kehijauan, dan hijau terang sedangkan tekstur kalus yang terbentuk adalah lunak, keras, dan kompak (Lampiran 3).

b. Respon Organogenesis dan Callogenesis Respon organogenesis dan callogenesis dilakukan pengukuran persentase pertumbuhan eksplan yang meliputi respon callogenesis (eksplan membentuk kalus), respon organogenesis tidak langsung (eksplan berkalus bertunas, eksplan berkalus berakar, eksplan berkalus bertunas berakar), dan respon organogenesis langsung (eksplan bertunas, eksplan berakar, eksplan bertunas dan berakar).

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Respon Callogenesis Kultur In Vitro Nicotiana tabacum L. var Prancak 95

Penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin pada kultur in vitro eksplan daun tembakau Madura (Nicotiana tabacum L. var.

Prancak 95) dengan konsentrasi yang berbeda yaitu sebanyak 30 kombinasi memberikan respon organogenesis dan callogenesis yang bervariasi. Penelitian dilakukan selama 30 hari untuk mengetahui respon morfogenesis dari Nicotiana tabacum var. Prancak 95 yang ditandai dengan terbentuknya kalus, tunas, dan akar dalam bentuk persentase (Tabel 4.1).

(5)

yang ditandai dengan terbentuknya kalus yang mulai terbentuk pada bagian tepi eksplan (bagian perlukaan) bagian atas maupun bagian bawah yang bersentuhan dengan media, tetapi kalus lebih cepat terbentuk pada bagian yang bersentuhan dengan media, yaitu bagian abaksial daun. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan proses pengambilan nutrisi medium oleh eksplan. Penyerapan unsur hara akan lebih baik karena terjadi kontak langsung antara media dengan bagian abaksial daun. Munculnya kalus pada bagian yang terluka diduga karena adanya rangsangan dari jaringan pada eksplan untuk menutupi lukanya. Hal ini sesuai pendapat dari Thomas dan Davey (1975) dalam George and Sherington (1993), mengemukakan bahwa pembelahan sel yang mengarah pada terbentuknya kalus terjadi dari adanya respon terhadap luka dan suplai hormon alamiah atau buatan dari luar ke dalam eksplan. Pada perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin eksplan memberikan respon dengan penambahan volume yaitu eksplan agak membesar dan melengkung dan terbentuk tonjolan kecil yaitu kalus tanpa disertai adanya respon organogenesis yang nantinya akan tumbuh menjadi tunas, atau akar (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Eksplan dengan perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin

Berdasarkan Tabel 4.1, respon callogenesis pada eksplan Nicotiana tabacum L. terjadi pada semua perlakuan dengan persentase 100% dan 25 %, kecuali pada perlakuan 0 ppm NAA dengan penambahan Kinetin dengan persentase 0% (Tabel 4.1).

Tumbuhnya kalus pada perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin disebabkan adanya pengaruh hormon endogen yang terkandung dalam eksplan itu sendiri. Hormon endogen tersebut juga mampu memacu sel untuk berkembang dan memperbanyak diri tetapi waktu yang dibutuhkan cenderung lama karena jumlah hormon yang tidak tersedia secara pasti. Hal ini membuktikan bahwa terbentuknya kalus sangat dipengaruhi oleh peran jenis zat pengatur tumbuh. Menurut Zulfiqar et al., (2009) kondisi tersebut membuktikan bahwa pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro

dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari ZPT yang ada dalam eksplan baik endogen maupun eksogen yang diserap dari media.

(6)

dalam medium kultur, maka tidak akan ada pengaruh apapun tehadap tumbuhnya kalus karena Kinetin lebih berperan terhadap pembelahan sel serta diferensiasi terbentuknya tunas. Namun, jika Kinetin ditambahkan bersama-sama dengan auksin maka sel-sel akan mengalami pembelahan dan perkembangan secara terus menerus. Rasio sitokinin terhadap auksin mengontrol diferensiasi sel. Ketika konsentrasi kedua hormon tersebut hampir sama, massa sel akan terus bertambah (terbentuk kalus). Penggunaan medium MS dengan penambahan NAA dengan konsentrasi lebih tinggi daripada konsentrasi Kinetin dapat menginduksi proliferasi kalus. Zia et al., (2007) menyebutkan bahwa bahwa kalus dapat tumbuh pada beragam konsentrasi dan jenis zat pengatur tumbuh, namun untuk zat pengatur tumbuh Kinetin pada eksplan daun, kalus hanya tumbuh pada Kinetin dengan konsentrasi yang rendah yaitu dibawah 1 ppm, dan diatas 1 ppm kalus tidak dapat tumbuh. Sedangkan pada zat pengatur tumbuh NAA, kalus dapat tumbuh di semua konsentrasi dan sebagian besar menunjukkan persentase 100%. Selain itu, interaksi zat pengatur tumbuh juga berpengaruh tehadap warna dan tekstur kalus. Adapun tekstur dan warna kalus disajikan pada Tabel 4.2

Morfologi kalus yang terbentuk pada

pengamatan selama 30 hari meliputi warna

putih, putih kehijauan, hijau, dan coklat.

Sedangkan tekstur yang terbentuk yaitu

kompak dan remah (Gambar 4.2).

(7)

organogenesis

dalam

kultur

jaringan

tumbuhan.

Kalus kompak memiliki struktur

yang terorganisasi dan ditandai dengan nodul

berwarna hijau dan sangat baik untuk

regenerasi planlet. Tekstur kalus kompak

merupakan efek dari sitokinin yang berperan

dalam transport zat hara. Sistem transport

sitokinin dari bagian basal ke apeks akan

membawa air dan zat hara melalui pembuluh

pengangkut dan mempengaruhi potensial

osmotik dalam sel. Penambahan sukrosa

dalam medium akan mengalir melalui

pembuluh floem dan menimbulkan tekanan

turgor. Tekanan tersebut muncul akibat

adanya

perbedaan

konsentrasi

larutan,

sehingga air dan zat hara (sukrosa) dari

medium akan masuk kedalam sel melalui

cara osmosis. Hal ini akan membuat

dinding-dinding sel semakin kaku, sehingga sel kalus

akan menjadi kompak. Sukrosa yang

merupakan karbohidrat sebagai cadangan

makanan ini akan diubah menjadi pati yang

digunakan sebagai energi pada proses

morfogenesis

eksplan,

sehingga

dapat

membantu sel untuk terus membelah.

Menurut Purwianingsih (2007),

struktur

kalus yang kompak dan terjadi perubahan

warna

kekuningan

atau

kehijauan,

mengindikasikan terjadinya diferensiasi sel.

Kalus remah didapatkan pada perlakuan

dengan NAA lebih tinggi dari Kinetin dan

berwarna coklat karena terdapat pengaruh

komposisi medium dan zat pengatur tumbuh.

Kalus remah ini terjadi melalui proses

pertumbuhan

yang

mengarah

pada

pembentukan sel-sel yang berukuran kecil

dan berikatan longgar. Dalam hal ini, auksin

memiliki peran terhadap pembentukan kalus

remah. NAA menstimulasi pemanjangan sel

dengan cara penambahan plastisitas dinding

sel menjadi longgar, sehingga air dapat

masuk ke dalam dinding sel dengan cara

osmosis dan sel mengalami pemanjangan.

Oleh karena itu, kalus

yang

remah

mengadung banyak air karena belum

mengalami lignifikasi dinding sel, antara

kumpulan sel yang satu dengan yang lain

relatif mudah untuk dipisahkan. Pada

penelitian ini, kalus remah pada perlakuan

NAA dengan konsentrasi yang tinggi tumbuh

akar, namun tidak mengalami pemanjangan,

sedangkan pada perlakuan kombinasi NAA

dan Kinetin yang tinggi tidak dapat

berdiferensiasi menjadi tunas atau akar,

karena

zat

pengatur

tumbuh

dengan

konsentrasi

tinggi

ini

cenderung

menghambat diferensiasi kalus.

Peristiwa pencoklatan ini adalah peristiwa

alamiah, yang merupakan suatu proses

perubahan adaptif bagian tanaman akibat

adanya pengaruh seperti respon dari bekas

perlukaan pada eksplan dan juga merupakan

tahapan awal perubahan warna kalus menjadi

putih kehijauan. Hal ini terbukti pada kalus

yang berwarna coklat juga terdapat kalus

remah yang berwarna putih dan massa kalus

semakin bertambah dan juga ada yang

tumbuh akar.

Perubahan warna juga diduga

karena adanya sintesis senyawa fenolik

akibat adanya cekaman berupa pelukaan

pada jaringan. Pernyataan tersebut diperkuat

oleh Verpoorte

et al. (1993), bahwa

terjadinya

pencokelatan pada jaringan adalah

karena

aksi

polifenol

oksidase

yang

disintesis akibat dari oksidasi jaringan ketika

terluka.

Selain itu warna coklat ini berarti

terdapat proses degradasi klorofil karena

tidak ada penambahan Kinetin dan

konsentrasi Kinetin yang rendah, dimana

Kinetin disini berperan dalam pembentukan

klorofil, sehingga menyebabkan warna hijau

tidak muncul. Hal ini sesuai dengan pendapat

Santosa dan Nursandi (2002) bahwa kalus

yang tidak hijau disebabkan oleh hilangnya

polarisasi,

sehingga

terjadi

proses

dekomposisi klorofil.

4.2 Respon Organogenesis Kultur In Vitro

Nicotiana tabacum L. var Prancak 95

(8)

pembentukan kalus (Dhaliwal

et al.,

2003).

Menurut Attfield dan Evans (1991) dalam

Dhaliwal

et al

(2003), eksplan daun

tembakau dapat membentuk tunas dan akar

secara langsung atau tidak langsung,

tergantung zat pengatur tumbuh dalam

medium

kultur.

Eksplan

menunjukkan

respon secara organogenesis tidak langsung

seperti pada perlakuan 0,5 ppm NAA dan 1

ppm Kinetin dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3.Eksplan membentuk kalus,

tunas, dan akar pada perlakuan

0,5 ppm NAA dan 1 ppm Kinetin

Respon organogenesis dapat dilihat melalui

Tabel

4.3

dan

4.4.

Adanya

respon

organogenesis

yang

diamati

berupa

proliferasi tunas dan akar.

4.2.1 Proliferasi Tunas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara NAA dan Kinetin terhadap jumlah tunas. Sementara Kinetin sebagai faktor tunggal berpengaruh nyata terhadap pembentukan tunas, dan NAA sebagai faktor tunggal tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan tunas (Lampiran 4). Berdasarkan hasil analisis uji tukey dengan selang kepercayaan 95% bahwa jumlah tunas pada perlakuan

Kinetin 4 ppm dan NAA 0 ppm

berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 4.3). Rerata jumlah tunas pada medium dengan berbagai kombinasi NAA dan Kinetin disajikan pada Tabel 4.3.

Berdasarkan Tabel 4.3 bahwa respon proliferasi tunas dipengaruhi oleh kadar zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media kultur MS. Pada perlakuan Kinetin tanpa penambahan NAA, yang terbentuk hanyalah tunas dengan jumlah yang banyak tanpa disertai dengan pembentukan kalus dan akar dengan hasil analisis ragam berbeda nyata dengan perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin.

Gambar 4.4. Grafik perbandingan rata-rata jumlah tunas dengan konsentrasi zpt

Berdasarkan Gambar 4.4. menunjukkan interaksi zat pengatur tumbuh yang menghasilkan tunas paling banyak adalah kombinasi 0 ppm NAA dan 4 ppm Kinetin dengan rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan adalah 62,75 tunas/eksplan. Terbentuknya tunas pada perlakuan Kinetin tanpa penambahan NAA ini dikarenakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan adalah Kinetin yang termasuk sitokinin, dan fungsi sitokinin lebih memicu pembentukan tunas dan pembelahan sel namun cenderung menghambat pembentukan akar, sedangkan auksin cenderung memicu pembentukan kalus dan akar. Hal ini menunjukkan bahwa sitokinin sangat efektif untuk menginisiasi tunas secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu konsentrasi Kinetin yang tinggi juga menjadi penyebab terhambatnya pemanjangan tunas, karena tidak ada faktor NAA yang mempengaruhi dalam

Kalus

Tunas

(9)

pemanjangan sel. Konsentrasi Kinetin 4 ppm yang ditambahkan disini merupakan konsentrasi optimal untuk memicu pembentukan tunas. Hal ini sesuai dengan penelitian Yunus (2007), bahwa jumlah tunas terbanyak tumbuh pada perlakuan Kinetin tunggal 4 ppm. Tunas yang terbentuk pada perlakuan Kinetin 4 ppm tanpa penambahan NAA dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Tunas yang terbentuk pada perlakuan 0 ppm NAA dan 4 ppm Kinetin

Sedangkan perlakuan dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA tanpa Kinetin tidak menghasilkan tunas, hanya kalus dan akar saja dengan hasil analisis ragam tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin. Hal ini dikarenakan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan adalah NAA. Auksin lebih berperan dalam inisiasi kalus dan akar. Tidak terbentuknya tunas dikarenakan tidak adanya Kinetin yang berperan dalam pembelahan sel serta diferensiasi sel yang lebih ke arah pembentukan tunas. Sehingga dapat diketahui bahwa sitokinin sangat penting dalam mengiduksi tunas eksplan daun tembakau

Nicotiana tabacum L.

Adapun interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin dengan jumlah tunas dapat dilihat pada gambar 4.4. Adanya interaksi antara NAA dan Kinetin dapat mempengaruhi terbentuknya tunas dengan baik. Hal ini dibuktikan pada perlakuan interaksi tersebut banyak yang menghasilkan tunas. Hal ini dikarenakan terdapat pengaruh faktor NAA dan Kinetin sebagai zat pengatur tumbuh. Keseimbangan antara NAA dan Kinetin sangat penting dalam menginduksi tunas karena masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut mempunyai peranan dalam menginduksi tunas. Skoog dan Miller (1950) dalam Kieber (2002) mengungkapkan bahwa dengan adanya auksin dan sitokinin dalam medium dapat menstimulasi sel-sel jaringan parenkim tembakau untuk

membelah. Pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas. Hal ini menunjukkan bahwa sitokinin (Kinetin) dan auksin (NAA) berperanan saling melengkapi dalam menginduksi tunas.

Tunas sebagian besar terbentuk pada bagian abaksial daun, sedangkan akar tumbuh pada bagian adaksial daun. Dhaliwal et al (2004) mengatakan bahwa pada eksplan daun tembakau primordia tunas tumbuh dari sel-sel mesofil palisade yang terletak di bagian adaksial daun, sedangkan akar tumbuh dari barisan sel parenkim dekat dengan pembuluh vaskuler. Skoog and Miller, (1957) dalam Kieber (2002) mengatakan sitokinin terlibat dalam berbagai aspek pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pembentukan tunas. Proses perkembangan bakal tunas diawali dengan pembelahan sel secara periklinal di sisi lateral (periferal), agak di bawah daerah distal meristem pucuk. Pembelahan sel secara periklinal yang diikuti dengan pertumbuhan sel anak yang menyebabkan tonjolan yang membentuk primordial daun, sedangkan pembelahan sel secara antiklinal dapat meningkatkan luas permukaan primordia daun. Primordial daun ditopang oleh sel prokambium, selanjutnya prokambium tersebut akan menjadi tulang daun (Qosim, 2005).

4.2.2 Proliferasi Akar

(10)

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa pada perlakuan tanpa penambahan NAA, tidak terbentuk akar sama sekali, karena memang tidak ada faktor yang mempengaruhi terbentuknya akar yaitu auksin (NAA). Peran auksin disini untuk menginduksi akar, sedangkan sitokinin untuk mendorong proses morfogenesis tunas. Pada perlakuan NAA tanpa penambahan Kinetin, eksplan menunjukkan tumbuhnya akar dengan rerata yang berbeda dan hasil analisis ragam tidak berbeda nyata pada uji Tukey, kecuali perlakuan 2,5 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin (Tabel 4.4). Kombinasi konsentrasi optimum untuk pertumbuhan akar adalah 0 ppm Kinetin dan 2,5 ppm NAA dengan rata-rata jumlah akar adalah 37,75 akar/eksplan. Akar yang terbentuk sangat banyak, hal ini menunjukkan bahwa kadar NAA sebesar 2,5 ppm merupakan konsentrasi optimum yang memberikan efek proliferasi akar yang baik dibanding dengan perlakuan yang lain (Gambar 4.6).

Gambar 4.6 Akar yang terbentuk pada perlakuan 2,5 ppm NAA dan 0 ppm Kinetin

Adanya penambahan NAA ini dapat membuat kalus berdiferensiasi menjadi akar. Dalam hal ini berarti auksin yang ditambahkan dalam medium dapat memicu pembentukan akar baik dalam konsentrasi rendah maupun tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Maryanto (1971) dalam Suryowinoto (1996) bahwa pada kultur in vitro tembakau dengan konsentrasi auksin dan sitokinin 0 ppm:5 ppm hanya terbentuk akar saja dengan jumlah yang sangat banyak.

Sedangkan interaksi antara NAA dan Kinetin pada medium tidak berbeda nyata, hal ini dapat dilihat degan kecilnya rerata jumlah akar pada perlakuan kombinasi NAA dan Kinetin (Tabel 4.4). Setiap eksplan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap tiap perlakuan yang diujikan.

Gambar 4.7. Grafik perbandingan rata-rata jumlah akar dengan konsentrasi zpt

Berdasarkan gambar 4.7 terdapat interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan Kinetin dengan rata-rata jumlah akar yang terbentuk. Akar-akar yang terbentuk sedikit, namun tidak semua kombinasi dalam perlakuan ini tumbuh akar, meskipun dalam media telah ditambahkan NAA dan Kinetin, akar tidak dapat terinduksi. Hal ini berarti terdapat faktor inhibitor dengan adanya penambahan Kinetin. Kinetin disini cenderung memicu pembentukan tunas dan menghambat pembentukan akar. Lee et al, (2002) menyatakan bahwa keberadaan sitokinin juga menghambat kerja auksin dalam hal pemanjangan sel pada hipokotil. Son et al

(2004) juga menyatakan bahwa respon transport auksin dihambat oleh penambahan sitokinin dalam hal pemanjangan akar pada daerah meristem apikal akar. Hal ini sejalan dengan azas keseimbangan auksin dan sitokinin yang dikemukakan oleh George and Sherington (1993) bahwa pembentukan akar memerlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi rendah.

(11)

karena menghasilkan jumlah akar yang lebih sedikit. Menurut Sugiharto (2007) kadar sitokinin yang optimal untuk pertumbuhan tunas dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa pada konsentrasi Kinetin 4 ppm yang dikombinasikan dengan berbagai macam konsentrasi NAA, tidak merespon pembentukan akar.

George and Sherington (1993) menyatakan bahwa auksin berpengaruh luas terhadap pertumbuhan, merangsang dan mempercepat pertumbuhan akar, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas akar. Semakin cepatnya saat terbentuk akar pada media yang ditambahkan NAA menunjukkan bahwa auksin dapat mengaktifkan enzim-enzim yang berperan dalam pembuatan komponen sel sehingga begitu mulai terjadinya pembelahan sel maka NAA akan merangsang pembentukan sel-sel dengan cepat, sehingga dapat menginisiasi pembentukan akar (Wattimena, 1991).

IV KESIMPULAN

Berdasar hasil penelitian dapat

diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Penambahan zat pengatur tumbuh

Naphthalene Acetic Acid (NAA) dan Kinetin memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas, jumlah akar pada kultur in vitro eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum L. var.

Prancak 95).

2. Respon Jumlah Tunas terbaik ditunjukkan pada perlakuan dengan penambahan 4 ppm Kinetin 0 ppm NAA, dengan rata-rata sebesar 62,75 tunas/eksplan. Sedangkan respon jumlah akar terbaik ditunjukkan pada perlakuan dengan penambahan 2,5 ppm NAA 0 ppm Kinetin dengan rata-rata sebesar 37,75 tunas/eksplan.

3. Organogenesis pada eksplan terjadi secara langsung dan tidak langsung dan Callogenesis terjadi pada eksplan pada semua perlakuan kecuali perlakuan tanpa penambahan NAA.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Ahmad dan Soedarmanto. 1982.

Budidaya Tembakau. CV Yasaguna.

Jakarta.

Ali, G., F. Hadi, Z. Ali, M. Tariq, and M. A. Khan. 2007. Callus Induction and in vitro

Complete Plant Regeneration of Different Cultivars ot Tobacco (Nicotiana tabacum

L.) on Media of Different Hormonal

Concentration. Biotechnology. Vol 6(4): 561-566

Basuki, S, Suwarso, A. Herwati, dan S.

Yulaikah. 1999. Biologi dan Morfologi

Tembakau Madura. Balai Penelitian

Tembakau dan Tanaman Serat. Malang Dhaliwal, H. S., E. C. Yeung, and T. A. Thorpe.

2004. Tiba Inhibition of In vitro Organogenesis in Excised Tobacco Leaf Explants. In vitro cell. Dev. Biol. Plant 40:235-238. Plant Physiology Research

Group, Departement of Biological

Sciences, University of Calgary, Calgary, Alberta, T2N 1N4, Canada

Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4-Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan Kinetin pada Medium MS dalam Induksi Kalus Sambiloto dengan Eksplan Potongan

Daun. Skripsi. Biologi FMIPA UNS:

Semarang

Fowke, L. C., P. J. Rennie, and F. Constable. 1983. Organelles Associated with the Plasma Membran of Tobacco Leaf Protoplast. Plant Cell Report 2(1983): 292-295

George, E. F., and Sherrington, Ph.D. 1993.

Plant Propagation by Tissue Culture.

Exegetic Limited. London.

Gunawan, L.W., 1995. Teknik kultur jaringan

tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan

Tumbuhan, Pusat Antar Universitas

(PAU), Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

Hanum, Chairani. 2008. Teknik Budidaya

Tanaman Jilid 3. Direktorat Pembinaan

Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat

Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar

dan Menengah, Departemen Pendidikan

Nasional. Jakarta

Hendaryono, Daisy.P.S dan Ari Wijayani. 1994.

Teknik Kultur Jaringan (Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern). Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Hidayat. 2007. Induksi Pertumbuhan Eksplan Endosperm Ulin dengan IAA dan Kinetine. Agritrop, 26 (4) : 147 – 152. Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali - Indonesia

Imelda Maria, Wulansari Aida, Poerba Yuyu Suryasari. 2008. Regenerasi Tunas dari Kultur Tangkai Daun Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume).

(12)

Judd. 2002. Plant Systematics. Sinauer Associates, Inc. Publisher. Sunder Land, Massachusetts U.S.A

Julia, H.L. 1990. Nicotiana tabacum L. Seccion Toxicologia Hospital de Clinicas "José de San Martin" Cordoba 2351 Capital Federal

1120 Argentina.

http://www.IPCS-INCHEM

Kieber, Joseph J., and Ingrid B D’Agostino. 2002. Molecular mechanisms of cytokinin action. Plant Biology 1999, 2:359–364.

Department of Biological Sciences. Chicago

Lee, Dong Ju, Sung Soo Kim, Soung Soo Kim. 2002. The Regulation Of Korean Radish Cationic Peroxidase Promoter By a Low Ratio of Cytokinin To Auxin. Plant Science 162 (2002) 345–353.

Leupin, Ruth E., Leupin Marianne, Charles Ehret, Karl H. Erismann, And Witholt Bernard. 2000. Compact Callus Induction And Plant Regeneration Of A Non-Beberapa Taraf Konsentrasi 6-Benzil Amino Purine (BAP) dan 1 -Napthalene Acetic Acid (NAA). Jurnal-Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, volume 7 no-1: 8-14

Nugroho, A. 2004. Pedoman Pelaksanaan

Teknik Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pant, B., and Manandhar, S. 2007. In Vitro Propagation Of Carrot (Daucus Carota) L. Scientific World, Vol. 5, No. 5, June. Central Department Of Botany, Tribhuvan University, Kirtipur, Kathmandu, Nepal.

Pauline, D. Kasi & Sumaryono. 2008. Perkembangan Kalus Embriogenik Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem kultur in vitro. Menara Perkebunan, 76(1), 1-10. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.

Purwianingsih, Widi.Dra.M.Si, Kusdianti R, Dra.M.Si, Yuniarti Linda, S.Si. Anatomi Kalus Yang Berasal Dari Eksplan Daun

Catharanthus Roseous (L). G. Don (Tapak Dara). Skripsi Yuniarti.

Qosim, Warid Ali, Poerwanto. R, Wattimena. G.A, Dan Witjaksono. 2005. Pembentukan Planlet Manggis Dari Kalus Nodular In Vitro. Zuriat, Vol. 16, No. 2. Bogor

Rachman, A. Machfudz Dan Heri Istiana. 1997.

Teknik Budidaya Tembakau Madura. Balai

Penelitian Tanaman Tembakau Dan

Tanaman Serat. Malang.

Rahardja, P. C. 1995. Kultur Jaringan Teknik

Perbanyakan Tanaman Secara Modern.

Penebar Swadaya. Jakarta

Salisbury, F. B dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Bandung: ITB.

Santosa, E. K. 2007. Pemanfaatan Daun Tembakau (Nicotiana Tabacum) Sebagai Pewarna Kain Sutera dengan Menggunakan Mordan Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia Swingle) Diterapkan Pada Lenan Rumah Tangga. Skripsi. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik UNS. Semarang

Santoso, U. dan Nursandi, F. 2003. Kultur

Jaringan Tanaman. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Silva, J. A. T. 2005. Simple Multiplication and Effective Genetic Transformation (Four Methods) of in vitro-grown Tobacco by

Stem Thin Cell Layers. Plant Science 169:

1046-1058

Smith dan Wood. 1992. Mollecular and Cell

Biochemistry. Cell Biology. Chapman & Hall. London

Son, Ora, Hee-Yeon Choa, Kim Mi-Ran. 2004. Induction of a Homeodomain–Leucine Zipper Gene By Auxin Is Inhibited By Cytokinin In Arabidopsis Roots.

Biochemical and Biophysical Research Communications 326 (2005) 203–209. Korea

Steenis, Van. 2008. Flora Untuk Sekolah

Menengah di Indonesia. PT Pradnya Paramita : Jakarta

Sudarmadji. 2003. Penggunaan Benzil Amino Purine Pada Pertumbuhan Kalus Secara In Vitro. Buletin Teknik Pertanian Vol 8 No. 1 2003.

Sugiharto Bowo, Rahayu Triastuti, Faatih Mukhiissul. 2007. Propagasi Tanaman Nilam (Pogostemon Cablin Benth.) Secara In Vitro Dengan Kombinasi Sitokinin Dan Auksin 2,4 D. MIPA, Vol. 17, No. 1, Januari 2007: 39 – 47. Jurusan Pendidikan Biologi FKIP UNS

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang Dengan

Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman

Secara In Vitro. Penerbit

(13)

Susilowati, E. Y. 2006. Identifikasi Nikotin dari Daun Tembakau Kering (Nicotiana tabacum) dan Uji Efektivitas Ekstrak Daun Tembakau sebagai Insektisida Penggerek Batang Padi (Scirpophaga innonata). Skripsi. Kimia FMIPA UNS. Semarang

Suwarso. 1991. Pemuliaan Tanaman Tembakau

Virginia dan Tembakau asli dalam Prosiding Pemuliaan Tanaman I. PPTI Komda jatim. Malang.

Suwarso, A. Herwati, A. Rachman, dan Slamet.

1999. Pemuliaan Tembakau Madura.

Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat: Malang

Suwarso, A. Herwati, dan A. S. Murdiyati. 2006.

Varietas-varietas Baru Tembakau

Madura. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat: Malang

Suwarso, Anik Herwati. 2008. Varietas Unggul

Tembakau Prancak 95.

www.bpatp.litbang.deptan.go.id

Tohari. 1992. Tembakau dalam fisiologi tanaman

budidaya tropik. Gajah Mada University Press p.747-836. Yogyakarta

Verpoorte R, Van der Heijden R, Schripsema J. 1993. Plant biotechnology for the production of alkaloids; present status and prospect. J Nat Prod 56:186-207.

Wang, H., M. Zhao, B. Yang, Y. Jiang, and G. Rao. 2008. Identification of Polyphenols in Tobacco Leaf and Their Antioxidant and Antimicrobial Activities. Food Chemistry 107: 1399–1406

Wattimena, G. A. 1992. Diktat Zat Pengatur

Tumbuh Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman PAU Bioteknologi IPB-Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor

Widiastoety, D. dan A.Santi. 1994. Pengaruh Air Kelapa terhadap Pembentukan Proticorm Like Bodies (PLBs) dari Anggrek Vanda

dalam Medium Cair. Jurnal Hortikultura

Volume 4 No. 2.

Yunus, Ahmad. 2007. Pengaruh IAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan Eksplan Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) secara In Vitro. Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No. 1: 53-58

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan : Cara

Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.

Jakarta. Agromedia Pustaka.

Zia, Muhammad, Riaz-ur-Rehman, and Chaudhary Muhammad Fayyaz. 2007.

Hormonal regulation for callogenesis and organgenesis of Artemisia absinthium L.

African Journal of Biotechnology Vol. 6 (16), pp. 1874-1878. Plant Physiology Laboratory, Faculty of Biological Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad, Pakistan.

Zulfiqar, Bushra, Akhtar Abbasi Nadeem, Ahmad Touqeer, and Ishfaq Ahmed Hafiz. 2009. Effect of explant sources and different Concentrations of plant growth regulators on in vitro shoot proliferation and rooting of avocado(persea americana

mill.). Pak. J. Bot., 41(5): 2333-2346. Department of Horticulture, Pir Mehr Ali Shah Arid Agriculture University, Rawalpindi, Pakistan.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman.

Gambar

Tabel 4.1,
Gambar 4.3.Eksplan
Gambar 4.7. Grafik perbandingan rata-rata jumlah akar dengan konsentrasi zpt

Referensi

Dokumen terkait

Data hasil analisa sidik ragam peubah yang diukur pada perbanyakan Cendana dengan pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh Sitokinin yaitu BAP, Kinetin dan kombinasinya terhadap

Perlakuan VW dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA 0.5 ppm dan BAP 3 ppm mempunyai warna daun hijau muda. Zat pengatur tumbuh terutama sitokinin dalam bentuk BAP yang

Kinetin adalah salah satu jenis ZPT sitokinin yang banyak digunakan untuk perbanyakan tunas karena mempunyai kemampuan untuk merangsang terbentuknya tunas dengan

Diduga eksplan stek pucuk tanaman mengandung cukup zat pengatur tumbuh (ZPT) endogen, terutama jenis sitokinin hingga dapat membentuk tunas ganda, tetapi tidak cukup mengandung

Penambahan zat pengatur tumbuh IBA, NAA, BAP dan kinetin pada media MS tidak perlu dilakukan dalam kultur meristem pisang barangan, dengan sumber eksplan telah berdaptasi di

Hasil ;penelitian menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh NAA, Kinetin, Casein Hidrolisa memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap umur berkecambah, hari

Penelitian dilakukan selama 30 hari dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP pada kultur in vitro eksplan daun tembakau Madura (Nicotiana tabacum L. Prancak

Respon Callogenesis Penelitian dilakukan selama 30 hari dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP pada kultur in vitro eksplan daun tembakau Madura (Nicotiana tabacum L.