• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN WARTAWAN HARIAN ANALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN WARTAWAN HARIAN ANALISA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAMPIRAN 2

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN WARTAWAN HARIAN ANALISA

Nama : Sugiatmo, M.A

Pekerjaan : Wartawan

Tanggal/waktu wawancara : Senin, 20 Mei 2013, pukul 11.08 WIB

Tempat : Ruang tunggu, Lt.2, Gedung kantor Harian Analisa, Jl. Jend. A. Yani No.39-45, Medan

Tanya (T): “Selamat Pagi Bang.” Jawab (J): “Selamat pagi.”

T: “Dengan Bang Sugiatmo ya Bang ya.” J: “Iya,iya, Sugiatmo.”

T: “Kalau boleh tahu, Bang Sugiatmo ini sudah berapa lama Bang kerjanya di Analisa?”

J: “Saya kerja di Analisa sejak tahun 1999 ya. Berarti sekitar...tiga..14 tahun ya. Ya..Dan sekarang ...ee...liputannya itu bidang politik.”

T: “Sepanjang karir abang itu, ee.. bidangnya berubah-ubah, terus rotasi terus, atau memang dari dulu itu-itu aja?”

J: “Iya berubah-ubah. Awalnya sebagai wartawan pemula dulu kan semua. Kriminal, kesehatan, hukum, kemudian politik. Itu semua dirangkum. Kemudian nanti ada kebijakan dari kantor melihat dimana talente..talenta kita dimana, kuatnya dimana. Sekarang saya ditunjuk di politik, ya. Di politik. Itu sudah..sudah 6 tahun lebih saya di bidang politik.”

T: “Bisa dikatakan marwahnya di situ ya bang.” J: “Iya.iya..bakatnya di situ. Iya.”

(3)

J: “Pada proses pembuatannya, semua seluruh wartawan yang terlibat ikut buat laporan masing-masing. Ada laporan dari KPU, ada langsung dari lapangan. Kemudian ada yang melihat dari beberapa quick count. Dari beberapa quick count. Laporan-laporan itu masuk ke meja redaksi. Seorang redaktur itulah yang mengolah hasil liputan semua wartawan dijadikan satu. Jadi judulnya, isinya, itu diambil dari laporan-laporan wartawan yang ditugaskan tadi itu.”

T: “Oh jadi beritanya itu awalnya mentah. Kemuadian dikemas. Diolah sedemikian rupa. Baru jadi. Bukan dari wartawannya sudah buat judul, buat leadnya.”

J: “Oh ada juga. Kalau judul yang ada di berita itu memang judulnya saya yang angkat. Dan itu tidak diubah oleh redakturnya. Jadi lead pertama sampai ke berapa itu murni laporan saya.”

T: “Di tengah badan baru ada laporan beberapa wartawan.”

J: “Iya itu kan ada sub-judul ‘Aman dan Lancar’. Itu mungkin pantauan dari lapangan pada saat penghitungan. Tapi lead awal itu semua dari wartawan yang melaporkan. Redaktur tidak bisa mengubah semua. Paling-paling dia cuma mengoreksi kata-kata. Kalau angaka-angka itu gak bisa diubah, karena itu kan data fix dari wartawan yang diperoleh dari lapangan. Ya paling pilihan katanya yang diubah.”

T: “Pandangan abang waktu ada melihat fakta/keadaan dimana pasangan Ganteng itu unggul dalam hitungan cepat. Pandangannya abang gimana? Perasaannya gimana?”

J: “Sebagai wartawan kan kita melihat realitas apa adanya. Kita melaporkan apa adanya. Awalnya kan informasinya Semua melaporkan Ganteng yang unggul. Kalau saya menilai itu ya hal-hal yang wajar saja kan. Dalam satu kompetisi. Apalagi dua-duanya kan incumbent. Yang satu Gubernur PLT, yang satu adalah mantan bupati Serdang Bedagai.”

(Tiba-tiba telepon genggam informan berbunyi)

T: “Angkat aja Bang..”

(Bang Sugi angkat telpon...Halo Bang..Bla..bla..bla..)

(4)

T: “Terus pas setelah Ganteng itu unggul, kondisi lalu lintas, masyarakat di tempat umum, gimana yang abang tahu?”

J: “Pro kontra ya. Yang mendukung mereka bersyukur ya. Yang tidak mendukung ya mereka kan tidak mungkin ini satu putaran. Dan menuding adanya kecurangan-kecurangan. Itu yang tidak mendukung. Kita sendiri kalau melihat ada lima orang di warung kopi kan tidak semuanya sependapat. Tapi sekarang sudah MK ya. Sudah menang. Sudah valid.”

T: “Kalau dari sisi abang pribadi bang, perasaannya gimana waktu itu, keluarga perasaannya gimana?”

J: “Kalau saya senang ya. Kenapa? Saya kan orang jawa. Emosional saya dekat. Yang kedua Gatot-Erry itu kenal saya dan saya kenal Gatot. Prinsip memilih itu kan memilih yang kenal. Artinya saya kenal dia, dan dia kenal kita. Kalau calon yang lain, saya tidak kenal secara dekat.”

T: “Dari sisi kedekatannya memang kental ya bang. Oke bang. Terkait proses editing, sebelum dan setelah berita ini terbit, abang melihat ada kata-kata yang berubah atau tetap?”

J: “Alhamdulillah tetap. Apa yang dilaporkan, itu yang diterbitkan. Ya paling-paling kan kalau ada kalimat yang mubazir ya gak apa-apa dibuang. Itu kan tidak merubah isi. Yang penting kan tidak mengubah makna, tidak mengubah pesan. Pesannya tersampaikan semua.”

(PENGAMBILAN VIDEO...(Suasana menjadi hening sejenak)

T: “Lalu dari sisi tampilan bang, dari sisi font-nya bang. Antara font Hitungan Cepat, denagn font Gatot-T Erry Unggul Dalam Satu Putaran. Ini fontnya agak beda, Yang ini agak kecil, ini agak besar. Ini memang sengaja dilakukan untuk menonjolkan pesan “Gatot- T Erry Unggul” atau memang cuma sekadar style-nya saja?”

J: “Ini kan penghematan kata ya. Kalau misalnya ini satu judul,. Satu kalimat. Dia berapa karakter, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, kan jadinya terlalu panjang. Itu biasanya 13 karakter dalam komputer kita. Masyarakat kan langsung melihat..oo..Gatot-Erry unggul satu putaran. Itu kan, apa namanya....,hmm..ilmu jurnalistiknya kan menarik pembaca. Jadi Hitungan cepatnya memang sengaja kita kecilkan. Satu penghematan, yang kedua kita ingin menarik pembaca. Inti pesannya kan yang ini (sambil menunjuk pada kertas berita terkait), tapi hasilnya adalah dikutip dari hitungan cepat. Jadi yang kita tonjolkan bukan hitungan cepatnya, tapi hasil dari hitungan cepatnya itu yang kita tonjolkan.”

(5)

J: “Jadi perhatian kan.”

T: “Iya, jadi perhatian. Apalagi bagi orang awam yang sama sekali tidak mengerti ilmu jurnalistik, pasti bagian ini yang dibacanya. Jadi memang bagian dari teknik. Nah, ini bang kalau saya liat sisi berita ini, rata-rata komennya dari orang-orang atasan, kayak KPU, lembaga survei, kenapa nggak ada komen dari masyarakat bang?”

J: “Yang kita tonjolkan hasil gitu kan? Yang datanya bisa valid itu kan dari penyelengara, dari KPU, dari TPS, dari pantauan lapangan. Hitungan cepat itu kan juga suatu lembaga resmi. Dan itu harus merupakan narasumber yang memang layak dan bisa dikutip oleh wartawan untuk pemberitaan.. Kalau masyarakat itu kan masih prediksi, masih anggapan. Anggapan itu belum merupakan informasi yang valid. Karena ini menyangkut hasil yang akan kita sampaikan. Nah, kalau kepada masyrakat itu bukan angka yang kita tanyakan, paling-paling mengapa, apa pendapatnya. Kita kan yang mau kita tonjolkan Gatot-T Erry unggul. Otomatis kita menceritakan angka kan. Unggulnya dimana, Angkanya berapa, di berapa kabupaten, berapa persen, Otomatis kita mengambil sumber dari KPU dan lembaga survei. KPU sebagai penyelengara, lembaga survei sebagai lembaga independen yang diakui keberadaannya dalam melakukan hitungan cepat.”

T: “Itu semua memang sudah diatur sebelum terjun ke lapangan atau memang kebetulan pas turun itu memang hanya itu tergeraknya.”

J: “Ini telah terencana. Dengan matang. Kita kan tahu hari ini adalah pemilu. Kalau kita mengandalkan hasil KPU, itu kan lama, 12 hari selambat-lambatnya setelah hari H. Baru dapat hasil. Masyarakat kan nggak mau itu. Kayak mau nonton bola. Malam ini juga masyarakat ingin tahu siapa yang menang. Kita terencana. Dalam rapat briefing pagi itu dibagi tugas. Ada yang langsung ke lapangan. Pantauan ke TPS, sebagai sampling. Berapa TPS yang kita ambil sebagai sampling. Kemudian ke KPU. KPU kita tanya. Nah yang ketiga, memantau beberapa lembaga survei. Lembaga survei itu juga bukan hanya satu yang kita ambil. Kan ada LSI, ada beberapa lembaga survei yang kita angkat. Jadi tidak hanya satu. Jadi kalau ada 5 lembaga survei, 4 mengatakan unggul. Kita kan sudah bisa memprediksi. Prediksi itu sudah merupakan suatu kebenaran yang layak sebagai pemberitaan.”

T: “Setiap orang kan punya ideologi yang berbeda walau satu kantor, satu perusahaan, Adakah salah satu atau beberapa yang mengajukan usulan untuk mewawancarai warga, khususnya yang pro dengan kemenangan Ganteng, untuk menguatkan isi berita?”

J: “Kemarin kita cuma konsentrasi ke hasil ya. Kalau pun ada, memang ada. Dan kita tidak hanya mengunakan satu sumber yang mendukung. Yang tak mendukung juga kita angkat sebagai sumber. Itulah untuk menjaga keseimbangan isi berita. Kita tidak serta merta mewawancarai pendukung Gatot, tetapi juga pendukung calon pasangan yang lain.”

(6)

J: “Dan itu ada dibuat dalam tulisan kok. Ada wawancara dengan penjual es cendol. Gimana tentang hasil pemilu. Tapi itu pada keesokannya. Setelah hasilnya siapa yang unggul.”

T: “Bisa dikatakan ini betul-betul urgen.”

J: “Iya. Iya. Ini kan informasi yang perlu kita angkat dulu.”

T: “Ini bang di samping fakta kejutan Ganteng itu unggul satu putaran, ada fakta menarik lain. Yaitu Golput. Bahkan Golputnya lebih tinggi daripada total yang ikut memilih. Nah, setiap media kan punya bagian sendiri yang diangkat. Nah, bagaimana pada akhirnya Analisa memilih untuk lebih menonjolkan fakta unggulnya Ganteng ketimbang fakta bahwa Golput tinggi?”

(7)

Amerika tidak perlu pakai kartu pemilih, asal punya sidik jari sudah memilih dengan sidik jari. Semua kan sampai hampir 90% masyarakat ikut memilih. Kita kan tidak. Kita direpotkan oleh sistem. Harus terdaftar, harus terdaftar dalam DPT. Harus punya itu, punya itu. Masyarakat kan bosan..sudahlah kondisi kita kayak gini..dipersulitkan lagi dengan sistem..otomatis mereka kan..”alah..gak usahlah datang ke TPS, bukan urusan aku itu masalah milih atau tidak milih. Itulah kenapa terjadi angka golput yang tinggi itu.”

T: “Mungkin fakta itu ada memang ada.”

J: “Faktanya ada. Ada orang yang punya kartu pemilih. Dia terdaftar, tapi dia nggak mau memilih. Mungkin karena apa, kejenuhan. Mungkin dia sudah bosan dengan situasi demokrasi. Memilih dan tidak memilih, sama saja. Kan masih ada yang begitu masyarakat. Krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan. Saya tetap goreng pisangnya mau siapapun yang jadi gubernur. Si Polan jadi gubernur. Dia memilih untuk tidak mencoblos. Tapi saya melihat kenapa paling tinggi, karena sistem yang membuat angka golput itu tinggi.”

T: “Kalau Analisa memandang krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis ketokohan, yang akhirnya menyebabkan golput tinggi, adakah ikhtiar yang dilakukan Analisa untuk menyadarkan pemerintah supaya itu bisa ditanggulangi?” J: “Kalau krisis ketokohan kan kita tidak ungkap ya. Kita tidak menuding si A itu jelek, si B itu bagus, si C itu biasa-biasa saja. Kita tidak pernah mengungkap dari lima calon itu adalah kebaikannya dan kejelekannya. Kita hanya mengangkat ketokohannya. Masyarakat memilih mana yang layak. Kalau misalnya si A gak bisa dipercaya, nggak bisa dipilih. Itu kan nggak boleh. Yang kita angkat kan bukan itunya. Kita angkat mungkin prestasi-prestasi mereka lah. Si Gatot adalah PLT yang begini-begini, Tengku Erry yang berhasil membangun Serdang Bedagai, kemudian Amri tambunan yang berhasil membangun Deli Serdang. Semua seimbang. Semua seimbang gitu kan. Terserah masyarakat memilih gitu kan. Yang kita angkat itunya, ketokohannya, bukan kejelekannya. Nah, kalau kepada usulan kepada pemerintah, seperti tadi itu kan, kita hanya mengusut pada pemerintah masalah sistem tadi itu. Lewat tulisan. Sistem yang membuat masyarakat golput tadi itu. Jadi bukan karena ketokohannya. Sistemnya yang membuat masyarakat golput. Bukan karena si A, atau si C tidak bisa dipercaya. Karena apa? Dari kelima calon ini pasti ada satu yang baik. Walaupun tidak terbaik.”

T: “Pada tulisan subjudul, Aman dan Lancar...Satu putaran, saya melihat ada semacam dramatisasi. Apakah ini merupakan ekspresi spontanitas dari redaksional Analisa karena memang Analisa senang dengan fakta bahwa ganteng itu unggul, atau itu semua memang by design?”

(8)

kelima-limanya memprediksi Gatot-Tengku Erry menang satu putaran dengan angka di atas 30 persen. Dari angka itulah kita meyakini bahwa itu akan menjadi suatu fakta. Kita membuat suatu kebijakan, keberanian, tapi dengan fakta. Satu Putaran gitu kan. Dengan angka-angka, dengan realita yang ada. Jadi bukan spontanitas. Tapi berdasarkan realita yang ada di lapangan.”

T: “Bukan bentuk ekspresi...”

J: “Oh, bukan. Bukan suatu bentuk ekspresi. Kita tidak boleh ya. Pers itu harus independen. Walaupun saya pendukung Gatot. Saya tidak boleh melebih-lebihkan dalam berita itu. Karena berita itu akan dibaca oleh masyarakat. Jadi kita tetap independen dalam urusan berita. Walaupun pro dan kontra di dalam. Ada pendukung A, pendukung B, tapi ketika dia membuat berita, dia harus independen. Jadi tidak boleh euforia..oh..ini..ini.ini..Kita tetap berdasarkan fakta.”

Tanya: “Diantara pihak KPU dan lembaga survei yang diwawancarai, ada pro kontra, saya melihat KPU lebih ditonjolkan. Apakah karena Analisa lebih segan kepada KPU?”

J: “Oh, tidak. KPU kan pihak penyelenggara. Dia kan penyelenggara pesta itu. Sumber yang layak ya KPUnya. Yang berwenang memberi keterangan kan KPU. Panwas kan hanya pengawas. Hasil tidak boleh dia cerita. Pelanggaran boleh cerita. KPU dia yang berwenang menyampaikan itu. Dialah narasumber yang kompeten. Kejahatan lalu lintas kan polisi yang boleh memberi keterangan. Bukan satpol PP. Nah gitu juga, KPU penyelenggara. Sumber kompeten adalah KPU. Makanya kita harus merujuk pada KPU, apapun kata KPU. Dan kita sinkronkan dengan LSI. KPU kan tidak memberi kepastian. KPU tetap bertahan bahwa hasil yang resmi adalah hasil yang diumumkan oleh KPU, bukan dari lembaga survei. Jadi kita laga. Data itu kita laga.”

T: “Ya soalnya kan di awal-awal ini tujuannya untuk menonjolkan ini. Tapi kok semacam menetralisir ini bahwa KPU menyatakan ini bukan hasil resmi.”

J: “Iya. Belum hasil resmi. Makanya di bawah subjudul kan kita buat ‘Penetapan Pasangan Pemenang secara resmi oleh KPU Sumatera Utara 16 Maret Secara resmi KPU’. Itu komentar KPU. Dan KPU pada saat itu tidak ada memberikan pernyataan yang menang Gatot. Kita kan mau cepat juga. Kalau kita nunggu sampai tanggal 16 Maret kan kalah kita. Kalah isu gitu. Kenyataannya semua media massa mengangkat itu.”

T: “Ini ada kutipan bang pihak KPU. Pihak KPU ini sebelumnya was-was. Dengan ke-Bhinneka-an yang ada di Sumatera Utara, akan ada konflik horizontal katanya. Kira-kira Analisa ini sepaham nggak dengan KPU yang memandang bahwa masyarakat ini memang selalu berpotensi menciptakan konflik horizontal?”

(9)

Tapi kan tidak pernah Sumatera Utara ini berhasil dicoba melalui jalur konflik. Tidak pernah berhasil. Potensi sangat besar Sumatera Utara terjadi konflik. Kan pernah juga pemboman di Gereja. Itu kan tidak berhasil. Pilkada ini isu yang sangat strategis untuk dijadikan konflik. Ya kan. Tapi orang mengira akan terjadi konflik, tetapi tidak. Artinya apa, masyarakat Sumatera Utara ini sudah dewasa dalam berpolitik dan interaksi sosialnya tinggi.”

T: “Ini semacam apa namanya ya..ee..testimonial buat Sumut bahwa Analisa ingin menunjukkan ke daerah-daerah lain di Indonesia bahwa Sumut ini masyarakatnya sudah dewasa..”

J: “Iya, ikatan kekerabatan itu sudah mengikat. Saya orang Jawa, istri saya boru Tambunan. Jadi antara jawa dengan Batak sudah mengikat dengan perkawinan tadi. Mungkin suku yang lain gitu juga. Jadi kalau dikonflikkan antar suku itu, Sumatera Utara tidak akan jalan. Walaupun banyak suku, banyak agama, ada berbagai macam agama. Lain dengan di Jawa misalnya, Madura dengan suku Dayak, misalnya, mereka konflik karena ada mayoritas dan minoritas tadi yang ditonjolkan. Kalau Sumut kan tidak. Semua egoisme tidak ditonjolkan. Malah itu bisa jadi potensi bagi pemerintah untuk membangun daerah.”

T: “Dari kalau pihak eksternal Analisa, ada nggak mempengaruhi proses pembuatan berita seperti pengiklan, atau tokoh-tokoh di luar Analisa yang pada akhirnya sedikit banyak mempengaruhi isi?”

J: “Tidak ya, tidak. Kita sistemnya berjalan di sini. Pemimpin redaksi bertanggung jawab dengan isi berita. Redaksi/Redaktur bertanggung jawab. Itu semua berjalan. Sebelum dia cetak. Memang ada koreksinya dari pemred tapi bukan isi, bukan isi yang substansi lah. Pemred berhak mencabut berita apabila dikhawatirkan besok setelah terbit akan terjadi konflik di masyarakat. Misalnya tentang suku dan agama tadi itu. Itu bisa tidak diterbitkan. Karena kita tidak mau ada resiko besok. Contoh kecil saja misalnya kita tidak pernah memberitakan si A mualaf. Misalnya ada si A pindah ke agama B, si B pindah ke agama A. Itu kan hal yang lazim. Itu kita tidak angkat. Orang pindah agama itu sudah hal yang biasa. Itu kan kepercayaan dia. Hal yang sekecil itupun jadi perhatian oleh redaksi.”

T: “Kalau seandainya yang melakukan konversi agama itu pihak yang tersohor bagaimana?”

J: “Tetap. Itu nggak akan kita terbitkan. Misalnya ada pejabat, dia pindah agama. Itu hal yang lazim. Dan nilai beritanya juga nggak ada kalau kita menilai. Hal yang biasa kok.”

(10)

J: “Yang pertama saya sampaikan bahwa bukan masyarakat yang mempengaruhi media, tapi medialah yang bisa mempengaruhi masyarakat. Kalau di tengah-tengah masyarakat ada gerakan patrialisme tadi, ya kan, ada gerakan kesetaraan gender, kita juga dukung. Kita juga mendukung. Kita akan menyampaikan apa visi misinya. Kita akan dukung. Mendukungnya dengan berita dan berita juga yang bisa mempengaruhi masyarakat. Bukan kita yang terpengaruh dengan kondisi masyarakat. Itu terbalik ya. Yang kedua masalah pemberitaan pemerkosaan. Kalau korbannya perempuan. Kita akan terbitkan. Tetap. Kita akan memilah. Seperti hari ini ada pemberitaan tentang pemerkosaan. Tapi kita tidak tonjolkan proses pemerkosaan itu. Siapa korban pemerkosaan itu. Yang kita tonjolkan adalah ketidakkonsekuensinya polisi untuk mengungkap kasus pemerkosaan itu. Jadi kan tidak ada yang dirugikan. Yang kita tonjolkan adalah proses hukumnya. Korban tidak kita singgung. Kalau kita angkat lagi korbannya itu namanya penzaliman kedua kalinya bagi si korban. Nah, kita tidak tonjolkan itu. Korban tidak kita singgung-singgung. Yang kita tonjolkan itu proses hukumnya, bukan proses terjadinya pemerkosaan itu.”

T: “Iya soalnya kalau di media-media lain kan ada yang seperti itu. Kayak media X misalnya ada yang seperti itu.”

J: “Iya. Seolah-seolah mereka tahu jalan ceritanya. Dibukain bajunya. Segala macam. Padahal saksi mata tidak ada.”

T: “Iya, ideologinya masih patriarkal. Dari tulisannya pun kelihatan. Ideologinya masih patriarkal. Jadi ee..si subjek disembunyikan, si objek ditampakkan.”

J: “Jadi malah terbalik ya.”

T: “Kalau misalnya..bukan paham ya..semacam efek historis itu, sedikit banyak kan ada mempengaruhi tulisan. Misalnya Sumut ini pernah dulu pernah dijajah Belanda, Jepang. Jadi sampai sekarang pun kalau ada tulisan yang berbau Belanda Jepang, itu pasti berbeda kalau seandainya mereka tidak pernah ke Indonesia. Misalnya seperti Obama. Tulisan tentang Obama pasti berbeda kalau seandainya dulu Obama tidak pernah di sini. Analisa apakah terpengaruh dengan hal yang semacam itu Bang?”

J: “Kita kan mengangkat bukan sejarah penjajahnya ya. Tapi peninggalannya yang ada. Itu yang kita angkat. Misalnya mesjid al-Maksum yang sudah ada pada masa Belanda. Ini kantor sekitaran Analisa ini juga peninggalan Belanda kan. Ini yang kita angkat. Tujuannya untuk mencari perhatian, wisatawan asing. Kan Orang-orang Belanda ada aja ni. Orang bule. Ada setiap hari mereka menikamti kopi di warung-warung kopi peninggalan masa Belanda itu. Sejarah sih bisa kita ulas kembali sebagai mengingat generasi-generasi penerus. Misalnya meriam puntung. Kenapa sih meriam puntung ini, apa sih perannya. Jadi sejarah itu tetap tidak pernah kita lupakan. Tetap melekat.”

T: “Oke. Itu aja mungkin sudah mewakili semua. Kalau ada kata-kata saya yang kurang berkenan, saya mohon maaf ya Bang.”

(11)

T: “Saya pun sebelum hari H ini, saya ragu-ragu mau nanya ini sebenarnya. Takut iya, ragu-ragu iya. Sampai ini nanya sampai dosen dulu. Karena saya ini tidak sopan. Semacam interogasi. Kalau menurut saya ini kayak menginterogasi.” J: “Oh bukan. Ini gantian. Kalau biasa saya wartawan yang wawancara, ini saya yang diwawancarai.”

T: “Kalau saya perasaan nggak sopan.” J: “Oh nggak. Biasa itu.”

T: “Oke bang. Terima kasih bang Sugi.” J: “Iya. Sukses ya.”

T: “Iya. Sama-sama Bang.”

Medan, 1 Juni 2013 Telah diketahui dan disetujui

(12)

LAMPIRAN 3

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PEMBACA HARIAN ANALISA

Nama : Abdi Gunawan, AmD

Pekerjaan : Karyawan Gerai Halo Telkomsel

Tanggal/waktu wawancara : Minggu, 26 Mei 2013, pukul 15.30 WIB

Tempat : Ruang Tamu Rumah Saudara Abdi Gunawan, Jl. Cendrawasih No. 45, Citaman Jernih, Perbaungan, Serdang Bedagai.

Tanya (T): “Saudara Abdi ini benar sudah langganan Analisa?”

Jawab (J): “Kalau langganan enggak. Cuman di kantor ada. Ya kadang baca kalau sempat, kadang enggak.”

T: “Terkait berita pemilukada kemarin, saudara Abdi baca enggak yang tanggal 8 kemarin, yang headline-nya itu?”

J: “Headline apa ini?” T: Ha...yang ini?

J: “Hitungan cepat ini?” T: “Iya.”

J: “Kalau baca ya gak sempat lah. Paling cuma nengok judulnya aja.” T: “Gak baca sikit-sikit isinya?”

J: “Gak baca. Tengok judulnya Gatot ni unggul ya unggul lah dia.” T: “Baca Analisa udah berapa lama?”

J: “Berapa lama ya? Enggak tau lah berapa lama bacanya.” T: “Maksudnya sejak kapan mulai pernah baca Analisa?” J: “Gak tau lah kapan. Kuliah mungkin.”

T: “Yang dibaca apa aja dari Analisa?”

J: “Yang dibaca biasanya paling lowongan kerja. Iklan-iklan itulah yang jual-jual HP itu aja paling. Seputar Sumut aja lah paling.”

(13)

J: “Berseberangan kayak mana ya?”

T: “Kadang gak yang gak setuju. Ada berita. Kok berita kayak gini?”

J: “Gak ada sih. Ya diikuti aja. Karena kan gak tau faktanya itu kayak mana.” T: “Kalau seandainya ada berita yang kebetulan saudara tau bagaimana faktanya tetapi ketika diberitakan saudara Abdi merasa beritanya gak sesuai dengan fakta. Pernah gak terjadi yang seperti itu?”

J: “Kayaknya gak pernah lah. Karena kan beritanya lain dari yang apa kita, jauh kali lah kadang. Orang ini kadang beritanya macam-macam.”

T: “Ini waktu edisi tanggal 8 maret waktu itu, judulnya itu kelihatan tidak judulnya yang kalimat “Hitungan cepat”-nya? Waktu itu.”

J: “Lihat. Tapi yang lebih nampak yang tulisan ininya aja.” T: “Yang Gatot itu?”

J: “Iya. Ini aja kan. Kalau udah unggul ya berarti unggul lah dia kan.” T: “Gak ada baca dalamnya? Dalamnya gak ada dibaca?”

J: “Kebanyakan angka. Payah. Peninglah. Sekian persen sekian persen.”

T: “Waktu itu waktu di...ya mungkin di kantor. Rekan-rekan kantor, ada gak pada ngomongin soal pilkada. Hasilnya gimana?”

J: “Ya sempatlah...namanya kan...di Sumut. kan gak mungkin gak cerita tentang daerah sendiri. Ya pasti sedikit enggaknya dari koran dari TV kan itu-itu aja.”

T: “Mereka pada cerita apa aja waktu itu?”

J: “Ya Gatot menang lagi. Karena kan setidaknya dia udah punya nama lah untuk yang sebelumnya. Walau kemarin itu dia bermasalah sama gubernurnya kan dia jadi naik. Jadi punya nama. Ya otomatis dah kenal semua orang ya banyaklah yang milih dia. Sementara yang lain-lainnya kan banyak yang kurang inilah sama orang. Banyak yang gak tau ini siapa, ini siapa.”

T: “Kalau saudara Abdi waktu milih siapa?” J: “Kalau untuk apa ya...”

T: “Nyoblos waktu itu?” J: “Gak nyoblos.”

T: “Jadi Golput waktu itu.” J: “Golput”

(14)

J: “Ya, kalau Gatot menang ya biasa ajalah. Kayak mana lagi, orang sebelumnya pun memang dia yang megang.”

T: “Kira-kira ada ah mungkin ini gak pantes menang. Ada gak perasaan kayak gitu? Ada mungkin ada perasaan, walaupun saudara Abdi nggak milih, ada perasaan salah satu pasangan yang lain yang lebih layak menang?”

J: “Kayaknya gak ada lah. Karena pun aku kurang ini sebenarnya. Karena mungkin kurang tau ya di masyarakat calon-calon itu seperti apa. Yang kita tau kan dulu kan Gatot itu kan wakil gubernur, udah tau kita..oh gini, ya gitu aja. Kalau memang apa ya berarti dialah.”

T: “Kira-kira golput itu kenapa? Alasannya apa waktu itu?” J: “Apanya...”

T: “Udah gak percaya lagi atau gimana?”

J: “Kayaknya sama aja sih gitu-gitu aja. Makanya mau dipilih pun sama aja.” T: “Gak berpengaruh ya?”

J: “Iya.”

T: “Gak merubah kehidupan?” J: “hee..Enggak.”

T: “Jadi itu alasannya ya?” J: “Iya.”

T: “Tapi saudara Abdi ini berlangganan Analisa ya, sementara Analisa ini memberitakan Gatot menang gitu. Nah, gimana ini, apakah menurut saudara Abdi ini hendak menampilkan kemenangan Gatot ini secara terang-terangan atau gimana ini? Kalau melihat dari beritanya.”

J: “Melihat dari beritanya. Ya gak cuma di koran kan. Di TV pun kadang karena dia pasangan yang udah unggul ya dia ditampilkan. Ditonjolkan dia menang. Artinya dia banyak dipilih. Ya kalau si koran itu memberitakan itu gk tau lah kita kayak mana. Setidaknya kan mungkin yang kalah dibilang.”

T: “Dari konten Analisa, biasanya saudara Abdi sering baca rubrik bagian mana?” J: “Ya kayak yang saya bilang tadilah. Lowongan kerja...iklan..”

T: “Kurang tertarik dengan berita-berita politiknya ya?”

J: “Olahraga paling. Kalau yang lain kurang. Kalau ada peristiwa apa gitu. Kayak mana berita di TV kan kita pingin tahu kayak mana detailnya.”

(15)

T: “Malas ya.” J: “Malas”

T: “Nah, ini ada beberapa pertanyaan lagi. Ini dengan keadaan menangnya Gatot, kira-kira kondisinya gimana waktu itu? apakah kondisinya saat itu memang aman?”

J: “Aman gimana ini?”

T: “Maksudnya kondisi...mungkin lalu lintas..” J: “Biasa aja.”

T: “Atau obrolan di tempat kerja, warung-warung..”

J: “Biasa aja. Kayak memang gak ada pengaruhnya. Sama aja.”

T: “Sama aja ya. Jadi kalau menurut saudara Abdi lah ini, yang seharusnya lebih pantas untuk diangkat jadi berita dari gambaran di hari H waktu itu, kira-kira apa yang lebih pantas untuk diangkat?”

J: “Pantas apa ini? Pas pemilunya?”

T: “Iya, waktu di hari H waktu itu, di samping fakta bahwa Gatot itu menang. Kira-kira apa yang lebih pantas diangkat?”

J: “Kayaknya lebih banyak golputnya daripada ini..”

T: “Seharusnya itu jadi lebih ditonjolkan gitu ya, lebih jadi perhatian gitu ya.” J: “Iya lah. Artinya kan orang Medan banyak yang udah gak percaya lagi. Mau dipilih pun sama aja. Ntah pun orang itu gak ada waktunya. Gak tau juga kita. Setidaknya kan orang memang banyak yang golput kan. Ya itu aja.”

T: “Seharusnya itu diangkat ya.” J: “Iya.”

T: “Okelah itu aja saudara Abdi, terima kasih banyak. Selamat sore.” J: “Sore.”

Medan, 1 Juni 2013 Telah diketahui dan disetujui

Referensi

Dokumen terkait

571 PK/PDT/2008, meskipun termohon peninjauan kembali I (pengugat kopensi) dalam posita dapat membuktikan hubungan hukum antara termohon peninjauan kembali I (pengugat kopensi)

Berdasarkan hasil temuan data dan pembahasan tindak tutur ilokusi yang terdapat pada film Jawa Sri Ngilang (The Disappearance of Sri), maka dapat diketahui bahwa realisasi

Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar.Keberadaan oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses metabolisme dan untuk

Sampai akhir Februari 2020 kemajuan fisik mencapai 20% dan realisasi keuangan 0,94%. Pengembangan Marka SNAP untuk Seleksi Ketahanan Pisang Terhadap Layu Fusarium

Menurut Barnard (1950), kerapatan pohon komersial di hutan produksi ber- diameter  20 cm minimal sebesar 80 po- hon/ha, pada penelitian ini sebesar 97,09 pohon/ha

Bu yolla Zen’in aydınlanma safhalarını anlatmaya kalkışan ilk usta Kakuan değil tabii ancak daha önceki anlatımlar sekizinci resim olan Boşluk (shunyata) ile biterken

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah

Penciptaan fotografi kuliner ini menggunakan metode eksplorasi dan improvisasi, dengan mengambil data berbagai jenis makanan khas yang tersebar di 5 kabupaten