• Tidak ada hasil yang ditemukan

KULIAH KE 7 PENDIDIKAN KARAKTER MUSLIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KULIAH KE 7 PENDIDIKAN KARAKTER MUSLIM"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KULIAH KE-7

PENDIDIKAN KARAKTER MUSLIM

Oleh

Prof Dr Asep Usman Ismail, M.A.

Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam bab ini akan dijelaskan dimensi aksiologi tasawuf, yaitu manfaat dan kegunaan tasawuf dalam mewujudkan akhlak mulia (al-akhlâq al-karîmah) dalam hidup dan kehidupan kaum seorang Muslim. Tiga langkah utama pengemalan tasawuf, yaitu tazkiyat al-nafs, menyucikan jiwa dari kekufuran, kemusyrikan, sifat-sifat kemunafikan, kecenderungan dan kecanduan kepada al-muharramât (perbuatan yang diharamkan Allah), al-mkarûhât (perbuatan yang dimakruhkan Allah), al-syubuhât (perbuatan yang syubhat), berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela tiada lain kecuali bermuara pada satu tujuan, yaitu menghilangkan akhlak tercela ( al-akhlâq al-madzmûmah), sekaligus mengembangkan akhlak mulia. Demikian juga mendekatkan diri kepada Allah dan merasakan bahwa Allah itu ada, hadir, dekat dan terlibat dalam hidup dan kehidupan kita, menjadi sahabat setiap hamba, bahkan menjadi kekasih orang-orang beriman yang mencintai dan dicintai-Nya tiada lain, kecuali memperkuat perjuangan, usaha dan proses menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dengan ungkapan lain, tujuan utama bertasawuf adalah mengembangkan karakter Islami dalam hidup dan kehidupan seorang Muslim sehingga setiap Muslim memiliki karakter yang baik dan menjadi pribadi yang mulia.

Sebelum memasuku uraian tentang dimensi aksiologi tasawuf, pada bab ini akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian akhlak dan etika, tasawuf sebagai etika Al-Qur`an atau etika Islam, pengertian pendidikan, pengertian pendidikan karakter, karakter Muslim dan tasawuf sebagai basis pendidikan dan pengembangan karakter Muslim.

1. Pengertian Akhlak dan Etika

a. Pengertian Akhlak

Dari segi kebahasaan perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosa kata bahasa Arab اقلخأ (akhlâq) yang merupakan bentuk jamak dari perkataan قلخ (khuluq) yang berarti ةيجسسسلا al-sajiyyah (perangai),ةعيبطلا al-thabî’ah (watak), ةداسعلا al-‘âdah (kebiasaan atau kelaziman), dan نيدسلا al-dîn (keteraturan).1 Sementara itu Kamus al-Munjid menyebutkan bahwa perkataan اقلخأ (akhlâq) dalam bahasa

1 Jamâl al-Dîn Abû al-Fadhal Muhammad bin Makram ibn Manzhûr al-Anshâriyyi al-Ifriqiyyi

(2)

Arab berarti tabiat, budi pekerti, perangai, adapt atau kebiasaan.2 Jadi secara kebahasaan perkataan akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia secara universal, perangai, watak, kebiasaan, dan keteraturan; baik sifat yang terpuji maupun sifat yang tercela. Menurut Ibn Manzhûr, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esoteris

manusia yang berkenaan dengan jiwa, sifat dan karakteristiknya secara khusus, yang

hasanah (baik) maupun yang qabîhah (buruk).3 Menurutnya, pahala (al-tsawâb), dan hukuman (al-‘iqâb) lebih banyak tergantung kepada dimensi esoteris manusia dibandingan dengan ketergantungan kepada bentuk lahiriahnya.4

Dengan demikian, pengertiaan akhlak mengacu kepada sifat manusia secara umum tanpa mengenal perbedaan di antara laki-laki dan perempuan; sifat manusia yang baik maupun sifat manusia yang buruk. Oleh sebab itu, akhlak terbagi dua, al-akhlâq al-hasanah (akhlak yang baik) atau al-akhlâq al-mahmûdah (akhlak terpuji) dan al-akhlâq al-qabîhah (akhlak yang buruk) atau al-akhlâq madzmûmah (akhlak tercela). Menurut Al-Ghazâlî, sifat manusia yang al-mahmûdah (terpuji) itu adalah

al-munjiyât, yaitu sifat yang akan yang menyelamatkan; sedangkan sifat manusia yang al-madzmûmah (tercela) itu adalah al-muhlikât, sifat yang akan yang menghancurkan.5

Al-Qur`an hanya dua kali menyebut kata اقلخأ(akhlâq) yang keduanya dalam bentuk tunggal قلخ (khuluq). Pertama, pada Surah Al-Syu’arâ` ayat 137 sebagai berikut:

َنيِبّذَعُمِب ُنْحَن اَمَو .َنيِلّو

َ ْلا ُقُلُخ ّلِإ اَذَه ْنِإ

Agama kamini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-orang terdahulu, dan kami (sama sekali) tidak akan diazab.” (Q.S. Al-Syu’arâ`/26: 137-138)

Pada ayat ini, istilah khuluq al-awwalîn, yang secara harfiah berarti akhlak orang terdahulu, difahami oleh ‘Abd al-Rahmân bin Nâshîr al-Si’diyyi dengan pengertian ‘âdat al-awwalîn (adat kebiasaan orang-orang terdahulu).6 Sementara itu, Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî mengartikannya dengan khurâfat al-awwalîn (khurafat orang-orang terdahulu).7 Dalam pada itu, al-Maraghi mengartikan istilah khuluq

al-awwalîn dengan ungkapan: ‘âdatuhum allatî kânû- bihâ yadînîn, (adat kebiasaan mereka yang menjadi dasar mereka beragama)8 Jadi, pada ayat ini pengertian اقلخأ (akhlâq) atau قلخ (khuluq) mengacu kepada pengertian al-akhlâq al-madzmûmah

(adat kebiasaan yang tercela).

2 Louis Ma`luf, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1976), h. 94. 3 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jilid X, cet. ke-1, h. 104.

4 Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jilid X, cet. ke-1, h. 104

5 Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn,

Jilid I, (Dar al-Fikr, t.t.), h. 4.

6 ‘Abd al-Rahmân bin Nâshîr al-Si’diyyi, Taysir Karîm Rahmân fî Tafsîr Kalâm

al-Mannân, (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.), h. 650.

7 Muhammad ‘Ali al-Shâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, Jilid II, (Jakarta: Dar Kutub

al-Islamiyyah, t.t.), h. 389.

8 Ahmad Musthafâ al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, Jilid II, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001/1421), h.

(3)

Kedua, pada Surah al-Qalam ayat 4 sebagai berikut:

ٍميِظَع ٍقُلُخ ىَلَعَل َكّنِإَو

Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur (Q.S. al-Qalam/68: 4).

Pada ayat ini, yang dimaksud dengan istilah ميظع قسسلخ (khuluq ‘azhîm), menurut al-Si’diyyi, adalah akhlak yang luhur yang telah dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad shallâ Allâh ‘alayhi wa sallam. Wujud keluhuran akhlak Rasulullah

shallâ Allâh ‘alayhi wa sallam tersebut, menurutnya, adalah seperti yang dijelaskan oleh Ummul Mu`min ‘Aisyah radhiya Allâh ‘anhâ kepada orang yang bertanya tentang akhlak Rasulullah shallâ Allâh ‘alayhi wa sallam, bahwa “akhlak beliau itu adalah Al-Qur`an”.9 Maka, berbeda dengan pengertian khuluq pada ayat pertama, pada ayat ini istilah khuluq mengacu kepada pengertian al-akhlâq al-mahmûdah

(akhlak yang terpuji), yaitu akhlak Rasulullah shallâ Allâh ‘alayhi wa sallam.

Kajian tentang akhlak melahirkan dimensi teoritis yang bersifat konseptual dan melahirkan dimensi praktis yang bersifat terapan. Kajian teoritis dinamakan dengan ilmu akhlak. Menurut Ahmad Amin, ilmu akhlak adalah ilmu yang menerangkan tentang baik dan buruk; menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam hubungan dengan sesamanya; menjelaskan tujuan yang seharjusnya dituju oleh manusia; menunjukkan jalan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia.10

Sementara itu, H. Hamzah Ya’qub menerangkan bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan dua hal. Pertama, menentukan batas antara baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir batin. Kedua, ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk; yang mengajarkan pergaulan manusia dan menyatakan tujuan hidup manusia yang hakiki dari seluruh usaha dan pekerjaannya.11

Adapun pengertian akhlak secara istilah dikemukakan oleh para ulama seperti Ibn Miskawaih, Al-Ghazali dan Ibrahim Anis dengan uraian cukup beragam, namun keragaman pengertian itu saling melengkapi sehingga kita mendapat pengertian yang luas dan mendalam. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) menyatakan: “Akhlak adalah sifat yang tertanam pada jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbaangan terlebih dahulu”. Al-Ghazali (w. 550 H/1111 M) menyatakan: “Akhlak adalah gambaran tentang keadaan jiwa yang tertanam secara mendalam. Keadaan jiwa itu melahirkan tindakan dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”. Ibrahim Anis menyatakan bahwa: “Akhlak adalah sifat yang tertanam pada jiwa seseorang secara mendalam yang daripadanya muncul perbuatan baik maupun buruk dengan tidak membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”. Penyusun Ensiklopedi

9 ‘Abd al-Rahmân bin Nâshîr al-Si’diyyi, Taysir Karîm Rahmân fî Tafsîr Kalâm

al-Mannân, (Kairo: Dar al-Hadits, t.t.), h. 976.

10 Ahmad Amin, “Al-Akhlaq”, (penterj.), K.H. Farid Ma’ruf, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta:

Bulan Bintang, 1977), h. 2.

(4)

Pengetahuan, Dairat al-Ma’ârif, menyatakan bahwa: “Akhlak adalah sifat-sifat manusia yang beradab”.

Dari pengertian akhlak di atas dapat ditarik suatu gambaran bahwa perbuatan akhlah memiliki lima ciri pokok sebagai berikut:

1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang tertanam secara terus menerus di dalam jiwa seseorang sehinga kuat dan mengakar. Jika seseorang dinyatakan berakhlak dermawan, maka kedermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan di mana pun ia hidup sehingga menjadi kepribadiannya yang membedakan dirinya dari orang lain.

2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Hal ini tidak berarti bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Perbuatan akhlak tersebut mengalir dengan mudah seperti air terjun yang jatuh ke sebuah lembah tanpa mengalami hambatan sekecil apa pun.

3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu, jika seseorang melakukan suatu perbuatan, tetapi bukan atas dasar kemauan, pilihan, dan keputusan yang bersangkutan, maka perbuatan itu bukanlah akhlak dari orang yang bersangkutan. Manusia diciptakan Allah, kemudian diberi kelengkapan hidup berupa akal dan nurani. Dengan akal manusia diharapkan berfikir. Dengan nurani manusia diharapkan meresapkan dan memberi makna. Dengan memadukan akal dan nurani, manusia diharapkan memiliki kearifan, sehingga perbuatannya menceminkan kebebasan, pilihan, dan tanggung jawabnyan sebagai manusia yang bermartabat.

4. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Perbuatan akhlak adalah perbuatan nyata dalam kehidupan sosial. Untuk membedakan apakah perbuatan seseorang itu sesungguhnya atau sedang bersandiwara dengan topeng-topeng kehidupan, maka perlu melakukan pengamatan yang seksama dan terus menerus tentang perilaku seseorang atau sekelompok orang.

5. Perbuatan akhlak, khususnya akhlak yang terpuji, adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar keimanan dan ibadah atau pengabdian kepada Allah dengan penuh keikhlasan semata-mata karena mengharap keridoan atau kerelaan-Nya di dunia maupun di akhirat.

(5)

jernih dan bening pula. Tasawuf merupakan sumber mata air, sedangkan akhlak adalah air yang mengalir dan memberikan manfaat bagi hidup dan kehidupan makhluk hidup, manusia, binatang dan tetumbuhan.

Akhlak seperti air yang mengalir di sekitar kita, ada yang bersih dan ada pula yang kotor, ada yang baik dan ada yang buruk, ada yang terpuji dan ada yang tercela. Keduanya berpasang-pasangan sebagaimana umumnya makhluk Allah diciptakan dengan berpasang-pasangan. Sungguhpun demikian, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pernyataan bahwa perkataan akhlak mengacu kepada makna positif yang menggambarkan sifat-sifat manusia yang beradab, sehingga orang yang berakhlak buruk sering dikatakan sebagai orang yang tidak berakhlak atau mengalami krisis akhlak.

Kedua, perbuatan seseorang dinyatakan sebagai gambaran dari akhlaknya, apabila perbuatan itu tertanam di dalam dirinya dengan kuat dan mengakar; dilakukan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan; muncul dari dalam diri sendiri, dilakukan dengan kesadaran. Jika yang dilakukan itu perbuatan mulia yang bermanfaat bagi dirinya dan bermanfaat bagi orang banyak, maka perbuatan tersebut dinamakan perbuatan akhlak, apabila dilakukan dengan ikhlas, tuntas dan berkualitas atas dasar keimanan kepada Allah.

b. Pengertian Etika

Secara kebahasaan perkataan etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak, kesusilaan, atau adat.12 Dalam Encyclopedia Britanica disebutkan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti karakter dan studi yang sistematis tentang pengertian dan hakikat nilai baik dan buruk, salah dan benar, seharus dan tidak sepantasnya, serta prinsip umum yang membenarkan kita melakukan atau menggunakan sesuatu. Etika juga disebut Filsafat Moral.13 Sementara itu, di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak.14 Dalam bahasa Belanda ethica berarti ilmu moral atau etika; ethisch berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan moral; sedangkan etiquette adalah tata tertib dalam pergaulan.15

Adapun pengertian etika menurut istilah dapat dipaparkan sebagai berikut: Menurut Ahmad Amin, “etika adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka, dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia”.16 Sejalan dengan Ahmad Amin, Soegarda Poerbakawatja, mendefinisikan bahwa “etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, ilmu yang mempelajari nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk”.17

12 Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, (penterj), R. Andre Karo-karo, (Jakarta:

Erlangga, 1987), h. 5. Lihat Juga: Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, cet. 2, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 13.

13 Warren E. Preece, Ethic, Dalam Encyclopedia Britanica, (London: William Bustom

Publisher, 1965), Vol 8, h. 752.

14 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. Ke-12, (Jakarta: Balaai

Pustaka, 1991), h. 278.

15 Prof. Drs. S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 1978), h. 283.

16Ahmad Amin, “Al-Akhlaq”, terj., K.H. Farid Ma`ruf, cet. 3, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta:

Bulan Bintang, 1983), h. 3.

(6)

Dalam pada itu, Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa “etika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya dalam bentuk perbuatan”.18

Sementara itu, menurut Nurcholish Madjid konsep etika bukan sekedar masalah kesopanan, melainkan dalam pengertiannya yang mendasar sebagai konsep dan ajaran yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah yang mencakup keseluruhan pandangan dunia (world outlook) dan pandangan hidup (way of life).19 Lebih jauh Cak Nur, dengan mengutip Karl Barth menyatakan bahwa, “etika berasal dari êthos sebanding dengan moral berasal dari mos. Keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Perkataan Jerman Sitte menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia, yakni suatu konstansi tindakan manusia. Karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu, atau disiplin tentang tingkah laku atau tindakan manusia.20 Dalam

Mu’jam al-Falsafi disebutkan bahwa etika ilmu yang membahas ketentuan-ketentuan tentang perbuatan manusia dari segi baik atau buruk. 21 SGF Brandon mendefinisikan etika sebagai berikut: ethics is subject of adab it means good manners, etika merupakan adab yang berarti sikap atau tatakrama yang baik.22

Dengan demikian, etika merupakan teori tentang apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia menurut ketentuan akal manusia. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat dipertanyakan secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, sedangkan etika berkenaan dengan persoalan konseptual-teoritis.23

c. Tasawuf adalah Akhlak dan Etika Islam

Sebagai cabang dari filsafat, etika bersumber dari akal fikiran, bukan dari agama; sedangkan akhlak bersumber dari ajaran agama. Etika Islam, menurut H. Hamzah Ya’cub, etika yang berbasis pada ajaran Islam. Antara lain adalah sebagai berikut: (1) Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada perilaku yang baik dan menjauhkan diri dari perilaku yang buruk; (2) Etika Islam menetapkan

18 Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta: Taman Siswa, 1966), h.

138.

19Nurcholish Madjid, Ajaran Nilai Etis Dalam Kitab Suci dan Relevansinya bagi Kehidupan

Modern, Seri KKA ke 47 Tahun IV/ 1990, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina), h. 1.

20 Karl Barth, “Ethic”, suntingan Dietrich Braun dan terjemahan dari Jerman ke Inggris oleh

Geoffrey, (New York: The Seabury Press, 1981), h. 3. sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,

ibid., h. 2.

21Al-Mu’jam al-Falsafi, (Kairo: Al-Hay`at al-‘Ammah li Syu`un al-Mutabi’ al-Amiriyyah,

1979), h. 124.

22 SGF Brandon, A Dictionary of Comparative Religion, (London: C. Tinling & Comp, LTD,

1970), h. 268.

23 Paul W. Taylor, “Problems of Moral Philosophy”, (California: Deckenson Publishing

(7)

sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Allah; (3) Etika Islam bersifat universal dan komprehensif (kâffah), dapat diterima oleh seluruh umat manusia pada setiap saat dan tempat; (4) Etika Islam tidak hanya bersifat konseptual-teoritis, tetapi juga bersifat praktis, sesuai dengan fitrah dan akal fikiran manusia; dan (5) Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia yang bengkok di bawah bimbingan ajaran Allah sehingga manusia terhindar dari fikiran dan tindakan yang salah dan menyesatkan.24

Dengan demikian, etika Al-Qur`an selain identik dengan etika Islam, karena etika Islam bersumber pada Al-Qur`an dan al-Sunnah. Selain itu, etika Al-Qur`an juga memiliki empat komponen pokok sebagai berikut: Pertama, etika Al-Quran adalah etika yang sumber utamanya adalah ajaran Al-Qur`an. Kedua, obyek etika Al-Quran adalah fikiran, perkataan, dan perbutan manusia, termasuk sikap dan persepsinya tentang hidup dan kehidupan, baik secara individu maupun secara sosial. Ketiga, dari segi fungsinya, etika Al-Qur`an berfungsi sebagai penilai, penentu, dan penetap perbuatan yang dilakukan manusia, apakah perbuatan tersebut dinilai baik, buruk, benar, salah, mulia, hina, pantas atau tidak pantas dan sebagainya berdasarkan ajaran Al-Qur`an dan mendorong manusia melakukan perbuatan yang baik, benar, mulia dan pantas; serta bertanggung jawab mewjudkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sosial. Keempat, dari segi sifatnya, etika Al-Qur`an memiliki dua dimensi, yang tetap dan yang berubah sesuai dengan kemaslahatan umum.

Etika Al-Qur`an mempunyai sifat humanistik dan rasionalistik. Humanistik dalam pengertian mengaharhkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri.. Sebaliknya, bersifat rasionalistik bahwa semua pesan-pesan Al-Qur`an, seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu; semuanya tidak ada yang berlawanan dengan kedua sifat di atas.25 Selain bersifat humanistik dan rasionalistik, etika Al-Qur`an juga bersifat ilahiyyah, yakni mengaharhkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri dalam rangka mengaktualisasikan dirinya sebagai Allah yang sejatinya.

Tasawuf dari segi aksiologi, manfaat dan kegunaan, merupakan energi yang mengalirkan dan memancarkan etika Al-Qur`an atau etika Islam daalam hidup dan kehidupan seorang Muslim. Dengan keyakinan yang kokoh pada Allah, tidak hanya meresapkan ulûhiyyah Allah, Tuhan yang diibadati, tetapi juga menghayati dan meresapkan rubûbiyyah Allah, Tuhan yang dirasakan hadir, dekat dan terlibat dalam keseharian manusia, seorang Muslim yang mengamalkan tasawuf memiliki modal spiritual (spiritual capital) untuk mengembangkan akhlak yang terpuji dan etika yang fungsional dalam membimbing hidup dan kehidupan ini.

Demikian juga ketika seorang pengamal tasawuf berjihad atau bermujahadah menucikan jiwanya dari kekufuran, kemusyrikan, sifat-sifat kemunafikan, kecenderungan dan kecanduan kepada al-muharramât (perbuatan yang diharamkan Allah), al-mkarûhât (perbuatan yang dimakruhkan Allah), al-syubuhât (perbuatan yang syubhat), berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela sesungguhnya dia sedang membangun sebuah fondasi yang kokoh, kuat dan mengakar guna menegakkan etika

24 H. Hamzah Ya’cub, Etika Islam, Cet. Ke-2, (Bandung: Diponegoro, 1983), h. 14.

25 Komaruddin Hidayat, ”Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dengan Kehidupan

(8)

individual dan etika sosial yang bernilai humanistik dan ilahiah, kemanusiaan dan ketuhanan. Semunya merupakan modal guna mengembangkan pribadi Muslim yang akidah, iman dan keyakinannya kokoh; ibadah dan hubungan formalnya dengan Allah istikamah; mu’amalat, akhlak dan etikanya terhadap sesama manusia, flora dan fauna, hewan dan tetumbuhan terpuji. Singkatnya, menjadi manusia yang menyadari dirinya sebagai hamba Allah dan menjalankan fungsi kehambaannya (al-’ubûdiyah) dengan baik, taat tepat dan tekun. Pada waktu yang sama menyadari dirinya sebagai khalifah Allah (al-khilâfah) dengan mendalam dan menjalankan fungsi kekhalifahan dengan baik, yakni dengan menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas diri, keluarga dan lingkungan sosialnya.

2. Pendidikan Karakter Muslim a. Pengertian Pendidikan

Pendidikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang sebagai usaha mendewasakan manusia; sedangkan mendidik berarti memelihara dan memberi ajaran, tuntunan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. Tentu saja, menurut hemat penulis, agar sikap dan tata laku seseorang menjadi dewasa.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.

Baik Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun UU Sisdiknas, menurut hemat penulis, menyebut bahwa essensi pendidikan adalah mengubah, mendewasakan dan mengembangkan potensi diri peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Jadi, unsur terpenting dalam pendidikan adalah pengembangan potensi diri yang meliputi keterampilan hidup, intelek, emosi dan ruhani guna mewujudkan pribadi Muslim yang berkualitas dalam hdup dan kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Pendidikan dan pegembangn karakter Muslim yang berbasis pada nilai ketasawufan, yakni kesucian jiwa dan kedekatan dengan Allah, merupakan modal utama yang ditawarkan Islam guna menampilkan kembali pribadi Muslim yang memiliki keunggulan mental spiritual, keterampilan hidup, ketangguhan menghadapi krisis kemanusiaan yang melanda manusia modern.

(9)

Karakter adalah sifat seseorang yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir. Karakter merupakan komponen pokok kepribadian seseorang yang bersifat khas individu maupun yang menjadi kepribadian komunitas seperti kepribadian bangsa yang dimiliki secara komunal.

Dengan demikian, karakter bisa digambarkan sebagai sifat manusia pada umumnya yang semi permanen, karena melekat kuat pada diri seseorang. Manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya. Di antara sifat-sifat manusia itu adalah sifat pemarah, penyabar, ceria, pemaaf, tidak percaya diri dan bijaksana.

Berdasarkan penjelasan di atas, karakter bisa tampil pada tiap-tiap individu, bisa juga tampil pada kehiupan komunal. Jadi, ada karakter individu, ada juga karakter komunitas, bahkan karakter bangsa. Apa yang dimaksud dengan karakter bangsa? Karakter bangsa adalah keseluruhan sifat suatu bangsa yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh bangsa tersebut.

Bagaimana dengan karakter Muslim? Berbanding lurus dengan karakter bangsa, karakter Muslim adalah keseluruhan sifat orang-orang Muslim yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh kaum Muslimin pada umumnya yang bersumber dari keyakinannya kepada Allah dan keimannya kepada rukun iman yang enam, serta pemahaman dan penghayatannya kepada ajaran Islam yang diwujudkan dalam hidup dan kehidupan.

Dalam literature berbahasa Arab, karakter atau karakteristik dinamakan at-thabi’ah (tabiat) yang secara harfiah berarti tercetak sedemikian rupa melalui proses yang panjang. At-thabi’ah terbentuk melalui al-‘adah, kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang melalui proses mendengar, melihat, menirukan dan mengulang-ulang dalam pola yang sama secara konsisten dan berkesinambungan.

Secara singkat, dapat dirumuskan bahwa karakter adalah kebiasaan atau karakter terbentuk melalui kebiasaan. Dalam ungkapan Inggris, habit is second nature, kebiasaan adalah watak kedua. Artinya, karakter yang terlembaga pada diri seseorang itu tidak lain adalah tumpukan-tumpukan kebiasaan yang bermula dari sesuatu yang kecil saja. Sebagaimana tersebut dalam pepatah, “Sow a thought, reap an action; sow an action, reap a habit; sow a habit, reap a character; sow a character, reap a destiny.” Taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan, tuailah karakter; dan taburlah karakter, maka tuailah takdir.

(10)

c. Pendidikan Karakter Muslim

Pendidikan karakter Muslim adalah upaya sadar yang dilkaukan oleh seorang atau sekelompok orang guna memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat istiadat, nilai-nilai, potensi, kemampuan, bakat, dan pikiran kaum Muslimin yang bersumber dari ajaran Islam yang menjadi keyakinan dasarnya.

Dengan demikian, pendidikan dan pengembangan karakter Muslim bisa dilakukan dimana saja, tidak terbatas pada pendidikan sekolah, tetapi juga pada pendidikan luar sekolah, yang meliputi tripusat pendidikan, yaitu pendidikan informal pada lingkungan keluarga, pendidikan non formal di masyarakat dan pendidikan formal di sekolah.

Pendidikan karakter bangsa sudah berhasil dirumuskan sedemikian rupa oleh para ahli di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sehingga memiliki delapan belas nilai. Kedelapan belas nilai-nilai tersebut adalah: Nilai religious, kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.

d. Pilar Kepribadian Muslim

Jika pendidikan karakter bangsa memiliki 18 nilai, bagaimana dengan pendidikan karakter Muslim? Al-Qur`an (Q.S. Ibrahim/14: 24-25) mengisyaratkan bahwa karakter seorang Muslim itu seperti sebatang pohon yang memiliki tiga bagian, yaitu akar, batang dan buah. Akarnya tertanam kokoh ke bumi, yaitu keyakinan tidak ada tuhan selain Allah; batang, dahan dan rantingnya menjulang ke langit, serta dedaunannya yang hijau, yatu ibadah yang istikamah, baik yang wajib maupun yang sunat; dan pohon itu berbuah setiap waktu, yaitu akhlak mulia dan karya kemanusiaan yang bermanfaat bagi orang banyak.

Sementara itu, Rasulullah saw meletakkan lima landasan kepribadian Muslim. Di atas lima dasar inilah pendidikan dan pengembangan karakter Muslim dilakukan. Kelima dasar itu adalah sebagai berikut:

1) Dasar pertama adalah akidah yang benar, yang berdiri di atas keimanan yang benar, yang mendorong pada tindakan yang lurus.

2) Dasar kedua adalah perjuangan setiap pribadi Muslim agar dirinya menjadi model ideal yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik bagi sesamanya. Rasulullah saw bersabda: نمؤملا ةأرم نمؤملا “Seorang beriman adalah cermin bagi sesama orang beriman”.

(11)

4) Dasar keempat adalah ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah.

5) Dasar kelima adalah semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidup dan kehidupannya sebagai seorang Muslim. 26

Dalam membangun lima pilar kepribadian Muslim di atas, Rasulullah saw adalah figur sentral yang menjadi uswatun hasanah, teladan yang baik, bagi umat.27 Rasulullah saw adalah pribadi yang mendapat pendidikan langsung dari Allah dengan kualitas pendidikan yang terbaik. Pada diri beliau terhimpun semua kebaikan yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Beliau adalah Al-Qur`an hidup. Beliau memadukan model pengamalan agama yang memenuhi kebutuhan biologis dan sosial umat Islam secara legal formal yang tercermin pada hukum fikih yang mencakup aspek ibadah dan mu`malah, tetapi pada waktu yang sama sangat memperhatikan pembersihan diri dari segi kejiwaan yang meliputi penyucian jiwa, pengendalian diri, kekayaan batin, keikhlasan lahir batin, khusyu' kepada Allah, kerendahan hati, kedermawanan dan pengabdian yang tulus.28

Kelima dasar kepribadian Muslim tersebut dalam perspektif tasawuf diturunkan pada tiga target perjuangan (mujahadah) yang harus dilakukan oleh setip penempuh jalan ruhani yang disebut salik atau pengamal tasawuf sebagai berikut:

Pertama, perjuangan untuk menyucikan jiwa dari kekufuran, kemusyrikan, sifat-sifat kemunafikan, kecenderungan dan kecanduan kepada al-muharramât

(perbuatan yang diharamkan Allah), al-makarûhât (perbuatan yang dimakruhkan Allah), al-syubuhât (perbuatan yang syubhat), berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela.

Kedua, perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Perjuangan ini dilakukan dengan memperhatikan ibadah wajib dan ibadah sunat seperti melakukan berbagai shalat sunat, puasa sunat, wirid dzikir dan doa, membaca Al-Qur`an dan wirid shalawat. Demikian juga melakukan shalat lima waktu senantiasa awal waktu, berjamaah di Masjid sehingga ibadah sunah itu seakan-akan ibadah wajib. Kedekatan dengan Allah dalam wawasan tasawuf terbagi dua. Pertama, kedekatan yang terpusat hanya pada hubungan dengan Allah semata-mata. Kedua, kedekatang dengan Allah yang melahirkan kedekatan dan kepedulian terhadap hamba-hamba Allah.

26 Lihat: Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi

saw, diterjemahkan oleh Joko Suryanto dari buku: "Syahshiyatul Muslim", (Makkah: Maktabah al-Tijariah), cet. ke-2, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 13-64.

27 Al-Qur`an menyebutkan, sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi

kamu(kaum Muslimin). (Q.s. al-Ahzab [33]: 21)

28 Lihat: Ahmad Umar Hasyim, Menjadi Muslim Kaffah Berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Nabi

(12)

Kedekatan yang hanya terpusat pada hubungan dengan Allah semata-mata akan mengarah pada faham spiritualisme yang tercermin dalam gaya hidup yang berikut:

1. Lebih mengutamakan dimensi batin daripada dimensi lahir;

2. Lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwat, 'uzlah, dan tirakatan sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para petapa;

3. Lebih mengutamakan kepuasaan spiritual yang bersifat individual daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif;

4. Memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang rendah, hina dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas ruhani;

5. Memandang aktivitas mu'amalat seperti bekerja, berdagang, bertani dengan mempunyai isteri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang hina.

Dalam sejarah Islam, faham spiritualisme tercermin antara lain pada gaya hidup asketis (zuhud) aliran Malamatiyyah. Aliran ini adalah perkumpulan para sufi yang setiap saat dekat dengan Allah, siang dengan berpuasa, malam dengan qiyamul lail dengan banyak shalat, zikir, doa, serta dengan memperhatikan aspek batiniah mereka. Mereka suka mencela diri mereka sendiri dengan perkataan dan perbuatan, menampilkan diri mereka kepada publik dengan segala penampilan yang mengesankan hina, kumuh dan miskin, serta berusaha menyembunyikan kebaikan mereka. Dengan tindakan ini, mereka mengharapkan agar publik mencela penampilan luar mereka, tetapi mereka mendaptkan kesempatan untuk meningkatkan kualitas ruhani di hadapan Allah.29

Sementara itu, profil pribadi Muslim yang dekat dengan Allah dan dekat dengan hamba-hamba Allah adalah pribadi Muslim yang jiwanya bersih dari kekufuran, kemusyrikan, sifat-sifat kemunafikan, serta benar-benar terbebas dari segala perbuatan yang diharamkan Allah, yang dimakruhkan dan yang syubhat; dan terhindar pula dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela. Pada sisi lain, pribadi Muslim tersebut peduli terhadap masalah sosial di sekitarnya, merasa bertanggung jawab untuk mengatasi dan memberikan solusi terhadap masalah sosial, serta terlibat pula dalam aksi-aksi sosial, baik dalam bentuk pelayanan sosial, pengembangan masyarakat dan pemberdayaan kaum dhu’afa. Singkatnya, melahirkan pribadi yang memiliki akhlak individual dan akhlak sosial yang mulia.

29 Asep Usman Ismail, Apakah Wali itu Ada: Menguak Makan Kewalian Dalam Tasawuf

(13)

e. Nilai-nilai Karakter Muslim

Dari pejelasan di atas dapat dirumuskan beberapa nilai-nilai karakter Muslim sebagai berikut: Tauhid, ibadah, amal saleh, jujur, ikhlas, rida Allah, rendah hati, bermanfaat, cerdas, cinta ilmu, cinta damai, disiplin, muru’ah, tanggung jawab, sabar, tawakal, tasamuh, persaudaraan, persahabatan, peduli, berbagi dan terorganisir.

Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang nilai-nilai karakter Muslim di atas:

1. Tauhid, yaitu meyakini Allah, satu-satunya yang Tuhan, yang berhak diibadati (tauhid uluhiyah) dan meyakini Allah, satu-satunya Tuhan yang memelihara alam semesta (tauhid rububiyah), termasuk manusia, hewan dan tetumbuhan.

2. Ibadah, yaitu sikap bahwa hidup ini secara total adalah pengabdian yang tulus kepada Allah melalui ibadah formal (al-‘ibâdah al-mahdhah) yang dilakukan dengan baik, benar dan teratur maupun melalui ibadah sosial, yaitu menjalani hidup dan kehidupan ini dengan orientasi (niat dan sikap) pengabdian yang tulus kepada Allah.

3. Amal saleh, yaitu sikap bahwa hidup ini harus dijalani dengan kerja yang baik, benar, tepat dan berkualitas meliputi kesalehan dunia dan kesalehan akhirat pada kehidupan individu dan sosial.

4. Jujur, perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

5. Ikhlas, yaitu sikap bahwa hidup ini karunia Allah yang harus diterima dan dijalani dengan prinsip dari Allah, oleh Allah untuk Allah melalui hamba.

6. Ridha Allah, sikap bahwa dalam hidup ini tidak ada yang dicari dan diharapkan selain keridhoan Allah dunia-akhirat.

7. Rendah hati, yaitu kesadaran bahwa manusia itu adalah satu nuktah kecil di balik kebesaran Allah yang memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga dalam hidup dan kehidupan ini perlu saling menasihati, memberi dan menerima saran dari siapa pun.

8. Bermanfaat, yaitu sikap bahwa manusia terbaik adalah manusia yang dapat memberikan manfaat yang terbaik bagi sesamanya, termasuk hewan, tetumbuhan dan lingkungan hidup.

9. Cerdas, yaitu sikap mengoptimalkan kemampuan intelek, emosi dan ruhani secara seimbang dalam menjalani hidup dan kehidupan ini agar meraih prestasi gemilang lahir batin.

(14)

11.Cinta damai, yaitu keyakinan bahwa Islam itu damai dan menjadi Muslim itu adalah berjuang mewujudkan kedamaian dan perdamaian dalam hidup dan kehidupan ini.

12.Disiplin, yaitu sikap dan tekad untuk hidup teratur dan mengikuti keteraturan dengan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

13. Muru`ah, yaitu menjunjung tinggi kehormatan, harga diri dan martabat manusia yang beriman kepada Allah dengan menunjukkan perilaku yang baik, tepat dan bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosial.

14.Tanggung jawab, yaitu menjalankan tugas pokok dan fungsi hidup dengan baik, benar dan sungguh-sungguh, serta bersedia menanggung segala akibat dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi ini.

15.Sabar, yaitu memiliki daya tahan, ulet dan tangguh dalam menghadapi segala rintangan dan kesulitan dalam hidup dan kehidupan ini.

16. Tawakal, yaitu mewakilkan dan menyerahkan semua persolan hidup dan kehidupan ini kepada Allah setelah berikhtiar dan berusaha secara optimal.

17.Tasamuh, yaitu bersikap lapang dada dalam menghadapi keyakinan, kebiasaan dan sikap yang berbeda dengan keyakinan, kebiasaan dan sikap diri dan lingkungan sosialnya.

18.Persaudaraan, yaitu sikap membangun dan menguatkan solidaritas atas dasar kesamaan iman, tanah air dan kemanusiaan.

19.Peduli Lingkunan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

20.Peduli Sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

21.Berbagi, yaitu sikap kedermawanan dan kepedulian sosial terhadap kaum dhu’afa dengan memberikan perhatian, pendampinagn, penguatan dan bantuan.

22.Terorganisir, yaitu hidup dalam kebersamaan dan persaudaraan yang solid seperti sebuah bangunan yang bagian yang satu dengan bagian yang lain saling menguatkan.

(15)

Tauhid. Seorang pengamal tasawuf pada hakikatnya adalah seorang yang sedang mendidik dan mengembangkan dirinya menjadi seorang muwahhid, orang yang meneguhkan prinsip tauhid pada dirinya. Mengamalkan tasawuf tidak hanya berhenti pada tauhid ulûhiyyah, meyakini Allah, Tuhan yang diibadati, tetapi juga meresapkan tauhid rubûbiyyah, yaitu meyakini Allah, Tuhan yang dirasakan kehadiran-Nya setiap saat. Mengamalkan tasawuf berarti memasuki sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan diri untuk menyucikan jiwa dan berjuang agar merasakan tauhid rubûbiyyah, yakni merasakan kehadiran, kedekatan dan keterlibatan Allah secata total dalam hidup dan kehidupan ini. Mengamalkan tasawuf, bahkan berjuang agar merasakan Allah sebagai sahabat yang dicintai dan mencintai dirinya. Jadi, seorang yang mengamalkan tasawuf adalah seorang murid yang sedang mendidik dan mengembangkan dirinya agar memiliki karakter seorang muwahhid, yakni seorang yang meneguhkan prinsip tauhid, tidak ada tuhan selain Allah, Tuhan yang terasa rubûbiyyah-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

‘Ibâdah. Mengamalkan tasawuf, menurut As-Sarraj, pada hakikatnya adalah melakukan al-‘ibâdât, yakni memperbaiki dan memperbanyak ibadah mahdhah, ibadah formal, yang tata cara, syarat, rukun dan tempatnya diatur sedemikian rupa dalam Islam melalui ayat Al-Qur`an Sunnah Nabi saw. Ibadah mahdhah yang banyak dilakukan dalam pengamalan tasawuf adalah shalat dan puasa sunat. Tujuan utama memperbanyak shalat dan puasa sunat adalah guna mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Dengan demikian, memasuki dunia tasawuf, terutama mengamalkan tarekat, adalah mendidik dan mengembangkan diri menjadi al-âbid

atau al-‘ubbâd, hamba Allah yang banyak dan tekun beribadah.

Dalam tasawuf, selain mendidik dan mengembangkan diri menjadi al-âbid

atau al-‘ubbâd dengan memperbanyak ibadah mahdhah, juga pada waktu yang sama mendidik dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang memandang dan memperjuangkan bahwa totalitas hidup kita adalah ibadah, dalam arti pengabdian yang tulus kepada Allah. Ibadah al-‘âmmah, yakni ibadah secara umum, bisa dilakukan dengan menjalani hidup yang bermakna dan berusaha menemukan makna hidup dalam setiap kegiatan yang kita lakukan. Menjadi petani, pedagang, pelayan tokoh, pekerja pabrik dan pembantu rumah tangga dimaknai sebagai sebuah ibadah, karena niatnya dari segi fikih adalah mencari sumber penghidupan yang halal. Imam Syafi,i menjelaskan: “thalabul halal faridhatunmin ba’dil faridhah”, mencari sumber penghidupan yang halal adalah kewajiban agama setelah menjalankan kewajiban, ibadah mahdhah.

Dengan demikian, memasuki dunia tasawuf dan tarekat pada hakikatnya adalah mengikuti pendidikan dan pengembangan diri menjadi seorang Muslim yang tekun dan banyak melakukan ibadah mahdhah, terutama shalat dan puasa sunat. Sementara pada sisi lain, banyak melakukan ibadah mahdhah tersebut diharapkan berdampak pada tumbuhnya ethos ibadah pada totalitas hidup dan kehidupan.yaitu semangat menjalani hidup sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah.

(16)

sehingga melahirkan corak tasawuf ‘amali. Spirit yang dibangun dalam tasawuf amali adalah ilmu amaliah, amal ilmiah. Maksudnya, ilmu bermuara pada amal, sedangkan amaliah yang dilakukan berdasarkan ilmu. Amal saleh adalah amal yang baik, tepat dan bermanfaat. Orang yang melakukan amal saleh adalah orang yang taat, baik, tindakannya tepat dan membawa manfaat bagi dirinya dan orang banyak. Kesalehan terbagi menjadi dua, yaitu kesalehan dunia dan kesalehan akhirat. Ruang lingkup kesalehan pun terbagi dua, yaitu kesalehan individu dan kesalehan sosial.

Dalam tasawuf positif atau tasawuf Al-Qr`an, kesalehan yang harus menjadi perhatian adalah kesalehan dunia-akhirat yang mencakup kesalehan individu dan kesalehan sosial. Maksudnya, dalam mengerjakan pekerjaan duniawi seorang pengamal tasawuf harus menunjukkan kesalehan, yaitu melakukan pekerjaan dengan ikhlas, kerja keras, kerja tuntas dan kerja berkualitas sehingga pekerjaan itu baik, tepat dan bermanfaat bagi orang banyak. Pekerjaan duniawi itu juga bernilai akhirat sehingga menjadi bagian dari kesalehan akhirat, yaitu pekerjaan yang diniatkan ibadah atau pengabdian yang tulus kepada Allah dengan mengharapkan keridhoan-Nya di akhirat. Demikian juga ketika melakukan ibadah mahdhah harus dilakukan dalam perspektif kesalehan akhirat, yaitu dengan baik, benar dan tepat sesuai dengan ketentuan syari’ah, memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi juga pada sisi lain berdampak pada ethos untuk melakukan kesalehan dunia, yaitu baik, benar dan tepat dalam menjalani kehidupa dunia sehingga hidup berkualitas dunia akhirat.

Jujur. Kejujuran yang dalam bahasa Arab dinamakan al-shidq merupakan pangkal dari segala bentuk kebaikan, sedangkan kebohongan atau al-kidzb merupakan pangkal dari segala bentuk kemaksiatan. Mengamalkan tasawuf positif adalah mendidik dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang jujur terhadap diri sendiri dan jujur kepada Allah. Kedua kejujuran itu, jujur kepada diri sendiri dan jujur kepada Allah, merupakan modal ruhaniah (spiritual capital) untuk bisa jujur kepada sesama manusia. Dengan demikian, mengamalkan tasawuf dengan sungguh-sungguh lahir batin berarti mendidik dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang memiliki kredibilitas, berasal dari bahasa Inggris credibility atau credible, yang berarti amanah atau dapat dipercaya oleh orang banyak. Sementara itu, mengembangkan kredibilitas berarti mengembangkan potensi positif pada diri hingga memiliki kompetensi dan integritas yang teruji, dan berdampak pada tumbuhnya kepercayaan orang banyak terhadap kemampuan dan kejujuran kita.

(17)

dalam ibadah sosial. Ketiganya merupakan penyangga utama dalam mengembangkan karakter Muslim.

Ridha Allah. Dalam tasawuf keridoan Allah menjadi motive, harapan dan muara dari seluruh aktifitas hamba di dunia. Mengamalkan tasawuf berarti mendidik dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang berorientasi rabbâni, yaitu beroreinetasi kepada Allah dengan kesadaran bahwa semua aktivitas, gerak dan langkah manusia pada hakikatnya dari Allah oleh Allah dan untuk Allah. Istilah

rabbâni adalah istilah Al-Qur`an.30 Jika keridoan Allah menjadi motive, harapan dan

muara dalam totalitas hidup dan kehidupan, maka dalam diri kita akan muncul sumber mata air yang memancarkan energy spiritual. Eenergi spiritual inilah yang menyebabkan kehidupan seseorang menemukan makna hidup dan hidup bermakna; memiliki kekuatan, dan daya tahan dalam menghadapi tantangan dan rintangan dalam hidup dan kehidupan ini.

Rendah Hati. Kerendahan hati dalam tasawuf disebut tawâdhu’. Kerendahan hati merupakan sikap mulia, karena tidak menonjol kelebihan pada diri kita.

Tawâdhu’ lawannya adalah takabbur, tinggi hati atau sombong. Kesadaran bahwa saya hamba Allah yang memiliki kekurangan terasa kuat pada diri seorang sufi. Kesadaran ini membawa dampak positif, sekaligus membawa dampak negative sebagai berikut: a) Mendorong seseorang menjadi pribadi yang intropet, lebih banyak memperhatikan kekurangan dirinya daripada menonjolkan kelebihannya . b) Mendorong seseorang terus belajar mengenal dirinya lebih baik sehingga melahirkan budaya belajar dari kekurangan dan mengubah kekurangan menjadi kekuatan melalui pengembangan diri.

Bermanfaat. Spirit yang tumbuh pada diri para pengamal tasawuf positif adalah spirit bahwa dirinya harus senantiasa bermanfaat bagi orang banyak. Mengikuti dan melaksanakan sabda Rasulullah saw. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi sesama manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Konsep yang hendak bangun bahwa memberikan manfaat bagi orang banyak, baik dengan harta, ilmu, tenaga, maupun doa merupakan sedekah jariah, yaitu sedekah yang terus mengalir pahalanya selama kebaikan tersebut mengalir manfaatnya.

Mengikuti amaliah tarekat dan tasawuf positif, dengan demikian, berarti mengikuti pendidikan dan pelatihan pengembangan diri menjadi pribadi yang memberikan manfaat sebanyak-banyak bagi sesama, terutama kaum dhu’afa. Dalam tradisi tasawuf, tidak sedikit guru mursyid yang mendidik para calon penempuh jalan ruhani menaiki tangga-tangga spiritual dengan menugaskan mereka melayani kepentingan umum. Sebab pengabdian mereka secara ikhlas merupakan energi ruhani yang mendorong mereka menaiki tangga dan membukakan hati yang tertutup.

(18)

Cerdas. Dalam tasawuf sangat ditekankan kecerdasan, tetapi lebih dominan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Menyucikan hati dengan tobat dari perbuatan dosa merupakan langkah awal membeningkan kalbu dari berbagai noda-noda dosa. Kalbu memiliki empat kualitas, yaitu bercahaya, menerima cahaya, menyimpan cahaya dan memancarkan cahaya. Kalbu bercahaya merupakan pembawaan sejak lahir yang bersifat universal dan primordial. Kalbu menerima cahaya, apabila terbuka dan terhubung dengan sumber cahaya, Allah SWT melalui iman dan ibadaah. Jika kalbu itu tertutup hijab, maka kalbu menjadi tidak terhubung dengan Allah. Akibatnya, kalbu tidak dapat menerima cahaya, karena ada hijab yang menghalanginya, yaitu dosa besar maupun dosa kecil. Jika hijab terangkat, kalbu jadi terbuka dan terhubung dengan Allah, lalu cahaya masuk dan tersimpan di dalamnya. Kalbu yang menerima cahaya tercerahkan, mengalami insyirah, perluasan wilayah cahaya dan penyempitan wilayah gelap.

Dengan demikian, kecerdasan emosi dan spiritual muncul pada kalbu yang mengalami insyirah sehingga dapat merasakan bahwa Allah itu ada, hadir, dekat dan terlibat dalam kehidupan manusia, bahkan bersahabat, mencintai dan dicintai-Nya. Dengan kecerdasan emosi yang dimilikinya, seorang salik, penemuh jalan ruhani, bisa mengembangkan diri menjadi pribadi yang mulia, memiliki integritas dan kredibilitas, terpadunya ucapan dan perbuatan serta dapat dipercaya, sedangkan dengan kecerdasan ruhani, bisa mengenal dan mencintai Allah.

Cinta Ilmu. Pengamalan tasawuf dan tarekat tidak akan sempurna tanpa ilmu. Prinsip dalam tasawuf amali adalah ilmu amaliah, amal ilmiah. Mencari ilmu untuk beramal, beramal dengan landasan ilmu. Dalam tasawuf dan tarekat dipadukan

al-‘ulûm al-‘aqliyah, ilmu-ilmu akal dan al-‘ulûm al-qalbiyah, ilmu-ilmu ruhani. Ilmu yang menggunakan akal membantu memahami Allah, sedangkan ilmu yang melibatkan kalbu membantu meresapkan Allah. Mendekati Allah dengan akal, Allah terasa jauh, mendekati Allah dengan kalbu, Allah terasa dekat. Merasakan keduanya membutuhkan ilmu dan perjuangan. Singkatnya, memasuki dunia tasawuf dan tarekat berarti mencintai ilmu lahir dan ilmu batin sehingga menghasilkan pribadi yang mencintai ilmu, menghormati orang yang berilmu dan menjadi manusia pembelajar.

Cinta Damai. Salah satu buah dari pengamalan wirid, zikir dan doa yang dilakukan dalam tarekat secara konsisten dan berkesinambungan adalah menghayati Allah sebagai sumber as-salam, sumber kedamaian; dan hanya dengan merasakan kehadiran Allah, hidup kita dalam as-salam, kedamaian; dan mewjudkan as-salam

(19)

mengembangkan diri menjadi pribadi yang menghayati as-salam, mencintai as-salam, dan berjuang mewujudkan as-salam dalam hidup dan kehidupan ini.

Disiplin. Dalam tasawuf amali, terutama dalam tarekat, ada dua kunci sukses dalam wirid, zikir dan doa, yaitu istiqâmah dan mudawwamah, konsisten dan berkesinambungan. Kedua kunci sukses ini terkait dengan teratur dan keteraturan hidup, serta perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Dengan demikian, mengamalkan tarekat dengan baik dan benar akan menumbuhkan pribadi yang disiplin, yaitu pribadi yang konsisten dan berkesinambungan dalam berjihad melawan ego, budaya hedonisme, dan karakter topeng guna mewujudkan karakter Muslim sejatinya.

Muru`ah. Salah satu buah pengamalan tasawuf dan tarekat adalah menumbuhkan al-haya`, yaitu rasa malu yang kuat guna menjunjung tinggi kehormatan, harga diri dan martabat manusia yang beriman kepada Allah. Seorang Muslim yang memiliki muru’ah akan menjaga dirinya dari perbuatan hina, rendah, dan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sebaliknya dengan menjaga

muru`ah, ia berusaha menunjukkan perilaku yang baik, tepat dan bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosial.

Tanggung Jawab. Target utama dalam pengamalan tasawuf adalah perjuangan mewujudkaan pribadi yang dekat dan bersahabat dengan Allah. Salah satu indikator dekat dan bersahabat dengan Allah adalah kesediaan menjalankan perintah Allah dengan baik, benar dan sungguh-sungguh dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, serta bersedia menanggung segala akibat dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi kehambaan dan kekhalifahan ini. Manusia yang demikian adalah manusia yang bertanggung jawab terhadap Allah, diri, keluarga dan lingkungan sosialnya.

Sabar. Dalam mendaki jalan ruhani, ada tangga-tangga yang harus dilewati, salah satunya adalah as-shabr, sabar. Banyak orang yang menduga bahwa sabar itu sikap yang lemah, padahal sabar itu kekuatan. Dalam kesabaran itu ada daya tahan, keuletan dan ketagguhan dalam menghadap tantangan dan rintangan. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/ 1166 M) membagi sabar atas tiga tingkatan. Pertama, sabar untuk Allah SWT (sabr li-Allah), yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, sabar bersama Allah SWT (sabr ma ‘a Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan tindakan Allah SWT. Ketiga, sabar atas Allah SWT (sabr ‘a/a Allah), yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan Allah tentang kebaikan dunia dan akhirat.

(20)

optimal kemudian menyerahkan segala urusannya kepada Allah, karena menyadari keterbatasannya.

Tasamuh. Nilai tertinggi dalam tasawuf itu adalah muhasabah, evaluasi diri. Oleh karenanya, seorang salik lebih bersikap intropet, berorinetasi ke dalam dirinya dan bersikap lapang dada dalam menghadapi keyakinan, kebiasaan dan sikap yang berbeda dengan keyakinan, kebiasaan dan sikap diri dan lingkungan sosialnya. Seorang pengamal tasawuf tidak merasa dirinya paling benar atau paling bersih. Ia sangat memperhatikan firman Allah, “maka janganlah kamu menilai dirimu suci, biarlah Allah yang mengetahui siapa yang paling bertakwa”. (Q.S. An-Najm/53: 32).

Persaudaraan. Istilah tasawuf, menurut para ahli, berasal dari kata shaff (فص) yang berarti barisan. Teori ini didasarkan pada keberhasilan para sufi membangun persaudaraan di antara mereka dalam barisan umat yang kuat. Mereka berhasil membangun ukhuwah, persaudaraan, sehingga satu sama lain di antara para pengamal tasawuf menyebutnya dengan panggilan ikhwan, yang berarti saudara. Solidaritas mereka digambarkan Al-Qur`an dengan istilah shaff yang berarti barisan atau keteraturan. Allah menyukai kaum Muslimin yang hidupnya teratur dalam sebuah barisan persaudaraan sebagaimana disebutkaan pada ayat Al-Qur`an yang berikut: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Q.S. Al-Shaff/61: 4).

Peduli Lingkunan. Dalam tasawuf wahdat al-wujûd, ditananamkan bahwa Allah tercermin pada alam bahwa alam tercermin dari Allah. Kesadaran kosmologi para sufi dibangun di atas prinsip bahwa mencintai Allah tidak sempurna tanpa dibarengi dengan mencintai alam. Sebaliknya, mencinati alam tidak memiliki makna apa pun, jika tidak didasarkan atas cinta Allah. Kesadaran kosmologi ini pada tataran praktis tercermin pada sikap peduli lingkungan. Seorang guru tasawuf meminta murid-muridnya mencari bunga melati terbaik. Dua puluh orang murid itu masing-masing mencari bunga melati dan mempersembahkannya kepada mursyid; namun, hanya seorang murid yang dinilai berhasil mempersembahkan bunga melati terbaik, yaitu murid yang mempersembahkan bunga melati yang layu. Murid yang arif itu mengemukakan alasan bahwa “bunga-bunga segar itu sedang bertasbih kepada Allah, sedangkan bunga yang layu sudah selesai bertasbih”.

Dengan kearifan sufistik tersebut, guru tasawuf mengajarkan kepada para pejalan ruhani sikap peduli terhadap lingkungan hidup. Para sufi adalah manusia yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

(21)

hanya mendidik diri menjadi pribadi yang memiliki kesalehan individu, tetapi juga mendidik dan mengembangkan diri menjadi pribadi yang memiliki kesalehan sosial.

Berbagi. Dalam tasawuf ditanamkan bahwa kepuasan, kelezatan dan kenikmatan itu tidak terletak pada terpenuhinya kebutuhan fisik-biologis, tetapi ketika hidup dan kehidupan ini dipenuhi sikap berbagi yaitu sikap kedermawanan dan kepedulian sosial terhadap kaum dhu’afa dengan memberikan perhatian, pendampinagn, penguatan dan bantuan material. Sedekah hakikatnya adalah ajaran tentang berbagi yang bisa dilakukan dengan harta, ilmu, keterampilan, bahasa tubuh dan doa untuk kesembuhan, kebaikan dan kehidupan bermakna.

Dari segi empiris tentang rahasia kedahsyatan berbagi melelui sedekah, terdapat kisah nyata yang dituturkan oleh seorang Ustadz di Tasikmalaya. Menurutnya, ada rombongan Pak Camat dari Tasikmalaya yang sedang berada di Kota Bandung. Rombongan itu masih berada di kota kembang hingga pukul 22.00 wib. Tiba-tiba hujan turun sangat deras yang diikuti dengan listrik yang padam. Keadaan kota jadi gelap dan dingin, serta air hujan yang memenuhi ruas jalan di kota Bandung. Pak Camat bersama rombongan bertekad akan pulang ke Tasikmalaya, supaya besok bisa bekerja melayani masyarakat. Tidak disangka mobil yang ditumpanginya mogok. Dinamonya bermasalah sehingga mobil tidak hidup dan perlistrikan mobil mati total. Dalam keadaan diliputi kesulitan yang berlapis, Pak Camat ingin ke belakang. Ternyata di tengah kegelapan malam yang dingin karena hujan, ada seorang nenek yang kelaparan, kedinginan dan kehausan di pinggir toko. Pak Camat segera mengambil sebotol air mineral dan sebungkus roti dari mobilnya, kemudian memberikannya kepada nenek itu, sambil berkata,”Nek, kita sedang sama-sama mengalami kesulitan. Doakan kami supaya lepas dari kesulitan ini”.

Pak Camat kembali ke mobilnya. Beliau meminta supir untuk mencoba menghidupkan mobil. Ternya mobil hidup dan berjalan pelan menuju Tasikmalaya. Menjelang subuh rombongan tiba di Tasikmalaya. Mereka berhenti di sebuah Masjid untuk shalat subuh. Menjelang siang supir diminta untuk membawa mobil ke bengkel langganan yang buka paling pagi. Montir di bengkel itu bertanya, apakah mobil ini diderek dari Bandung ke Tasikmalaya? Sebab dinamo mobil itu pecah, tidak mungkin hidup. Seluruh sistem perlistrikan mobil ini mati total. Dinamo harus diganti, tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin benar kesimpulan pihak bengkel, tetapi faktanya mobil berjalan biasa dari Bandung ke Tasikmalaya. Sangat mungkin kejadian ini ada korelasinya dengan sedekah yang diberikan kepada orang yang sedang kesulitan. bahkan sangat mungkin ada korelasi dengan doa Nenek tua yang merasa senang mendapat pemberian yang tidak terduga, ketika kelaparan, kedinginan dan kehausan di pinggir toko di tengah kegelapan malam di Kota Bandung.

(22)

Istilah tasawuf, menurut para peneliti, berasal dari kata shaff yang berarti barisan yang menggambarkan hidup dan kehidupan yang terorganisir dengan rapih. Teori ini didasarkan pada dua fenomena kehidupan para sufi sebagai berikut:

Pertama, kebiasaan para sufi yang senantiasa datang lebih awal dan memilih barisan pertama dalam shalat berjama’ah di Masjid. Para sufi bukan hanya melaksanakan shalat wajib, tetapi juga mewajibkan dirinya melakukan shalat wajib dengan berjamaah, awal waktu di Masjid. Mereka memperhatikan shalat secara komprehensif, lengkap dan sempurna meliputi tempat shalat, yakni di Masjid; waktu shalat, yakni awal waktu; dan cara shalat, yakni berjama’ah. Kedisiplinan memperhatikan tempat, waktu dan cara shalat wajib tersebut mendorong mereka datang paling awal ke Masjid untuk menempati shaff, barisan, terdepan daalam shalat berjamaah. Dari sinilah, muncul teori etimologi yang menyimpulkan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan.

Kedua, bahwa secara etimologi kata tasawuf berasal dari kata shaff, yang berarti barisan, karena keberhasilan para sufi dalam membangun persaudaraan atau solidaritas di antara mereka dalam barisan umat yang kuat. Mereka berhasil membangun ukhuwah, persaudaraan, sehingga satu sama lain di antara para pengamal tasawuf menyebutnya dengan panggilan ikhwan, yang berarti saudara. Solidaritas mereka, menurut para pengamat tasawuf, seperti yang digambarkan Al-Qur`an dengan istilah shaff yang berarti barisan atau keteraturan. Allah menyukai kaum Muslimin yang hidupnya teratur dalam sebuah barisan persaudaraan sebagaimana disebutkaan pada ayat Al-Qur`an yang berikut:

اّف َصصص ِهِليِب َصصس يِف َنوُلِتاَقُي َنيِذّلا ّبِحُي َهّللا ّنِإ

ٌصوُص ْرَم ٌناَيْنُب ْمُهّن

َأَك

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Q.S. Al-Shaff/61: 4)

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul PENGEMBANGAN

Pengabdian pada masyarakat berupa pembinaan kepada para remaja melalui malam ibadah untuk mencegah tindakan penyalahgunaan narkoba di Desa Pematang Johar Kec. Labuhan Deli

Berdasarkan hasil analisis dan pengukuran menggunakan metode Function Point Analysis (FPA) yang digunakan untuk mengukur perangkat lunak dengan studi kasus website LinkedIn

Perbaikan Mesin Kendaraan Ringan Memperbaiki sistem injeksi bahan bakar diesel Menganalisa penyebab terjadinya knocking pada mesin

2) Bertanggung Jawab untuk memberikan informasi kepada pihak lain di luar rumah sakit tentang data pasien maupun pengelolaan yang dilakukan oleh tim bencana rumah sakit.

 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menerangkan di dalam Syarh Tsalatsat al- Ushul (Lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, Hal. Dar al-Kutub al-'Ilmiyah tahun 1424 H)

Dalam penelitian ini ada 12 variabel yang akan direduksi, yaitu : Desain kemasan yang baik, Kualitas yang baik, Memiliki citra rasa yang tinggi, Harga sesuai kualitas,