• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relawan Dari Gerakan Sosial ke Proyek Po

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relawan Dari Gerakan Sosial ke Proyek Po"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Chapter 10

Relawan: Dari Gerakan Sosial ke

Proyek Politik

Ustad Mangku Alam12, Erisandi Arditama1, Cahyo Seftyono1 1 Universitas Negeri Semarang, Indonesia

2 E-mail: mangkualam.unnes@gmail.com

Abstract

This article describes the 2014 presidential contest marked by the presence of political volunteers as a form of increasing the citizen's active participation in substantial democracy. This article argues that the rise of the social movement has spawned a tradition of voluntarism in politics. In addition, voluntarism also helps change the political values of patrimonial and oligarchic nuances into voluntarism and participation. Active and online political volunteers can increase community participation. The article also argues that the presence of political volunteers contributes positively to the development of an extra model of parliamentary democracy.

Keyword: Volunteerisme; Social Movements; Political Volunteer

Pendahuluan

(2)

141

politik non elitis, non partisan, berdaya secara mandiri, dan bergerak secara massif dan dinamis, dengan satu karakter utamanya: mampu berpartisipasi secara politik tanpa partai politik. Pada titik ini, volunteerisme menemukan momentumnya sebagai bentuk kekuatan baru upaya pemenangan kandidat di tengah fenomena pemilih yang semakin cenderung memilih figur daripada partai politik yang mendukungnya.

Pada pertengahan tahun 2016, publik kembali terhenyak dengan adanya pernyataan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang hendak mencalonkan diri pada pemilihan gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017 mendatang melalui jalur independen. Menariknya, jalur independen adalah jalur politik yang dikenal jarang dilakukan oleh calon kepala daerah petahana yang hendak mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Apalagi, sebelumnya Ahok dikenal sebagai kader partai Gerindra. Namun, inilah Ahok yang selalu memiliki sisi kontroversial. Ahok dengan dibantu relawan politiknya yang bernama Teman Ahok mampu bergerak secara masif mencari dukungan politik untuk memuluskan langkah Ahok maju melalui jalur independen. Pada awal pergerakannya, Teman Ahok mampu mengumpulkan ratusan ribu KTP untuk mendukung Ahok. Lalu, kekuatan relawan politik ini semakin terbukti dengan terkumpulnya satu juta KTP guna memenuhi persyaratan menempuh jalur independen. Terlepas dari cara dan metode pengumpulannya, terkumpulnya satu juta KTP ini menjadi bukti nyata peran penting kelompok volunteerisme dalam kontestasi politik elektoral di masa kini.

(3)

142

ini dikenal sebagai aktor penggerak ekonomi kreatif seperti para pekerja seni, pekerja sosial, budayawan, dan sebagainya, merupakan lumbung suara yang cukup besar dan berpengaruh. Hanya saja, selama ini, mereka cenderung apatis terhadap politik dan partai politik disebabkan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap sistem politik di negeri ini.

Oleh sebab itu, untuk mengkerangkai kajian ini, rumusan masalah yang diajukan adalah: Bagaimana volunteerismee bertransformasi dari gerakan sosial menjadi kekuatan baru dalam politik elektoral di Indonesia? Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial bertransformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan politik serta menjelaskan kekuatan volunteerisme ke dalam peta perpolitikan Indonesia kontemporer.

Memahami Konsep Volunteer dan Volunteerisme

Secara historis, istilah relawan (volunteer) dikembangkan sejak tahun 1755 oleh M. Fr Voluntaire ketika memberi pelayanan kepada tentara yang sedang berperang (Suryadi, 2014). Tugasnya adalah mengabdi secara ikhlas dalam kegiatan altruistik untuk mendorong, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas kehidupan di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Volunteerisme adalah sebuah bentuk kegiatan kesukarelawanan, yang sedang berlangsung, terencana, perilaku menolong yang meningkatkan kesejahteraan orang lain, tidak menawarkan kompensasi keuangan, dan biasanya terjadi dalam konteks keorganisasian (Clary et al., 1998). Istilah relawan selama ini muncul dan populer hanya dalam aksi-aksi sosial—yang dengan suka rela menyumbangkan dirinya untuk bekerja dengan tenaga dan pikiran tanpa berharap keuntungan materi apapun. Dalam hal ini para volunteer sering bersikap proaktif dalam membantu kelompok atau organisasi guna melahirkan masyarakat yang sejahtera (Wilson, 2000: 216). Pada akhirnya jiwa yang dimiliki para relawan dapat menjadi aspek kunci dari masyarakat sipil dalam upaya pelembagaan demokrasi yang lebih partisipatoris (Bekkers, 2005)

(4)

anti-143

korupsi, petani dan kelompok masyarakat adat. Ketiga, adalah seniman dan orang-orang di sektor kreatif. Kelompok pertama dan kedua memiliki agenda politik, namun sayangnya tidak memiliki massa yang jelas. Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki agenda politik tetapi memiliki banyak jejaring massa dari semua lapisan masyarakat.

Relawan sebagai kekuatan politik baru memiliki peranan yang sangat besar. Perkembangan gerakan relawan pun tidak hanya terletak pada persoalan memenangkan pasangan calon yang didukung dalam pemilihan umum. Kepiawaiannya dalam merangkul berbagai kalangan juga patut diakui. Sifat gerakannya yang dinamis dan bersifat informal mampu menjangkau sektor-sektor yang tidak dapat dijangkau oleh partai politik, seperti floating mass, pemilih pemula maupun orang-orang di sektor kreatif (seniman dan budayawan) yang dari dulu seakan tidak mau dekat-dekat dengan politik, bahkan sering menggunakan seni dan budaya sebagai alat kritik pedas pemerintahan.

Floating mass dalam konteks ini adalah sekelompok orang atau massa yang tidak memiliki ideologi partai politik tertentu, sehingga pilihan politiknya sangat kondisional dan dalam konsep ini rakyat secara luas di pisahkan dari kehidupan politik (Kumoro, 2013). Floating mass sengaja mengambangkan dirinya, karena tidak ingin mencolok dalam menunjukkan ideologi politiknya. Karena sektor ini tidak memiliki ideologi, maka, di sinilah peran volunteer dalam mengajak dan mempengaruhi floating mass untuk menentukan pilihannya.

Pemilih pemula dan sektor kreatif juga menjadi sektor yang sulit untuk dijangkau oleh partai politik. Bagi pemilih pemula yang belum memiliki gambaran tentang bagaimana konstelasi politik yang terjadi tentunya akan sulit menentukan pilihannya. Oleh sebab itu, peran volunteer dapat masuk ke dalam lingkungan terkecil di dalam masyarakat. Sedangkan bagi sektor kreatif seperti seniman, budayawan, dan publik figur yang cenderung menjauhi politik; ketika sektor kreatif ini melihat figur yang baik dari kandidat dan bersedia menjadi volunteer, maka, popularitasnya akan menjadi kekuatan baru guna menghimpun basis massa yang besar. Sektor kreatif dengan inovasinya dalam menggiring massa seperti melakukan konser musik menjadi inovasi baru dalam melakukan kampanye politik.

(5)

144

Oleh sebab itu, perlu adanya figur yang baik dan rekam jejak yang baik pula untuk menggerakkan relawan tersebut. Pada dasarnya, relawan melangkah karena adanya kesadaran dan keinginan merubah hal-hal negatif yang ada dalam sistem politik sekarang ini. Kesadaran masyarakat akan politik ini yang menimbulkan bergesernya budaya politik yang ada di masyarakat. Jika sebelumnya, para pemilih cenderung memilih berdasarkan partai politik yang didukung ataupun yang disukainya, sekarang pola memilih bergeser dengan kecenderungan memilih figur atau tokoh yang memiliki rekam jejak yang baik. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah semakin “melek” terhadap politik.

Kecenderungan masyarakat yang memilih figur daripada partai politik inilah yang menjadi fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya membuktikan bahwa berpolitik dapat dilakukan tanpa partai politik tetapi juga membuktikan parpol tidak maksimal dalam menjalankan salah satu fungsi utamanya: melakukan rekrutmen maupun kaderisasi untuk membentuk figur yang baik, diterima oleh publik, dan siap bertarung dalam kontestasi elektoral di setiap tingkat pemilihan. Hal ini menyebabkan parpol cenderung mengambil figur di luar parpol (kalangan profesional) yang sudah memiliki image yang baik di mata publik untuk diusung menjadi kandidat elektoral dalam pemilu.

Transformasi Gerakan Relawan

Gerakan relawan politik di Indonesia muncul pada era pasca reformasi, ketika pintu kebebasan berpolitik terbuka lebar. Hal ini membuat rakyat disuguhi begitu banyak pilihan cara untuk menyalurkan hak politiknya. Gerakan relawan politik ini mucul atas dasar keresahan bersama dan rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap ruang demokrasi yang didominasi oleh partai politik dan politisi yang bermasalah. Gerakan relawan politik banyak diisi oleh sektor kreatif dalam bidangnya yang menginginkan perubahan di tingkat daerah maupun nasional.

(6)

145

partai politik yang memiliki fungsi kaderisasi dan rekruitmen politik akan tetapi tidak dapat menjalankan fungsi itu secara baik.

Partai politik seakan-akan hanya menunggu munculnya calon dari non-partai yang telah memilki elektabilitas tinggi dan kemudian partai politik hanya terlibat dalam pengusungan calon dari non-partai tersebut. Untuk mengatakan era partai politik telah berakhir pastilah gegabah. Seharusnya, ini saatnya partai politik membenahi serta melakukan instrospeksi diri. Partai politik akan jadi kendaraan politik untuk jangka panjang, sepanjang yang dapat kita bayangkan. Namun, justru karena memegang privilese sebagai kendaraan utama, partai politik seperti hidup di dunianya sendiri dalam urusan representasi demokrasi, lalu membentuk oligarki elektoral yang tertutup dan hanya dikelola oleh kalangan tertentu saja.

Era pemilihan presiden secara langsung tahun 2009 mulai membuka mata kita tentang keterlibatan relawan politik, dengan munculnya relawan yang bergerak untuk mendukung salah satu kandidat, pada waktu itu SBY-Boediono. Kemudian mulai muncul lagi pada pilgub DKI Jakarta pada tahun 2012 yang dimana relawan politik berbondong-bondong mendukung Jokowi-Ahok. Puncak popularitas relawan politik terjadi pada pilpres 2014 lalu, dimana kemenangan pasangan Jokowi-JK tidak di pungkiri adalah juga keberhasilan ‘relawan Jokowi’.

Kemunculan relawan di tahun 2012 yang sempat populer adalah JASMEV. Organisasi ini merupakan salah satu organisasi relawan yang memiliki andil besar dalam membranding pasangan Jokowi-Ahok. Relawan politik ini memiliki pengaruh yang cukup kuat, di media sosial (online). Relawan yang memiliki kepanjangan nama Jokowi Ahok Social Media Volunteer ini berdiri pada tahun 2012. Saat itu, JASMEV merupakan jaringan antar kelompok sukarelawan tanpa bayaran yang pada saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 menjadi pendukung Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jaringan yang didirikan pada tanggal 12 Agustus 2012 ini bersifat longgar, hanya sekedar wadah untuk interaksi dan bertukar informasi yang bersifat positif antar kelompok sukarelawan.

(7)

146

memperkenalkan diri, dan berfoto bersama di restoran Bumbu Desa Jakarta. Mereka mendapat kesempatan bertemu langsung dengan sosok Joko Widodo (Jokowi) dan menyampaikan aspirasinya. Tercatat, dalam sepekan peluncurannya, anggota JASMEV telah melewati 1.000 orang dan mencapai lebih 10.000 orang dalam kurun waktu 1 bulan (Arianto, 2014: 10).

Belajar dari relawan Jokowi-Ahok pada pemilihan gubernur pada tahun 2012, kemunculan relawan politik juga semakin bertambah di tahun 2014 saat pemilihan presiden. Pada pemilu 2014, ada fenomena salah satu pasang calon yakni Jokowi-JK tampil sebagai figur yang memberi harapan dengan menggerakkan peran relawan. Pasangan ini mengesampingkan peran partai sebagai mesin politik untuk meraup suara pada Pilpres 2014. Hal ini ditunjukkan dengan strategi yang mengedapankan fungsi relawan, ternyata mampu mendobrak kejenuhan dan sikap apatis massa terhadap politik. Fenomena ini dibuktikan dengan ramainya event-event kampanye Jokowi-JK yang diselenggarakan oleh komunitas relawan. Termasuk event yang diselenggarkan secara independen oleh artis ibu kota dengan tajuk Revolusi Harmoni.

Kemunculan political volunteer (Sukarelawan Politik) yang mendukung calon pasangan tersebut. Jokowi-JK yang kala itu diusung oleh beberapa partai dan organisasi relawan dapat menggegerkan dunia politik nasional. Relawan yang mendukung Jokowi-JK berjumlah sangat banyak. Berikut 18 organisasi relawan yang cukup besar yaitu JASMEV, Seknas Jokowi, Pro Jokowi (PROJO), Garda Pemuda Nasdem, Garda Bangsa, Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP), Pusat Informasi Relawan Jokowi-JK, Duta Jokowi, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat), Posko Perjuangan Rakyat (Pospera), Enterpreneur and Professional for Jokowi (EP for Jokowi), Kebangkitan Indonesia Baru (KIB), Aliansi Rakyat Merdeka (ARM), Forum Alumni Perguruan Tinggi, Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB), Jenggala Center, Kawan Jokowi, dan Revolusi Harmoni (Purboningsih, 2015:112).

(8)

147

dari 34 provinsi dan 31 negara di dunia. Jumlah itu berdasarkan tanda tangan dan salinan KTP yang dikumpulkan.

Masa Depan Relawan sebagai Kekuatan Politik Baru

Masyarakat yang kian cerdas dan kritis terhadap perpolitikan Indonesia melahirkan sebuah fenomena baru, yakni fenomena relawan politik. Fenomena ini merupakan suatu gerakan yang lahir karena mulai berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas partai politik (Suyatno, 2016: 217). Kaderisasi partai yang kurang berjalan dengan baik, hingga tokoh partai politik itu sendiri yang banyak tersangkut kasus hukum. Hal itu tentu menjadi catatan buruk bagi perjalanan partai politik di Indonesia.

Keberpihakan masyarakat terhadap suatu partai dapat berubah. Perubahan itu dapat terjadi karena tokoh parpol tidak mampu menyalurkan aspirasi mereka. Begitupun sebaliknya, masyarakat dapat berpaling kepada figur lain yang dianggap mampu menyalurkan aspirasinya walaupun figur tersebut bukan kader dari partai politik. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya gerakan relawan politik dalam kontestasi politik elektoral di Indonesia.

Relawan politik dalam rangka memenangkan calon pada politik elektoral dapat dikatakan sebagai kekuatan besar yang mampu menyaingi kekuatan partai politik. Hal ini didasari dengan kemunculan relawan politik yang mampu memenangkan pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Kekuatan relawan politik juga dapat dilihat dari keberhasilan Teman Ahok dalam mengumpulkan satu juta KTP warga DKI Jakarta untuk mendukung Basuki Thahaja Purnama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Terlepas pada akhirnya Ahok diusung oleh partai, tetapi Teman Ahok sebagai warga biasa mampu membangun jaringan massa sedemikian luas tanpa adanya susunan organisasi yang terstruktur seperti partai.

(9)

148

Kekuatan besar sebuah gerakan relawan politik juga tidak lepas dari peran media yang membantu dalam setiap prosesnya. Dalam konteks ini, para relawan memanfaatkan media untuk saling berkomunikasi dan menginformasikan segala yang terkait dengan calon yang didukung. Konsolidasi massa pendukung juga dilakukan secara gencar oleh anggota relawan melalui media. Melalui pemberitaan yang secara terus menerus diberitakan oleh media inilah, masyarakat yang sebelumnya tidak peduli terhadap politik maupun yang memiliki kekecewaan terhadap partai politik akan mengetahui perihal gerakan relawan tersebut. Berbekal informasi tersebut, banyak masyarakat yang justru bergabung dalam sebuah gerakan relawan politik untuk mendukung salah satu calon didalam politik elektoral.

Keberadaan relawan politik akan berlangsung secara terus-menerus apabila partai politik tidak segera membenahi diri. Relawan yang pada awalnya muncul untuk menjawab permasalahan-permasalahan sosial, kini telah bertransformasi untuk menjawab dan bahkan berpartisipasi dalam memecahkan problematika politik yang ada, seperti kegagalan partai dalam melahirkan kader yang berkualitas, berintegritas, memiliki latar belakang yang baik, dan diterima oleh publik (Zulifan, 2016: 179). Keberhasilan relawan politik dalam memenangkan calon yang didukung, pada perkembangannya, akan menjadi rujukan alternartif bagi seseorang yang hendak berpolitik tanpa menggunakan jalur partai. Bahkan, seorang kandidat tentu akan membentuk relawan-relawan politik untuk maju dalam politk elektoral di Indonesia.

Simpulan

(10)

149

Fenomena volunteerism memiliki peran penting dalam membangun basis dukungan untuk memenangkan kandidat yang didukung. Peran volunteerisme pada titik ini tidak dapat diangggap remeh di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Kemunculan volunteerisme justru hadir secara politik. Ia menjelma menjadi kekuatan politik baru di tingkat grassroot (akar rumput) yang mampu menjangkau sektor-sektor yang terkadang tidak mampu dijangkau oleh partai politik sebagai institusi formal untuk memperoleh suara dalam pemilu. Lebih jauh dari itu, volunteerisme menjadi kekuatan baru dalam upaya memenangkan kandidat sehingga, seringkali memunculkan sebuah fenomena yang begitu menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, yakni, fenomena berpolitik tanpa partai politik.

Saran

Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan pendapat, bahwa, mekanisme rekruitmen pada partai politik perlu dievaluasi. Berkaca dari berbagai fenomena seperti, pertama, kecenderungan pemilih yang lebih memilih figur dibandingkan dengan memilih partai politik. Kedua, munculnya figur yang bukan kader dari partai politik tersebut dan ikut bertarung dalam pemilihan umum. Kedua fenomena tersebut menegaskan, betapa fungsi rekruitmen politik dan kaderisasi di internal partai politik mendesak untuk dievaluasi. Partai politik harus segera berbenah sehingga mampu mencetak kadernya sendiri yang dapat bersaing dan diperhitungkan dalam bursa pencalonan, pemilihan, sampai dapat terpilih di dalam pemilihan umum. Rekruitmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian nilai-nilai di dalam partai politik, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring, melatih, dan mengontrol jiwa kepemimpinan. Oleh sebab itu, ketika rekruitmen politik berjalan dengan baik, partai politik tentu akan memiliki stok pemimpin tanpa harus mengambil figur dari luar partai.

(11)

150

politik yang terkesan elitis menjadi partai politik yang merakyat, responsif, dan akuntabel.

Daftar Pustaka

Arianto, Bambang. (2014). Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 18, Nomor 2. Edisi November. PP. 146-162

Arianto, Bambang. (2014). Fenomena Menjadi Relawan Politik. Banjarmasin Post. PP. 10.

Bekkers, René. (2005). Participation in Voluntary Associations: Relations with Resources, Personality, and Political. Political Psychology. Vol. 26 No. 3 Edisi Juni.

Clary, E. G., Snyder, M., Ridge, R. D., Copeland, J., Stukas, A. A., Haugen, J., & Meine, P. (1998). Understanding and Assessing the motivations of volunteers: A functional approach. Journal of Personality and Social Psychology, 74, 1516-1530.

Kumoro, Bawono. (2013). Menakar Kualitas Institusionalisasi Partai Politik dalam Sistem Multipartai di Indonesia. Pusat Penelitian Politik: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Lasica, J. D. (2003). Blogs and Journalism Need Each other. Nieman Reports, 57 (3), PP. 70-74.

Purboningsih, Sayekti Dwi. (2015). Gerakan Sosial Baru Perspektif Kritis: Relawan Politik dalam Pilpres 2014 di Surabaya. Jurnal Review Politik Volume 05 nomor 01. Edisi Juni. PP. 100-125

Rappaport, A. J. (2007). Brave New World: Legal Issues Raised by Citizen Journalism. Communications Lawyer. The University of Queensland’s Library. 25 (2).

Savirani, Amalinda. (2015). Jokowi’s supporters are to doubt the

‘Indonesian Obama’. The Conversation: Academic Rigour

Journalistic Flair. (http://theconversation.com/jokowissupporters-are-starting-to-doubt-theindonesian-obama-37843)

Suryadi, Suhardi. (2014). Relawan Politik. (http://www.prismaindonesia. com/index.php/editorial/item/325-relawanpolitik.

(12)

151

Thomas, P.N. (2011). Negotiating communication rights: Case studies from India. New Delhi: Sage Publication.

Widodo, Y. (2011). Citizen Journalism and Media Pluralism in Indonesia. In Conners, T. J., Dhont, F., Tyson, A. D., (Ed.), Social Justice and Rule of Law: Addressing the Growth of a Pluralist Indonesian Democracy. PP. 1-19.

Wilson, J. (2000). Volunteering. Annual Review of Sociology 26. PP. 215-240.

Widjaya, Emmeline. (2010). Motivation Behind Volunteersm. Claremont McKena College Senior Thesis.

www.politik.lipi.go.id, diakses pada 28 November 2016. www.sentrajakarta.com, diakses pada 12 November 2016. www.socialbakers.com, diakses pada 16 Novemver 2016

www.worldinternetstatistic.com, diakses pada 12 November 2016.

Referensi

Dokumen terkait

Resiko tinggi gangguan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d ketidakmampuan ginjal mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Perubahan nutrisi

yang masih baru dalam menerapkan pembelajaran model kooperatif di kelasnya, selain itu pembelajaran kooperatif STAD menekankan pada adanya aktifitas dan

undang tentang Partai Politik juga tidak menyebutkan secara spesifik tentang pelibatan masyarakat umum sebagai relawan dalam pelaksanaan pemilu, dimana

Tujuan artikel ilmiah ini adalah untuk memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai sumber daya manusia, mulai dari proses melakukan analisis pekerjaan,

Hasil analisis dengan menggunakan regersi linier menunjukan hasil bahwa nilai p-value =0,000 < α =0,05, sehingga H0 ditolak, artinya persepsi

Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Hujr] telah menceritakan kepada kami [Isa bin Yunus] dari [Hisyam bin Hasan] dari [Muhammad bin Sirin] dari [Abu Hurairah] bahwasanya

Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ada indikasi peningkatan respon stres (kadar kortikosteron plasma) pada pendedahan fotoperiode 0T dan 24T yang diiringi

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Tengah