• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lady Gaga Vs Budaya Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Lady Gaga Vs Budaya Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kharis Pinasthika (01102277)

“Lady Gaga” Vs “Budaya Indonesia” Abstrak

Mencoba mempertemukan dua kebudayaan yang berbeda. Lady Gaga rupanya tidak hanya bisa menjadi “penyesat”, namun dengan refleksi yang dinamis bisa

mempersilahkan aksinya menjadi “penolong” dalam kehidupan religius.

Kata kunci: Budaya Populer, Tradisi Religius, Teologi, Dialog, Kreatif ~Polemik Rencana Kedatangan Lady Gaga

Pada tanggal 3 juni 2012 Indonesia hendak mengundang artis asal Amerika Serikat, Lady Gaga untuk mengadakan konser di Gelora Bung Karno. Rencana kedatangan Lady Gaga ini ternyata menuai persoalan yang cukup ramai di media Indonesia. Seperti yang diberitakan di media, polemik muncul karena ada kelompok-kelompok yang menolak kedatangan Lady Gaga ke Indonesia. Salah satunya adalah MUI yang sudah secara resmi menolak diselenggarakannya konser tersebut dan memberikan rekomendasi kepada Mabes Polri untuk tidak memberikan ijin untuk penyelenggaraan konser tersebut.

Dari diskusi yang saya ikuti di Televisi ada tiga persoalan terkait mengenai polemik pro dan kontra kedatangan Lady Gaga ini; pertama, persoalan hukum mengenai prosedural perijinan penyelenggaraan konser ini, rupanya ada indikasi bahwa tiket sudah terjual sebelum ada ijin dari Kepolisian; kedua, persoalan pasar, ada pihak-pihak yang menilai adanya isu penolakan dan pembatalan konser ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Isu ini akan mengurangi kepercayaan pihak asing sehingga akan sangat tidak produktif bagi perkembangan ekonomi terutama di bidang industri kreatif; ketiga, persoalan benturan kebudayaan yang menjadi faktor utama persoalan ini. Benturan terjadi antara kebudayaan populer yang diwakili oleh Lady Gaga dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, yang disinyalir akan memberikan pengaruh negatif terhadap nilai-nilai masyarakat di Indonesia.

Persoalan ketiga terlihat dari empat alasan MUI untuk menolak Lady Gaga yang disampaikan oleh Ketua Pengkajian dan Penelitian MUI, Yunahar Ilyas, dalam jumpa pers di Kantor MUI, Jakarta, Selasa (22/5)

"Pertama, konser tersebut bertentangan dengan konsep kehidupan berbangsa dan bernegara, norma agama, Pancasila, UUD 1945," ....Selain itu, MUI menilai Lady Gaga sebagai ikon pornografi dan liberalisme budaya. Wanita keturunan Italia itu juga merupakan sosok yang mengagungkan kebebasan tanpa batas."Ketiga, rencana konser ini telah menyebabkan pro dan kontra yang menguras energi bangsa dan berpotensi menimbulkan konflik yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat," kata dia.Tak hanya itu, MUI juga menilai konser tersebut telah secara nyata mengumbar hedonisme, mematikan semangat kesetiakawanan sosial dan rasa solidaritas."Berdasarkan pertimbangan yang ada kami menolak adanya konser Lady Gaga," kata dia.1

Figur Lady Gaga dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral di Indonesia sehingga dapat memberikan pengaruh demoralisasi bagi bangsa Indonesia. Menurut Menteri Agama, Suryadharma Ali Lady Gaga dipandang memberikan pengaruh negatif dan dapat merusak akhlak bangsa karena kostumnya yang terbuka dan lirik lagunya yang terlihat seperti pemuja

1

(2)

setan dan anti-agama2. Pelarangan kedatangan Lady Gaga dianggap sebagai perlindungan

bangsa terhadap akhlak dan moral bangsa dari aksi seni Lady Gaga yang merusak moral. Atas dasar itu pula mabes Polri tidak memberikan izin untuk menyelenggarakan konser tersebut. Penolakan yang terjadi selalu didasari dari pola pikir bahwa Lady Gaga sebagai ikon dari budaya populer membawa berbagai pengaruh negatif sehingga perlu dicegah dan ditolak.

Namun ada juga pendapat lain yang lebih bernada toleran, penolakan terhadap Lady Gaga ini dinilai oleh pihak NU sebagai sesuatu yang berlebihan. Konser tidak akan menjadi masalah jika dibiarkan dan tidak akan berpengaruh apa-apa. Walaupun tidak memungkiri Lady Gaga memang mengundang kontroversi karena tidak cocok dengan tradisi masyarakat3. Dalam hal

ini kebudayaan populer yang diakui berbeda tidak dilihat sebagai ancaman untuk budaya di Indonesia, adanya perbedaan dan pertentangan itu diterima dan dalam menghadapinya tidak perlu mengambil sikap defensif. Pihak NU melihat kedatangan budaya yang berbeda itu bukanlah sebuah gangguan dan tidak perlu dihambat untuk hidup di sekitar budaya lokal yang akhirnya hanya menciptakan ketidakharmonisan.

~Lady Gaga sebagai Ikon Budaya Populer

Bisa disimpulkan, penolakan kedatangan Lady Gaga di Indonesia dikarenakan ketakutan masuknya ideologi liberalisme yang dimaknai kebebasan tanpa batas yang bertentangan dengan budaya di Indonesia yang beragama, seperti kita ketahui seluruh masyarakat Indonesia wajib beragama, sesuai dengan sila pertama. Ketakutan tersebut muncul karena Lady Gaga sendiri dijadikan Ikon liberalisme yang sangat dikaitkan dengan “kemaksiatan” dan anti-agama. Terlebih jika dilihat dari cara Lady Gaga yang dengan bebas melakukan aksi panggung dengan kostum yang sangat terbuka, dan ekspresinya dalam berkesenian yang sering dikenal dengan sikap yang tidak mengenal kesakralan. Ia pernah tampil layaknya pemuja setan, menggunakan simbol-simbol agama secara kontroverial. Bisa dilihat dalam video klip lagunya yang berjudul “Judas” yang dipandang melecehkan Yesus. Ungkapan-ungkapan seks, kekerasan dan hedonisme juga dengan bebas dan vulgar terungkap dalam lirik dan videoklipnya.

Lady Gaga sebagai Ikon mengekspresikan gaya hidup dan kebudayaan yang bertentangan dengan nilai-nilai religius. Sedangkan sebagai Public Figure Lady Gaga secara tidak langsung menyebarkan kebudayaan yang ia wakilkan dan ketika dua budaya ini bertemu maka muncul pertentangan di tengah masyarakat. Kebudayaan populer yang dipertunjukan Lady Gaga dan dinikmati oleh masyarakat akan mengalami perjumpaan dengan nilai-nilai moral dan agama yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Persoalannya muncul ketika nilai-nilai moral dan agama(termasuk kristen) yang memiliki doktrin, serta ketentuan-ketentuan yang dianggap mutlak, bernilai luhur dan sakral bertemu dengan budaya populer yang bebas, sekuler, ekspresi yang dekat dengan selera pribadi, nafsu dan hanya mencari keuntungan pribadi. “Fenomena Lady Gaga” ini sebenarnya bukan hanya persoalan tentang pertunjukan Lady Gaga yang akan digelar besok4, namun persoalan yang muncul melalui arus globalisasi

dalam berbagai segi kehidupan terutama yang berhubungan dengan tekhnologi informasi dan industri. Terlihat perdebatannya adalah apakah budaya populer yang di’ikon’kan Lady Gaga bisa bertemu dengan Budaya Indonesia yang diwarnai tradisi religius? ataukah keduanya selamanya bertentangan dan pencampuran antara keduanya merupakan sebuah

2http://entertainment.kompas.com/read/2012/05/17/14522576/Menteri.Agama.Lady.Gaga.Seperti.Pemuja.Se tan (diakses pada Kamis, 17 Mei 2012 | 14:52 WIB)

3http://www.eramuslim.com/berita/nasional/ketua-lembaga-seni-dan-budaya-nu-sebut-penolak-konser-lady-gaga-sok-moralis.htm(diakses pada Minggu, 20/05/2012 10:26 WIB)

(3)

penyelewengan dan kemerosotan moral dan bisa kita sebut sebagai “dosa sinkretisme”? Jika begitu persoalan antara kebudayaan ini lebih difokuskan pada bagaimana teologi dan tradisi religius(terutama Kristen) merespon dan menanggapi kebudayaan populer. Apakah perlu bersikap defensif seperti MUI, ataukah boleh saja kita terbuka dan mebiarkannya walaupun bertentangan dengan tradisi religus seperti NU?

~Kebudayaan dan Teologi Kristen

Banyak perspektif dalam hubungan Budaya dan Teologi, secara sederhana saya hanya membaginya menjadi dua, bahwa kebudayaan dapat direspon secara positif dan negatif oleh tradisi kekristenan. Bedasarkan I Yoh 2:15-17 menekankan bahwa dunia berada di bawah kekuasaan yang jahat dan dengan pengorbanan dan kuasa Yesus adalah kehidupan yang baru dan yang bertentangan dengan dunia. Tradisi agama (kekristenan) adalah kehidupan baru dan terpisah dari komunitas dunia5. Keterpisahan budaya kekristenan dengan dunia berarti juga

memandang budaya diluar ketetapan kristen sebagai sumber dosa dengan begitu perlu ditinggalkan. Menjadi kristen atau beragama berarti juga meninggalkan budaya yang tidak bersifat kristen. Nilai-nilai agama dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan yang perlu dijaga dan dipertahankan sedangkan kebudayaan yang dekat dengan sekularisme, seksualitas, komersialisme adalah sumber kemaksiatan dan dosa. Pandangan terhadap dunia seperti ini akan menempatkan posisi orang beragama selalu sedang berada dalam bahaya dan godaan-godaan yang bisa mengancam kesetiaannya kepada Tuhan6.

Sedangkan berdasarkan Mat 5:17-19 atau Rm 13: 1,6 ditunjukan bahwa Yesus tidak mengajarkan pemisahan diri dengan dunia. Orang-orang kristen masih tinggal di dalam dunia karena itu masih membutuhkan dan hidup di dalam perkembangan kebudayaan. Kesadaran bahwa Allah adalah yang menciptakan masyarakat, kecerdasan, dan kebebasan berarti manusia juga memiliki tanggungjawab untuk memenuhi sifat-sifat alaminya karena memang begitulah manusia diciptakan bukan semata-mata karena terdesak keinginan7. Kebudayaan

yang terus berkembang juga adalah hasil karya Allah yang terus menerus, karena itu kebudayaan yang berubah tidak bisa hanya dipandang sebagai kuasa jahat yang mengancam kebudayaan yang lama apalagi tradisi kekristenan. Kristus tidak menentang budaya, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk menganugerahkan pada manusia apa yang mereka tidak bisa capai dengan usahanya sendiri8. Kebudayaan dipandang memiliki unsur-unsur yang

positif dan dapat menuntun kepada Kristus, dan dikaitkan dengan teologi dari sakramental Katholik yang menekankan potensi budaya manusia untuk menjadi perantara kebenaran dan kasih karunia, namun tetap yang akhirnya kebenaran dan rahmat adalah hadiah dari Tuhan bukan dari pencapaian manusia9.

~Beberapa Pendekatan Dialogis Teologi-Budaya

Oleh karena kebudayaan ternyata bersifat ambivalen, maka teologipun harus bisa merespon dengan memperhitungkan kebudayaan secara utuh baik dari sisi positif maupun negatifnya. Dari gagasan teologi yang ditawarkan oleh Lynch, definisi teologi menekankan sisi normatif, sifat kontekstual dan melibatkan proses refleksi dinamis. Bagaimana teologi dapat berhubungan dengan budaya populer dapat kita lihat dengan disiplin teologi yang bersifat kontekstual dan melihat kebudayaan itu sebagai konteks.

5Niebuhr, H.R. Christ and Culture. New York: Harper and Row. (1956) p. 48-49 6Niebuhr, H.R. Christ and Culture. p. 53

7Niebuhr, H.R. Christ and Culture. p. 122 8Niebuhr, H.R. Christ and Culture.p. 127

(4)

The relationship between theology and popular culture can be clarified further if we think of popular culture as a particular context within which theological reflectiontakes place. This kind of theological activity can therefore be understood as the process of seeking normative answers to questions of truth/meaning, goodness/practice, evil, suffering, redemption and beauty in relation to contemporary popular culture.10

Teologi sebagai proses refleksi yang dinamis, bisa melakukan interaksi dan berdialog dengan konteks budaya populer yang ada sekarang. Ada empat macam pendekatan dialogis yang bisa dipakai dalam menanggapi perbedaan kebudayaan kristen ketika berhadapan dengan konteks populer lady gaga:

1. Pendekatan Aplikasionis

Dalam pendekatan ini Budaya Populer dinilai dan dikritik oleh kepercayaan dan nilai teologis yang ada. Budaya Populer dievaluasi negatif atau positif dengan pandangan agama tertentu. Pendekatan ini adalah pendekatan yang paling kurang dialogis budaya populer dinilai secara sepihak karena hasil akhir kebenaran dan kebaikan hanya berasal dari sumber kepercayaan dan nilai teologis11. Pendekatan seperti ini terlihat pada

keresahan sekelompok masyarakat yang sama sekali tidak memperhitungkan perspektif budaya. Dengan pendekatan ini Lady Gaga hanya menjadi semacam terdakwa dan dihujani dengan berbagai tuduhan tanpa diberi kesempatan untuk menyuarakan pembelaan. Keresahan masyarakat hanya hanya memberikan perlindungan pada diri sendiri yang dianggap korban tanpa ada perlindungan terhadap Lady Gaga sebagai terdakwa.

2. Pendekatan Korelasional

Pendekatan yang diusulkan oleh Tilich ini melihat tugas teologi adalah memberikan tanggapan dari tradisi religius untuk masalah tertentu dan kesulitan kehidupan kontemporer. Fokusnya melihat persoalan-persoalan yang muncul dari budaya dan menjawabnya melalui tradisi religius. Berbeda dari pendekatan Aplikasionis yang hanya mengevaluasi budaya, Tilich menempatkan budaya sebagai sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh teologi. Keberadaan budaya menjadi penting dalam menentukan bagaimana menafsirkan tradisi religius untuk menjawab persoalan12. Pada pendekatan ini Lady Gaga

tidak sekedar dievaluasi tetapi menjadi persoalan dan mengarahkan penafsiran kepada bagaimana teologi harus menjawabnya. Positifnya pendekatan ini lebih mengupayakan solusi dan tidak sekedar merespon sesuai atau tidak, walaupun hanya memfungsikan peran religius.

3. Pendekatan Korelasional yang Direvisi

Terkait dengan karya teolog David Tracy dan Don Browning, pendekatan ini lebih dari sekedar melihat proses menghubungkan persoalan yang dimunculkan dalam budaya untuk dijawab oleh teologi. Menghubungkan dialog yang lebih kompleks dengan menghubungkan baik persoalan dan jawaban dari keduanya baik budaya maupun teologi. Budaya populer juga diperlakukan serius sebagai sumber untuk memikirkan nilai dan makna sebagimana juga teologi. Teologi dilihat sebagai jalan dua arah dimana agama dan kebudayaan dapat saling belajar13. Dengan pendekatan ini juga menempatkan proporsi

yang seimbang kebudayaan populer yang diwakilkan oleh Lady Gaga. Kebudayaan tidak

(5)

sekedar memberikan persoalan namun juga dapat memberikan solusi, demikian juga teologi tidak lagi dipandang dapat memberikan jawaban namun juga mengandung persoalan. Dengan posisi yang sama ini teologi dan tradisi kekristenan perlu mempelajari apakah kelebihan dan kekurangan budayanya sendiri dan budaya populer dengan begitu keduanya bisa ditempatkan saling melengkapi, mengkritisi, dan mengkoreksi.

4. Pendekatan Praxis

Pendekatan ini sama seperti pendekatan Korelasional yang Direvisi, pendekatan ini juga mengevaluasi aspek teologi dan juga budaya populer namun dinilai berbasiskan kapasistas budaya dan teologi mempromosikan praktek kehidupan yang membebaskan dan mengupayakan kebaikan. Budaya populer dan teologi dievaluasi berdasarkan “orthopraxy”. Teologi dan budaya diperlakukan dengan sejajar, namun masih terbuka terhadap kritik tentang jenis praktik kehidupan yang mungkin muncul dari budaya dan tradisi religius14. Lebih maju lagi dari pendekatan sebelumnya penempatan teologi dan

budaya populer sebagai dialektika yang saling mengkoreksi didasari dengan kritik terhadap bagaimana keduanya dapat mengupayakan kehidupan yang bebas dan adil.

~Respon Etis-Teologis terhadap Lady Gaga

Dalam merespon Lady Gaga dan kebudayaan populer yang ada yang harus kita lakukan adalah menerima kenyatan. Realita bahwa kebudayaan dunia sudah mangalami perubahan terutama karena adanya pengaruh globalisasi harus kita terima. Tradisi dan teologi kekristenan yang memungkiri kenyataan itu tidak akan bisa berkembang. Kenyataanya budaya populer sudah menjadi bagian dari realitas masyarakat di Indonesia, memerangi kebudayaan populer dan arus globalisasi hanya akan menghabiskan tenaga secara percuma, selain itu juga merugikan dari aspek lain seperti ekonomi. Yang harus dihadapi sekarang adalah bagaimana bersikap kreatif dalam merespon dan berusaha berdialog dengan budaya yang terus bergerak.

Dengan mengupayakan berdialog dengan budaya populer, kita mengusahakan respon yang tidak memungkiri eksistensi kita di dunia dan juga panggilan kita untuk hidup suci. Respon yang menerima kenyataan dunia tidak cukup hanya sekedar menerima namun tidak melakukan interaksi. Berdiri terpisah dengan dalih agar tidak terjadi konflik juga merupakan sikap yang kurang etis,realitaadanya pertentangan antara tradisi kekristenan kita dengan budaya populer juga harus ditanggapi. Respon yang kita berikan juga tidak bisa sesederhana mengizinkan Lady Gaga datang atau tidak datang, itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Menolak fenomena seperti ini hanya menunjukan sikap phobia terhadap kebudayaan populer dan pada akhirnya melecehkan budaya sendiri, seolah-olah budaya rakyat itu kaku tidak bisa berkembang dengan memberikan respon terhadap pengaruh budaya populer untuk pertumbuhan budaya masyarakat Indonesia.

Dengan upaya dialog sikap kritis terhadap budaya populer harus juga diseimbangkan dengan sikap kritis terhadap tradisi kristen dan masyarakat. Dalam dialog tidak bisa hanya memihak satu konteks budaya dan mengabaikan yang lain. Sikap kritis MUI pada budaya populer sudah baik, sikap curiga untuk menghindari dan mencegah sikap amoral dan pengaruh negatif dari kebudayaan populer memang kita perlukan, tradisi religius dan budaya populer memang memiliki perbedaan, karena itu perlu melibatkan proses berpikir secara kritis apakah aspek budaya populer memiliki kebenaran Allah atau tidak, tetapi tanpa harus menarik diri dari berbagai bentuk budaya populer15. Budaya populer memang harus kita kritisi karena dalam 14Lynch, Gordon, Understanding Theology and Popular Culture. p. 104-105

(6)

praktiknya juga memiliki potensi untuk mempraktikan kebebasan tanpa batas dan akan menjadi bentuk penindasan baru. Sehingga dengan perjumpaannya dengan kebebasan, budaya populer perlu juga di arahkan kepada kondisi yang saling membebaskan, bukan saja kebebasan pribadi. Ketaatan terhadap sumber-sumber nilai (kemanusiaan, keadilan, kebebasan dan ketuhanan) masih dihargai sebagai potensi yang ada pada eksistensi manusia, yang mana sangat penting mendapat kebebasan untuk dimaksimalkan.

Dalam upaya Dialog kita memberi kesempatan tradisi religius kita untuk belajar dan berdialog dengan budaya populer jika tidak maka tradisi religius bisa terancam ketinggalan jaman, dan hanya bisa bertahan jika berdiri secara terpisah. Kita perlu tebuka terhadap fungsi-fungsi religius yang ada dalam budaya populer. Lady Gaga dengan aksi panggungnya yang unik dapat memikat jutaan penggemarnya, rencana konsernya pun ditunggu-tunggu oleh penggemarnya yang ada di seluruh dunia. Pertunjukan penyanyi ini terbukti tidak main-main, dengan banyaknya penggemar dan penghargaan-penghargaan yang dia terima. Komunitas penggemar yang muncul merupakan suatu bentuk sosial yang sangat ditawarkan oleh tradisi religius dan teologi. Membangun persekutuan sebagai komunitas dalam gereja sewajarnya memiliki hambatan-hambatan sosial, namun dalam budaya populer hambatan-hambatan itu dengan mudah diatasi dan komunitas bisa dengan cepat terbentuk. Fungsi religius-sosial yang ada dalam budaya populer seharusnya bisa melengkapi gereja. Budaya populer dapat membentuk cara alternatif dalam menarik nilai-nilai dan keyakinan masyarakat tertentu dari hubungan sosial dan mengalami pengalaman sebagai komunitas16. Satu orang Lady Gaga bisa

membentuk suatu komunitas penggemar secara singkat, semua orang berkumpul sama-sama untuk mengagumi idolanya dan mereka semua, sebagai komunitas penggemar akan berada dalam posisi yang setara, dan bisa juga menjadi satu peringatan penting soal kesetaraan yang esensial.

Tom Beaudoin berpendapat bahwa budaya populer memiliki peran yang sehat sebagai alat untuk membentuk dan mengekspresikan pencarian religius17. Lady Gaga membawa bentuk

ekspresi yang segar, menghibur, tidak membosankan, kreatif, dan produktif. Unsur-unsur musik yang segar, koreografi, dandanan yang kreatif dan ekpresif. Berbagai macam unsur dari performa Lady Gaga yang menghibur dan menarik penggemarnya tentu bisa dipelajari dan dijadikan juga sebagai sarana mengekspresikan iman. Tentu tidak sekedar meniru apa yang Lady Gaga lakukan, Gereja harus tetap menjadi Gereja dan bukan menjadi Lady Gaga. Perbedaan yang ada harus dilihat sebagai tantangan untuk mengembangkan ekspresi teologi yang sesuai zaman. Unsur-unsur positif tadi kita pelajari dan kita dialogkan dengan iman sehingga bisa membentuk ibadah, dan ekspresi iman teologis yang segar, kreatif, dan produktif.

Budaya populer bisa berfungsi terhadap eksistensi manusia, budaya populer menyediakan pula nilai-nilai bagi sebagian orang18. Melalui lirik lagu dan videoklipnya Lady Gaga

menyampaikan nilai kebebasan dan sekularisme. Nilai-nilai ini yang dipermasalahkan oleh MUI karena menjadi berbenturan dengan doktrin-doktrin agama. Namun sesungguhnya merepresi nilai-nilai tersebut tidak akan menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Nilai-nilai tersebut ketika masuk bisa menjadi kerangka dalam memahami bagaimana menjalani kehidupan. Kebebasan bisa menjadi kritik segar pada praktek religius yang legalisme yang melanggengkan mentalitas budak, tidak bertanggung jawab secara pribadi. Belajar dari dialog antara perlunya kebebasan dan ketaatan dalam dogma dapat menghasilkan praktik religius

(7)

yang tidak lagi berdasarkan pada aspirasi dan doktrin tetapi dari inspirasi iman dan refleksi teologis yang kontekstual.

Selain itu, Lady gaga yang mempertunjukan kebebasan berekspresi juga memuat visi masyarakat yang setara. Dengan kebebasan berekspresi tidak ada yang merasa paling penting dan suci sehingga bisa mendosa-dosakan ekspresi orang lain. Perbedaan pemaknaan dan ekspresi pengalaman diberi tempat, termasuk pemaknaan tentang mana yang sakral dan mana yang tidak, serta pengalaman-pengalaman otentik yang vulgar seperti seksualitas, kekerasan,gaya hidup materialisme. Dalam budaya populer semua entitas diberi ruang yang setara dan hanya ditentukan oleh pasar/masyarakat. Tidak ada ruang untuk melegitimasi dan memonopoli kebenaran, ini menunjukan kesadaran akan kepelbagaian sebagai konteks masyarakat. Dalam kesadaran akan kesetaraan dan kepelbagaian, praktik kehidupan yang dianggap negatif dan amoral tidak direndahkan dengan menempatkan nilai moral kekristenan lebih tinggi. Semua macam pengalaman, ekspresi, dan praktik hidup tidak sekedar kita nilai dari satu sisi tetapi juga kita dengarkan. Dengan mendengarkan suara lain lebih mengarahkan kita kepada tindakan yang sesuai konteks dan mencegah kita untuk cepat menghakimi, menghilangkan sikap mendosa-dosakan, mengutuki, mendiskriminasi yang menambah penderitaan dan tidak menyelesaikan masalah.

Lady Gaga sebagai ikon kebudayaan populer rupanya tidak hanya bisa kita kritik namun juga bisa mengkritik tradisi religius dan menjadi sarana untuk saling berkembang. Kerena respon kita selayaknya memfasilitasi nilai budaya populer dan teologi untuk bisa berkembang bersama. Sebagai manusia baru kita tidak boleh begitu saja mengikuti arus dunia namun juga harus tetap hidup di dalam dunia dan menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangannya.

Kepustakaan

Lynch, Gordon, 2005, Understanding Theology and Popular Culture. Malden: Blackwell

Niebuhr, H. Richard, 1975 [1951], Christ and Culture. New York: Harper & Row

Pustaka tambahan

http://www.merdeka.com/peristiwa/4-alasan-mui-tolak-konser-lady-gaga.html

http://entertainment.kompas.com/read/2012/05/17/14522576/Menteri.Agama.Lady.Gaga.Seperti.Pemuja.Set an

Referensi

Dokumen terkait

Dimana data yang berhubungan dengan penelitian akan digunakan untuk menguji dan menganalisa pengaruh tingkat pertumbuhan penjualan, struktur aktiva, tingkat

b. Hasil pada tabel di atas dapat ditafsirkan sebagai berikut. Dengan demikian instrumen Item 1 dinyatakan Valid... Dengan demikian instrumen Item 10 dinyatakan Valid. Dasar

Cleavage site region is amino acid sequence in hemagglutinin gene where proteases of host cell cleaves the HA0 precursor into the HA1 and HA2 subunits followed by

Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi tetap harus merupakan bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian hanya ditemukan satu jenis lamun yaitu jenis Enhalus Acoroides yang tergolong dalam famili Hydrocharitaceae dengan

This study was conducted to compare fibrin deposit in pregnant mice that infected by Plasmodium berghei (treatment group) to the normal pregnant mice (control group) and

Wawancara Komunikasi Efektif dengan Pemilik Warung Makan. DOSEN

Di dalam penulisan laporan akhir ini, penulis melakukan perencanaan ulang bagaimana yang baik dalam merencanakan desain geometrik, konstruksi perkerasan lentur, kelas