• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERANAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN BPK DAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN

KEUANGAN NEGARA DALAM RANGKA PENANGANAN PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

ROLE OF BPK AND BPKP COUNTING FINANCIAL LOSS IN THE

FRAMEWORK OF THE HANDLING OF CORRUPTION CASE

Rahmy Putri Yulia, Khunaefi A., Suryadi Agoes

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung R.I. Jl. Sultan Hasanudin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

E-mail : bina_adhyaksa@kejaksaan

(Diterima tanggal 15 Februari 2016, direvisi tanggal 19 Februari 2016, disetujui tanggal 25 Februari 2016)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan lembaga auditor, khususnya BPK dan BPKP, dalam menghitung kerugian keuangan negara. Sebab selama ini hasil perhitungan keuangan negara dalam perkara korupsi yang dilakukan Auditor BPKP sering dipermasalahkan pihak-pihak tertentu. BPKP dianggap tidak berwenang karena yang berwenang adalah BPK, sebab payung hukumnya lebih tinggi. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan sifat normatif-empiris. Data diperoleh dengan teknik non probability sampling jenis purposive terhadap 269 (dua ratus enam puluh sembilan) responden yang terdiri atas: jaksa, hakim, advokat, Dosen, BPK, dan BPKP yang berada di 6 (enam) wilayah hukum kejaksaan tinggi dan 35 (tiga puluh lima) wilayah hukum kejaksaan negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perbedaan penafsiran atas peran BPK dan BPKP menghitung kerugian keuangan negara pada intinya adalah karena kurang dipahaminya kedudukan auditor dalam pembuktian unsur kerugian keuangan negara dan adanya kepentingan dari pihak-pihak tertentu yang menafsirkan hal tersebut sesuai dengan kepentingannya. Namun demikian, dalam putusannya hakim tidak hanya merujuk pada lembaga mana yang melakukan perhitungan, tetapi lebih pada keahlian yang dimiliki auditor dan bukti-bukti pendukung perhitungan. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum selaku pihak yang memikul beban pembuktian, tidak perlu ragu meminta bantuan auditar dari lembaga mana saja. Akan tetapi jaksa juga harus memperhatikan bukti-bukti pendukung hasil perhitungan.

Kata kunci : kerugian negara, auditor, BPKP

Abstract

This study aims to determine the role of the auditor institutions, especially the BPK and BPKP, in calculating state financial losses. It is urged to do since BPK auditors’ calculation results of a state financial corruption case are often disputed by certain parties. BPK deemed as competent authority instead of BPKP due to the higher hierarchy in law. The type of this study was descriptive with normative-empirical approach. Data were obtained using a purposive non-probability sampling technique toward 269 ( two hundred and sixty nine) respondents comprising prosecutors, judges, lawyers, lecturers, BPK and BPKP e located in 6 (six) offices of the high prosecutor general and 35 (three twentyfive) offices of the state prosecutor’s general. The results showed that there are mainly two cause of the difference interpretation about the role of BPK and BPKP in calculating the state financial losses. Firstly, it was due to the less understanding of the auditor position in the verification the state assets element. Secondly, the were individual interests from certain parties. Instead of reffering to the institutions doing the calculation, the decision refers more to the the expertise of the auditor and the evidence of supporting calculations. Therefore, the public prosecutor as the party who bears the burden of proof, should not hesitate to ask for assistece from auditars of any institution. However prosecutor must consider the supporting evidences of the calculation results well. Keyword : loss of state, auditor,

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah terjadi secara meluas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari aspek jumlah kasus dan jumlah kerugian

keuangan negara maupun dari segi kualitasnya yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

(2)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999. Hal ini mengharuskan perlunya penghitungan keuangan untuk menentukan besar kecilnya kerugian negara. Perhitungan kerugian keuangan negara juga diperlukan untuk menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayar terpidana. Sebab selain dapat dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan dalam KUHP, terpidana korupsi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Dalam kaitannya dengan pembuktian unsur “merugikan keuangan negara”, untuk kasus -kasus yang sulit perhitungannya biasanya penegak hukum meminta bantuan instansi atau bekerja sama dengan instansi terkait yang mempunyai keahlian dalam masalah audit keuangan, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), karena kedua institusi tersebut mempunyai auditor yang memiliki keahlian dalam melakukan audit investigasi dan penghitungan masalah keuangan. Kewenangan BPK dan BPKP dalam melakukan audit dan penghitungan kerugian keuangan adalah “zona accounting” sehingga tidak sampai jauh mencari ada-tidaknya perbuatan melawan hukum karena hal tersebut merupakan kewenangan penegak hukum.

Keberadaan BPK sebagai intitusi yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan lembaga yang mengelola keuangan negara diatur dalam UUD 1945 dan beberapa undang-undang terkait, seperti: UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sementara tugas dan kewenangan BPKP diatur antara lain: Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir diubah

dengan Perpres No. 64 Tahun 2005; Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah; dan Inpres No. 4 Tahun 2011 tanggal 17 Februari 2011 tentang Percepatan Peningkatan Kualitas Akuntabilitas Keuangan Negara.

Akhir-akhir ini muncul perlawanan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang ditandai:1

1. Banyaknya gugatan yang diajukan kepada BPKP terkait dengan apa dasar hukum kewenangan BPKP dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Pihak BPKP sendiri, ketika dikonfirmasi

mengenai hal tersebut justru menyatakan bahwa tugas mereka hanya membantu melakukan perhitungan kerugian keuangan negara atas permintaan Penyidik Tipikor. 2. Beberapa ahli hukum keuangan negara yang

dihadirkan oleh terdakwa/penasehat hukum dalam persidangan tindak pidana korupsi seringkali menyatakan bahwa BPKP tidak lagi berwenang melakukan perhitungan kerugian negara dengan argumentasi bahwa lembaga yang berwenang melakukan perhitungan kerugian negara adalah BPK karena mempunyai payung hukum yang lebih tinggi yaitu UUD 1945 dan undang-undang.

Fakta di atas menunjukkan bahwa adanya celah atau multi tafsir atas kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi atau penghitungan kerugian keuangan negara dapat dijadikan sarana oleh terdakwa dan kuasa hukumnya untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Hal tersebut tentunya dapat menyulitkan bagi jaksa selaku penuntut umum karena hasil audit yang dilakukan oleh BPKP

tersebut menjadi salah satu materi “Surat Dakwaan”.

B. Permasalahan

Permasalahan dalam penelitian ini

diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Mengapa terjadi perbedaan penafsiran mengenai peran BPK dan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian

1 Draft Usulan Kejaksaan Negari Bontang agar dilakukan penelitian mengenai “Siapa Yang Berwenang Melakukan Perhitungan

(3)

keuangan negara pada perkara Tindak Pidana Korupsi ?

2. Upaya apa yang harus dilakukan untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran mengenai peran BPK dan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara agar penanganan perkara tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan baik ?

C.

Kerangka Pemikiran

Pada uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa salah satu unsur delik dalam perkara tindak pidana korupsi adalah “kerugian

keuangan negara”. Untuk itu perlu dilakukan penghitungan guna memastikan nilai kerugian keuangan yang diderita oleh negara. Dalam rangka menghitung kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi, kejaksaan telah menjalin kerja sama dengan BPKP dalam bentuk Nota Kesepahaman, yang dilaksanakan dengan cara BPKP memberi bantuan perhitungan kerugian keuangan negara yang diberikan atas permintaan. Pasal 5 ayat (4) Nota Kesepahaman Antara Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI, dan BPKP Nomor: Kep-109/A/JA/09/2007; No. Pol.: B/2718/ Ix/2007; dan Nomor: Kep-1093/K/D6/2007 tentang Kerjasama Dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Termasuk Dana Nonbudgeter menyatakan “dalam setiap penyelidikan dan/atau

penyidikan baik yang dilakukan oleh Kejaksaan maupun POLRI, BPKP menugaskan auditor profesional untuk melakukan audit investigatif atau penghitungan kerugian

keuangan negara sesuai dengan permintaan”.

Keberadaan BPK diatur dalam UUD 1945 dan beberapa undang-undang. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan “ untuk memeriksa

pengelolaan dan tanggung jawab tentang

keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK diatur dalam UU No. 15 Tahun 2006 (UU BPK). Pasal 1 butir 1 UU BPK menyatakan “BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud

dalam UUD 1945”.

Selanjutnya dalam Pasal 6 UU BPK disebutkan bahwa tugas pokok BPK pada intinya adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara, yang dalam pelaksanaannya dilakukan berdasarkan UU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana, dan selanjutnya laporan tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan.2

Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan keuangan negara BPK diberi beberapa wewenang, salah satunya ialah menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum. Ketentuan tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 10 ayat (1) UU BPK yang berbunyi:

“BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah

kerugian negara yang diakibatkan oleh

perbuatan melawan hukum baik sengaja

maupun lalai yang dilakukan oleh bendaha ra, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau

badan lain yang menyelenggarakan

pengelolaan keuangan negara”.

Selain itu, BPK juga dapat berperan dengan cara memberikan keterangan ahli mengenai kerugian negara atau daerah dalam proses peradilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf c UU BPK.

Sementara itu, landasan yuridis BPKP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya adalah peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang, seperti: PP, Kepres/Perpres; dan Inpres. Menurut Pasal 52 Kepres No. 103 Tahun 2001 terakhir diubah dengan Perpres No. 64 Tahun 2005, tugas BPKP adalah

2 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang

(4)

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedudukan BPKP sebagai aparatur pengawasan pemerintah semakin mantap dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008 yang menyatakan aparat pengawasan intern pemerintah salah satunya adalah BPKP.

Selanjutnya menurut Pasal 48 ayat (2) jo.

Pasal 50 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008 pengawasan oleh aparatur pengawasan pemerintah salah satunya dilakukan melalui kegiatan audit yang terdiri atas: audit kinerja dan audit dengan tujuan lain. Yang termasuk dalam audit dengan tujuan lain salah satunya adalah audit investigasi.3

Dalam penanganan perkara korupsi, pada hakekatnya audit investigasi yang dilakukan BPK dan BPKP itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu audit investigasi yang bersifat preventif dan audit investigasi yang bersifat represif. Audit investigasi BPK dan BPKP yang bersifat preventif dilakukan dalam rangka pemeriksaan atau pengawasan rutin yang dilakukan oleh BPK dan BPKP, sebelum adanya penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum. Dalam kontek yang demikian, maka kewenangan BPK dan BPKP dalam melakukan audit investigasi bersumber (atribusi untuk BPK dan delegasi untuk BPKP) dari perundang-undangan yang menjadi payung hukum keberadaan lembaga BPK dan BPKP. Sebab BPK dan BPKP bukan bagian dari institusi yang diberi wewenang melakukan penegakan hukum (tindak pidana korupsi) secara represif, karena keduanya bukan bagian dari komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Dalam konteks penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh kejaksaan, jaksa selaku penyelidik dan penyidik perkara korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, sebenarnya mempunyai kewenangan untuk melakukan sendiri perhitungan kerugian keuangan negara. Kewenangan tersebut melakat pada kedudukan jaksa sebagai penyidik

3 Penjelasan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.

dan penuntut umum yang bertanggung jawab untuk membuktikan berapa kerugian keuangan negara yang disangkakan dan didakwakan. Dengan kata lain jaksa bisa menghitung sendiri kerugian keuangan negara berdasarkan alat bukti yang ia temukan. Kewenangan jaksa dalam menghitung kerugian keuangan negara tersebut sama dengan kewenangan jaksa menentukan pasal mana yang disangkakan atau didakwakan berdasarkan alat bukti yang diperoleh selama proses penyidikan. Kewenangan tersebut juga tidak diatur secara tersurat dalam suatu aturan perundang-undangan, tetapi melekat dalam suatu jabatan yaitu jabatan jaksa selaku penyidik dan penuntut umum.

Secara teori (theorie van bevoegdheid), kewenangan dapat diperoleh malalui 2 (dua) cara, yaitu: atribusi dan distribusi.Atribusi adalah kewenangan yang melekat pada suatu jabatan, sedangkan distribusi adalah kewenangan yang diberikan oleh suatu jabatan atau organ pemerintahan kepada pejabat atau organ yang lain. Adapun perbedaan antara kewenangan atribusi dan

kewenangan distribusi terletak pada

pertanggungjawabannya. Kewenangan atribusi memiliki tanggung jawab yang melekat kepada aparat atau pejabat yang langsung ditunjuk oleh suatu peraturan perundang-undangan (biasanya UUD dan UU). Adapun kewenangan distrubusi ada 2 (dua) macam, yaitu: delegasi dan mandat. Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Biasanya pelimpahan ini dilakukan melalui peraturan setingkat UU ke bawah, karena kewenangan ini merupakan turunan dari atribusi. Sedangkan mandat ialah pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi wewenang sebab penerima madat melaksanakan kewenangan

tersebut untuk atas nama si pemberi mandat.4 Biasanya pelimpahan wewenang ini hanya dilakukan dengan perintah atau permintaan.

Dengan merujuk pada teori kewenangan, pada dasarnya antara audit investigasi preventif dan audit investigasi represif, walaupun keduanya sama-sama dilakukan oleh BPK, ternyata sumber kewenangannya berbeda.

4 Philipus M. Hadjon, et. al. Pengantar Hukum Administrasi

(5)

Audit investigasi preventif yang dilakukan BPK berasal dari kewenangan atribusi karena langsung diberikan oleh Konstitusi dan undang-undang. Kewenangan ini dilakukan oleh BPK secara rutin sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan audit investigasi represif (BPK) merupakan kewenangan yang berasal dari mandat yang diberikan penegak hukum. Kewenangan seperti ini baru dapat dijalankan apabila penegak hukum meminta sehingga seharusnya BPK tidak bisa menolak permintaan penegak hukum karena penegak

hukum merupakan personifikasi dari hukum

itu sendiri. Bahkan kalau pun yang diperintah itu seorang Penguasa, yang bersangkutan harus tetap mematuhi dan menjalankan perintah tersebut, karena hukum berada di atas segala-galanya.

Selanjutnya, kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi preventif merupakan kewenangan yang bersumber pada delegasi dari kewenangan Presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan. Tugas pemerintahan tersebut oleh Konstitusi diatribusikan kepada Presiden, dan sebagian dari tugas tersebut didelegasikan Presiden kapada organ yang lain, termasuk tugas pengawasan keuangan dan pembangunan yang didelegasikan oleh Presiden kepada BPKP. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 52 Kepres No. 103 Tahun 2001 terakhir diubah dengan Perpres No. 64 Tahun 2005 yang berbunyi: “BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan danpembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Oleh karena itu, BPKP diberi kedudukan sebagai

“Auditor Presiden”.

Selain sebagai Auditor Presiden, BPKP juga memiliki fungsi membantu penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dengan melakukan audit investigasi yang bersifat represif. Sumber kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi represif bukan pendelegasian dari Presiden yang diberikan berdasarkan aturan perundang-undangan, tetapi sama seperti audit investigasi represif BPK, yaitu mandat dari aparatur penegak hukum. Dengan demikian, maka BPKP baru

bisa melakukan audit investigasi yang bersifat represif bila ada permintaan dari penegak hukum. Tanpa adanya permintaan dari aparatur penegak hukum BPKP tidak bisa melakukan audit investigasi terhadap perkara korupsi yang sudah ditangani oleh penegak hukum. Hal ini juga bermakana bahwa audit investigasi yang dilakukan BPKP atas permintaan penegak hukum bukan hanya dapat dilakukan terhadap lembaga pemerintahan (eksekutif), tetapi juga dapat dilakukan terhadap lembaga lain, asal ada permintaan dari penegak hukum. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, BPKP melakukannya karena keahliannya bukan karena kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi paying hukum BPKP.

Oleh karena itu tidak relevan untuk memperdebatkan siapakah yang berwenang melakukan audit investigasi dalam perkara korupsi, karena yang berwenang untuk melakukan hal itu adalah penegak hukum. Namun hal ini ternyata tidak mampu menutup terjadinya multi tafsir dan peluang multi tafsir seperti itu, dan sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingannya.

Adapun beberapa istilah yang perlu diberi

definisi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Istilah peranan mempunyai arti sebagai “bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan”.5 Dalam bahasa Inggris kata “peranan” merupakan padanan dari kata role yang bermakna “person’s task in under

taking” yang artinya tugas atau kewajiban tertentu (taks or duty) yang diserahkan kepada seseorang/satuan kerja oleh suatu perusahaan/organisasi.6 Dalam hal ini peranan sangat terkait dengan masalah kewenangan, yaitu kekuasaan formal yang menjadi dasar badan atau pejabat untuk melakukan perbuatan hukum.

2. BPK adalah singkatan dari Badan Pemeriksa Keuangan, yaitu lembaga

5 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1980, hal. 667.

(6)

negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.7

3. BPKP adalah singkatan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, yaitu aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.8 4. Menurut Pasal 1 butir 15 UU BPK

kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

5. Keuangan negara adalah keuangan negara sebagaiman dimaksud dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, yaitu seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

a. Dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Berada Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

b. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

6. Tindak pidana korupsi dalam penelitian ini adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

7Pasal 1 butir 1 UU No. 15 Tahun 2006. 8

Lihat Pasal 1 butir 4 PP No. 60 Tahun 2008 jo. Pasal 52 Kepres No. 103 tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres No. 64 Tahun 2005.

D.

Metodologi

1. Sifat dan Tipe Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif berarti penelitian dilakukan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai topik yang diteliti. Sementara itu, penelitian yuridis empiris berarti penelitian dilakukan terhadap pelaksanaan dan implikasinya di lapangan ketika peraturan perundang-undangan tersebut dilaksanakan.

2. Jenis data, sumber data, dan teknik

pengumpulan data

a. Jenis data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

b. Sumber data

Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research), sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), terhadap:

(7)

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari buku-buku, literatur dan karya ilmiah lainnya yang terkait dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer yang terdiri dari kamus, enslikopedia dan kamus lainnya.

c. Teknik pengumpulan data

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden yang telah ditentukan. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian.

3. Tata Cara Pengambilan Sampel

Sampel penelitian diambil dengan teknik non probability sampling jenis purpossive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan penilaian subyektif dari peneliti terhadap responden yang dipilih sebagai sampel karena dianggap dapat mewakili populasi.

4. Lokasi dan Responden Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel penelitian meliputi 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan 35 (tiga puluh lima) wilayah hukum Kejaksaan Negeri (Kejari). Ke-6 wilayah hukum Kejati tersebut, yaitu: 1). Kejati Kepulauan Riau; 2). Kejati Bengkulu; 3). Kejati Jawa Tengah; 4) Kejati Kalimantan Timur; 5). Kejati Sulawesi Tengah; dan 6). Kejati Nusa Tenggara Barat.

Sementara itu ke-35 wilayah hukum Kejari yaitu: 1). Kejari Tanjung Pinang; 2). Kejari Tanjung Balai Karimun; 3). Kejari Batam; 4). Kejari Daik Lingga; 5). Kejari Bengkulu; 6). Kejari Arga Makmur; 7). Kejari Tubei; 8). Kejari Tais; 9). Kejari Manna; 10). Kejari Kepahiang; 11). Kejari Curup; 12). Kejari Semarang; 13). Kejari Salatiga; 14). Kejari Surakarta; 15). Kejari

Ambarawa; 16). Kejari Temanggung; 17). Kejari Pekalongan; 18). Kejari Batang; 19). Kejari Samarinda; 20). Kejari Balikpapan; 21). Kejari Penajam; 22). Kejari Tenggarong; 23). Kejari Bontang; 24). Kejari Sangata; 25). Kejari Palu 26). Kejari Donggala; 27). Kejari Parigi; 28). Kejari Poso; 29). Kejari Ampana; 30). Kejari Mataram; 31). Kejari Selong; 32). Kejari Praya; 33). Kejari Sumbawa Besar; 34). Kejari Dompu; dan 35). Kejarai Raba Bima;

b. Responden

Responden dalam penelitian ini berjumlah 269 (dua ratus enam puluh sembilan) responden dengan rincian sebagai berikut:

1) Jaksa 80 responden 2) Hakim 70 responden 3) Pengacara 70 responden 4) BPK 10 responden 5) BPKP 12 responden

6) Dosen Fakultas Hukum 27 responden

5. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan maupun wawancara di lapangan akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.

6. Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan, terhitung mulai bulan Februari 2013 sampai dengan bulan Oktober 2013 dengan tahapan sebagai berikut :

a. Tahap Persiapan : 2 bulan

a. Penyiapan Term of Reference 1 Minggu

b. Penyusunan Personalia 1 Minggu c. Studi Kepustakaan 2 Minggu d. Pembuatan Research Design 2

Minggu

e. Pembuatan Instrumen Penelitian 1 Minggu

f. Presentasi Research Design 1 Hari g. Presentasi Instrumen Penelitian 1

(8)

h. Perbaikan Research Design dan Instrumen Penelitian 1 Minggu

b. Tahap Pelaksanaan : 3 Bulan

a. Pengurusan Ijin Penelitian dan Pemberitahuan ke Daerah 2 Minggu

b. Pengumpulan Data Lapangan 2 Bulan

c. Pengumpulan Data Pustaka 2 Minggu

c. Tahap Penulisan Laporan

(Penyusunan Laporan Sementara) 2 Bulan

a. Pengolahan Data 1,5 Bulan b. Analisa Data 2 Minggu

d. Tahap Penyelesaian : 0,5 Bulan

a. Pemaparan Hasil Penelitian (Laporan sementara) 1 hari

b. Penyempurnaan Hasil Penelitian 2 Minggu

e. Tahap Penggandaan dan Distribusi

1,5 Bulan

a. Penggandaan Hasil penelitian 1 Bulan

b. Distribusi Hasil Penelitian 2 Minggu

Jumlah Keseluruhan 9 Bulan

II. PEMBAHASAN

A.

Tindak Pidana Korupsi Dan Unsur

Kerugian Keuangan Negara

Pengertian Korupsi dan Ruang

Lingkupnya

Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan bangsa yang selalu menjadi perbincangan menarik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan kerana maraknya praktek korupsi dianggap sebagai salah satu faktor penghambat tercapainya tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.

Dari segi semantik, istilah korupsi berasal dari bahasa latin corruptio, corruption (Inggris), dan corruptie (Belanda) yang secara

harfiah menunjuk pada perbuatan busuk/tidak

jujur yang dikaitkan dengan keuangan.9 Istilah-Istilah tersebut berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Dalam perkembangannya istilah ‘korupsi’ mengacu pada suatu perbuatan tidak jujur atau aktivitas ilegal atau penyelewengan terkait jabatan publik yang dilakukan demi kepentingan pribadi atau golongan.

Dalam kamus hukum ”Black’s Law Dictionary”, istilah “korupsi atau corruption”

didefinisikan sebagai berikut:

“the act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with

official duty and the rifhts of others; a fiduciary’s or official’s use of station or office to procure some benfit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”.

Definisi tersebut dapat diterjemahkan

sebagai “perbuatan yang dilakukan seseorang dengan maksud memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah; menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan kewjibannya dan hak-hak dari pihak lain”.10

Sementara itu, secara yuridis pengertian korupsi terdapat dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotsmen yang menyatakan

”korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”. Saat ini, undang -undang pemberantasan korupsi yang berlaku di Indonesia adalah UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Dalam kedua undang-undang tersebut, tindak pidana korupsi dikelompokan menjadi:

(1) Kelompok delik merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara

9Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Semarang:

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976, hal. 2.

10 Brian A. Gardner, Black’s Law Dictionary, USA: West

(9)

(Pasal 2 dan Pasal 3);

(2) Kelompok delik suap menyuap, baik yang aktif (penyuap) maupun yang pasif (penerima suap) [Pasal 5, 11, 12, dan 12B];

(3) Kelompok delik penggelapan (Pasal 8 dan Pasal 10);

(4) Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12 huruf e dan huruf f ); dan (5) Kelompok delik yang terkait dengan

pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7).

Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Delik Korupsi

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang saat ini berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, telah mengelompokkan jenis-jenis delik tindak pidana korupsi yang salah satunya ialah kelompok delik merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara. Kelompok delik merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian negara diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1):

“Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 2. Pasal 3:

“Setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.

Berdasarkan kedua ketentuan di atas, nampak dengan jelas bahwa salah satu unsur delik dari kelompok delik merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara adalah unsur “merugikan keuangan negara”. Oleh karena itu, perlu ada penghitungan untuk menentukan besar kecilnya kerugian keuangan yang diderita oleh negara. Hal ini juga diperlukan untuk menentukan jumlah uang pengganti yang harus dibayar terpidana, karena dalam perkara korupsi terpidana juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang berbunyi “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, sebagai pidana tambahan adalah pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana

korupsi”.

Audit Investigasi, Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dan Prinsip Akuntansi

(10)

buktinya telah dikumpulkan penyidik, yang dilakukan adalah cara kedua, yaitu langsung dilakukan perhitungan kerugian negara, dan biasanya cara ini dilakukan pada tahap penyidikan.

Audit investigasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan auditing atau pemeriksaan. Menurut I Gusti Agung Rai, sebagaimana dikutip Piatur Pangaribuan, pemeriksaan (auditing) adalah kegiatan membandingkan suatu kriteria (apa yang seharusnya) dengan kondisi (apa yang sebenarnya terjadi).11 Auditing bersifat analitis, karena akuntan memulai pemeriksaannya dari angka-angka laporan keuangan lalu dicocokkan dengan neraca saldo (trial balance), buku besar (general ledger), buku harian (special jurnal), bukti-bukti pembukuan (document) dan sub buku besar (sub ledger). Sementara itu Accounting mempunyai sifat konstruktif karena disusun mulai dari bukti-bukti pembukuan, buku harian, buku besar dan sub buku besar, neraca saldo sampai laporan keuangan yang dilakukan pegawai.12

Dengan adanya perhitungan kerugian keuangan Negara, baik itu melalui kegiatn auditing oleh auditor maupun langsung perhitungan kerugian keuangan negara oleh audior, menunjukkan bahwa sistem hukum itu memerlukan perpaduan interdisiplin ilmu yang dalam hal ini adalah disiplin ilmu Akuntansi. Dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan kesatuan unsur-unsur (yakni peraturan dan penetapan) yang dipengaruhi oleh kebudayaan, sosial, ekonomi, sejarah dan sebagainya. Sebaliknya sistem hukum juga mempengaruhi faktor-faktor lain di luar sistem hukum tersebut.13 Dalam konteks ini, maka disiplin Ilmu akuntansi mempunyai pengaruhi terhadap upaya penegakan hukum, khususnya hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegiatan accounting dan auditing akan memberikan bukti yang kuat

11 Piatur Pangaribuan, Audit Investigasi Badan Pemeriksa

Keuangan Atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Disertasi pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2013, hal. 196.

12

Ibid.

13Mokhamad Najih dan Soimin,

Pengantar Hukum Indonesia:

Sejarah, Konsep Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia,

Cet.Pertama, Jawa Timur: Setara Press, 2012, hal. 69.

dalam suatu proses peradilan sesuai ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.

B.

Peran Auditor Dalam Pembuktian

Unsur Kerugian Keuangan Negara

Perkara Tindak Pidana Korupsi

Perbedaan Penafsiran Mengenai Lembaga

Yang Berwenang Melakukan Audit

Investigasi (AI) dan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN)

Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia telah menentukan secara limitatif jenis-jenis alat bukti. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi, b. Keterangan ahli, c. surat, d. petunjuk, dan e. keterangan terdakwa. Bila merujuk pada ketentuan tersebut, secara formal alat bukti Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dan Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) memenuhi dua kriteria alat bukti, yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat. Hal ini dikarenakan Penjelasan Pasal 186 KUHAP alinia pertama yang menyatakan “keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, identik dengan ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti surat salah satunya adalah “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan

yang diminta secara resmi dari padanya”.

(11)

Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Hal ini berbeda dengan alat bukti surat, yang mana pembuatnya tidak harus dihadapkan ke persidangan untuk menjelaskan isi surat tersebut berdasarkan keahliannya.

Mengenai nilai pembuktian LHAI dan LHPKKN, sebenarnya keduanya juga mempunyai nilai pembuktian yang sama karena hasil akhir LHAI dan LHPKKN itu sama yaitu adanya perhitungan tentang kerugian keuangan negara. Alasan responden menyatakan nilai pembuktian LHAI sama dengan nilai pembuktian LHPKKN, pada intinya adalah sebagai berikut:

1) Baik LHAI maupun LHPKKN, keduanya menjadi alat bukti surat dan bila LHAI atau LHPKKN diterangkan di pengadilan oleh yang membuat (auditor), maka substansi LHAI dan LHPKKN sama-sama menjadi alat bukti keterangan ahli.

2) Pejabat yang melakukan AI dan PKKN sama-sama orang yang memiliki keahlian khusus di bidang accounting dan auditing yang diperoleh berdasarkan pendidikan dan pengalaman. Dengan demikian hasilnya harus dipandang memiliki nilai pembuktian yang sama, sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHP.

3) LHAI dan LHPKKN memiliki nilai pembuktian yang sama karena di dalam LHAI juga ada PKKN-nya. Perbedaannya hanya terletak pada tahapan dan prosesnya saja. AI dilakukan pada saat penyelidikan dan auditor-nya mengumpulkan sendiri data yang diperlukan untuk melakukan PKKN. Sedangkan PKKN (saja) dilakukan pada tahap penyidikan dan datanya didapatkan auditor dari penyidik. 4) LHAI dan LHPKKN sama-sama menjadi

alat bantu bagi hakim untuk mendapatkan fakta-fakta hukum, namun tidak bersifat mengikat hakim.

5) LHAI dan LHPKKN sama-sama dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Jadi keduanya mempunyai nilai pembuktian yang sama.

6) Sejak semula AI dan PKKN dibuat oleh instansi pemeriksa dengan tujuan untuk dijadikan sebagai alat bukti di persidangan,

sehingga bila nantinya LHAI dan LHPKKN dipergunakan di pengadilan, maka nilai pembuktiannya sama.

7) LHAI dan LHPKKN memiliki nilai pembukian yang sama. Namun dari sisi substansi, BPK mengenal AI sebagai bagian dari jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu, sedangkan PKKN merupakan bagian dari AI. Bila yang dibutuhkan adalah alat bukti untuk merekrontruksi tindak pidana maupun kerugian secara komprehensif, yang tepat menggambarkan hal itu adalah AI. Namun bila penyidik telah memiliki konstruksi hukum yang komprehensif, tinggal kesulitan menentukan nilai kerugiannya maka laporan PKKN lebih menggambarkan berapa nilai sebenarnya kerugian negara tersebut.

8) Antara AI dan PKKN memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk membuktikan adanya penyimpangan yang mengakibatkan kerugian Negara. Kedua-duanya menjadi bahan bagi penyidik dan penuntut umum untuk proses litigasi selanjutnya, termasuk pada saat pembuktian di persidangan.

Selanjutnya sebanyak 98 responden (36,43%) menyatakan LHAI dan LHPKN tidak memiliki nilai pembuktian sama. Alasan yang dikemukakan responden pada intinya adalah sebagai berikut:

1) LHAI bersifat laporan biasa dan belum bisa dikatakan alat bukti surat, sedangkan LHPKKN sudah menjadi alat bukti surat yang sah sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti di persidangan.

2) LHAI baru berupa indikasi penyimpangan dan biasanya dilakukan saat penyelidikan (sebelum pro justitia), sedangkan LHPKKN sudah masuk pro justisia karena dilakukan saat penyidikan. Dalam LHAI belum tentu terdapat kerugian keuangan negara, sedangkan dalam PKKN pasti ditemukan kerugian keuangan negara

(12)

Pasal 120 ayat (1) KUHAP.

4) LHAI dilakukan pada tahap penyelidikan sedangkan LHPKKN dilakukan pada tahap penyidikan sehingga secara hirarki LHPKKN-lah yang punya nilai pembuktian di pengadilan.

5) LHAI berkaitan dengan adanya indikasi perbuatan melawan hukum, sedangkan LHPKKN belum tentu berkaitan dengan tindak pidana.

6) AI atas permintaan penyidik dilakukan pada tahap penyelidikan dengan tujuan mengungkap terjadinya suatu perbuatan melawan hukum dan siapa pelakunya guna dilakukan tindakan hukum selanjutnya. Laporan yang terbit yaitu LHAI. Bila terbukti ada perbuatan yang merugikan negara, maka dilanjutkan ke tahap penyidikan dan penyidik dapat meminta auditor melakukan PKKN. Seluruh data/ bukti/dokumen untuk PKKN diperoleh dari atau bersama dengan penyidik. Sedangkan data/ bukti/dokumen yang digunakan dalam AI diperoleh langsung oleh Tim AI. Selain itu, AI juga dapat dilakukan berdasarkan hasil pengembangan audit operasional, audit kinerja dan jenis audit lainnya.

Pendapat 20 responden (7,43%) yang menyatakan nilai pembuktin LHAI dan LHPKKN bisa sama-bisa tidak atau tidak selalu sama; pendapat 9 responden (3,35%) yang menyatakan LHAI lebih akurat dibandingkan dengan LHPKKN; dan pendapat 3 responden (1,12%) yang menyatakan LHPKKN lebih akurat dibandingkan dengan LHAI. Sebab semua responden tersebut menilainya dari sisi materiil LHAI dan LHPKKN, bukan penilaian secara umum. Hal ini dapat dilihat dari alasan yang dikemukakan oleh para rasponden sebagaimana uraian di bawah ini:

Alasan responden menyatakan nilai pembuktian LHAI tidak selalu sama dengan nilai pembuktian LHPKKN, pada intinya ialah:

1) Kadang kala hasil AI yang dilakukan BPK atau BPKP tidak selalu diikuti dengan PKKN yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang.

2) Belum tentu sama karena keduanya

harus dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan, sehingga hasilnya kadang tidak sama. Kadang kala apa yang dinikmati terdakwa tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam hasil audit. 3) LHAI dan LHPKKN nilai pembuktiannya tidak selalu sama, karena tergantung dari sumber dokumen yang diperoleh pada saat AI dan PKKN.

4) Jika dikaitkan dengan nilai pembuktian, proses peradilan di Indonesia sangat tergantung dari sisi mana melihatnya. KUHAP masih memberikan kewenangan yang cukup kuat pada Hakim untuk menilai alat-alat bukti yang ada. Jadi penilaian nilai pembuktiannya ada pada hakim

Alasan responden menyatakan nilai pembuktian LHAI lebih akurat dibandingkan dengan nilai pembuktian LHPKKN, pada intinya ialah:

a. LHAI lebih akurat karena LHAI lebih rinci dan lebih detail atau dengan kata lain perinciannya lebih lengkap sehingga nilai pembuktiannya lebih kuat dibandingkan dengan nilai pembuktian LHPKKN. b. Dalam AI, auditor melakukan pemeriksaan

terhadap dokumen yang diperoleh sendiri tanpa melalui penyidik. Auditor juga memeriksa seluruh proses kegiataan yang terkait dengan seluruh transaksi dari seluruh lembaga yang diaudit secara menyeluruh. Sedangkan dalam PKKN, auditor memperoleh data-data dari penyidik dan hasilnya menjadi tanggung jawab penyidik sendiri. Oleh karena itu, nilai pembuktian LHAI lebih akurat dan lebih obyektif dari pada nilai pembuktian LHPKKN.

Jaksa Menghitung Sendiri Kerugian

keuangan Negara; Meminta Bantuan BPK; Meminta Bantuan BPKP; dan Meminta Bantuan Auditor Di Luar BPK/BPKP

Mengenai pernah tidaknya jaksa menghitung sendiri kerugian keuangan negara; meminta bantuan Auditor BPK, Auditor BPKP, dan auditor di luar BPK/BPKP, pada intinya ialah:

(13)

menghitung sendiri kerugian keungan negara; 43 responden (53,75%) menyatakan pernah menghitung sendiri dan hasilnya diterima oleh hakim (tidak ada responden jaksa yang menyatakan pernah menghitung sendiri, namun hasilnya ditolak oleh hakim); dan 4 responden (5%) tidak menjawab.

b. Dari 80 responden, 6 resonden (7,50%) menyatakan pernah meminta BPK melakukan AI/PKKN dan permintaannya pernah ditolak oleh BPK; 29 responden (36,25%) menyatakan pernah meminta BPK melakukan AI/PKKN dan permintaannya belum pernah ditolak oleh BPK; dan 45 responden (56,25%) menyatakan belum pernah meminta BPK melakukan AI/ PKKN.

c. Dari 80 responden, 15 responden (18,75%) menyatakan pernah meminta bantuan BPKP untuk melakukan AI/PKKN dan permintaannya pernah ditolak oleh BPKP; 60 responden (75%) menyatakan pernah meminta BPKP melakukan AI/PKKN dan permintaannya belum pernah ditolak oleh BPKP; dan 5 responden (6,25%) menyatakan belum pernah meminta BPKP melakukan AI/PKKN.

d. Dari 80 responden, 6 responden (7,50%) menyatakan pernah meminta bantuan Auditor di luar BPK/BPKP dan Auditornya bersedia (tidak ada responden yang menyatakan pernah meminta bantuan, namun auditornya tidak bersedia); dan 74 responden (92,50%) menyatakan belum pernah meminta bantuan Auditor selain BPK/BPKP.

Sikap Hakim dan Pengacara Atas

AI/PKKN Yang Dilakukan Auditor BPK, Auditor BPKP, dan Auditor Di Luar BPK dan BPKP

Dalam menentukan nilai kerugian keuangan negara, selain menghitung sendiri seringkali jaksa meminta bantuan Auditor, baik iitu dari BPK, BPKP maupun diluar kedua instansi tersebut ntuk melakukan AI/PKKN. Hasil AI/ PKKN yang dilakukan auditor atas permintaan jaksa tersebut kadang kala ditolak oleh hakim

maupun pengacara, namun seringkali juga diterima. Berikut ini adalah data selengkapnya tentang sikap hakim dan pengacara terhadap hasil AI/PKKN yang dilakukan auditor atas permintaan penegak hukum:

Pertama, sikap hakim dn pengacara atas AI/PKKN Auditor BPK. Dari 140 responden, 19 responden (13,67%) menyatakan pernah menolak AI/PKKN yang dilakukan Auditor BPK; 70 responden (50%) belum pernah menolak; 33 responden (23,57%) belum pernah menangani perkara korupsi yang AI/PKKN-nya dilakukan Auditor BPK; dan 18 responden (12,86%) menjawab belum pernah menangani perkara korupsi.

Alasan responden pernah menolak pada intinya ialah:

a. Hasil AI/PKKN Auditor BPK tidak sesuai dengan fakta-fakta yang berkembang di persidangan.

b. PKKN yang dilakukan BPK hanya berdasarkan data dari penyidik tanpa melakukan konfrontir dengan pihak terkait, sehingga hasil PKKN-nya tidak sama atau bertentangan dengan fakta yang sebenarnya.

c. Dalam menilai suatu obyek pekerjaan fisik ada bagian/spesifikasi yang tidak dinilai secara keseluruhan dan tidak melibatkan ahli teknis.

Alasan responden belum pernah menolak, pada intinya ialah:

a. Hasil PKKN Auditor BPK sudah sesuai dengan fakta-fakta dalam persidangan. Selainitu, perhitungannya juga telah dilakukan berdasarkan metode yang tepat dan didukung oleh dokumen yang menyeluruh.

b. BPK memiliki wewenang dan kompetensi atau keahlian untuk melakukan PKKN sesuai dengan sumpah jabatan mereka. c. BPK merupakan badan yang ditunjuk oleh

(14)

diijadikan acuan adalah perhitungan dari BPK.

Kedua, sikap hakim dan pengacara atas AI/PKKN Auditor BPKP. Dari 140 responden, 53 responden (37,86%) menyatakan pernah menolak AI/PKKN yang dilakukan Auditor BPKP; 57 responden (40,71%) menyatakan belum pernah menolak; 12 responden (8,57%) menyatakan belum pernah menangani perkara korupsi yang AI/PKKN-nya dilakukan Auditor BPKP; dan 18 responden (12,86%) menjawab belum pernah menangani perkara korupsi.

Alasan responden pernah menolak, pada intinya ialah:

a. Hasil AI/PKKN Auditor BPKP tidak sesuai dengan fakta-fakta persidangan, sehingga harus ditolak.

b. BPKP tidak berwenang melakukan AI/ PKKN dalam perkara korupsi karena yang berwenang adalah BPK. Tugas BPKP hanya sebagai pengawas keuangan dan pembangunan yang menjalankan tugasnya atas permintaan Presiden dan melaporkan hasilnya kepada Presiden.

c. Dalam satu perkara, diaudit oleh lembaga BPK dan BPKP dalam waktu yang berbeda dan dengan hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu yang harus diikuti adalah hasil AI/PKN dari BPK.

d. Hasil perhitungan BPKP tidak obyektif dan tidak netral karena hanya didasarkan pada bukti yang diberikan penyidik, tanpa melakukan pemeriksaan terhadap sumber yang membuat kwitansi dan data.

Alasan responden belum pernah menolak, pada intinya ialah:

a. Hasil AI/PKKN yang dilakukan Auditor BPKP sudah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan tidak dibantah oleh terdakwa atau penasehat hukumnya

b. Menurut hukum (KUHAP) bukti yang diajukan jaksa wajib dipertimbangkan menurut hukum (KUHAP), karena hakim tidak berwenang menolak alat bukti yang diajukan para pihak, namun hakim berwenang untuk menilai substansi dari alat bukti tersebut.

c.

BPKP mempunyai kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan mempunyai Auditor yang memiliki keahlian untuk melakukan AI/PKKN atas permintaan penegak hukum.

d. BPKP adalah lembaga resmi sehingga hasil auditnya juga harus diakui.

Ketiga, sikap hakim dan pengacara atas AI/PKKN Auditor selain BK/BPKP. Dari 140 responden, 21 responden (15%) menyatakan pernah menolak AI/PKKN yang dilakukan Auditor selain BPK/BPKP; 32 responden (22,86%) menyatakan belum pernah menolak; 69 responden (49,28%) menyatakan belum pernah menanganai perkara korupsi yang AI/PKKN-nya dilakukan Auditor selain BPK/BPKP; dan 18 responden (12,86%) belum pernah menangani perkara korupsi.

Alasan responden pernah menolak, yaitu:

a.

PKKN yang dilakukan oleh Auditor selain

dari BPK dan BPKP yang diajukan jaksa ke persidangan tidak sesuai dengan fakta-fakta dalam persidangan.

b. Ada kesalahan dalam penghiitungan dan kekeliruan pendekatan cara audit, misalnya tidak menyertakan tim ahli teknis.

c.

Auditor selain dari BPK dan BPKP tidak berwenang melakukan AI/PKKN karena yang mempunyai wewenang ialah BPK atau BPKP.

Alasan responden belum pernah menolak, pada intinya ialah:

A.

Hasil PKKN Auditor selain sBPK/BPKP telah didukung bukti-bukti yang kuat dan sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan.

B.

Auditor (ahli) yang diminta menghitung memang memiliki keahlian dan kompetensi berdasarkan pendidikan dan pengalamannya.

(15)

responden yng pernah menolak, ternyata tidak semua penolakan tersebut dilakukan karena menganggap Auditor BPKP dan Auditor diluar BPKP tidak berwenang melakukan AI/PKKN. Sebab diantara alasan penolakan tersebut ialah karena perhitungan yang dilakukan Auditor BPKP dan Auditor diluar BPK/BPKP tidak didukung bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan atau hasil perhitungannya kurang professional. Oleh karena itu sepanjang hasil perhitungan itu didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan dilakukan dengan profesional, maka tidak ada alasan bagi pengadilan untuk menolaknya.

III. P E N U T U

P A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Munculnya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang berwenang melakukan AI/ PKKN dalam perkara korupsi disebabkan beberapa hal, yaitu:

a.

Kurangnya pemahaman para pihak mengenai hukum acara pidana, khususnya ketentuan Pasal 120 ayat (1) KUHAP, terkait dengan kedudukan Auditor sebagai ahli dalam penentuan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi;

b. Peraturan perundang-undangan ’yang terkesan’ tumpang tindih, karena di satu sisi ada BPK yang keberadaan serta tugas-fungsinya diatur berdasarkan UUD dan UU, namun disisi yang lain ada BPKP diatur dalam PP, Kepres/ Perpres dan Inpres. Walaupun secara prinsip tugas kedua lembaga tersebut berbeda, namun keduanya diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum masing-masing lembaga untuk melakukan Audit Investigasi.

c. Adanya kepentingan tertentu, khususnya dari pihak terdakwa dan penasehat hukumnya, untuk melepaskan diri dari

jeratan hukum.

2. Dalam praktek peradilan, penyebab utama ditolaknya hasil AI/PKKN yang dibuat Auditor BPKP bukan karena lembaga BPKP tidak memiliki kewenangan untuk melakukan AI/PKKN, tetapi lebih banyak dikarenakan hasil PKKN yang dilakukan Auditor BPKP, termasuk Auditor BPK dan Auditor lainnya, kurang sesuai dengan fakta-fakta di persidangan sehingga harus disesuaikan dengan fakta-fakta di persidangan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa praktek peradilan mengakui kedudukan Auditor sebagai ahli yang dapat diambil dari lembaga mana saja asal yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai ahli sebagaimana ketentuan KUHAP. Dalam hal ini yang dijadikan tolak ukur oleh hakim, bukan asal lembaga dan kewenangan lembaga, tetapi keahlian sang Auditor dan dukungan alat bukti dalam menetapkan jumlah kerugian keuangan negara. Oleh karena itu, hakim tidak harus mengiktui hasil PKKN yang dibuat Auditor, tetapi disesuaikan dengan fakta-fakta di persidangan. Praktek peradilan seperti ini dikuatkan dengan adanya Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi, penegak hukum dapat berkoordinisi dengan lembaga mana saja, termasuk dapat pula menghitung sendiri. Namun demikian agar permasalahan ini tidak selalu menjadi ganjalan bagi proses penegakan hokum, sebaiknya norma yang terkandung dalam Putusan MK a quo a diatur secara tegas dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korpsi.

3. Dalam meminta bantuan Auditor untuk melakukan AI/PKKN, jaksa mengalami beberapa kendala, yaitu:

(16)

b. BPK dan BPKP memiliki SDM Auditor yang terbatas, sementara permintaan AI/PKKN dari penegak hukum cukup banyak. Selain itu, BPK dan BPKP juga harus melaksanakan tugas dan fungsi mereka yang lainnya. Hal ini memperlambat dipenuhinya permintaan penegak hukum kepada BPK dan BPKP untuk melakukan AI/ PKKN.

c. Sering kali ada perbedaan pandangan antara BPK/BPKP dengan penyidik terkait sifat melawan hokum dalam perkara yang dimintakan AI/PKKN. Penyidik berpandangan telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dapat diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi, namun BPK/BPKP tidak menganggap hal itu perbuatan melawan hukum yang dapat diindikasikan sebagai tindak pidana korupsi, sehingga mereka tidak bersedia melakukan AI/ PKN yang dimintakan oleh penyidik.

d. Dana (honor) yang dibutuhkan untuk meminta bantuan Auditor selain BPK/BPKP. Padahal anggaran untuk membayar honor tersebut tidak disediakan secara cukup dalam DIPA Kejaksaan

B. Saran

1. Untuk menghindari terjadinya multi tafsir mengenai pihak yang berwenang menghitung dan menentukan nilai kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi, maka permasalahan tersebut harus diatur dalam UU Pemberantasan Tipiko. Sebab bila tidak diatur, hal ini dapat dijadikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk mewujudkan kepentingannya. Padahal hal itu justru dapat memperlambat dan menggangu proses penanganan perkara korupsi. Pengaturan ini juga dalam rangka mengimplementasikan norma yang terkandung dalam Putusan MK No. 31/PUU-X/2012 menjadi hukum positif dengan menjadikan norma tersebut dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Materi muatan terkait pihak yang berwenang menghitung dan menetapakan

kerugian keuangan negara harus mengacu pada ketentuan Pasal 120 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK No. 31/PUU-X/2012, yang pada intinya adalah penegak hukum dapat menghitung dan menetapkan sendiri kerugian keuangan negara, namun jika dianggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Dalam hal ini, keahlian khusus tersebut ialah keahlian dalam bidang auditing dan accounting, dan ahli seperti ini dapat diminta dari lembaga manapun tanpa harus tergantung pada lembaga tertentu.

2. Jaksa tidak perlu ragu dalam meminta bantuan Auditor dari lembaga manapun untuk melakukan AI/PKKN, asalkan Auditor tersebut memenuhi kriteria sebagai ahli menurut ketentuan KUHAP. Namun demikian, jaksa harus menyiapkan dan memastikan adanya data pendukung atas hasil PKKN yang dilakukan oleh Auditor, baik itu Auditor yang berasal dari BPK, BPKP, maupun Auditor selain dari kedua lembaga tersebut. Sebab dalam proses peradilan nanti, hasil PKKN yang dilakukan oleh Auditor akan diuji kebenarannya, dan akan diperbandingkan dengan data yang diajukan oleh terdakwa dan penasehat hukumnya. Data pendukung yang paling kuat dan mampu meyakinkan hakim-lah, yang akhirnya akan diikuti hakim dalam putusannya.

(17)

untuk membayar honor Auditor dari Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi, lembaga selain BPK dan BPKP. Upaya Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta: ini perlu dilakukan agar kejaksaan tidak Yayasan Obor, 2003;

bergantung pada lembaga tertentu saja dan Santoso, Topo. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan upaya penanganan korupsi yang dilakukan

atau Pergulatan. Depok, Pusat Studi Peradilan kejaksaan dapat dilaksanakan dalam waktu

Pidana, 2000; yang tidak telalu lama.

DAFTAR PUSTAKA

Sudarto. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976;

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980;

Buku dan Disertasi:

Bruggink, JJ. H. Refleksi Tentang Hukum, Pengertian

Dasar Dalam Teori Hukum. (Penterjemah: B. Arief Sidharta). Cet. Ketiga. Bandung: Citra Adityaa Bakti, 2011;

Chaerudin, et. al.. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.

Bandung: PT. Refika Aditama, 2008;

Effendy, Marwan. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya. Jakarta: Referensi (GP Press Group), 2013;

Estiyarso, et. al.. Peranan Intelijen Yustisial

Dalam Mendukung Penanganan Perkara Tindak Pidana Korups., Jakarta: Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, 2008;

Gardner, Brian A. Black’s Law Dictionary. USA: West Publishing, 2004;

Hadjon, Philipus M. et. al. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1994;

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali.

Jakarta: Sinar Grafika, 2003;

Najih, Mokhamad dan Soimin. Pengantar Hukum Indonesia: Sejarah, Konsep Tata Hukum dan Politik Hukum Indonesia. Cet. Pertama. Jawa Timur: Setara Press, 2012;

Pangaribuan, Piatur. Audit Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan Atas Pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Disertasi pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2013;

Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Cet.

II. Jakarta: Sinar Grafika, 2008;

Makalah dan Internet:

Atmadja, Arifin. P. Soeria. Konsep Badan Hukum dan Implikasinya Terhadap Kkekayaan Negara Yng Dipisahkan, Makalah Seminar Yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Kejaksaan RI pada tanggal 16 Nopember 2011 di Hotel Bidakara Jakarta; Effendy, Marwan. Strategi dan Upaya

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari

Perspektif Kejaksaan. Makalah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, di Hotel Century Senayan, Rabu tanggal 14 Oktober 2009; Http://Www.Bpk.Go.Id/Web/?Page_Id= 10.

Diakses tanggal 18 Oktober 2013;

Http://www.bpkp.go.id/konten/4/Sejarah-Singkat- BPKP.bpkp. Dikses tanggal 18 Oktober 2013;

Http://www.hukumonline.com/berita/baca/

lt51146fd402aef/ptun-tangguhkan- keputusan-audit-bpkp-kasus-indosat. Diakses tanggal 21 Februari 2013;

Http://www. metrotvnews . com/metronews/ read/2013/02/14//131175/Nota-Keberatan-Penasihat-Hukum-Indosat-Ditolak. Diakses tanggal 21 Februari 2013;

(18)

Putusan MK No. 31/PUU-X/2012, tanggal Desember 2012

Putusan PK MA Nomor 41 PK/Pid.Sus/2012, tanggal 31 Mei 2013;

Peraturan perundang-undangan:

Republik Indonesa. Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945; ---. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006

tentang Badan Pemeriksa Keuangan;

---. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

---. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001;

---. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

---. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah;

---. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

Referensi

Dokumen terkait

Roby Sambung (2011) Pengaruh Kepuasan Keja terhadap OCB-I dan OCB-O dengan Dukungan Organisasi sebagai Variabel Moderating (Studi pada Universitas Palangka Raya)

Pada layar update akan ditampilkan data dari promo yang akan di-update dalam. bentuk form yang dapat

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa responden memiliki minat yang tinggi untuk berwirausaha sebanyak 74% setelah mengikuti kegiatan pelatihan diversifikasi olahan hasil ikan

Terdapat 17 kelembagaan dalam usahatani padi dimana kelompok tani mempunyai peran yang cukup penting dalam hampir setiap tahapan usaha tani. Namun mayoritas kelompok masih

Keputusan Bupati Ciamis Nomor : 050/Kpts.105-Huk/2016 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Ciamis Tahun Anggaran 2016. Peraturan Menteri Dalam

Seluruh Rekan-rekan Angkatan XIX Program Studi Pasca Sarjana Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas segaala dukungan,bantuan dan kerja sama selama

Divisi komunikasi korporat PLN perlu menjalin hubungan yang harmonis antara karyawan baik di pusat maupun di unit/cabang perusahaan, hal ini dapat dilihat dengan

Untuk melihat pengobatan serta membandingkan kerasionalan pengobatan diabetes melitus tipe 2 di Klinik Sari Medika Ambarawa yang meliputi tepat indikasi, tepat