Nasionalisme, Agama, dan Globalisasi//
NASIONALISME. Ini adalah isu yang mulai banyak ‘digugat’ belakangan.
Setidaknya, mulai diragukan konsepnya. Termasuk, dibenturkan dengan isu-isu agama. Sehingga, ada yang mulai cenderung berpendapat: nasionalisme tidak sejalan dengan agama.
Bagi yang cenderung berpandangan bahwa nasionalisme tidak sejalan dengan agama, barangkali beralasan bahwa nasionalisme adalah sempit, partikular; sedangkan agama adalah luas, universal.
Kita tahu, ide nasionalisme muncul mulai abad 19-20 sebagai reaksi dari praktik kolonialisme di berbagai belahan dunia. Kolonialisme telah menimbulkan kesadaran baru bagi warga daerah terjajah. Yakni, bahwa mereka punya kesamaan nasib sebagai koloni yang hidup/matinya ditentukan oleh orang asing yang datang ke wilayah mereka.
Padahal, sebagai penghuni wilayah itu yang sudah ada sejak awal, merekalah yang mestinya berhak menentukan nasibnya sendiri di atas tanah dan air yang mereka diami selama ini. Berdasar perasaan senasib sebagai warga terjajah itulah, mereka lantas berjuang untuk memerdekakan diri.
Wilayah bekas kerajaan-kerajaan di kepulauan di Nusantara yang sama-sama dijajah Belanda mendirikan NKRI. Wilayah bekas kesultanan-kesultanan Melayu yang sama-sama dijajah Inggris mendirikan Malaysia. Begitu seterusnya, terutama di wilayah Asia yang banyak dijajah oleh negara-negara Eropa, satu per satu memerdekakan diri dan membentuk negara sendiri.
Maka, nasionalisme datang membebaskan mereka dari kolonialisme yang menindas. Dalam nasionalisme, kesamaan nasib sebagai warga jajahanlah yang menjadi perekatnya. Di samping ikatan sebagai bangsa yang sama, budaya yang sama, dengan cita-cita dan tujuan yang sama pula.
Dengan nasionalisme ini, para penduduk di bekas wilayah jajahan lantas bisa
menentukan nasibnya sendiri. Berkat nasionalisme pula NKRI berdiri dan bulan ini akan mencapai usianya yang ke-70. Sebuah usia di mana nasionalisme semakin mendapat tantangan berat.
Doktrin-doktrin semacam “right or wrong is my country” seperti diucapkan mantan PM Inggris Winston Churchill dianggap sudah tidak relevan lagi. Demikian pula ajaran swadesi ala Mahatma Gandhi.
Bagaimana mungkin kita dipaksa menggunakan mobil Esemka yang belum jelas kualitasnya sementara negara ini membebaskan mobil-mobil keluaran Jepang dan Eropa membanjiri pasaran? Itu artinya, my country can wrong. Dan (sehingga), kita tidak bisa dipaksa untuk menggunakan produk sendiri.
Dunia semakin mengglobal. Batas-batas wilayah kenegaraan seolah tidak ada. Arus informasi, budaya, bahkan barang dan jasa begitu bebas berlalu-lalang di antara kita tanpa ada yang bisa membatasi. Kita pun tidak lagi sekadar menjadi warga negara. Akan tetapi, sudah menjadi warga dunia.
Sebagai warga dunia, kita bisa melihat, mendengar, dan merasakan apa yang terjadi di belahan bumi lain di luar negara ini. Termasuk, melihat, mendengar, dan menyimak lalu lintas berbagai ide tentang keislaman –yang bahkan juga tidak sepakat terhadap
Di titik ini, ada persinggungan nasionalisme dan Islam dalam menghadapi globalisasi. Tapi, sekaligus pertentangan nasionalisme dan agama ketika menghadapi doktrin
partikularitas versus universalitas.