• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam

Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah

(2)

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam Sistem Pemerintahan

Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945

Copyright ©UMRAH Press

Lt. 3 Gedung Rektorat Komplek Kampus UMRAH Jalan Dompak, Tanjungpinang, Provinsi Kepri 29111

Telp. 0771-7001550, Fax: 0771-7038999. Email : umrahpress@gmail.com /

umrahpress@umrah.ac.id

Cetakan Pertama : Agustus 2009 Cetak Kedua : Juli 2015

viii + 147 hal, 13,5 x 19 Cm ISBN : 978-979-792-157-6

Hak cipta diindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh

isi buku ini tanpa izin tertulis penerbit.

Undang-Undangan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Disusun Oleh : Oksep Adhayanto, SH., MH.

Desain Sampul : Nurhasanah

Layout Isi : Milaz Grafika

(3)

Eksistensi Hak Preogratif Presiden dalam

Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah

(4)

Pengantar Penulis

Bismillahirrahmanirrahim,

P

uji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan hinayahnya kepada penulis sehingga penulis senantiasa damai dalam menjalani hidup ini.

Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mem-pertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks

and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula

(5)

lembaga lainnya).

Buku ini semula berasal dari Tesis penulis pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau Pekanbaru. Terkait dengan hal ini layak kiranya penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ellydar Chaidir, S.H., M.Hum (selaku pembimbing I), dan H.M. Husnu Abadi, S.H., M.Hum (selaku pembimbingII) yang telah banyak memberikan arahan selama penulis melakukan penelitian. Selanjutnya tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada Mexsasai Indra, S.H.,M.H yang telah banyak membantu memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan Strata Dua penulis. Dan Kepada Ibunda Tercinta Mainiwati Ishak yang selalu senantiasa memberikan semangat, kasih sayang dan perhatian pada penulis. Kepada kakanda Okto Juliansyah SE, Okvita Adhayani A.Md dan adinda Oka Januar, A.Md yang senantisa selalu memberikan dorongan kepada penulis

Akhirnya penulis menyadari bahwa buku ini belum sempurna untuk itu penulis harapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.

Billahitaufiq Wal Hidayah Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Tanjungpinang, September 2015

(6)

DAFTAR ISI

Pengantar Penulis... v

Daftar Isi... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 13

C. Tinjauan Kepustakaan... 14

D. Konsep Operasional... 23

E. Metode Penelitian... 24

BAB II : PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM NEGARA HUKUM A. Tinjauan Umum Terhadap Konsep Pembagian Kekuasaan ... 29

B. Tinjauan Umum Terhadap Sistem Pemerintahan Negara ... 41

II.1 Sistem Pemerintahan Parlementer ... 45

II.2 Sistem Pemerintahan Presidensial ... 56

BAB III : HAK PREOGRATIF PRESIDEN DALAM SISTEM PRESIDENSIAL A. Tinjauan Umum Terhadap Hak Preogratif Presiden 63 B. Tinjauan Hak Preogratif Dalam Konstitusi Indonesia 76 1. Hak Prerogratif Presiden Dalam UUD 1945 Periode Tahun 1945 s/d 1959 ... 76

2. Hak Prerogratif Presiden Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat ... 83

3. Hak Prerogratif Presiden Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ... 87

(7)

5. Hak Prerogratif Presiden Dalam UUD 1945

Setelah Amandemen... 92

BAB IV : EKSISTENSI HAK PREROGRATIF PRESIDEN DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDEN-SIAL SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

A. Eksistensi Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Setelah Amandemen

UUD 1945 ... 95 B. Ekses-Ekses Yang Timbul Dari Pergeseran Eksistensi

Hak Prerogratif Presiden Dalam Sistem

Presidensial Setelah Amandemen UUD 1945 ... 122

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 133 B. Saran ... 135

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem Konstitusi merupakan landasan hukum dari setiap bangsa dan negara. Sistem hukumnya, sistem sosialnya, sistem ekonominya dipengaruhi oleh sistem konstitusi1.

Perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar mempunyai banyak arti. Amandemen tidak saja berarti “menjadi lain isi serta bunyi” ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tetapi juga “mengandung sesuatu yang merupakan tambahan pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang sebelumnya tidak terdapat di dalamnya”2.

Sri Soemantri3 mengatakan bahwa dengan memperhatikan

pengalaman-pengalaman dalam mengubah konstitusi di Kerajaan Belanda, Amerika Serikat, dan Uni Sovyet, mengubah Undang-Undang Dasar tidak hanya mengandung arti menam-bah, mengurangi, atau mengubah kata-kata dan istilah ataupun kalimat dalam Undang-Undang Dasar mengubah konstitusi berarti membuat isi ketentuan Undang-undang Dasar menjadi lain dari semula melalui penafsiran.

Sebelum memetakan ciri konstitusionalisme4 di Indonesia

dari Undang-Undang Dasar yang satu ke Undang-Undang Dasar yang lain, perlu sekali lagi dikemukakan bahwa secara teoritis

1 Sukarna, Sistem Politik Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992.

2 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1984. 3 Ibid.

4 Ajaran negara berkonstitusi (constitutionalism) yang secara esensial mengandung makna

(9)

konstitusionalisme pada intinya adalah bagian dari penegakan konstitusi. Hakikat atau filosofi penegakan konstitusi itu adalah

“an institutionalised system of effective, regularised restrains upon

governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan,

menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah)

Seperti dinyatakan Andrews untuk menjamin tegaknya konstitusionalisme pada umumnya bersandar pada tiga unsur kesepakatan, yaitu:

1. The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama tentang pemerintahan).

2. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara).

3. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)

Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang berlangsung dalam 4 (empat) tahap, yaitu

1. Perubahan Pertama tahun 1999 2. Perubahan Kedua tahun 2000 3. Perubahan Ketiga tahun 2001, dan 4. Perubahan Keempat tahun 2002

(10)

lain-lain. Latar belakang dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain:

1. Sistem ketatanegaraan yang bertumpu pada MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berakibat pada tiadanya

checks and balances5pada institusi-institusi ketatanegaraan 2. Kekuasaan Presiden yang terlalu dominan (executive

heavy) yaitu selain sebagai pemegang kekuasaan

pemerintahan (chief executive) juga sebagai kepala negara dengan hak-hak konstitusionalnya yang lazim disebut hak prerogatif, serta sekaligus memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang (kekuasaan legislatif) telah menyebabkan kecenderungan lahirnya kekuasaan otoriter6.

3. Terdapat pasal-pasal yang luwes dalam UUD 1945 yang menimbulkan multi tafsir, misalnya rumusan Pasal 7 dan Pasal 6 ayat (1) yang lama;

4. Banyaknya kewenangan Presiden untuk mengatur hal-hal yang penting dengan undang-undang sebagai konsekuensi bahwa Presiden adalah juga pemegang kekuasaan legislatif, sehingga inisiatif pengajuan RUU selalu berasal dari Presiden;

5. Konstitusi belum cukup memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pember-dayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi

5 Pemikiran mengenai mekanisme saling mengawasi dan kerjasama ini telah melahirkan

teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori-teori pembagian kekuasaan

(Distribution of Powers) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ, dan teori check and balances.

6 Dalam UUD 1945, kekuasaan Presiden (eksekutif) diberikan sangat besar atau executive heavy.

(11)

daerah, sehingga praktik penyelenggaraan negara tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 19457.

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk8:

1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar lebih mampu untuk mencapai tujuan nasional yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 19459

2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai perkembangan paham demokrasi10;

3. Menyempurkan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang merupakan salah satu syarat bagi sebuah negara hukum;

4. Menyempurnakan aturan dasar mengenai penyeleng-garaan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan sistem

7 Sebagaimana isi konstitusi menurut K.C Where adalah memuat :

• Hak Asasi Manusia • Pembagian Kekuasaan • Aturan-Aturan Yang Mendasar

8 Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 128-129.

• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia • Memajukan kesejahteraan umum

• Mencerdaskan kehidupan bangsa • Ikut melaksanakan ketertiban dunia

9 Adapun tujuan Negara Indonesia sebagaimana diatur didalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945 adalah sebagai berikut :

• Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

• Memajukan kesejahteraan umum

• Mencerdaskan kehidupan bangsa • Ikut melaksanakan ketertiban dunia

10 Ajaran demokrasi yang secara plastis digambarkan sebagai “the goverment from the people, by the

(12)

checks and balances dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman

5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban bagi negara untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

6. Melengkapi aturan dasar yang berkaitan dengan eksistensi negara dan perwujudan negara yang demo-kratis, seperti pengaturan mengenai wilayah negara dan pemilihan umum (Pemilu);

7. Menyempurnakan dan melengkapi aturan dasar mengenai berbagai hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan kini, serta mengantisipasi perkembangan mendatang. Selanjutnya terdapat lima prinsip dasar kesepakatan MPR dalam Perubahan UUD 194511:

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

2. Tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan (NKRI); 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensiil12;

4. Meniadakan Penjelasan UUD 1945 dan memasukkan hal-hal normatif dalam Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD;

5. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum.

Struktur UUD 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, baik jumlah pasal maupun kekuasaannya. Tiga belas dari tiga puluh tujuh pasal UUD 1945 mengatur langsung mengenai jabatan ke-presidenan (Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 22). Selain itu terdapat pula

ke-11 Ibid.

12 Sistem Pemerintahan Presidensial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi Kepala

(13)

tentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin terlepas dari Presiden, seperti ketentuan tentang APBN, ketentuan yang mengatur wewe-nang MPR, DPR, DPA, BEPEKA, undang-undang organik, dan lain sebagainya.

Undang-Undang Dasar 1945 juga memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan. Presiden adalah penyelenggara pemerintahan13. Selain menjalankan kekuasaan

eksekutif, Presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan14, kekuasaan yang berkaitan

dengan penegakan hukum (grasi, amnesti, dan abolisi)15 dan

lain sebagainya. Struktur UUD yang memberikan kedudukan kuat pada jabatan atau lembaga kepresidenan tidak hanya ada pada sistem UUD 1945, tetapi terdapat juga pada negara lain seperti Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat adalah penyelenggara pemerintahan. Tetapi karena UUD Amerika Serikat berkehendak menjalankan ajaran pemisahan kekuasaan, Presiden Amerika Serikat tidak dibekali kekuasaan untuk membentuk undang. Kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Congress16. Keikutsertaan Presiden dalam

13 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4 ayat (1).

14 UUD 1945, Pasal 5 dan Pasal 22. Mengenai kekuasaan membentuk undang-undang telah

ada perubahan. Pasal 5 ayat (1) baru berbunyi: “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR” (Perubahan Pertama, 1999). Kekuasaan membentuk undang-undang beralih ke DPR. Pasal 20 ayat (1): “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” (Perubahan Pertama, 1999).

15 UUD 1945, Pasal 14. Pasal 14 telah diubah (Perubahan Pertama, 1999):

(1). Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

(2). Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Meskipun telah ada pembaharuan yang lebih mencerminkan “ cheks and balanced’

hubungan antara Presiden dan Lembaga Negara lainnya, kedudukan Presiden tetap kuat. Presiden (dan Wakil Presiden) yang dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi bertanggung jawab kepada badan perwakilan (MPR). Presiden tidak lagi dapat dijatuhkan atas dasar kebijakan politik atau pemerintahan. Presiden (dan Wakil Presiden) hanya dapat dijatuhkan karena pelanggaran hukum (impeachment). Itupun tidak mudah. Sebelum sampai ke MPR, harus terlebih dahulu melalui DPR dan Mahkamah Konstitusi.

16 UUD AS, Pasal 1 ayat (1): “All legislative powers here in granted shall be vested in a Congress

(14)

membentuk undang-undang terbatas pada memberi perse-tujuan atau memveto rancangan undang-undang yang sudah disetujui Congress17. Memperhatikan bahan-bahan yang dipergunakan para penyusun UUD 1945, besar kemungkinan struktur dan rumusan kekuasaan Presiden sebagai penyeleng-gara pemerintahan memperoleh pengaruh dari struktur dan rumusan kekuasaan Presiden menurut UUD Amerika Serikat. Baik dalam praktek maupun model teoritik yang pernah ditulis, Amerika Serikat dianggap sebagai salah satu model sistem pemerintahan yang memberikan kedudukan yang kuat kepada Presiden. Ada pula kemungkinan, pilihan Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan dipengaruhi oleh stelsel pemerin-tahan asli. Kepala Desa atau Raja mempunyai kedudukan yang kuat dalam menjalankan pemerintahan yang dibantu oleh aparat desa atau pembantu raja. Kepala Desa atau Raja tidak hanya menjalankan pemerintahan, tetapi menjalankan kekuasaan peradilan dan membentuk hukum. Dalam dokumen yang tersedia mengenai penyusunan UUD 1945, kurang sekali tergambar latar belakang memilih kedudukan, struktur, dan rumusan kekuasaan Presiden semacam ini.

Selanjutnya sebelum dilakukan perubahan yang terjadi atas UUD 1945 lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebagai berikut18 :

1. Dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara (Tap MPR No. III/MPR/1978);

2. Seluruh anggotanya sekaligus merupakan anggota MPR [Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], susunan keanggotaannya akan diatur dengan UU (Pasal 19);

3. Tidak ada ketentuan konstitusional tentang cara rekrutmen anggota, sehingga dalam praktek Orde Baru ada anggota yang dipilih melalui pemilu dan ada anggota

17 UUD AS, Pasal 1 ayat (7):”... before it become a law, be presented to the President of the United

States; if he approve he shall sign it, but if not he shall return it... “.

(15)

yang diangkat oleh Presiden;

4. Kewenangan DPR adalah memberi persetujuan atas UU (Pasal 20), APBN [pasal 23 ayat (1)], pernyataan perang, perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11). 5. Kekuasaan membentuk UU (kekuasaan legislatif) bukan

di tangan DPR, melainkan di tangan Presiden, sedangkan DPR hanya berwenang memberi persetujuan (Pasal 5 ayat (1))

Setelah perubahan UUD 1945, sistem dan lembaga perwa-kilan terutama Dewan Perwaperwa-kilan Rakyat di Indonesia adalah sebagai berikut19.

1. Anggotanya dipilih melalui pemilu [Pasal 19 ayat (1)] 2. Memegang kekuasaan membentuk UU [Pasal 20 ayat(l)]; 3. Memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi

pengawasan [Pasal 20A ayat (1))

4. Mempunyai kewenangan: mengusulkan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR setelah ada putusan MK [Pasal 7 ayat (1)], memberikan persetujuan atas UU bersama Presiden [Pasal 20 ayat (2)], pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan Presiden (Pasal 11), persetujuan calon hakim agung atas usulan Komisi Yudisial, persetujuan pengangkatan calon anggota Komisi Yudisial, memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pengangkatan duta [Pasal 13 ayat (2)], menerima penempatan duta negara lain [Pasal 13 ayat (3)], dan pemberian amnesti dan abolisi [Pasal 14 ayat (2)], memilih calon anggota BPK [Pasal 23F ayat (1)], dan mengusulkan tiga orang calon hakim konstitusi kepada Presiden [Pasal 24C ayat (3)].

Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk

(16)

tegas sistem presidensial20 dan dianutnya pemisahan

cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks

and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula

perubahan di bidang kekuasaan eksekutif (Presiden), sebagai berikut:

1. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif [Pasal 4 ayat (1)] tidak lagi memegang kekuasaan membentuk UU yang telah bergeser ke tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)], melainkan hanya berhak mengajukan RUU ke DPR [Pasal 5 ayat (1)], memberikan persetujuan bersama dengan DPR dan mengesahkan RUU menjadi UU [Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4)];

2. Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih oleh rakyat secara langsung secara berpasangan dari calon yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik (Pasal 6A);

3. Masa jabatan Presiden selama 5 (lima) tahun secara tegas dibatasi untuk dua periode (Pasal 7)21;

20 Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di

antara ahli hukum tata negara. Ada yang menyebut presidentil, tapi ada juga yang menyebut kuasi presidentil. Hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. Jika dilihat ketentuan pasal 4(1) dan pasal 17 maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil. Sebab kedua pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidentil, yaitu, pertama, presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedua, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok ketiga (bahwa presiden bertanggung jawab dan tunduk kepada MPR serta wajib menjalankan putusan-putusan MPR), maka dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem parlementer. Sebab MPR merupakan “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”, yang secara esensial merupakan lembaga perwakilan rakyat, apalagi semua anggota DPR menjadi anggota MPR juga. Kualifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan ini, adalah sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidentil. Artinya sistem presidentil tidak murni atau parlementer semu.

21 Masalah masa jabatan presiden banyak mendapat perhatian para anggota PAH. Patrialis Akbar

(17)

4. Ditentukannya syarat-syarat yang lebih rinci untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6);

5. Ditentukannya mekanisme impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden yang melibatkan DPR, Mah-kamah Konstitusi, dan MPR (Pasal 7A dan 7B);

6. Penegasan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR (Pasal 7C)

7. Pelaksanaan Hak-hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara harus dengan persetujuan atau Pertimbangan DPR, 8. Pengangkatan pejabat-pejabat publik, seperti anggota BPK (Pasal 23F), Hakim Agung [Pasal 24A ayat (3)], anggota Komisi Yudisial [Pasal 24B ayat (3)] harus dengan persetujuan DPR

9. Presiden berwenang membentuk dewan pertimbangan (Pasal 16) sebagai pengganti DPA yang dihapuskan22

10. Dalam pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian harus diatur dengan UU [Pasal 17 ayat (4)], tidak bebas seperti sebelumnya.

Pembahasan menyangkut presiden dan wakil presiden mendapat sorotan tajam dari para anggota panitia ad hoc III BP MPR. Mulai dari hak-hak presiden, masa jabatan presiden, sistem pengisian jabatan presiden/wakil presiden, sampai dengan masalah pertanggungjawaban presiden merupakan perdebatan yang cukup panjang. Jika ditelaah lagi, tidak jelasnya batas kewenangan presiden dalam menjalankan fungsinya juga mengakibatkan adanya salah pengertian dalam mengenali hak-hak tertentu yang dimiliki oleh presiden berdasarkan UUD 1945, karena adanya fungsi presiden sebagai kepala negara23.

Hak-hak tersebut sering disalahpahami oleh banyak pihak

22 Di dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Dewan Pertimbangan Agung selanjutnya

dihapuskan.

23 Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1998-2002; Beberapa Gagasan

(18)

sebagai hak prerogatif presiden, yang berarti hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak, dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Sebenarnya, UUD 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak pre-rogatif. Akan tetapi, dalam praktiknya hal ini dikenal luas dan bahkan menjadi argumentasi utama dalam membenarkan penggunaan hak-hak tertentu oleh presiden secara mandiri (tanpa adanya mekanisme pengawasan dari lembaga lainnya).

Hampir seluruh kewenangannya yang dimuat dalam Bab III UUD 1945, presiden tidak mendapatkan mekanisme kontrol dari lembaga lainnya. Persoalan muncul ketika kewenangan-kewenangan ini dilaksanakan dalam kegiatan bernegara sehari-hari. Ketiadaan mekanisme kontrol dari lembaga-lembaga lainnya menyebabkan presiden dalam melaksanakan fungsinya sehari-hari sering kali menjadi terlalu besar dan UUD 1945 menjadi justifikasi (dasar pembenar) atas tindakan yang dilakukan oleh presiden24.

Menyangkut persoalan tersebut, Anthonius Rahail meng-usulkan agar Lembaga Kepresidenan diatur secara tegas sehingga tidak lagi bisa, seperti masa lalu. la menegaskan25:

“... walaupun disebut-sebut bahwa presiden melaksanakan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, namun di sana-sini justru menimbulkan banyak hal yang bisa membawa malapetaka bagi bangsa”.

Dalam upaya mengurangi dominasi presiden (executive heavy),

AsnawiLatief26 memunculkan ide sistem parlementer di mana

presiden. hanya menjadi kepala negara saja, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana menteri. Hal itu menurutnya karena Indonesia menganut sistem multipartai, ia

mengutara-24 Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi...hlm. 103.

25 Risalah MPR RI Jilid VI Tahun 1999/Slamet Efendi Yusuf dan Umar Basalim, 2001 dalam

Suharial dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi...hlm. 103.

(19)

kan gagasannya:

Kita mengikuti sistem parlementer. Jadi, presiden itu cuma kepala negara, lalu ada kepala pemerintahan. Jadi, konsekuensinya ada perdana menteri. Karena itu, perdana menteri menjadi power sharing. Sebab, dengan sistem presidensil akan terjadi tawar-menawar. Partai yang menang itulah yang berhak menyusun kabinet dan seluruh rangkai pembangunan atau programnya.

Andi Mattalatta27 menyoroti hubungan presiden dan militer.

la mengusulkan agar ketentuan UUD 1945 yang berisikan bahwa presiden memegang kekuasaan tertinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara hanya dalam suasana perang. Akan tetapi apabila suasana damai kekuasaan tertinggi atas militer berada di tangan Panglima TNI. Ini penting menurutnya, untuk menjadikan TNI sebagai organisasi yang steril dari kepentingan-kepentingan pemerintah.

Andi Matalatta dari Fraksi Golkar, mengusulkan perubahan Pasal 14 UUD 1945 yang terkait dengan kewenangan presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Andi Mattalattamengusulkan agar ada keterkaitan lembaga tinggi negara lain sehingga pelaksanaan kewenangan presiden itu tidak begitu saja dijalankan seorang diri oleh presiden. la mengusulkan:

“... kewenangan yang bersifat yudikatif akan diminta pertimbangan Mahkamah Agung, yaitu pemberian grasi dan abolisi Sedangkan untuk amnesti dan rehabilitasi itu lebih bersifat politis, hendaknya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan DPR28.

Selain itu juga, pengaruh yang ditancapkan oleh lembaga eksekutif kepada lembaga legislatif, memberikan pengaruh yang justru dapat meminggirkan proses pelembagaan demokrasi. Kaitan dengan hal tersebut, Patrialis Akbar mengkritisi hubungan antara MPR, DPR, dan Presiden yang selama ini

27 Andi Mattalatta, Ibid.

(20)

cenderung excecutive Heavy, menurutnya DPR memegang kekuasaan legislatif lepas dari lembaga eksekutif. Ia mengatakan29 ;

“....jadi kalau selama ini kita melihat bahwa kewenangan legislatif itu masih ada kaitannya dengan eksekutif di mana Presiden mempunyai hak seutuhnya untuk mengesahkan satu undang-undang dan yang sudah disahkan diundang-undangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ke depan kami melihat seyogyanya DPR itu menjalankan kekuasaan legislatif semata-mata. Jadi, tidak ada lagi pengaruh dari eksekutif.”

Khofifah Indar Parawansa juga mengusulkan adanya peran DPR dalam penyusunan kabinet. Ia mengusulkan agar Presiden dalam mengangkat dan membentuk, serta memberhentikan kabinet harus dengan pertimbangan DPR. Dengan demikian, tidak ada lagi yang terjadi seperti sekarang ini di mana banyak menteri anggota kabinet mundur dari kabinetnya karena mau menjadi anggota MPR utusan daerah. Padahal ketika mereka di MPR akan melakukan koreksi terhadap pidato pertanggung-jawaban presiden sementara ia sendiri merupakan pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Alasan lain agar DPR dapat melakukan fungsi kontrol, Khofifah menegaskan ;

“...sehingga bentuk kabinet yang ramping, yang sedang, atau yang gemuk itu oleh Presiden harus dibentuk setelah mendapatkan pertimbangan dari DPR. Dengan begitu, maka DPR akan bisa melakukan fungsi kontrol yang lebih ketat karena setiap menteri yang akan diusulkan oleh presiden untuk menjabat satu departemen setelah ia mendapatkan pertimbangan dari DPR”30

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi fokus masalah penelitian dalam buku ini adalah sebagai berikut :

(21)

1. Bagaimanakah eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945?

2. Ekses-ekses yang timbul dari pergeseran eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem presidensial setelah amandemen UUD 1945?

C. Tinjauan Kepustakaan

Landasan teoritik akan pemisahan kekuasaan di dalam penelitian ini digunakan sebagai penuntun pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan variabel fungsi lembaga eksekutif dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 dan negara hukum Indonesia yang demokratis. Namun demikian pula, sebelum pembahasan akan eksistensi hak prerogratif presiden dalam sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945 di dalam bab-bab selanjutnya.

Menurut C.F. Strong31 kekuasaan eksekutif dalam suatu

negara demokrasi mempunyai suatu hakekat (nature). Hakekat-nya adalah bahwa kekuasaan eksekutif itu harus dipertang-gungjawabkan kepada rakyat atas tindakan eksekutif untuk merumuskan policy (kebijakan) dan untuk melaksanakan atau mengadministrasikan kebijakan itu di mana kesemuanya itu diatur dengan aturan hukum dan dapat diberi sanksi oleh badan legislatif. Mengenai bagaimana caranya eksekutif mempertang-gungjawabkan kekuasaannya itu C.F. Strong membedakan dua cara yaitu :

1. Eksekutif bertanggung jawab kepada badan legislatif (parlemen) di mana parlemen setiap saat dapat menja-tuhkan eksekutif melalui mosi tidak percaya. Cara ini dipergunakan oleh negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.

2. Eksekutif tidak bertanggung jawab kepada parlemen

(22)

tetapi mendapat pengawasan langsung dari rakyat. Akibat dari pengawasan langsung ini adalah timbulnya kemungkinan kepala eksekutif (presiden) tidak dipilih oleh rakyat dalam pemilihan presiden berikutnya. Cara inilah yang dianut oleh Amerika Serikat.

Menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) dari konstitusi Amerika Serikat ditentukan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif. Adapun luas ruang lingkup dari kekuasaan presiden meliputi32:

1. Presiden sebagai panglima angkatan darat dan angkatan laut Amerika Serikat.

2. Presiden berwenang untuk menangguhkan hukum dan memberi pengampunan terhadap orang yang melanggar hukum.

3. Membuat perjanjian dengan negara lain (treaty) dengan arahan dan izin Senat.

4. Mengangkat duta dan konsul atas arahan dan izin Senat. 5. Mengangkat hakim-hakim mahkamah agung atas saran

dan izin Senat.

6. Mengangkat pejabat-pejabat tinggi lainnya yang akan diatur lebih jauh dengan undang-undang atas saran dan izin Senat.

7. Berwenang untuk mengatasi segala kekosongan pada saat Senat sedang reses;

8. Menolak atau menyetujui rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh House of Representative dan Senat. Di samping memiliki kekuasaan-kekuasaan seperti tersebut di atas Presiden Amerika juga dibebani beberapa kewajiban sebagai berikut33:

32 Lihat I. Md. Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Modern,

Abardin, Bandung, 1990.

(23)

1. Melaksanakan kekuasaan eksekutif yang merupakan kewajiban pokoknya untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Kewajiban pokok ini dijalankan-nya selama 4 tahun bersama-sama dengan Wakil Presiden.

2. Wajib memberi informasi kepada Kongres tentang kemajuan negara-negara bagian.

3. Wajib berusaha agar hukum dijalankan dengan sebaik-baiknya di seluruh wilayah negara.

4. Wajib mengisi semua jenis jabatan-jabatan negara yang telah ditentukan.

5. Wajib menerima pemecatan apabila terbukti melakukan pengkhianatan, penyuapan dan tindak pidana berat lainnya.

Pemusatan kekuasaan yang terletak di tangan presiden berdasarkan Aturan Peralihan pasal IV ternyata menimbulkan masalah yang berkaitan dengan opini publik. AG Pringgodigdo menyatakan, di kalangan orang-orang yang tidak senang dengan berdirinya negara Republik Indonesia dikembangkan opini bahwa negara Indonesia bukanlah negara demokrasi, melainkan negara fasis atau nazi yang dipimpin oleh seorang Fuhrer atau Duce34. Munculnya opini yang menyamakan

Indonesia dengan fasisme diperkuat pernyataan presiden maupun ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ketika komite itu dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Pada waktu itu presiden menyatakan bahwa dalam masa peralihan, sebelum ada perwakilan rakyat (sic) maka kekuasaan ada di tangan presiden. Sedangkan Kasman Singodimedjo yang kala itu menjadi Ketua KNIP menyatakan kesediaannya untuk menjalankan perintah presiden35. Tidak mengherankan jika pola

34AG. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidentil Menjadi Kabinet Parlementer, Yayasan

Fonds Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, t.t

(24)

hubungan kekuasaan seperti itu dapat menimbulkan kesan kekuasan terpusat di tangan presiden, sehingga presiden bisa dianggap diktator atau tidak berada di dalam sistem kedaulatan rakyat36.

Sebagaimana diketahui pada awal penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dianut sistem Presidensial dimana Presiden memegang kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai kepala negara, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan dan menurut ketentuan pasal 17 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 sebelum amandemen menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri ne-gara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

Dari ketentuan pasal 4 dan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ini jelas bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem Presidensiil, yaitu Presiden memegang kekuasaan pemerintahan, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden37.

Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 itu menganut bentuk Republik Federasi38. Sistem

pemerintahannya parlementer disertai kebijaksanaan, bahwa parlemennya tidak dapat menjatuhkan pemerintah seperti yang tertuang dalam ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS. Bagian yang secara langsung menunjuk dianutnya sistem parlementer

36 Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006.

37 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara Versi Amandemen UUD 1945, Fakultas Hukum

Universitas Satyagama, Jakarta, 2007.

38 Termuat di dalam alinea III Mukadimmah. Tetapi dengan adanya pasal 74 (1) yang menentukan

bahwa “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian menunjuk tiga pembentuk kabinet” maka Ismail Sunny berpendapat bahwa ketentuan pasal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa RIS adalah kuasi federal. Lihat Ismail Sunny,

(25)

adalah pasal 118 yang berbunyi:

(1) Presiden tidak dapat diganggu gugat.

(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas sebuah kebi-jaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.

Gagalnya gerakan 30 S PKI/1965 dan disusul keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 dan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/ MPR/1967 tanggal 12 Maret 1967 yang mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden, dan pengangkatan sebagai Pejabat Presiden ini berlaku surut tanggal 22 Februari 1967, pada periode ini Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif meman-faatkan betul ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku pada saat itu sehingga kekuasaan eksekutif terasa begitu besar dan sangat dominan yaitu berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 “Presiden sebagai, Kepala Pemerintahan dan berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945 Sistem pemerintahan Negara angka 3 dikatakan, :Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjel-maan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis inilah mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. la berkewajiban menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis”39.

(26)

Ketentuan ini jelas memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pihak eksekutif belum lagi Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat40.

Ketentuan-ketentuan inilah yang dimanfaatkan oleh pihak eksekutif pada periode ini, sehingga Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang begitu besar dan sentralistik, dikatakan besar dan sentralistik karena presiden pada periode ini berfungsi sebagai41:

1. Kepala negara dan Kepala pemerintahan;

2. Sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang; 3. Dan kita ketahui pada periode ini MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang kemudian MPR memberikan mandat kepada Presiden, karena Presiden adalah mandataris MPR, hal ini dapat dimaknai bahwa Presiden adalah sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedau-latan rakyat. Dengan ketentuan itu pula, maka pada periode ini konsep GBHN selalu berasal dari Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan keputusan MPR dalam menetapkan GBHN terasa sebagai formalitas belaka. Sehubungan dengan ketentuan itu, maka Presiden Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia menjabat Presiden hingga 30 tahun lamanya, yaitu dari tanggal 12 Maret 1967 hingga tanggal 21 Mei 1998.

Pada periode selanjutnya secara konstitusional kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif masih kuat, Presiden disamping sebagai kepala negara, juga sebagai kepala pemerintahan, masih sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-undang dan masih sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam periode ini Presiden di jabat oleh B.J. Habibie. Pengangkatan BJ. Habibie menjadi

(27)

Presiden ini tidak dengan Ketetapan MPR, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 8 UUD 1945 ketika itu menentukan bahwa “Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannnya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”42.

Pada periode Reformasi, kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sudah mulai berkurang, yaitu sehubungan dengan telah dirubahnya UUD 1945 yang berkaitan dengan kekuasaan membentuk undang-undang yang sebelum perubahan UUD 1945 dalam pasal 5 ayat (1) ditentukan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dirubah menjadi pasal 5 ayat (1) setelah perubahan menentukan bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk undang-undang, yaitu bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang”, jadi pada periode ini kekuasaan membentuk undang-undang sudah bergeser dari semula berada pada Presiden dan setelah perubahan UUD 1945 maka kekuasaan membentuk undang-undang itu berada pada DPR43.

Dalam fungsinya selaku figur can do not wrong kepala negara memiliki hak khusus atau hak istimewa yang tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain yakni hak prerogratif44.

Dalam bidang hukum, kepala negara, a.n. negara, berhak mengeluarkan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Sebagai fungsi jabatan yang “terbebas dari kesalahan” maka terhadap penggunaan hak atas pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan

42 Rahimullah, Op.Cit. 43 Rahimullah, Op.Cit.

44 Hak Prerogratif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n. negara, bersifat

(28)

rehabilitasi, diatur didalam ketentuan negara yang khusus ditujukan untuk hal tersebut (yang dimaksud adalah Undang-Undang Dasar)45

Grasi adalah hak Kepala Negara untuk memberikan

pengampunan hukuman kepada terpidana atas putusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Grasi harus dimohonkan langsung oleh terpidana. Substansi grasi adalah bahwa terpidana telah menginsyafi dan menyadari kesalahannya46.

Amnesti adalah hak Kepala Negara untuk memberikan

pengam-punan artinya tidak memberlakukan proses hukum terhadap warganegara yang telah melakukan kesalahan pada negara seperti pemberontakan bersenjata melawan pemerin-tahan yang sah untuk melepaskan diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik untuk menggulingkan kekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d’etat). Amnesti umumnya diberlakukan untuk kasus bernuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal (amnesti umum). Pertimbangan atau rekomendasi untuk dikeluarkan amnesti oleh Kepala Negara bisa datang dari, parlemen/legislatif, pakar-pakar hukum, tokoh politik, dan/atau tekanan internasi.

Abolisi adalah hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau meniadakan proses hukum. Melalui abolisi putusan atau proses hukum dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Abolisi bisa dilakukan terhadap proses hukum yang kacau (misal, akibat sarat rekayasa atau karena hakim berada di bawah bayang-bayang kekuasaan, atau tercium adanya permainan kotor yang melatarbelakangi proses peradilan), atau pada putusan hukum yang dinilai tidak adil/cacat hukum yang

45 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik (mengapa ada

negara yang gagal melaksanakan demokratik), Fokus media, Bandung, 2007, hal. 198.

46 Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Kepala Negara a.n. negara memberi

(29)

mengusik rasa keadilan masyarakat (putusan hukum berten-tangan dengan kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis). Perkara yang menuai kemarahan publik bahkan tidak tertutup kemungkinan mengundang tekanan internasional, apabila dibiarkan, akan berdampak pada merosotnya kredibilitas negara.

Rehabilitasi adalah hak kepala negara untuk memulihkan nama baik warganegara yang sebelumnya tercemar oleh putusan hukuman yang kemudian terbukti bahwa hukuman tersebut ternyata oleh satu dan lain hal terbukti keliru. Kepala negara a.n. negara memulihkan nama baik warganegara yang dirugikan oleh putusan dimaksud.

Substansi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi adalah

pengakuan atas keterbatasan manusia sebagai makhluk yang

tidak sempurna. Manusia bisa khilaf, bahwa kesalahan adalah fitrah manusia, tidak terkecuali dalam memutus perkara. Yudikatif sebagaimana halnya Legislatif dan Eksekutif berada di wilayah “might be wrong”. Penggunaan hak prerogatif oleh kepala negara hanya dalam kondisi teramat khusus. Hak prerogatif dalam bidang hukum adalah katup pengaman yang disediakan negara dalam bidang hukum47.

Di bidang politik hak prerogatif kepala negara adalah a.n. negara mengeluarkan Dekrit atau Maklumat48.

Negara dalam keadaan darurat menyiratkan satu hal bahwa

47 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi....hlm. 200.

48 Dekrit adalah hak kepala negara yang hanya dikeluarkan dalam negara yang sedang

(30)

negara atau wilayah tertentu harus ditangani secara khusus (darurat). Penduduk negara dalam wilayah yang sudah dinyatakan Dalam Kea-daan Darurat harus tunduk pada hukum militer49 (misal, tembak ditempat bagi perusuh atau penjarah,

dll). Prosedur yang biasa berlaku adalah segera setelah kepala negara menyatakan negara dalam keadaan darurat, kepala negara memberitahu atau menyampaikan keputusannya tersebut di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen untuk memperoleh kekuatan legitimasi. Keadaan darurat hanya mempunyai satu pengertian tunggal yakni darurat militer (istilah-istilah kenegaraan yang dikenal umum dalam dunia interna-sional tidak mengenal istilah “darurat sipil” atau ‘tanggap darurat’). Hukum dan tatacara sipil untuk sementara (masa darurat) diganti oleh hukum dan tatacara militer yang bersifat

top-down, dibawah koordinasi militer. Untuk suatu waktu yang

sangat terbatas militer berada di domain sipil mengganti sementara fungsi sipil.

D. Konsep Operasional

Adapun konsep operasional yang digunakan dalam buku ini adalah :

1. Eksistensi adalah keberadaan atau adanya50.

2. Hak Prerogratif adalah hak kepala negara untuk mengeluarkan putusan, a.n. negara, bersifat final,

49 UUD tiap negara seharusnya memuat ketentuan mengenai pembatasan militer dalam keadaan

normal, dan menyebutkan dalam keadaan apa ia mendapatkan pengecualian. Belajar dari pengalaman banyak negara yang mengizinkan militer menjalankan “kekuasaan ekstra” dalam situasi “darurat nasional atau militer”, biasanya tidak memenuhi standar ini dan cenderung menciptakan situasi yang berbahaya dimana pemerintahan sipil “berjalan di bawah ancaman terus menerus dari intervensi militer.” Lihat Larry Diamond dan Marc F. Plattner (ed), Hubungan Sipil – Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Rajawali Press, 2000, hlm. xix. Dalam kasus penggantian Kapolri dari S. Bimantoro kepada Ismail terlihat lagi-lagi pemerintah berusaha menyeret militer untuk menopang kekuasaan (berpolitik), hal yang sebetulnya mulai diluruskan oleh politisi sipil sendiri. Lihat Juga Sobirin Marlian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 105.

(31)

mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Hak prerogratif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara51.

3. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 adalah Undang-Undang Dasar yang berlaku di negara Republik Indonesia

4. Sistem Pemerintahan Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana presiden tidak hanya sebagai kepala negara akan tetapi juga kepala pemerintahan 5. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu

lembaga perwakilan yang ada di Indonesia

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan jenis dan sifatnya adalah penelitian hukum normatif (Doctrinal Reseach)52. Penelitian

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau hukum kepustakaan (disamping adanya penelitian hukum sosiologi atau empiris yang terutama meneliti data primer).53

2. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini ialah tentang pergeseran hak prerogratif presiden setelah amandemen UUD 1945.

Dengan pembahasan dari sudut ilmu hukum khususnya hukum tata Negara.

3. Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian hukum, dan pendekatan

51 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara : Arsitektur Konstitusi Demokratik (mengapa ada

negara yang gagal melaksanakan demokratik), Fokus media, Bandung, 2007, hal. 198.

52 Yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan didukung oleh penelitian

empiris.

(32)

(approach) yang digunakan di dalam penulisan ini ada tiga pendekatan, Enid Campbell54 mengatakan, bahwa satu

pendekatan saja tidaklah memadai untuk menganalisa banyak kasus. Adapun pendekatan yang digunakan adalah :

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach),

pendekatanperundang-undangan adalah merupakan

conditio sine quanom bagi seseorang dalam mengkaji

hukum normatif. Menurut Peter Mahmud55, bahwa

manfaat penggunaan pendekatan perundang-un-dangan adalah untuk mencari ratio logis dan dasar ontologis lahirnya peraturan perundang-undangan. Untuk itu dalam penelitian ini Penulis akan meng-analisis hukum-hukum yang ada terutama Undang-Undang Dasar 1945, dan perundang-undangan; dalam kaitannya dengan terhadap pergeseran hak prerogratif presiden setelah amandemen UUD 1945.

b. Pendekatan historis (Historical Approach), yaitu Pendekatan yang dilakukan dengan menelaah, menganalisis sejarah ketatanegaraan khususnya fase-fase pemberlakuan konstitusi yang pernah berlaku. Menurut Peter Mahmud56, telaah latar belakang apa

yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi diperlukan oleh seseorang manakala ia memang ingin mengungkapkan filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. Melalui pendekatan Historis akan dapat diketemukan adanya perkembangan atas eksistensi hak prerogatif Presiden dalam sistem ketatanegaraan

54 Enid Campbell, (et.all), Legal Reserach, The Law Book Company Ltd, Ford Edition, Sidney,

1996, p. 274 dalam Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Setelah Amandemen UUD 1945, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 18.

(33)

Indonesia yang sejalan dengan dinamika perkem-bangan sistem ketatanegaraan modern.

c. Pendekatan Perbandingan(Comparative Approach),

pendekatan ini digunakanuntukmenelusuri kebera-daan hak prerogatif Presiden dalam sistem keta-tanegaraan pada beberapa negara dan kebera-daannya dalam beberapa konstitusi yang pernah berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu sendiri.

4. Jenis dan Sumber Data

Seperti dikatakan Soerjono Soekanto, “bahan-bahan yang dapat dijadikan obyek studi ada tiga golongan, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.”57 dalam kaitannya dengan penelitian ini,

maka :

a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang Dasar 1945 Setelah Amandemen 3. Konstitusi Republik Indonesia Serikat

4. Undang-Undang Dasar Sementara 1950

5. Peraturan Perundang-undangan lain yang sekira-nya terkait dengan permasalahan yang akan diteliti

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada bahan-bahan hukum primer yaitu :

1. Berbagai buku mengenai undang-undang dasar, lembaga-lembaga negara serta data-data tertulis terkait dengan penelitian.

(34)

2. Berbagai makalah, jurnal-jurnal, surat kabar, ma-jalah dan dokumen yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, ensiklopedia dan berbagai kamus lain yang relevan 5. Analisa Data

Data mentah yang telah dikumpulkan akan tidak berarti dan tidak ada gunanya, apabila tidak dilakukan analisa. Analisa data merupakan bagian yang amat penting dalam metode penelitian ilmiah karena dengan analisa data tersebut diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.

Data mentah yang telah dikumpulkan perlu dipecah-kan dalam kelompok-kelompok, data tersebut selanjut-nya diseleksi, diklasifikasi secara sistematis, logis dan yuridis sehingga data tersebut mempunyai makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk menguji hipobuku.58

6. Penarikan Kesimpulan

Secara eksplisit penulis menggunakan analisa data dalam penelitian yang bersifat normatif ini yaitu dengan cara dimana data yang telah penulis peroleh dari bahan hukum sekunder, berupa buku-buku atau literatur-literatur melalui penelusuran kepustakaan serta bahan hukum tersier dan bahan-bahan yang penulis peroleh dari internet, media massa, majalah, buletin, makalah-makalah seminar yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Kemudian data tersebut dirangkum dengan melakukan pengelompokkan yang didasarkan atas jenis dari masing-masing bahan tersebut dengan maksud agar

(35)

dapat memberikan kemudahan bagi penulis dalam menulis penelitian ini yang tersusun secara rapi, selanjutnya barulah disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis.

Tahapan berikutnya, dari kalimat demi kalimat yang telah tersusun secara sistematis tersebut, penulis akan melakukan proses pengolahan data, penganalisaan data dan membahasnya serta melakukan perbandingan antara teori-teori, pendapat-pendapat para ahli.

(36)

BAB II

PEMBAGIAN KEKUASAAN DALAM

NEGARA HUKUM

A. Tinjauan Umum Terhadap Konsep Pembagian Kekuasaan

Teori tentang kekuasaan negara merupakan teori negara yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus mutlak. Negara adalah lembaga yang kedudukannya berada di atas rakyatnya. Ia memegang peranan mutlak dalam menentukan apa yang baik dan seharusnya bagi rakyatnya. Pemikiran ini pertama kali dikemukakan secara sistematis oleh pemikir besar Yunani kuno yaitu Plato yang dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.

Arti kata pembagian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki kata dasar “bagi” memiliki arti dasar pecah, penggal, cerai, pecahan dari sesuatu yang utuh. Sedangkan pembagian itu sendiri diartikan sebagai proses, cara, perbuatan membagi atau membagikan59. Dengan demikian

pembagian dapat diartikan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Dalam terminologi umum kekuasaan itu sering diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi orang lain/ kelompok lain sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan itu sendiri60. Miriam Budiardjo61 mendefinisikan, kekuasaan

sebagai “kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk

59 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gitamedia Press, Jakarta, tt, hal. 82. 60 Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Kreasi

Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 13.

(37)

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau orang lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi selaras dengan keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu.”

Sementara itu Sosiolog terkenal Max Weber62, mengartikan

kekuasaan sebagai “kesempatan dari seseorang atau sekelom-pok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu.”

Sedangkan Mac Iver63, merumuskan kekuasaan sebagai

“kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia.

Secara populer kekuasaan memang identik dengan dunia politik, padahal makna sebenarnya jauh lebih luas dari itu. Bila kekuasaan hanya dimaknai hanya dalam arti politik, maka itu berarti maknanya telah dipersempit dan menjadi monoform. Sementara bila diperluas, maka maknanya berarti multiform atau

polyform.

Dari sekian jenis kekuasaan yang ada dalam masyarakat suatu negara, maka kekuasaan politik mempunyai arti dan kedudukan strategis. Karena penting dan strategisnya kekuasaan politik, maka ke-kuasaan itu harus diintergrasikan, dan integrasi kekuasaan politik ini diwujudkan dalam bentuk negara. Oleh karena negara merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, maka dalam kenyataannya, tindakan negara itu dilakukan oleh sekelompok orang dari kekuatan politik tertentu yang terdapat dalam masyarakat negara melalui cara-cara tertentu. Pada hakekatnya kelompok atau kekuatan politik yang

62 Dikutip dari Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi ....Ibid, hal. 13.

63 Mac Iver, The Web og Goverment, Mac Milan Co, New York, 1965, hal 87 dikutip dari Ellydar

(38)

sedang memegang kekuasaan negara inilah yang membuat keputusan-keputusan atas nama negara dan kemudian melaksanakannya. Oleh karena itu bukan tidak mungkin bahwa kekuatan politik tertentu yang sedang memegang kekuasaan dalam negara dapat menyalahgunakan kekuasaan tersebut.

Apabila ditinjau dari sudut hukum tata negara, negara itu adalah suatu organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, di dalam negara terdapat banyak kegiatan, dan untuk melaksanakan kegiatan tadi diperlukan banyak alat negara. Tentunya semua pekerjaan alat negara tadi dipadukan untuk mencapai tujuan negara tersebut. Kegiatan alat-alat negara tersebut, baik pelaksanaannya maupun jumlahnya, berada di bawah satu garis kekuasaan yang bersubordinasi dari atas ke bawah, karena itu semakin ke bawah ia semakin membesar dan semakin banyak64.

Kekuasaan itu berarti kemampuan seseorang yang hidup dalam suatu kelompok untuk mengatur kehidupan kelompok tersebut. Jika dalam negara kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau beberapa orang untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat negara tersebut. Bila dalam negara tersebut ada yang tidak patuh, dia mempunyai wewenang dan hak untuk memaksa agar seseorang tadi patuh. Wewenang memaksa bisa diartikan dengan jalan menghukum atau memasukkannya ke dalam penjara65.

Identitas negara dan tatanan hukum dapat di lihat dengan jelas dari fakta bahwa sosiolog pun menyebut negara sebagai sebuah masyarakat yang diorganisasikan “secara politik”. Ada kalanya negara dikatakan sebagai organisasi politik dengan alasan bahwa negara adalah “kekuasaan” atau memiliki “kekuasaan.” Negara digambarkan sebagai kekuasaan yang ada di balik hukum, yang menjalankan hukum. Jika ada kekuasaan

(39)

semacam itu, maka kekuasaan tersebut tidak lain adalah fakta bahwa hukum itu sendiri efektif, bahwa ide tentang norma hukum yang menetapkan sanksi memotivasi perbuatan para individu, yakni berfungsi sebagai paksaan psikis bagi para individu. ubungan semacam itu hanya dimungkinkan berda-sarkan sebuah tatanan yang memberi wewenang kepada yang satu untuk memerintah dan mewajibkan yang lain untuk mematuhinya66.

Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Action bahwa “Kekuasaan itu mempunyai kecenderungan untuk disalah gunakan (power tends to corrupt), maka untuk mencegah adanya kemungkinan menyalah-gunakan kekuasaan itulah konstitusi atau Undang Undang Dasar disusun dan ditetapkan. Dengan perkataan lain konstitusi itu berisi pembatasan kekuasaan dalam negara. Oleh karena itulah konstitusi mengatur kedudukan serta tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara. Hal ini berarti adanya pembatasan kekuasaan terhadap setiap lembaga politik, khususnya pada jajaran Supra Struktur Politik67.

Pembatasan kekuasaan ini setidak-tidaknya meliputi ; sejauh mana ruang lingkup kekuasaan, pertanggungjawaban

66 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, hal. 272-273.

67 Lembaga supra struktur politik terdiri dari :

1. Eksekutif

2. Legislatif67 Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata negara. Ada yang menyebut presidentil, tapi ada juga yang menyebut kuasi presidentil. Hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidentil. Jika dilihat ketentuan pasal 4(1) dan pasal 17 maka sistem yang dianut UUD adalah presidentil. Sebab kedua pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidentil, yaitu, pertama, presiden menjadi kepala pemerintahan yang tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedua, menteri diangkat, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR. Tetapi jika dilihat dari ketentuan pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Penjelasan

(40)

kekuasaan, kontrol kekuasaan, maupun berkenaan dengan periode atau waktu dijalankannya kekuasaan tersebut68.

Berbicara soal pembatasan kekuasaan, maka tidak bisa lepas harus pula berbicara mengenai konsep pembagian kekuasaan. Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara itu bermula dari gagasan tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarkhi (raja absolut)69. Gagasan itu antara lain di kemukakan oleh Jhon Locke70.

Menurut Jhon Locke dalam perjanjian masyarakat untuk membentuk sebuah negara tidak hanya di dasarkan pada satu macam perjanjian saja yaitu pactum subjectionis71, akan tetapi menurut Jhon Locke ada dua perjanjian, yaitu pactum unionis dan

pac-tum subjectionis72. Perjanjian masyarakat John Locke ini tidak melahirkan kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan terbatas.

68 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1993. hal. 18. Lihat juga Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 69, beliau menyatakan semua jabatan yang ada didalam negara republik adalah jabatan yang berfungsi mewujudkan kepentingan umum. Karena itu semua jabatan, pengisian jabatan, dan pemangku jabatan dalam republik pada dasarnya memerlukan keikutsertaan publik, termasuk pertanggungjawaban, pengawasan, dan pengendalian.

69 Dalam perkembangannya, penerapan konsep pemisahan kekuasaan itu meluas ke seluruh dunia

dan menjadi paradigma tersendiri dalam pemikiran tentang susunan organisasi negara modern. Doktrin pemisahan kekuasaan ini bertujuan mencegah terkonsentrasinya kekuasaan secara absolut di satu tangan sehingga cendrung sewenang-wenang. Konsep pemisahan tersebut selanjutnya dikembangkan dan dimodifikasi oleh Emanuel Kant dengan melihat kekuasaan negara yang harus dipisahkan kedalam bentuk tiga fungsi kekuasaan.

70 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 72. 71 Gagasan ini di wacanakan oleh Thomas Hobbes, di mana kontruksi dalam membentuk negara

atau Body Politic di gambarkan melalui perjanjian masyarakat. Akan tetapi Thomas Hobbes lebih menonjolkan satu macam perjanjian yaitu Pactum Subjectionis.

72 Pada tahap pertama diadakan pactum unionis yaitu perjanjian antar individu untuk membentuk

body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahapan kedua para individu yang telah membentuk

(41)

Yang dimaksud terbatas disini ialah dibatasi oleh hak-hak asasi dan kebebasan tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat. Sebagaimana diketahui, perjanjian mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian, hal ini sama artinya dengan hukum bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian, perjanjian masyarakat itu sama artinya dengan hukum. Jadi kekuasaan raja yang dibatasi oleh perjanjian masyarakat, berarti sama dengan kekuasaan raja dibatasi oleh hukum73. Adanya

kekuasaan raja yang dibatasi oleh hukum ini disebut oleh Daniel S Lev74, Carl J. Friedrich75 sebagai unsur pertama negara hukum.

Melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties of Government” John Locke mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi-bagi kepada organ-organ negara yang berbeda. Menurut John Locke agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang) 2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang) 3. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik

dengan negara-negara lain)76.

Montesquieu dalam bukunya I’Esprit des Lois (1689-1755) memisahkan kekuasaan dalam negara atas tiga jenis yaitu77:

73 Sobirin Marlian, Gagasan Perlunya Konstitusi...Ibid, hal. 32. 74 Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan

Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, hal. 513-514.

75 Dalam Miriam Budiardjo, Constitutional Goverment and Democracy;

Theory and Practice in Europe and America, Blaisdell Publishing Company, 1967, bab. VII.

76 Tugas kekuasaan ini antara lain menyatakan perang atau melaksanakan

perdamaian dengan negara lain, ataupun mengadakan perjanjian kerjasama sejauh menyangkut keharmonisan dan kebaikan lembaga antar negara.

77 Sukarna, Demokrasi Versus Kediktatoran, Penerbit Alumni, Bandung,

(42)

1. La puissance legislative (kekuasaan legislatif),

2. La puissance executive (kekuasaan eksekutif), dan

3. La puissance de juger (kekuasaan yudikatif).

Jika dibandingkan, akan segera terlihat perbedaan konsep Locke dan Montesquieu sebagai berikut ;

1. Menurut Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti, melaksanakan undang-undang, sedangkan ke-kuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.

Konsep John Locke tentang kekuasaan lembaga peradilan yang kemudian disebutnya sebagai lembaga eksekutif itu bahkan mencakup kekuasaan lain, di luar yang dikenal sekarang ini, yaitu hak untuk memanggil parlemen untuk bersidang, kekuasaan untuk memerintahkan merobohkan rumah orang jika rumah tetangganya mengalami kebakaran, bahkan kekuasaan melakukan perbuatan yang tidak sah menurut Undang-Undang pada saat keadaan bahaya. Betapapun begitu, menurut Polak, terdapat pertanda yang tegas bahwa istilah “excecutive power” yang dipikirkan oleh John Locke pertama-tama berarti kekuasaan peradilan. Kekuasaan peradilan ketika itu dikehendaki sebagai lembaga yang bebas78.

2. Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

Akan tetapi, baik Locke maupun Montesquieu menyatakan bahwa didalam negara demokrasi harus ada lembaga peradilan

78 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hal.

(43)

yang bebas dan merdeka dari kekuasaan lain dalam melaksana-kan tugas-tugasnya. Kekuasaan tidak boleh dikonsentrasimelaksana-kan di satu tangan sebab konsentrasi kekuasaan akan menyebabkan tiadanya lembaga peradilan yang netral dan tidak memihak. Oleh sebab itu, pemencaran kekuasaan menjadi mutlak diperlukan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan yang sangat potensial untuk korup itu. Namun, tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menyatakan bahwa prinsip bebas merdeka itu harus diartikan adanya struktur organisasi ketatanegaraan yang betul-betul memisahkan lembaga yudikatif dari lembaga eksekutif. Artinya, secara struktur kelembagaan bisa saja yudikatif itu tidak terpisah dari eksekutif, tetapi dalam pelaksanaan tugas-tugasnya harus betul-betul merdeka. Dengan demikian, apa yang diajarkan oleh Montesquieu tidak secara jelas menyebutkan adanya pemisahan organ di dalam jaringan organisasi kekuasaan negara79.

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat di jelaskan bahwa pemisahan kekuasaan lebih bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (Checks and Balance). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat80.

Tujuan dipisahkannya kekuasaan di atas pada dasarnya bertujuan untuk mencegah agar supaya kekuasaan negara tidak terpusat pada satu tangan saja. Karena penumpukan kekuasaan dapat berakibat lahirnya kekuasaan yang sewenang-wenang81.

Untuk mengetahui apakah suatu negara menganut pem-bagian ataukah pemisahan kekuasaan dapat dilihat dari

79 Ibid, hal. 94-95.

80 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD

1945, FH.UII Press, Yogyakarta, 25, hal. 35.

81 Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi

(44)

Undang-Undang Dasar negara itu, yakni apakah ada dua lembaga negara yang mengerjakan satu fungsi yang sama82.

Hal ini sejalan dengan pendapat Ellydar Chaidir yang menya-takan bahwa83 ;

Kalau Undang-Undang Dasar suatu negara dimana dari ketiga kekuasaan yang dibagi itu ternyata dalam kenyataannya tidak terdapat pemisahan kekuasaan, karena umpamanya undang-undang dibuat oleh eksekutif dan legislatif, maka Undang-Undang Dasar tersebut dikatakan menganut asas pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan.

Pada kenyataannya, ternyata sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dilakukan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing. Pembagian kekuasaan-kekuasaan itu ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Emmanuel Kant kemudian di beri nama Trias Politika84. Inti dari ajaran ini adalah adanya pemisahan kekuasaan

dalam negara, sehingga dengan demikian penyeleng-garaan pemerintahan negara tidak berada dalam kekuasaan satu negara85.

Selain itu, Dahlan Thaib juga memberikan catatan bahwa Trias Politika menghendaki adanya Check and Balances, yang artinya antara lembaga negara dengan lembaga negara yang lain saling mengawasi serta saling menguji agar tidak saling melampaui kewenangannya masing-masing86.

82 Ibid.

83 Ellydar Chaidir, Hubungan Tata Kerja Presiden dan Wakil Presiden Perspektif Konstitusi,

UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 45.

84 Alasan pemberian nama Trias Politika ialah karena konsep John Locke maupun Montesquieu

tentang kekuasaan negara dipisahkan kedalam tiga fungsi atau tiga poros. Trias Politika diartikan sebagai Tri = tiga, As = Poros (pusat), Politika = kekuasaan atau tiga pusat atau poros kekuasaan negara. Oleh karenanya, meskipun selama ini Trias Politika selalu dikaitkan dengan nama Montesquieu, namun sebenarnya pemberian nama Trias Politika untuk teori pemisahan kekuasaan adalah Emmanuel Kant bukan Montesquieu. Lihat Fajar Laksono dan Subardjo,

Kontroversi Undang-Undang Tanpa Pengesahan Presiden, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 35.

85 Dahlan Thaib, Implementasi....Ibid. hal. 19.

86 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta,

(45)

Negara-negara modern menerapkan teori Montesquieu itu dengan modifikasi yaitu dari pemisahan kekuasaan bergeser ke pembagian ke-kuasaan. Namun apa pun modifikasi itu, adalah suatu kenyataan bahwa dalam negara-negara demokrasi selalu terlihat adanya lembaga-lembaga negara yang menjalankan ketiga jenis kekuasaan tersebut terlepas dari persoalan apakah satu sama lainnya betul-betul terpisah atau dapat saling kontrol atau saling mencampuri. Wujud konkret dari pelaksana kekuasaan-kekuasaan itu adalah berupa lembaga-lembaga negara87.

Dengan adanya pembagian kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara itu dalam opera-sional kekuasaan masing- masing. Dengan sistem yang demikian maka di dalam ajaran Trias Politica terdapat suasana “Checks and

balances”, di mana di dalam hubungan antar lembaga-lembaga

negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah ditentukan. Dengan demikian akan terdapat perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara tersebut.

Harus diakui bahwa gagasan untuk memisahkan kekuasaan yang berarti pula sebagai upaya pembatasan kekuasaan, merupakan gagasan politik yang cemerlang. Dapat dibayangkan andaikata ke-kuasaan itu berada dalam satu tangan; bukan tidak mungkin tirani dan kesewenang-wenangan akan timbul dari pihak yang sedang memegang kekuasaan dalam negara. Oleh karena itulah kekuasaan negara itu harus dicegah jangan sampai berada dalam satu tangan88.

Terhadap masalah ini Maurice Duverger dalam bukunya

Teori dan Praktek Tata Negara” mengatakan bahwa persoalan

tersebut maha penting. Oleh karena masalah tersebut

87 I.Md Pasek Diantha, Tiga Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi Modern, Abardin,

Bandung, 1990, hal. 18.

Referensi

Dokumen terkait

wada’antara lain: wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayh kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas Non Arab, tidak juga Non Arab atas Arab,

Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Akuntansi pada Gundoz Craft dengan Metode Rapid Application

judul “P eningkatan Pemahaman Konsep Matematika Materi Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan Melalui Model Student Facilitator and Explaining Kelas IV SD 02 Lau Dawe

Penguasaan buruh-buruh India dalam pekerjaan di ladang-ladang getah adalah disebabkan kaum-kaum lain iaitu orang Melayu dan Cina yang tidak berminat untuk bekerja di ladang-ladang

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebe- lumnya, secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana mengembangkan bahan

[47] Nurdin Bukit.“Pengolahan Zeolit Alam Sebagai Bahan Pengisi Nano Komposit Polipropilena dan Karet Alam SIR - 20 dengan Kompatibiliser Anhidrida Maleat -

Outbound merupakan kegiatan yang juga memiliki tujuan terapi psikologi, dengan tujuan meningkatkan kinerja percaya diri, komunikasi, kerjasama, mengatasi stress dalam

Sebagian hutan di Kawasan Gunung Betung telah diubah fungsinya menjadi lahan dengan berbagai peruntukan. Alih fungsi lahan hutan semacam ini menyebabkan berubahnya