• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Multi dimensional dalam Sejar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendekatan Multi dimensional dalam Sejar"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pendekatan Multi-dimensional dalam Sejarah

Efrial Ruliandi Silalahi

Abstrak

Pendekatan dalam memahami suatu peristiwa sejarah dapat dilakukan melalui berbagai jalur metodologis atau perspektif teoritis dan yang terpenting adalah jalan atau perspektif ekonomis, sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Untuk tujuan-tujuan analitis sejumlah aspek dari fenomena-fenomena yang kompleks itu dapat diisolasikan, akan tetapi hal itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang bersangkutan. Kita dapat mengandaikan bahwa pertemuan beberapa faktor telah menyebabkan terjadinya peristiwa sejarah. Sebelum mencapai titik pertemuan itu, faktor-faktor itu masing-masing mengalami perkembangannya sendiri. Berdasarkan pertimbangan teoritis ini, kita bisa membahas secara terpisah aspek-aspek itu sebagai faktor-faktor kondisional dari peristiwa sejarah.

Kata Kunci : Metodologis, Sejarah

Pendahuluan

(2)

bersamaan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.1 Sejarah merupakan ilmu empiris yang bertolak memulai kajiannya sebagai objeknya adalah masyarakat. Demikian juga ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi, demografi dan sebagainya.

Ilmu sejarah bersifat empiris, oleh karena itu sangat penting untuk berpangkal pada fakta-fakta yang tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat-alat untuk mempermudah analisis dan sintesis sejarah. Sejarah dalam arti subjektif merupakan rekonstruksi peristiwa sejarah yakni hasil dari penelitian yang kemudian dituliskan. Sedangkan, sejarah dalam arti objektif menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu sendiri yakni proses sejarah dalam aktualitasnya.

Perbedaan pokok dari ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya adalah bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang. Sesuai makna semula sejarah (syajarah) bermakna pohon. Sejarah meneliti pertumbuhan dan perkembangannya, sedangkan ilmu sosial menggarap penampangnya, pohon yang air dan sinar matahari cukup, maka pohon akan tumbuh subur. Sejarah menekankan proses, sedangkan ilmu-ilmu sosial menekankan struktur. Maka dalam perkembangan

(3)

selanjutnya ada istilah pendekatan multidisipliner dan interdisipliner.2 Kenyataannya kemajuan yang dicapai oleh ilmu sosial sangat dipengaruhi ilmu sejarah, ada pendekatan masing-masingnya. Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian sejarah, sebaliknya ilmu-ilmu sosial dengan pendekatan sejarah.

Perdebatan apakah sejarah termasuk humaniora atau ilmu-ilmu sosial atau sejarah berdiri sendiri sebenarnya sudah lama berlangsung. Salah satu mungkin benar atau keduanya benar, dengan alasan bahwa sejarah dapat memiliki sifat ilmu-ilmu sosial dan mendapat kemajuan, akan tetapi sejarah tetap memperhatikan pada masa lampau, baik tindakan individu atau masyarakat secara khusus atau unik menurut garis perkembangan.3

Sejarah dan ilmu-ilmu sosial mempunyai hubungan timbal balik, sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial dan juga sebaliknya. Sejarah lahir karena ilmu sosial, meskipun sejarah punya cara sendiri menghadapi objeknya. Topik-topik baru ilmu sejarah muncul karena ilmu sosial, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah tujuan masing-masingnya. Tujuan sejarah adalah

2 Multidisipliner adalah bila peneliti menggunakan banyak ilmu untuk menganalisis suatu masalah, sedangkan interdisipliner, bila peneliti menggunakan ilmunya sendiri-sendiri untuk meneliti masalah yang sama, akan tetapi pada umumnya mereka menggunakan interdisipliner, apalagi berkenan dengan sejarah.

(4)

mempelajari hal-hal yang unik, tunggal, ideografis, telah terjadi. Sedangkan ilmu sosial tertuju kepada yang bersifat umum. Pendekatannya, sejarah memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial melebar dalam waktu. Sejarah mementingkan proses, sedangkan ilmu sosial menekankan struktur.4

Sejarah memiliki keterkaitan yang erat dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama terwujud pada perubahan metodologi. Pembaharuan metodologi tahap pertama akan terjadi karena pengaruh ilmu diplomatik sejak Mabillon (1632-1707) pemakaian dokumen sebagai sumber sejarah memerlukan kritik intern dan kritik ekstern. Kritik ekstern ialah dengan meneliti apakah dokumen itu autentik, yaitu kenyataan identitasnya artinya bukan tiruan, turunan atau palsu. Hal ini dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, jenis tulisan, gaya bahasa, dan sebagainya. Kritik intern ialah dengan meneliti isinya, apakah isi pernyataan fakta-fakta dan ceritanya dapat dipercaya. Untuk itu perlu diidentifikasi penulisnya, beserta sifat dan wataknya, daya ingatannya, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam waktu, dan sebagainya, sedangkan yang dibahas dalam paper ini merupakan tahap kedua, yang terjadi karena pengaruh ilmu sosial. Perubahan metodologi itu menyangkut rapproachment. Implikasinya adalah bahwa setiap riset design memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu

(5)

memuat alat-alat analitis yang akan meningkatkan kemampuan untuk menggarap data.

Rapproachment antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial terutama

menyangkut penggunaan konsep-konsep dan teori-teorinya. Mengapa demikian? Oleh karena sejarah bersifat empiris, maka sangat penting untuk berpangkal pada fakta-fakta tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat untuk mempermudah analitis dan sintesis. Di samping itu dalam menggarap analisis sejarah, hipotesis dan teori sangat membantu cara kerja supaya tidak acak-acakan. Dengan demikian jelas bahwa fakta-fakta sejarah tidak boleh untuk mendukung suatu teori tetapi sebaliknya, teori yang tidak dapat menerangkan fakta-fakta perlu ditinggalkan. Dengan demikian, seperti apa yang dikatakan oleh

Crane Brinton sangat mendukung gagasan ini “the conviction that

historians should try to interpret or understand history so as to make written history ‘at least a commulative body of knowledge useful as a guide in solving our present problems of human

relations.”

(6)

mengarahkan diri terhadap terhadap ilmu-ilmu sosial. Kemudian, apa yang melatarbelakangi penyesuaian ilmu sejarah terhadap ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak ada tiga alasan yang mendasari, yaitu pertama, perluasan problem areas serta tema-tema baru menuntut agar sejarah lebih bersifat analitis dan tidak naratif semata-mata, kedua, dengan adanya kemungkinan meminjam alat-alat analitis atau kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial ada potensi lebih besar bagi sejarah untuk mengungkapkan pelbagai dimensi gejala-gejala sejarah, ketiga, sebagai umpan balik dari perkembangan itu terciptalah jenis-jenis sejarah baru yang lebih banyak memakai pendekatan social-scientific yaitu suatu jenis sejarah yang berbeda secara mendasar dari sejarah naratif.5 Di sinilah ilmu sejarah telah mengalami revolusi kedua untuk meningkatkan relevansinya dalam menggarap objek penelitian.

Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-Ilmu Sosial

Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu sosial memerlukan sedikit penjelasan. Pertama perlu diketahui bahwa sejarah dikualifikasikan sebagai ilmu baru pada abad ke-19. Bila pada abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19 sejarah dianggap lebih bersifat sebagai suatu sistem. Dalam bentuknya sebagai arts, sejarah hanyalah merupakan bentuk

(7)

pemikiran manusia yang disampaikan dalam bentuk narasi yang secara literer melukiskan peristiwa masa lampau, dan bersifat mempersoalkan masalah, apa, kapan, di mana dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada segi-segi literernya, hal-hal yang unik, dan tidak menggunakan analitis. Maka dari itu dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak dapat mempersoalkan kausalitas sebagai pusat penggarapannya, oleh karena itu tidak terdapat pertanyaan mengapa. Selain itu sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam menggarap sasarannya. Dengan demikian, sejarah kurang mempunyai arti karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Berbeda dengan sejarah literer, sejarah sebagai sistem menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan sasaran studinya. Dalam hal ini sejarah memiliki kerangka kerja konseptual yang jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam menganalisis sasaran yang dipelajarinya. Dengan menggunakan prosedur kerja metodologis seperti ini maka sejarah mampu mengungkapkan kausalitas secara tajam sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas dari suatu peristiwa.

(8)

ilmu-ilmu lainnya, dikotomi itu adalah membantu. Analisis menghendaki suatu deskripsi, demikian pula deskripsi yang memadai adalah deskripsi yang rumit yang tergantung pada cukupnya sebab-sebab yang ada di dalamnya.6 Dalam kecenderungannya sekarang antara keduanya dalam mencari sebab-sebab sama-sama punya arti. Sejarah mempelajari yang unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang umum. Tanpa perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh eksplanasi. Perlu dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih mementingkan generalisasi, tetapi dalam penggarapannya memerlukan pula segi-segi keunikan secara historis. Sebaliknya dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang umum. Sebagai contoh dalam sejarah diperlukan juga konsep-konsep umum untuk mengkonseptualisasikan gejala sejarah, seperti tercermin dalam penggunaan konsep feodalisme, borjuasi, kapitalisme, dan lain-lain.7

6Kartodirdjo, Sartono, “Metodologi Max Weber dan Wilhelm Dilthey”, dalam Lembaran Sejarah No. 6 Tahun 1970. (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Budaya UGM, 1970), hal.61-68.

7

Suryo, Djoko, “Sekitar Masalah Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial: Sebuah

(9)

Pandangan dan Tanggapan Terhadap Multi-dimensional

Approach

Perkembangan dari gagasan metodologi multi-dimensional khususnya di Indonesia, Taufik Abdullah mengemukakan bahwa pertama, multidimensional-approach dikatakannya masih merupakan suatu harapan, karena dari sudut metodologis tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Kedua, ada dimensi (makna) yang dilupakan/terlewatkan.

Pembahasan terhadap masalah ini haruslah bertolak dari ciri ilmu sejarah itu sendiri, yaitu bahwa berbicara tentang sejarah adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Mengapa demikian? Karena setiap hasil penulisan sejarah adalah rethinking kembali terhadap kajian masa lampau yang pernah ditulis oleh penulis masa lalu, hal ini sangatlah wajar. Cicero mengungkapkan bahwa sejarah adalah anak jaman. Setiap generasi akan menuliskan sejarahnya. Sudah barang tentu setiap ditemukannya bukti-bukti yang baru dan interpretasi ataupun penggarapan dengan metodologi yang lebih canggih akan muncul suatu hasil yang baru, yang sebenarnya justru akan melengkapi kajian yang pernah atau telah dilakukan sebelumnya.

(10)

dengan mengadakan suatu sintesis ke arah kesatuan geo-politik (integrasi) dengan menggunakan pendekatan multi-dimensional.

Menurut Kuntowijoyo perkembangan historiografi Indonesia bergerak dalam tiga gelombang.8 Gelombang pertama terjadi ketika dilakukan dekolonisasi pengetahuan sejarah dari

Neerlando-sentris menuju Indonesia-sentris yang aspirasinya bertapak pada

Seminar Sejarah Nasional I, Yogyakarta, 1979, meski aspirasi itu telah dirintis oleh segelintir kajian-kajian sebelumnya. Gelombang kedua adalah ketika digunakan social scientific approach dalam penulisan sejarah, hasil dari pertemuan Seminar Sejarah Nasional II, Yogyakarta, 1970. Pendekatan ini menekankan pada problem

oriented. Gelombang ketiga menempatkan sejarah sebagai kritik

sosial. Dalam skema lain, perkembangan wacana sejarah setelah

dikenal “The New History” dan “Deconstructive History”.

Produksi sejarah seharusya tidak lagi dimonopoli oleh sejarawan akademis dan anggapan mereka akan bahan sejarah apa yang relevan dan pantas, tetapi dimiliki oleh siapapun dan sejarah apapun mereka anggap sebagai hal yang berharga. Sejarah dengan demikian kembali menjadi milik publik (public domain), setelah sebelumnya dilakukan sebagai privilege kaum akademisi melalui penguasaannya atas sumber tertulis.

(11)

Masyarakat dapat berpartisipasi dalam memproduksi sejarahnya sendiri, tanpa meminjam otoritas akademis dan hanya menempatkan mereka sebagai fasilitator. Dengan demikian metode ini mampu menempatkan masyarakat pada posisi partisipan/pelaku aktif. Bagaimana misalnya masyarakat berkisah tentang dirinya sendiri, memberi makna pada peta sosialnya berdasarkan benda-benda yang ada dan hadir dalam memori kolektif mereka semisal pada pohon-pohon besar, rumah tua, sungai jembatan, deretan warung, tempat berkumpul yang merekam realitas (masa lalu dan kini) akan jalinan sosial, ekonomi, perebutan kekuasaan antar penghuni dalam masyarakat yang didiaminya.

Jika kedua belah pihak berangkat dari motif yang sama, yakni dalam rangka pendemokratisan sejarah, sejarah sebagai kritik sosial, dan setiap orang berhak mengartikulasikan ingatannya maka upaya kerjasama keduanya tidak sulit dilakukan.

(12)

Maka dapat dipahami bahwa sejak semula multi-dimensional

approach dimaksudkan untuk memberikan bobot ilmiah,

kekritisan, dan Indonesia View dari satu rekonstruksi sejarah Indonesia. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kekritisan yang diharapkan dengan penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari berbagai ilmu sosial bersifat problem oriented, sehingga sangat berkonsekuensi terhadap sikap academical actions. Dengan demikian, sudah barang tentu, multi-dimensional approach merupakan salah satu upaya pengilmiahan dengan ciri kegelisahan mencari dan kesediaan untuk menguji asumsi yang dipaparkannya.9

Multi-dimensional approach secara metodologi tidak banyak

menghasilkan perubahan dalam penulisan sejarah di Indonesia. Beberapa implikasi baik secara teoritis maupun praktis dikemukakan oleh Taufik Abdullah antara lain, pertama, secara implisit menolak determinisme sejarah, kedua, masalah objektivitas dari lapangan filsafat ke problem-problem metodologis, ketiga, makin intimnya sejarawan dengan konsep-konsep ilmu-ilmu sosial sehingga berakibat pada usaha pemberitaan historis, keempat, sejarah lokal dan agrarian semakin menjadi primadona dalam historiografi Indonesia, kelima, lebih

(13)

menekankan pada peristiwa struktural daripada event, made of

explanation yang bercorak argumentatif teoritis, sehingga

menyebabkan rekonstruksi harus selalu diuji dan diperdebatkan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam peredaran karya sejarah dalam masyarakat luas terkesan masih didominasi oleh sejarawan konvensional. Para ahli sejarah dalam karya-karyanya masih menunjukkan pada kemajemukan konsep dan trends yang

sedang “in”. namun, semuanya menunjukkan pada suatu kecenderungan ilmiah lain dari multidimensional approach.

Fenomena seperti ini sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu yang merisaukan bahka justru menggembirakan. Karena sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan itu snediri, maka metodologi merupakan sesuatu yang berdinamika dan terus berkembang. Bukankah salah satu kebutuhan yang urgent saat ini adalah visi baru pada sejarah modern, seperti yang dikatakan oleh

Alfred Weber.10 Para ahli sejarah telah berjasa dengan berbagai

konsep metodologinya sendiri-sendiri. Adalah sesuatu yang

non-sense bila kemajuan penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu

view of approach saja.

(14)

Penutup : Sejarah Harus Objektif

Menurut pandangan klasik, history is objective and must be

objective. The fact dalam sejarah menurut Leopold von Ranke

adalah wie est eigentlich geweswn. Padahal apa yang benar-benar terjadi menurut pandangan non-posivistik tidaklah mungkin. Bisa akan selalu ada, baik diasosiasikan dengan warna kulit, keyakinan, kelas, gender, ideologi dan sebagainya. Suara-suara sejarah adalah frase yang digunakan dalam sejarah baru. Sejarah harus heteroglossia yang artinya suara-suara yang beragam dan berbeda-beda.

Pandangan masa kini, sejarah dekonstruktif melihat bahwa sejarawan tidak dapat merepresentasikan masa lalu sebagai sebuah kebenaran adanya. Mereka hanya berperan melakukan kontrol atas masa lalu itu melalui teori pengetahuan atau perspektif yang dipilihnya dan dipahaminya dalam pengalaman masa kini. Dekonstruksi ditandai dengan hancurnya pembedaan antara objek kajian, yakni sejarah dan subjeknya yakni sejarawan dengan segenap kediriannya, sekaligus leburnya batas antara content (the past), theory dengan form (literary form). Ketika kita menulis sejarah kita akan men-transcended dualitas subject-object secara bersamaan.11

(15)

Di Indonesia sejarah dekonstruktif secara ketat sebagaimana diilhami oleh Jacques Derrida dalam Of Grammatology yang membawa implikasi bahwa persoalan sejarah adalah persoalan kebahasaan, bahasalah yang merupakan isi sejarah sebagai cerminan dari perspektif kekinian, dan tidak ada sesuatu di luar teks belumlah dilakukan. Alih-alih seorang sejarawan justru mengatakan bahwa sejarah dekonstruktif/post-modernis akan berakibat sejarawan tutup buku, di-PHK dan jurusan sejarah

dibubarkan. Bahkan secara lebih jauh mengatakan “bagi pemeluk

agama meyakini post-modernisme berarti telah menyimpang dari ajaran nabinya.12

Pendapat paling lunak menempatkan dekonstruksi sebagai semangat menuliskan ulang sejarah (dari konstruksi yang telah ada). Pengertian yang demikian itu sebenarnya telah terintegrasi dalam semangat alamiah ilmu pengetahuan (sejarah), sehingga tidak perlu menyebutkannya sebagai dekonstruksi. Sejarah dapat ditulis kembali ketika ditemukan bukti-bukti baru, perspektif dan paradigm baru sesuai Zeitgeist dan Kultuurgebundenheid-nya (sebagaimana Samuel Kuhn tentang Paradigma Shift). Sedangkan

Difference-nya Derrida melihat bahwa kata (sebagai ikonoklasi

12 Ibrahim Alfian, Teuku, “Profesor Sartono Kartodihardjo dan Konstruksionisme, serta Mengapa Kita Menolak Post-Modernisme dalam

(16)

dari narasi realitas historis) ditandai oleh ketidakstabilan makna dan interpretasi lain. Makna itu selalu dalam proses yang tidak baku dan permanen, demikian tafsir adalah kegiatan tanpa batas yang lebih menyerupai permainan ketimbang analisis seperti lazimnya dipahami.13 Tafsir ini memiliki dimensi urgensitas dan tantangan kekiniannya. Pemahaman semacam ini tentu saja menggoyahkan prinsp-prinsip dasar sejarah empiristik dan posivistik.

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur ini terdiri atas sepuluh langkah, menyesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu mengembangkan modul fiqih berbasis life skill pada materi makanan dan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya, sehingga atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Masalah yang muncul pada lansia yang mengalami insomnia yaitu kesulitaan untuk tidur, sering terbangun lebih awal, sakit kepala di siang hari,

Kajian ini berkisar komitmen pelajar dan pensyarah di kampus antaranya ialah komitmen pelajar terhadap pemakaian kad matrik universiti, komitmen pensyarah memperuntukkan masa bagi

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh debt to equity ratio, reputasi auditor dan kepemilikan institusional terhadap income smoothing pada perusahaan manufaktur

perlu dipertimbangkan tingkat pertumbuhan normal yang diharapkan pada periode tersebut. Adanya tindakan income smoothing yang dilakukan oleh manajemen dapat menyebabkan

INTERNALISASI NILAI - NILAI MULTIKULTURAL MELALUI PEMBELAJARAN IPS DALAM MENUMBUHKAN SIKAP MULTIKULTURAL PADA SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

“Analisis Pngaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar, Inflasi, Jumlah Uang Beredar (M2) Terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK), Serta implikasinya Pada Pembiayaan Mudharabah