BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq.) merupakan jenis tanaman tropis yang
berasal dari Afrika Barat. Salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar adalah
Indonesia karena memiliki lahan yang subur dan luas, sehingga sesuai untuk
pertumbuhan kelapa sawit. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak makanan,
minyak industri, bahan farmasi, maupun bahan bakar nabati (biodiesel) (Ebongue dan
Paul, 2012).
Tanaman kelapa sawit tumbuh subur di dataran rendah dengan ketinggian
300-400 m dpl (diatas permukaan laut), suhu optimal 27-280
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol,
hidromorfik kelabu, regosol, dan aluvial. Untuk memperoleh hasil yang maximal
tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase
baik, dan memiliki lapisan solum cukup dalam (80 cm) tanpa lapisan padas
(Balitbang Pertanian, 2008). Tanah dengan kondisi seperti ini akan meningkatkan
pertumbuhan dan produksi dari tanaman kelapa sawit. Jadi, peranan kesuburan tanah
sangat penting dalam meningkatkan produktivitasnya.
C dan pH 5,5-7,0. Curah
hujan yang baik antara 2000-2500 mm/tahun. Panjang penyinaran 6 jam/hari dengan
kelembapan optimal 75%. Perakaran tanaman kelapa sawit berupa akar primer,
sekunder, tersier, dan kuartener. Sistem perakaran yang ekstensif akan menghasilkan
penyerapan hara dan air yang semakin tinggi dengan kesuburan tanah yang baik
(Verhey, 2010).
2.2 Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu myces
dan Martin, 2010). Mikoriza untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat
dari tanaman dan tanaman memerlukan unsur hara serta air melalui hifa selama siklus
hidupnya.
Berdasarkan bentuk dan cara menginfeksi inangnya, mikoriza dikelompokkan
menjadi dua tipe, yaitu ektomikoriza dan endomokoriza (Smith dan Read, 2008).
Ektomikoriza memiliki jaringan hifa yang tidak masuk ke sel korteks, tetapi
berkembang di antara sel membentuk mantel pada permukaan akar, memiliki batang
tubuh dengan bentuk dan warna yang beragam dan dapat diperbanyak tanpa tanaman
inang. Sedangkan endomikoriza memiliki jaringan hifa yang masuk ke dalam sel
korteks, membentuk struktur khas seperti oval yang disebut vesikula atau bercabang
yang disebut arbuskula. Dengan demikian, jenis endomokoriza disebut sebagai fungi
mikoriza arbuskula atau mikoriza vesikula yang tidak memiliki batang tubuh dan
tidak dapat diperbanyak tanpa tanaman inang (INVAM, 2013).
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) termasuk dalam filum Glomeromycota,
kelas Zygomycetes, dan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu
Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae
Gambar 1. Klasifikasi FMA (Sumber: INVAM, 2013)
2.2.1 Struktur FMA
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dibentuk oleh berbagai struktur yang
berfungsi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan pada akar tanaman inang.
Struktur tersebut adalah hifa intraradikal, arbuskula (struktur hifa bercabang-cabang),
vesikula (berdinding tipis yang mengandung cairan lemak), Auxiliary cell (sel pelengkap), dan spora (berwarna hialin sampai hitam)
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat diidentifikasi secara morfologi dengan
melakukan observasi terhadap mikoriza tunggal yang diisolasi untuk memisahkan
FMA dengan sampel tanah. Kriteria morfologis tidak dapat digunakan untuk melihat
perbedaan mikoriza pada tingkat spesies karena mikoriza memiliki morfologi yang
hampir sama. Namun, beberapa spesies memiliki perbedaan pada morfologi vesikula,
diameter hifa, dan pola pertumbuhan akar. Oleh karena itu, tanah yang mengandung
mikoriza akan menunjukkan morfologi akar dari tanaman perantara tertentu. Jika
morfologi tersebut didefenisikan, maka kuantifikasi pembentukan mikoriza oleh
spesies yang berbeda dapat terjadi. Dengan demikian, pendekatan morfologis masih
2.2.2 Simbiosis FMA pada Akar
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan simbion yang paling luas
penyebarannya. Simbiosis FMA diawali dari pergerakan hifa ekstraradikal (HE) yang
berasal dari perkecambahan spora dalam tanah atau dari akar terkolonisasi, karena
tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid. Hifa kemudian menyentuh permukaan
akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa
intraradikal. Hifa intraradikal (HI) tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel
epidermis dan mengolonisasi ruang intra- dan interseluler korteks akar. Selanjutnya
HI berdiferensiasi membentuk arbuskula, vesikel, sel pelengkap, ataupun spora
intraradikal.
Kemudian jaringan HE di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya
kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi untuk mengangkut hara dan air, produksi
spora, agregasi tanah, dan melindungi tanaman inang dari serangan patogen.
Keberadaan HE pada garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan
garis tengah akar mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak
dapat dijangkau oleh akar. Hal ini menyebabkan tanaman bermikoriza menjadi lebih
adaptif menghadapi cekaman kekeringan. Sumbangan FMA terhadap serapan P dan
air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan. Hal ini mengindikasikan
kesesuaian fungsional di antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan
kolonisasinya (Smith dan Read, 2008).
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberadaan FMA
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan FMA adalah sebagai berikut:
a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap perkembangan spora, hifa pada sel akar dan
perkembangan pada korteks akar. Selain itu, suhu juga berpengaruh pada ketahanan
Schroder, 1974). Menurut hasil penelitian Daniel dan Trappe (1980) Glomus epigaens berkecambah pada suhu 18-250
b. Cahaya dan ketersediaan hara
C.
Intensitas cahaya yang tinggi, kekahatan nitrogen dan fosfor yang sedang akan
meningkatkan jumlah karbohidrat di dalam akar sehingga tanaman lebih peka
terhadap kolonisasi FMA. Pertumbuhan perakaran yang sangat aktif jarang
terkolonisasi FMA. Oleh karena itu, menurunnya pertumbuhan dan perkembangan
akar akan meningkatkan kolonisasi FMA. Peranan FMA terhadap ketersediaan P bagi
tanaman menunjukkan keterikatan antara FMA dan P tanah. Pada wilayah beriklim
sedang, konsentrasi P yang tinggi menyebabkan kolonisasi FMA menurun. Hal ini
disebabkan karena tingginya konsentrasi P dalam jaringan inang (Smith dan Read,
1997).
c. Kadar air tanah
Kandungan air tanah dapat berpengaruh baik secara langsung atau tidak
langsung terhadap infeksi dan pertumbuhan fungi mikoriza. Pengaruh secara
langsung tanaman bermikoriza dapat memperbaiki dan meningkatkan kapasitas
serapan air. Sedangkan pengaruh tidak langsung karena adanya miselia eksternal
yang menyebabkan FMA efektif dalam mengagregasi butir-butir tanah. Dengan
demikian, kemampuan tanah menyerap air meningkat (Rothwell, 1984). Hasil
penelitian Menge (1984) menunjukkan bahwa perkecambahan yang baik pada
Glomus epigaeus jika kandunga air tanah di antara kapasitas lapang.
d. pH Tanah
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada umumnya lebih tahan terhadap
perubahan pH tanah. Meskipun demikian, daya adaptasi masing-masing spesies FMA
terhadap pH tanah berbeda-beda. Hal ini karena pH tanah mempengaruhi
perkecambahan, perkembangan, dan peran FMA terhadap pertumbuhan tanaman
pH optimum untuk perkecambahan spora berbeda-beda tergantungan pada
adaptasi FMA terhadap lingkungan. Hasil penelitian Bertham (2003) menunjukkan
bahwa perkecambahan maksimum Glomus mosseae pada pH 6-9, sedangkan
Gigaspora corallodea dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih asam dapat berkecambah dengan baik pada pH 4-6.
e. Bahan organik
Bahan organik merupakan salah satu komponen dalam tanah yang penting
selain air dan udara. Jumlah spora FMA berhubungan erat dengan kandungan bahan
organik dalam tanah. Jumlah maksimum spora ditemukan pada tanah yang
mengandung bahan organik 1-2% dan kandungan spora sangat rendah pada tanah
berbahan organik kurang dari 0,5%. Residu akar mempengaruhi ekologi FMA. Hal
ini disebabkan serasah akar yang terkolonisasi mikoriza merupakan sarana penting
untuk mempertahankan generasi FMA dari satu tanaman ke tanaman berikutnya.
Serasah akar tersebut mengandung hifa, vesikel, dan spora yang dapat
mengkolonisasi FMA (Whiffen, 2007).
f. Logam berat dan unsur lain
Adanya logam berat dalam larutan tanah dapat mempengaruhi perkembangan
mikoriza. Beberapa spesies FMA diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang
tercemar seng (Zn), tetapi sebagian besar spesies FMA peka terhadap kandungan Zn
yang tinggi. Pada beberapa penelitian lain diketahui bahwa FMA tertentu toleran
terhadap kandungan Mn, Al, dan Na yang tinggi (Janouskova et al., 2006).
g. Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang digunakan untuk membunuh fungi
penyebab penyakit tanaman. Penggunaan fungisida dalam dosis yang rendah
disamping mampu memberantas fungi penyebab penyakit juga terbukti dapat
menyebabkan turunnya kolonisasi FMA yang mengakibatkan terhambatnya
2.2.4 Keanekaragaman FMA dari Hasil Penelitian
Keanekaragaman FMA dari hasil penelitian sudah dilakukan oleh sebagian
peneliti dengan lokasi dan rizosfer tanaman yang berbeda. Nurhalisyah (2012),
menyatakan bahwa pada lahan perkebunan kelapa sawit Kampung Jambuk,
Kalimantan Timur jenis FMA yang diperoleh adalah Glomus dan Acalauspora. Tipe
Glomus terdiri dari 19 dan tipe Acalauspora terdiri dari 3. Hasil penelitian lainnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Keanekaragaman FMA dari Hasil Penelitian
Peneliti Lokasi Jenis Tanaman Tipe FMA
Nadarajah dan
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
7 tipe Glomus,1tipe Sclerocystis, 2 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora. Acaulospora, dan 1 tipe Archaeospora.
Muleta et al. (2007)
Hutan Kopi Bonga (Ethiopia)
Kopi (Coffea arabica) Glomus, Gigaspora,
Acaulospora, Entrophospora,
dan Scutellospora. Muzakkir (2010) Tanjung Alai
(Sumatera Barat)
Jarak pagar (Jatropha curcas)
8 tipe Glomus, 3 tipe Acaulospora, 2 tipe Gigaspora, 2 tipe Scutellospora, 1 tipe Entrophospora, dan 1 tipe Sclerocystis.
Pulungan (2010) PTPN II Kebun Sei Semayang
Meghalaya (India) Sohphlang
(Flemingia vestita)
60 tipe Glomus, 23 tipe Acaulospora, 6 tipe Gigaspora, 16 tipe Scutellospora, 2 tipe Ambispora dan 1 tipe
Glomus, Acaulospora, dan
Lanjutan
Hindumathi dan Reddy (2011)
Andhra Pradesh, India (Adilabad, Nizamabad dan Karimnagar)
Kedelai (Glycine max) 12 tipe Glomus, 8 tipe Acaulospora, 3 tipe Gigaspora, dan 1 tipe Sclerocystis.
Puspitasari et al. (2012)
Desa Torjun (Madura)
Jagung (Zea mays)
11 tipe Glomus, 1 tipe Acaulospora, dan 2 tipe Gigaspora.
Nurhandayani et al. (2013)
Desa Rasau Jaya Umum (Pontianak)