• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN ANAKSEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia - Analisis Yuridis Undan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN ANAKSEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia - Analisis Yuridis Undan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN

ANAKSEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG

BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK DI INDONESIA

A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari

ketentuan pasal tersebut telah dicantumkan sekaligus tentang hak dan kewajiban

tiap-tiap warga negara, hak untuk pengakuan secara rata dalam kedudukan hukum

serta kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa

terkecuali. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan salah satu faktor yang

identik dengan hal ini. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai sila kedua

dari Pancasila, dalam butir-butir Pancasila yang terkandung di dalamnya di

antaranya mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta mengakui persamaan

derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa

membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial,

(2)

Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat

sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam

bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya

untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan

atau honorarium32

Bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum (dalam

hal ini lembaga bantuan hukum) baru dikenal di Indonesia sejak diberlakukannya

sistem hukum Barat di Indonesia. Namun menurut Adnan Buyung Nasution,

bantuan hukum itu sebenarnya sudah dikenal secara formal sejak masa penjajahan

Belanda. Bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar

dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman

Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di Belanda

tersebut juga diberlakukan bagi Indonesia yang pada waktu itu masih bernama

Hindia Belanda. Dalam peraturan itulah pertama kalinya diatur tentang Lembaga

Advokat, sehingga diperkirakan bantuan hukum di Indonesia dalam arti formal

baru dikenal sekitar tahun tersebut, dan itupun terbatas bagi orang-orang Eropa

saja dalam peradilan Raad Van Justitie.

. Meletusnya Revolusi Perancis mengakibatkan konsep bantuan

hukum kemudian bergerak menjadi bagian dari kegiatan hukum yang

menekankan hak-hak yang sama bagi tiap warga masyarakat dalam

mempertahankan kepentingannya di muka pengadilan. Sampai awal abad ke-20

ini pun bantuan hukum lebih banyak dianggap sebagai suatu pekerjaan memberi

jasa hukum tanpa suatu imbalan.

32

(3)

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan

hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) HIR (Hukum Acara Pidana

Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya, pasal ini dalam prakteknya hanya

lebih mengutamakan Bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu

lebih populer disebut inladers, di samping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas

apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan

diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup33. Bangsa Indonesia pada waktu itu seakan-akan tidak ada atau tidak dianggap dalam pemenuhan

bantuan hukumnya, sehingga profesi lawyer pada waktu itupun tidak dapat

berkembang pesat. Namun pada perkembangan berikutnya paralel dengan

gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli hukum

bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional

Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu

gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak

mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi

masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada

waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional

untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda34

Kondisi yang demikian juga masih monoton pada masa penjajahan

Jepang. Tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan mengenai masalah

bantuan hukum. Begitu juga pada masa setelah proklamasi kemerdekaan, di mana

seluruh bangsa masa terfokus untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. .

33Ibid.,

hlm. 12.

34Ibid.,

(4)

Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, bantuan hukum justru

mengalami kemerosotan yang luar biasa akibat besarnya kekuasaan dan pengaruh

Soekarno pada masa ini. Presiden diberi wewenang untuk ikut campur dalam

masalah pengadilan, sehingga wibawa pengadilan pun jatuh dan orang-orang

semakin tidak menaruh kepercayaan besar pada bantuan hukum.

Perkembangan yang cukup pesat dalam hal bantuan hukum ini terjadi

pada masa Orde Baru yang kembali menjamin kebebasan peradilan untuk tidak

diganggu oleh campur tangan pihak-pihak atau kekuatan dari luar untuk tiap

urusan peradilan, melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang

menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada masa ini sudah mulai didirikan dan

beroperasinya lembaga-lembaga yang berkaitan dalam masalah pemberian

bantuan hukum, seperti biro-biro konsultasi hukum, lembaga-lembaga bantuan

hukum, dan lain-lain.

Ketentuan tentang bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam pasal

35-38. Pasal 35 Undang-Undang ini berbunyi : “Setiap orang yang tersangkut

perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Pada penjelasan pasal 35 dapat

dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan

hukum, yang berbunyi : “Merupakan suatu asas yang penting bahwa seseorang

yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini

dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat juga

(5)

ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap. Karena pentingnya, supaya diadakan undang-undang

tersendiri tentang bantuan hukum”35

Terlepas dari sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia, perlu

lebih dijabarkan lagi eksistensi bantuan hukum itu dalam pemenuhan hak-hak

asasi manusia. Pada bagian Konsiderans Undang-Undang Bantuan Hukum, di

antaranya menyatakan mengenai penjaminan hak-hak konstitusional sebagai

sarana perlindungan hak asasi manusia, perwujudan akses keadilan bagi

masyarakat miskin, hingga terwujudnya perubahan sosial berkeadilan .

36

35

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 345-346.

36

Lihat bagian Konsiderans Undang-Undang No. 16 Tahun 2011.

. Hal-hal

yang dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa pemberian

bantuan hukum erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia. Karena

pemberian bantuan hukum merupakan salah satu sarana yang tak terpisahkan

dalam melindungi hak-hak tiap-tiap manusia dalam proses pencapaian keadilan.

Memang patut diakui bahwa menegakkan hukum dan keadilan itu adalah

mustahil. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat bahwa keadilan itu

merupakan sesuatu yang nisbi atau relatif adanya. Karena apa yang menurut kita

adil, belum tentu adil bagi orang lain. Seolah-olah nilai dan rasa keadilan itu

hanya terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang waktu tertentu.

Adapun keadilan yang hendak ditegakkan tiada lain daripada nilai-nilai yang

(6)

terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya

aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat37

Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Adil artinya tidak

memandang status atau melihat seseorang dari segi manapun dalam pemberian

bantuan hukum yang menjamin hak-hak asasinya. Sehingga meletakkan hukum

itu harus dibuat secara demokratis dan menjamin hak asasi manusia, dan dalam

penegakan keadilan ini maka hukum harus bekerja benar-benar efektif. Sesuai

dengan konsep keadilan, maka pemberian bantuan hukum ini pun harus merata

bagi seluruh masyarakat. Tidak boleh ada pembedaan antara “si miskin” dengan

“si kaya”. Berbagai Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang mempelopori

gerakan bantuan hukum juga tidak lepas dari konteks perjuangan menegakkan

demokrasi kontitusional. Organisasi bantuan hukum bukan semata-mata lembaga

yang hanya memberikan fasilitas bantuan hukum secara cuma-cuma kepada

rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum seperti di negara-negara lain,

melainkan sosial lainnya yang mengacu tegaknya nilai-nilai negara hukum yang

demokratis dan dihormatinya hak-hak asasi manusia .

38

Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum,

negara tentu akan mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap

individu, termasuk hak atas bantuan hukum ini. Penyelenggaraan pemberian

bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan

sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi .

37

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 66.

38

(7)

serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan

(access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law)39.

Selama ini, pemberian bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh

orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses

keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan

hak-hak kontitusional mereka40

39

Lihat Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2011.

40Ibid.

. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan konsep

keadilan yang semestinya.

Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian

secara memadai, sehingga dibentuklah Undang-Undang Bantuan Hukum yang

merupakan Undang-Undang yang secara khusus dibentuk untuk mengatur

pemberian bantuan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dibentuknya

Undang-Undang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin

warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk

mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu,

tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan

Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Dengan diundangkannya Undang-Undang-Undang-Undang No. 16

Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka ketentuan mengenai pemberian

(8)

B. Perkembangan Pengaturan Peradilan Anak di Indonesia

Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan dan

tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan undang-undang yang

berlaku. Demikian juga halnya dengan Peradilan Anak, yang harus melindungi

kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan

penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan

wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial41

Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi

dan diferensiasinya di bawah Peradilan Umum. Hukum pidana anak meliputi

segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut

kepentingan anak. Menurut analisis sejarah (Eropa dan Amerika) ternyata, bahwa

ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga, senantiasa

ditujukan menanggulangi keadaan yang burur, seperti kriminalitas anak,

terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak

. Untuk mengetahui latar

belakang lahirnya Undang-Undang SPPA, maka terlebih dahulu kita harus

mengetahui sejarah Peradilan Anak di Indonesia.

42

Peradilan Anak telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, awalnya

pada tahun 1917. Waktu itu beberapa rahayang ada di daerah-daerah dan

pemuda-pemuda sebagai pemuka bangsa telah berhasil mendirikan lembaga yang bernama

Pro Juventute. Pro Juventute mendapat pengakuan pemerintah Belanda untuk

.

41

H. R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, PTIK Press, Jakarta, 2014, hlm. 24.

42

(9)

memberikan bimbingan kepada orangtua yang mengalami kesulitan dalam

memberikan nasihat dan bimbingan kepada anak-anak yang terlibat kejahatan.

Meskipun lembaga Pro Juventute sudah mendapat pengakuan dari pemerintah

Belanda akan tetapi Indonesia saat itu belum memiliki badan peradilan untuk anak

dan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perkara untuk anak43

Anak-anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan mendapat

perlakuan yang sama seperti orang dewasa. Keadaan ini dapat dimengerti,

mengingat bahwa hukum acara kita berdasarkan HIR dan RB berasal dari zaman

sewaktu dunia masih berpendapat bahwa anak cukup diperlakukan sebagai orang

dewasa dalam ukuran kecil

.

44

. Badan Pembinaan Hukum Nasional

mengungkapkan bahwa Indonesia baru mempunyai kesempatan memikirkan

hakim khusus yang mengadili anak pada sekitar setengah abad silam tepatnya

tahun 1954, waktu itu sudah ada hakim khusus yang mengadili anak yaitu Bapak

Mr. Maengkom dengan dibantu oleh Pegawai Pra Yuwana (perubahan nama dari

Pro Juventute pada zaman Belanda), namun penahanan pada umumnya masih

digabungkan dengan orang dewasa45

Kemudian pada tahun 1957 pemerintah telah menaruh perhatian

terhadap juvenile delinquency walaupun belum problematis seperti sekarang.

Kemudian dibuatlah agreement secara lisan antara ketiga instansi yaitu

pengadilan, kejaksaan dan kepolisian untuk menerapkan “perlakuan khusus” bagi .

43

Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 11.

44

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loka Karya tentang Peradilan Anak, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 19.

45Ibid.,

(10)

anak yang melakukan kenakalan. Menurut D.Y. Staa, dasar agreement tersebut

ialah46

1. Di negara-negara yang telah menerapkan Hukum Acara Pidana khusus

untuk anak, yang dipakai adalah dasar psikologis bahwa anak yang

berbuat kejahatan itu bukanlah merupakan orang-orang jahat,

melainkan anak-anak nakal saja. Dasar ini merupakan hasil riset

puluhan tahun dari psikologi; :

2. Walaupun pada waktu itu juvenile delinquency di negara kita,

khususnya di daerah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta masih belum

merupakan masalah yang gawat, namun kita semua menginsyafi betapa

pentingnya tunas-tunas muda ini yang kelak akan menggantikan

generasi tua dalam usaha membangun negara kita menuju ke

masyarakat adil dan makmur;

3. Para wakil dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sama-sama

menyadari bahwa anak-anak berbeda dengan orang dewasa secara

psikis sehingga harus diperlakukan khusus agar jiwa mereka kelak tidak

mengalami tekanan batin dengan pernah diadilinya di muka pengadilan,

yang pasti mengganggu usaha tunas muda ini sebagai anggota

masyarakat yang baik;

46Ibid.,

(11)

4. Sidang pengadilan harus dilaksanakan sedemikian rupa agar hal-hal

yang menimbulkan tekanan-tekanan batin/gangguan jiwa dapat

ditiadakan.

Dimulainya perlakuan khusus tersebut dari pihak47

a. Kepolisian; 1. Menahan anak-anak terpisah dengan penahanan orang

dewasa; 2. Waktu membuat berita acara pendahuluan tidak memakai

pakaian seragam;

:

b. Kejaksaan; 1. Pada waktu sidang tidak memakai toga atau pakaian

seragam;

c. Pengadilan; 1. Hakim ditunjuk secara khusus oleh Ketua Pengadilan

Negeri; 2. Hakim yang bersidang tidak memakai toga; 3. Persidangan

pada hari yang ditentukan khusus dan bersifat tertutup; 4. Hadirnya

orang tua dari si anak; 5. Lembaga Pemasyarakatan mengangkat

beberapa pegawai untuk : 6. Membantu persidangan dengan cara

membuat social report/case study yang sekarang disebut Balai Bispa.

Pembuatan social report inilah yang merupakan bagian terpenting dari

sidang anak. dalam social report petugas sosial atau social worker

sekaligus membubuhi rekomendasi tentang penempatan si anak.

walaupun hakim tidak terikat pada saran social worker tadi, karena

hakim bebas dalam memberi putusan, tokh merupakan suatu pegangan

bagi hakim dalam hal memberikan putusan terhadap si anak.

47Ibid.,

(12)

Tahun 1967 Departemen Kehakiman menugaskan Pra Yuwana

membantu pelaksanaan peradilan anak, dengan tujuan melindungi, mencegah dan

memulihkan anak-anak pelanggar hukum dan kesusilaan agar menjadi manusia

Indonesia yang cakap dan bertanggungjawab. Tahun 1968 Direktorat Jenderal

Kepenjaraan mendirikan Bimbingan Pemasyarakatan (Bispa) yang petugasnya

diangkat dari Akademi Sosial yang dipersiapkan menjadi Pembimbing Petugas

Kemasyarakatan yang langsung menangani anak-anak pelanggar hukum. Dalam

perkembangan selanjutnya, berhubung kekurangan petugas dan kekurangan dana

maka tugas Pra Yuwana diambil alih. Pra Yuwana tidak lagi di bawah

Departemen Kehakiman, namun di bawah pengawasan Departemen Sosial. Tugas

Pra Yuwana hanya mengenai anak perempuan dan anak di bawah umur 12 (dua

belas) tahun. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi

aktif dalam penanganan anak yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi

kegiatannya beralih pada anak-anak yang putus sekolah dan sebagainya48

Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959

dalam upaya menunjang prinsip perlakuan khusus terhadap anak. berdasarkan

Surat Edaran tersebut, hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap anak

dilakukan dengan sidang tertutup. Tahun 1981 ketika Hukum Acara Pidana

direvisi, perlakuan khusus terhadap anak mengikat para hakim. Perlakuan khusus

diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa persidangan

tidak dibuka untuk umum apabila terdakwanya anak-anak

.

49

48

Soetarman, Kenakalan Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 48.

49

Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 37.

(13)

selanjutnya dalam praktek mengacu kepada Peraturan Menteri Kehakiman RI

Tahun 1983 Nomor M.06-UM01.06 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata

Ruang Persidangan yang isinya menentukan bahwa sidang anak dilakukan oleh

hakim tunggal kecuali dalam hal tertentu dilakukan secara majelis, dengan pintu

tertutup serta putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kemudian

hakim, penuntut umum, penasihat hukum bersidang tanpa menggunakan toga

serta pada sidang diharapkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya50

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa ide tentang lahirnya

peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 seperti termaksud dalam

penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri

Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Untuk merealisasi lahirnya

Undang-Undang Peradilan Anak di Indonesia, pada tanggal 10 November 1995

Pemerintah dengan Amanat Presiden No : R. 12/PU/XII/1995 mengajukan

Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat

untuk mendapat pembahasan dan persetujuan. Selanjutnya lahirlah

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara No.

3 Tahun 1997

.

51

50

Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 36.

51

Abintoro Prakoso, op.cit, hlm. 38.

. Sejak tanggal 3 Januari 1998 lewat Undang-Undang No. 3 Tahun

1997 terdapat unifikasi hukum melalui peradilan anak. Undang-undang ini

mengakomodasi mengenai teori dan praktik tentang peradilan anak yang

(14)

undang-undang ini dirasakan sudah tidak releven lagi untuk diterapkan dalam lalu

lintas hukum sehari-hari52. Secara substansial dengan memperhatikan keseluruhan norma yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mana

pada akhirnya dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan

perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan

anak53

Seiring perkembangan zaman, Undang-Undang Pengadilan Anak masih

memiliki banyak kekurangan, substansinya bertentangan dengan spirit

perlindungan terhadap anak seperti diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak

sehingga tidak relevan lagi dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan yang

bertentangan antara lain .

54

1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah. :

2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana

yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak

pidana.

3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah

Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara.

4. Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan

hukum.

52

Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Loc. Cit.

53Ibid.,

hlm. 38.

54Ibid.,

(15)

5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.

6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan

penahanan terhadap anak nakal.

7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif.

Dengan demikian perlu adanya perubahan paradigma dalam

penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah, dan lembaga

negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan

kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang

berhadapan dengan hukum. Maka pemerintah berinisiatif untuk membuat

Rancangan Undang-Undang SPPA (RUU SPPA), yang disampaikan Presiden

kepada Pimpinan DPR RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16

Februari 2011.

Setelah tiga kali masa sidang, yakni masa sidang II, III, dan IV, maka

pada masa sidang ke IV DPR RI Tahun 2011-2012, tanggal 28 Juni 2012, Rapat

Pleno Komisi III DPR RI bersama pemerintah menyetujui RUU SPPA ini untuk

dibawa ke Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Kemudian pada tanggal 3 Juli 2012,

Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi

Undang-Undang. Pada tanggal 30 Juli 2012, Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono menandatangani RUU ini menjadi Undang-Undang SPPA 55

55

M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 125.

(16)

Penyusunan Undang-Undang SPPA 56

Undang-Undang ini disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara

umum dengan pertimbangan

ini merupakan penggantian terhadap

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

57

a. Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; :

b. Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak

mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dan

sistem peradilan;

c. Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak

Anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak

mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum;

d. Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan

56

Lihat penjelasan umum UU No. 11 Tahun 2012. “Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum”.

57

(17)

perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukumsehingga

perlu diganti dengan Undang-Undang baru;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, dan d perlu membentuk

Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sementara yang menjadi dasar pemikiran pembentukan

Undang-Undang ini antara lain58

1. Dasar Filosofis :

Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam

berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai

Pancasila di dalam mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan

kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Disebutkan

bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,

sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak

mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam

sistem peradilan anak.

Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan

Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga

sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai

religiositas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum

harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.

58

(18)

2. Dasar Sosiologis

Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak bisa jadi

menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. tindak

pidana anak dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung

meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain. Bahkan, nyaris

semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa kini dilakukan

pula ole anak-anak. berbagai faktor penyebabnya adalah keadaan sosial

ekonomi yang kurang kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang

komunikasi dan informasi, hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan

dan gaya hidup. Selain itu masalah ini disebabkan pula oleh faktor

intern keluarga seperti kurangnya perhatian, kasih sayang dan

pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh terhadap anak

sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di lingkungan

masyarakat.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan

dengan hukum agar anak bisa menyongsong masa depannya yang

masih panjang serta memberikan kesempatan kepada anak agar melalui

pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang

mandiri, bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara. Namun dalam pelaksanaannya anak

diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang

(19)

demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak

yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan

tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya

bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta

memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan

dengan hukum.

3. Dasar Yuridis

Menurut teori hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai

dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat

adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan

kesejahteraan umum.

Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas

perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan

Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh

Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36

(20)

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, banyak

mengandung kelemahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam

Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.

4. Dasar Psikopolitik Masyarakat

Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam

masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat penolakan

terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang

dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu

akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam

bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam

proses interaksi anak dalam lingkungannya, dimana anak belum mampu

secara dewasa menyikapi. Paradigma ini yang harus ditanamkan bagi

masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam menghadapi anak yang

diduga melakukan tindak pidana.

Dengan diundangkannya Undang-Undang SPPA, yang mulai berlaku 2

tahun sejak tanggal pengundangannya, maka Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

Referensi

Dokumen terkait

of modeling human physiology systems, homeostasis System in the Body, sensor system to regulate body movements, voluntary movement modeling and simulation, Human Machine Interface

Beberapa tahun kemudian Desa Parakan mendapat bantuan dari pihak PERKIMSIH (Dinas Permukiman Bersih) berupa pembangunan tempat pembuangan sampah sementara (TPS) setelah

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Kesimpulan ketiga bahwa tingkat bunga SBI terbukti berpengaruh positif signifikan pada jangka pendek, sedangkan pada jangka panjang terbukti tidak berpengaruh terhadap

Selain itu, terkait cara untuk registrasi dalam inovasi “Keluar Bersama” dapat dilihat pada brosur yang dibuat oleh pihak kecamatan, dan brosur tersebut dibagikan oleh

Selama Polis masih berlaku apabila Pemegang Polis mengakhiri Polis ini atau Tertanggung meninggal dunia sebelum Tanggal Berakhirnya Polis, atau Tertanggung masih hidup

Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya perubahan perilaku cuci tangan sebelum dan setelah dilakukan penyuluhan kesehatan yakni Hasil dari penelitian setelah

sebagai penopang tubuh, dalam posisi ini operator dapat dengan mudah mengangkat beban, tetapi, dengan posisi ini juga, operator memiliki kekurangan dalam posisi