BAB II
KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN
ANAKSEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG
BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK DI INDONESIA
A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari
ketentuan pasal tersebut telah dicantumkan sekaligus tentang hak dan kewajiban
tiap-tiap warga negara, hak untuk pengakuan secara rata dalam kedudukan hukum
serta kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa
terkecuali. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan salah satu faktor yang
identik dengan hal ini. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai sila kedua
dari Pancasila, dalam butir-butir Pancasila yang terkandung di dalamnya di
antaranya mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial,
Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat
sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam
bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya
untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan
atau honorarium32
Bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum (dalam
hal ini lembaga bantuan hukum) baru dikenal di Indonesia sejak diberlakukannya
sistem hukum Barat di Indonesia. Namun menurut Adnan Buyung Nasution,
bantuan hukum itu sebenarnya sudah dikenal secara formal sejak masa penjajahan
Belanda. Bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar
dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman
Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di Belanda
tersebut juga diberlakukan bagi Indonesia yang pada waktu itu masih bernama
Hindia Belanda. Dalam peraturan itulah pertama kalinya diatur tentang Lembaga
Advokat, sehingga diperkirakan bantuan hukum di Indonesia dalam arti formal
baru dikenal sekitar tahun tersebut, dan itupun terbatas bagi orang-orang Eropa
saja dalam peradilan Raad Van Justitie.
. Meletusnya Revolusi Perancis mengakibatkan konsep bantuan
hukum kemudian bergerak menjadi bagian dari kegiatan hukum yang
menekankan hak-hak yang sama bagi tiap warga masyarakat dalam
mempertahankan kepentingannya di muka pengadilan. Sampai awal abad ke-20
ini pun bantuan hukum lebih banyak dianggap sebagai suatu pekerjaan memberi
jasa hukum tanpa suatu imbalan.
32
Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan
hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) HIR (Hukum Acara Pidana
Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya, pasal ini dalam prakteknya hanya
lebih mengutamakan Bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu
lebih populer disebut inladers, di samping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas
apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan
diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup33. Bangsa Indonesia pada waktu itu seakan-akan tidak ada atau tidak dianggap dalam pemenuhan
bantuan hukumnya, sehingga profesi lawyer pada waktu itupun tidak dapat
berkembang pesat. Namun pada perkembangan berikutnya paralel dengan
gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli hukum
bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional
Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu
gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak
mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi
masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada
waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional
untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda34
Kondisi yang demikian juga masih monoton pada masa penjajahan
Jepang. Tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan mengenai masalah
bantuan hukum. Begitu juga pada masa setelah proklamasi kemerdekaan, di mana
seluruh bangsa masa terfokus untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. .
33Ibid.,
hlm. 12.
34Ibid.,
Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, bantuan hukum justru
mengalami kemerosotan yang luar biasa akibat besarnya kekuasaan dan pengaruh
Soekarno pada masa ini. Presiden diberi wewenang untuk ikut campur dalam
masalah pengadilan, sehingga wibawa pengadilan pun jatuh dan orang-orang
semakin tidak menaruh kepercayaan besar pada bantuan hukum.
Perkembangan yang cukup pesat dalam hal bantuan hukum ini terjadi
pada masa Orde Baru yang kembali menjamin kebebasan peradilan untuk tidak
diganggu oleh campur tangan pihak-pihak atau kekuatan dari luar untuk tiap
urusan peradilan, melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang
menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada masa ini sudah mulai didirikan dan
beroperasinya lembaga-lembaga yang berkaitan dalam masalah pemberian
bantuan hukum, seperti biro-biro konsultasi hukum, lembaga-lembaga bantuan
hukum, dan lain-lain.
Ketentuan tentang bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam pasal
35-38. Pasal 35 Undang-Undang ini berbunyi : “Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Pada penjelasan pasal 35 dapat
dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan
hukum, yang berbunyi : “Merupakan suatu asas yang penting bahwa seseorang
yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini
dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat juga
ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Karena pentingnya, supaya diadakan undang-undang
tersendiri tentang bantuan hukum”35
Terlepas dari sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia, perlu
lebih dijabarkan lagi eksistensi bantuan hukum itu dalam pemenuhan hak-hak
asasi manusia. Pada bagian Konsiderans Undang-Undang Bantuan Hukum, di
antaranya menyatakan mengenai penjaminan hak-hak konstitusional sebagai
sarana perlindungan hak asasi manusia, perwujudan akses keadilan bagi
masyarakat miskin, hingga terwujudnya perubahan sosial berkeadilan .
36
35
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 345-346.
36
Lihat bagian Konsiderans Undang-Undang No. 16 Tahun 2011.
. Hal-hal
yang dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa pemberian
bantuan hukum erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia. Karena
pemberian bantuan hukum merupakan salah satu sarana yang tak terpisahkan
dalam melindungi hak-hak tiap-tiap manusia dalam proses pencapaian keadilan.
Memang patut diakui bahwa menegakkan hukum dan keadilan itu adalah
mustahil. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat bahwa keadilan itu
merupakan sesuatu yang nisbi atau relatif adanya. Karena apa yang menurut kita
adil, belum tentu adil bagi orang lain. Seolah-olah nilai dan rasa keadilan itu
hanya terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang waktu tertentu.
Adapun keadilan yang hendak ditegakkan tiada lain daripada nilai-nilai yang
terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya
aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat37
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Adil artinya tidak
memandang status atau melihat seseorang dari segi manapun dalam pemberian
bantuan hukum yang menjamin hak-hak asasinya. Sehingga meletakkan hukum
itu harus dibuat secara demokratis dan menjamin hak asasi manusia, dan dalam
penegakan keadilan ini maka hukum harus bekerja benar-benar efektif. Sesuai
dengan konsep keadilan, maka pemberian bantuan hukum ini pun harus merata
bagi seluruh masyarakat. Tidak boleh ada pembedaan antara “si miskin” dengan
“si kaya”. Berbagai Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang mempelopori
gerakan bantuan hukum juga tidak lepas dari konteks perjuangan menegakkan
demokrasi kontitusional. Organisasi bantuan hukum bukan semata-mata lembaga
yang hanya memberikan fasilitas bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum seperti di negara-negara lain,
melainkan sosial lainnya yang mengacu tegaknya nilai-nilai negara hukum yang
demokratis dan dihormatinya hak-hak asasi manusia .
38
Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum,
negara tentu akan mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap
individu, termasuk hak atas bantuan hukum ini. Penyelenggaraan pemberian
bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan
sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi .
37
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 66.
38
serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan
(access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law)39.
Selama ini, pemberian bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh
orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses
keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan
hak-hak kontitusional mereka40
39
Lihat Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2011.
40Ibid.
. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan konsep
keadilan yang semestinya.
Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian
secara memadai, sehingga dibentuklah Undang-Undang Bantuan Hukum yang
merupakan Undang-Undang yang secara khusus dibentuk untuk mengatur
pemberian bantuan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dibentuknya
Undang-Undang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin
warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk
mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu,
tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan
Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Dengan diundangkannya Undang-Undang-Undang-Undang No. 16
Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka ketentuan mengenai pemberian
B. Perkembangan Pengaturan Peradilan Anak di Indonesia
Untuk memberikan suatu keadilan, Peradilan melakukan kegiatan dan
tindakan secara sistematis dan berpatokan pada ketentuan undang-undang yang
berlaku. Demikian juga halnya dengan Peradilan Anak, yang harus melindungi
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial41
Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi
dan diferensiasinya di bawah Peradilan Umum. Hukum pidana anak meliputi
segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut
kepentingan anak. Menurut analisis sejarah (Eropa dan Amerika) ternyata, bahwa
ikut campurnya pengadilan dalam kehidupan anak dan keluarga, senantiasa
ditujukan menanggulangi keadaan yang burur, seperti kriminalitas anak,
terlantarnya anak dan eksploitasi terhadap anak
. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Undang-Undang SPPA, maka terlebih dahulu kita harus
mengetahui sejarah Peradilan Anak di Indonesia.
42
Peradilan Anak telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, awalnya
pada tahun 1917. Waktu itu beberapa rahayang ada di daerah-daerah dan
pemuda-pemuda sebagai pemuka bangsa telah berhasil mendirikan lembaga yang bernama
Pro Juventute. Pro Juventute mendapat pengakuan pemerintah Belanda untuk
.
41
H. R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, Hukum Perlindungan Anak, PTIK Press, Jakarta, 2014, hlm. 24.
42
memberikan bimbingan kepada orangtua yang mengalami kesulitan dalam
memberikan nasihat dan bimbingan kepada anak-anak yang terlibat kejahatan.
Meskipun lembaga Pro Juventute sudah mendapat pengakuan dari pemerintah
Belanda akan tetapi Indonesia saat itu belum memiliki badan peradilan untuk anak
dan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perkara untuk anak43
Anak-anak yang diajukan ke muka sidang pengadilan mendapat
perlakuan yang sama seperti orang dewasa. Keadaan ini dapat dimengerti,
mengingat bahwa hukum acara kita berdasarkan HIR dan RB berasal dari zaman
sewaktu dunia masih berpendapat bahwa anak cukup diperlakukan sebagai orang
dewasa dalam ukuran kecil
.
44
. Badan Pembinaan Hukum Nasional
mengungkapkan bahwa Indonesia baru mempunyai kesempatan memikirkan
hakim khusus yang mengadili anak pada sekitar setengah abad silam tepatnya
tahun 1954, waktu itu sudah ada hakim khusus yang mengadili anak yaitu Bapak
Mr. Maengkom dengan dibantu oleh Pegawai Pra Yuwana (perubahan nama dari
Pro Juventute pada zaman Belanda), namun penahanan pada umumnya masih
digabungkan dengan orang dewasa45
Kemudian pada tahun 1957 pemerintah telah menaruh perhatian
terhadap juvenile delinquency walaupun belum problematis seperti sekarang.
Kemudian dibuatlah agreement secara lisan antara ketiga instansi yaitu
pengadilan, kejaksaan dan kepolisian untuk menerapkan “perlakuan khusus” bagi .
43
Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 11.
44
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Loka Karya tentang Peradilan Anak, Bina Cipta, Bandung, 1979, hlm. 19.
45Ibid.,
anak yang melakukan kenakalan. Menurut D.Y. Staa, dasar agreement tersebut
ialah46
1. Di negara-negara yang telah menerapkan Hukum Acara Pidana khusus
untuk anak, yang dipakai adalah dasar psikologis bahwa anak yang
berbuat kejahatan itu bukanlah merupakan orang-orang jahat,
melainkan anak-anak nakal saja. Dasar ini merupakan hasil riset
puluhan tahun dari psikologi; :
2. Walaupun pada waktu itu juvenile delinquency di negara kita,
khususnya di daerah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta masih belum
merupakan masalah yang gawat, namun kita semua menginsyafi betapa
pentingnya tunas-tunas muda ini yang kelak akan menggantikan
generasi tua dalam usaha membangun negara kita menuju ke
masyarakat adil dan makmur;
3. Para wakil dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan sama-sama
menyadari bahwa anak-anak berbeda dengan orang dewasa secara
psikis sehingga harus diperlakukan khusus agar jiwa mereka kelak tidak
mengalami tekanan batin dengan pernah diadilinya di muka pengadilan,
yang pasti mengganggu usaha tunas muda ini sebagai anggota
masyarakat yang baik;
46Ibid.,
4. Sidang pengadilan harus dilaksanakan sedemikian rupa agar hal-hal
yang menimbulkan tekanan-tekanan batin/gangguan jiwa dapat
ditiadakan.
Dimulainya perlakuan khusus tersebut dari pihak47
a. Kepolisian; 1. Menahan anak-anak terpisah dengan penahanan orang
dewasa; 2. Waktu membuat berita acara pendahuluan tidak memakai
pakaian seragam;
:
b. Kejaksaan; 1. Pada waktu sidang tidak memakai toga atau pakaian
seragam;
c. Pengadilan; 1. Hakim ditunjuk secara khusus oleh Ketua Pengadilan
Negeri; 2. Hakim yang bersidang tidak memakai toga; 3. Persidangan
pada hari yang ditentukan khusus dan bersifat tertutup; 4. Hadirnya
orang tua dari si anak; 5. Lembaga Pemasyarakatan mengangkat
beberapa pegawai untuk : 6. Membantu persidangan dengan cara
membuat social report/case study yang sekarang disebut Balai Bispa.
Pembuatan social report inilah yang merupakan bagian terpenting dari
sidang anak. dalam social report petugas sosial atau social worker
sekaligus membubuhi rekomendasi tentang penempatan si anak.
walaupun hakim tidak terikat pada saran social worker tadi, karena
hakim bebas dalam memberi putusan, tokh merupakan suatu pegangan
bagi hakim dalam hal memberikan putusan terhadap si anak.
47Ibid.,
Tahun 1967 Departemen Kehakiman menugaskan Pra Yuwana
membantu pelaksanaan peradilan anak, dengan tujuan melindungi, mencegah dan
memulihkan anak-anak pelanggar hukum dan kesusilaan agar menjadi manusia
Indonesia yang cakap dan bertanggungjawab. Tahun 1968 Direktorat Jenderal
Kepenjaraan mendirikan Bimbingan Pemasyarakatan (Bispa) yang petugasnya
diangkat dari Akademi Sosial yang dipersiapkan menjadi Pembimbing Petugas
Kemasyarakatan yang langsung menangani anak-anak pelanggar hukum. Dalam
perkembangan selanjutnya, berhubung kekurangan petugas dan kekurangan dana
maka tugas Pra Yuwana diambil alih. Pra Yuwana tidak lagi di bawah
Departemen Kehakiman, namun di bawah pengawasan Departemen Sosial. Tugas
Pra Yuwana hanya mengenai anak perempuan dan anak di bawah umur 12 (dua
belas) tahun. Dengan adanya pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi
aktif dalam penanganan anak yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi
kegiatannya beralih pada anak-anak yang putus sekolah dan sebagainya48
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959
dalam upaya menunjang prinsip perlakuan khusus terhadap anak. berdasarkan
Surat Edaran tersebut, hakim yang melakukan pemeriksaan terhadap anak
dilakukan dengan sidang tertutup. Tahun 1981 ketika Hukum Acara Pidana
direvisi, perlakuan khusus terhadap anak mengikat para hakim. Perlakuan khusus
diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa persidangan
tidak dibuka untuk umum apabila terdakwanya anak-anak
.
49
48
Soetarman, Kenakalan Anak, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 48.
49
Abintoro Prakoso, Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, hlm. 37.
selanjutnya dalam praktek mengacu kepada Peraturan Menteri Kehakiman RI
Tahun 1983 Nomor M.06-UM01.06 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata
Ruang Persidangan yang isinya menentukan bahwa sidang anak dilakukan oleh
hakim tunggal kecuali dalam hal tertentu dilakukan secara majelis, dengan pintu
tertutup serta putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Kemudian
hakim, penuntut umum, penasihat hukum bersidang tanpa menggunakan toga
serta pada sidang diharapkan kehadiran orang tua, wali atau orang tua asuhnya50
Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa ide tentang lahirnya
peradilan anak di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 seperti termaksud dalam
penjelasan pasal 10 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri
Kehakiman dan Surat Edaran Mahkamah Agung. Untuk merealisasi lahirnya
Undang-Undang Peradilan Anak di Indonesia, pada tanggal 10 November 1995
Pemerintah dengan Amanat Presiden No : R. 12/PU/XII/1995 mengajukan
Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapat pembahasan dan persetujuan. Selanjutnya lahirlah
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Lembaran Negara No.
3 Tahun 1997
.
51
50
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 36.
51
Abintoro Prakoso, op.cit, hlm. 38.
. Sejak tanggal 3 Januari 1998 lewat Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 terdapat unifikasi hukum melalui peradilan anak. Undang-undang ini
mengakomodasi mengenai teori dan praktik tentang peradilan anak yang
undang-undang ini dirasakan sudah tidak releven lagi untuk diterapkan dalam lalu
lintas hukum sehari-hari52. Secara substansial dengan memperhatikan keseluruhan norma yang termuat dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang mana
pada akhirnya dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai objek dan
perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan
anak53
Seiring perkembangan zaman, Undang-Undang Pengadilan Anak masih
memiliki banyak kekurangan, substansinya bertentangan dengan spirit
perlindungan terhadap anak seperti diatur dalam Konvensi Hak-Hak Anak
sehingga tidak relevan lagi dalam kehidupan masyarakat. Ketentuan yang
bertentangan antara lain .
54
1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah. :
2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana
yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak
pidana.
3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah
Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara.
4. Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan
hukum.
52
Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Loc. Cit.
53Ibid.,
hlm. 38.
54Ibid.,
5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.
6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan
penahanan terhadap anak nakal.
7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif.
Dengan demikian perlu adanya perubahan paradigma dalam
penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah, dan lembaga
negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk meningkatkan
kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus kepada anak yang
berhadapan dengan hukum. Maka pemerintah berinisiatif untuk membuat
Rancangan Undang-Undang SPPA (RUU SPPA), yang disampaikan Presiden
kepada Pimpinan DPR RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal 16
Februari 2011.
Setelah tiga kali masa sidang, yakni masa sidang II, III, dan IV, maka
pada masa sidang ke IV DPR RI Tahun 2011-2012, tanggal 28 Juni 2012, Rapat
Pleno Komisi III DPR RI bersama pemerintah menyetujui RUU SPPA ini untuk
dibawa ke Pembahasan Tingkat II di DPR RI. Kemudian pada tanggal 3 Juli 2012,
Rapat Paripurna DPR RI menyetujui RUU Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi
Undang-Undang. Pada tanggal 30 Juli 2012, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menandatangani RUU ini menjadi Undang-Undang SPPA 55
55
M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 125.
Penyusunan Undang-Undang SPPA 56
Undang-Undang ini disahkan menjadi peraturan yang berlaku secara
umum dengan pertimbangan
ini merupakan penggantian terhadap
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
57
a. Bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; :
b. Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dan
sistem peradilan;
c. Bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak
mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum;
d. Bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan
56
Lihat penjelasan umum UU No. 11 Tahun 2012. “Undang-Undang ini menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai badan peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan peradilan umum”.
57
perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukumsehingga
perlu diganti dengan Undang-Undang baru;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, c, dan d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sementara yang menjadi dasar pemikiran pembentukan
Undang-Undang ini antara lain58
1. Dasar Filosofis :
Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai
Pancasila di dalam mencerminkan suatu keadilan, ketertiban dan
kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Disebutkan
bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya,
sehingga untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dalam
sistem peradilan anak.
Dasar filosofis ini mengafirmasi nilai-nilai Pancasila yakni Ketuhanan
Yang Maha Esa, dan Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga
sebagai bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai
religiositas, maka permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum
harus diberikan prioritas yang terbaik bagi anak.
58
2. Dasar Sosiologis
Perwujudan pelaksanaan lembaga peradilan pidana anak bisa jadi
menguntungkan atau merugikan mental, fisik dan sosial anak. tindak
pidana anak dewasa ini secara kuantitas dan kualitas cenderung
meningkat dibandingkan dengan tindak pidana lain. Bahkan, nyaris
semua tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa kini dilakukan
pula ole anak-anak. berbagai faktor penyebabnya adalah keadaan sosial
ekonomi yang kurang kondusif, pengaruh globalisasi dalam bidang
komunikasi dan informasi, hiburan, perkembangan ilmu pengetahuan
dan gaya hidup. Selain itu masalah ini disebabkan pula oleh faktor
intern keluarga seperti kurangnya perhatian, kasih sayang dan
pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh terhadap anak
sehingga mudah terpengaruh oleh pergaulan yang negatif di lingkungan
masyarakat.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan
dengan hukum agar anak bisa menyongsong masa depannya yang
masih panjang serta memberikan kesempatan kepada anak agar melalui
pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang
mandiri, bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Namun dalam pelaksanaannya anak
diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang
demikian, perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak
yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan
tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya
bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan
dengan hukum.
3. Dasar Yuridis
Menurut teori hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai
dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat
adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan
kesejahteraan umum.
Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan
Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, banyak
mengandung kelemahan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam
Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.
4. Dasar Psikopolitik Masyarakat
Psikopolitik masyarakat adalah suatu kondisi nyata di dalam
masyarakat mengenai tingkat penerimaan atau tingkat penolakan
terhadap suatu peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang
dilakukan anak baik langsung maupun tidak langsung merupakan suatu
akibat dari perbuatan dan tindakan yang dilakukan orang dewasa dalam
bersinggungan dengan anak atau merupakan sebagai bagian dalam
proses interaksi anak dalam lingkungannya, dimana anak belum mampu
secara dewasa menyikapi. Paradigma ini yang harus ditanamkan bagi
masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam menghadapi anak yang
diduga melakukan tindak pidana.
Dengan diundangkannya Undang-Undang SPPA, yang mulai berlaku 2
tahun sejak tanggal pengundangannya, maka Undang-Undang No. 3 Tahun 1997