BUKU CATATAN HARIAN PENELITIAN
(BCHP)
LAPORAN KEMAJUAN
PENELITIAN TUGAS AKHIR
PERANCANGAN SISTEM MANAJEMEN WARALABA PADA
USAHA RITEL KATEGORI PRINTER DAN TINTA
PROGRAM UNGGULAN
Bidang Fokus : Sistem Logistik dan Bisnis
Peneliti :
Rifqy Alfian Aziz NIM. I 0307018
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI - FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Buku Catatan Harian Penelitian
(BCHP)
Judul Penelitian : Perancangan Sistem Manajemen Waralaba PadaUsaha Ritel Kategori Printer Dan Tinta
Program Unggulan :
1. Perancangan produk yang mengedepankan sudut pandang Biomekanika, baik yang dirancang secara manual maupun otomatis. 2. Perancangan Alat Bantu Produksi dan Alat
No 4 merupakan unggulan dari selain ke-3 (tiga) dari program unggulan.
Kelompok Bidang Keminatan (KBK) : Sistem Logistik dan Bisnis
Peneliti : Rifqy Alfian Aziz
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Lama Penelitian : 5 bulan 4 hari Tanggal, Bulan, Tahun
Mulai Penelitian
: 28 April 2011
Sampai Tanggal, Bulan, Tahun Selesai Penelitian
: 30 September 2011
Tujuan Penelitian : 1. Mendapatkan sebuah best practice untuk perancangan sistem manajemen waralaba. 2. Menghasilkan sebuah sistem manajemen
waralaba yang dapat diterapkan untuk semua ritel kategori printer dan tinta.
3. Mengimplementasikan sistem manajemen waralaba yang telah dibuat untuk Aston Printer Center
Sasaran Akhir Penelitian : Merancang sistem manajemen waralaba pada usaha printer dan tinta dengan mengimplementasikan sistem yang dibuat dalam bentuk prospektus penawaran untuk Aston Printer Center
Surakarta, 26 September 2011
Ketua Kelompok Bidang Keminatan Sistem Logistik dan Bisnis
Peneliti,
a.n Yuniaristanto, S.T., M.T. NIP 19750617 200012 1 001
Rifqy Alfian Aziz NIM. I 0307018
Mengetahui,
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Yuniaristanto, S.T., M.T. NIP 19750617 200012 1 001
ABSTRAK
Rifqy Alfian Aziz, NIM : I 0307018. PERANCANGAN SISTEM MANAJEMEN WARALABA PADA USAHA RITEL KATEGORI PRINTER DAN TINTA. Skripsi. Surakarta: Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Oktober 2011.
Industri ritel kategori printer dan tinta merupakan salah satu jenis bisnis yang memiliki pasar potensial besar di Indonesia. Dalam mengembangkan usaha, cara waralaba banyak digunakan oleh perusahaan besar yang telah sukses sebelumnya di usaha ini seperti Veneta System, Acaciana, dan Gold Ink. Kesuksesan usaha melalui bisnis waralaba dikarenakan sistem dan konsep bisnis yang diterapkan sudah teruji dan memiliki tingkat kegagalan yang kecil yang sudah terbukti memberikan keuntungan. Peluang bisnis bagi usaha kecil yang berpotensi menjadi waralaba cukup besar, namun mereka kesulitan berkembang karena tidak adanya manajemen yang baik. Oleh karena itu perlu dirancang sebuah sistem manajemen waralaba pada usaha ritel kategori printer dan tinta.
Metodologi penelitian ini dimulai dengan melakukan functional
benchmarking terhadap tiga perusahaan yang unggul dalam kategori ritel yang berbeda, yaitu Veneta System, Alfamart, dan Apotek K-24. Dari tahap
benchmarking kemudian didapatkan perbandingan karakteristik diantara ketiga perusahaan tersebut. Dari perbandingan karakteristik kemudian didapatkan best practice yang merupakan cara-cara terbaik yang efektif dan efisien dari masing-masing perusahaan. Hasil best practice akan digunakan sebagai dasar dalam perancangan sistem manajemen waralaba. Sistem yang dirancang kemudian diimplementasikan di Aston Printer Center. Implementasi sistem dilakukan dengan membuat prospektus waralaba yang merupakan sebuah dokumen penawaran waralaba. Prospektus waralaba kemudian dianalisis untuk melihat sejauhmana hubungan dengan sistem manajemen waralaba yang telah dirancang sebelumnya.
Hasil dari penelitian ini berupa sistem manajemen waralaba yang terdiri dari empat bagian, yaitu manajemen kemitraan, manajemen barang dagangan, manajemen pengembangan ritel, dan manajemen toko. Implementasi sistem dengan menyusun prospektus waralaba khususnya dalam aspek finansial terdapat tiga skenario investasi awal yang dapat dipertimbangkan karena memiliki waktu titik impas yang berbeda serta mempunyai kelebihan dan kekurangan masing – masing
Kata kunci: waralaba, ritel, functional benchmarking, best practice, prospektus xvii + 130 hal; 19 gambar; 29 tabel; 3 lampiran
DAFTAR ISI
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
DAFTAR LAMPIRAN TABEL xvii
BAB I PENDAHULUAN I-1
1.1. Latar Belakang I-1
1.2. Perumusan Masalah I-3
1.3. Tujuan Penelitian I-4
1.4. Manfaat Penelitian I-4
1.5. Batasan Masalah I-4
1.6. Asumsi Penelitian I-4
1.7. Sistematika Penulisan I-5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II-1
2.1 Waralaba II-1
2.1.1 Pemberi Waralaba (Pewaralaba) II-4
2.1.2 Penerima Waralaba (Terwaralaba) II-6
2.1.3 Franchise Fee II-9
2.1.4 Royalti fee II-9
2.1.5 Advertising fee II-10
2.1.6 Jenis Waralaba II-10
2.1.7 Perjanjian Waralaba II-12
2.1.8 Panduan Operasi Manual Waralaba II-15
2.1.9 Prospektus Penawaran II-17
2.2.4 Manajemen Bisnis Ritel II-24
2.2.5 Fungsi yang Dijalankan Ritel II-25
2.2.6 Proses Keputusan Manajemen Ritel II-26
2.3 Benchmarking II-27
2.3.1 Pengertian Benchmarking II-27
2.3.2 Jenis – Jenis Benchmarking II-28
2.3.3 Tahapan Benchmarking II-30
2.4 Aston Printer Center II-31
2.5 PT. Sumber Alfaria Trijaya II-33
2.5.1 Visi dan Misi Alfamart II-34
2.6 PT. Veneta Media Indonesia (Veneta System) II-34
2.6.1 Visi dan Misi Veneta II-35
2.7 PT. K-24 Indonesia (Apotek K-24) II-35
2.7.1 Visi dan Misi Apotek K-24 II-36
2.7.2 Keunggulan Sistem Apotek K-24 II-37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III-2
3.1 Studi Lapangan III-2
3.2 Studi Pustaka III-2
3.3 Perumusan Masalah III-2
3.4 Penetapan Tujuan Penelitian III-2
3.5 BenchmarkingPerusahaan III-2
3.5.1 Tahap Perencanaan (Planning) III-3
3.5.2 Tahap Analisis III-4
3.5.3 Tahap Integrasi (Integration) III-4
3.6 Perancangan Sistem Manajemen Waralaba III-4
3.7 Implementasi Sistem III-4
3.8 Analisis Prospektus Penawaran III-5
3.9 Kesimpulan dan Saran III-5
BAB IV PERANCANGAN SISTEM MANAJEMEN WARALABA IV-1
4.1. Benchmarking Perusahaan IV-1
4.1.3 Tahap Integrasi IV-21 4.2. Perancangan Sistem Manajemen Waralaba IV-23 4.2.1. Manajemen Kemitraan IV-24 4.2.2. Manajemen Pengembangan Ritel IV-39 4.2.3. Manajemen Barang Dagangan IV-51 4.2.4. Manajemen Toko IV-60
BAB V PEMBUATAN DAN ANALISIS PROSPEKTUS V-1
PENAWARAN
5.1 Pembuatan Prospektus Penawaran V-1
5.2 Analisis Perancangan Prospektus Penawaran V-1
5.2.1 Analisis Manajemen Kemitraan V-1
5.2.2 Analisis Manajemen Pengembangan Ritel V-9
5.2.3 Analisis Manajemen Barang Dagangan V-13
5.2.4 Analisis Manajemen Toko V-15
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan VI-1
6.2 Saran VI-1
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRANNormalisasi Ukuran dengan 4.3.
4.4.
4.5.
4.6.
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Panduan Operasi Manual Waralaba II-15
Tabel 2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ritel Modern II-21
Tabel 2.3 Proses Keputusan Manajemen Ritel II- 26
Tabel 4.1 Aspek dalam Usaha Waralaba IV- 4
Tabel 4.2 Target Benchmarking IV- 5
Tabel 4.3 Karakteristik PT. Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart) IV- 7
Tabel 4.4 Karakteristik PT. Veneta System Indonesia IV-10
Tabel 4.5 Karakteristik PT. K-24 Indonesia IV-13
Tabel 4.6 Perbandingan Manajemen Kemitraan IV-16
Tabel 4.7 Perbandingan Manajemen Pengembangan Ritel IV-18
Tabel 4.8 Perbandingan Manajemen Barang Dagangan IV-19
Tabel 4.9 Perbandingan Manajemen Toko IV-20
Tabel 4.10 Best PracticeManajemen Kemitraan IV-21
Tabel 4.11 Best PracticeManajemen Pengembangan Ritel IV-22
Tabel 4.12 Best PracticeManajemen Barang Dagangan IV-22
Tabel 4.13 Best PracticeManajemen Toko IV-23
Tabel 4.14 Penjabaran Tugas pada Ritel IV-39
Tabel 4.15 Jumlah Sumber Daya Pewaralaba IV-44
Tabel 4.16 Jumlah Sumber Daya Terwaralaba (Skenario 1) IV-44
Tabel 4.17 Jumlah Sumber Daya Terwaralaba (Skenario 2) IV-44
Tabel 4.18 Jumlah Sumber Daya Terwaralaba (Skenario 3) IV-45
Tabel 4.19 Aspek dalam Mendesain Toko IV-61
Tabel 5.1 Perbandingan Waralaba Toko Baru dan Take Over V-2
Tabel 5.2 Perbandingan Tanggung Jawab Aktif dan Pasif V-3
Tabel 5.3 Rincian Investasi Awal Keadaan Optimis V-6
Tabel 5.4 Rincian Investasi Awal Keadaan Pesimis V-7
Tabel 5.5 Perbandingan Laporan Keuangan Oleh Cabang dan Pusat V-11
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Organisasi Fungsional II-22
Gambar 2.2 Struktur Organisasi Berdasarkan Produk II-22
Gambar 2.3 Struktur Organisasi Berdasarkan Georgrafis II-22
Gambar 2.4 Struktur Organisasi Kombinasi II-23
Gambar 2.5 Gerai Alfamart II-33
Gambar 2.6 Gerai Veneta System II-35
Gambar 2.7 Gerai Apotek K-24 II-36
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian III-1
Gambar 4.1 Alur Waralaba Bisnis Ritel Kategori Printer dan Tinta IV-25
Gambar 4.2 Alur Pengajuan HKI IV-29
Gambar 4.3 Alur Pengajuan SIUP, TDP, dan HO IV-31
Gambar 4.4 Alur Pengajuan STPW Pemberi Waralaba IV-33
Gambar 4.5 Alur Pengajuan STPW Penerima Waralaba IV-34
Gambar 4.6 Struktur Organisasi Pewaralaba IV-41
Gambar 4.7 Struktur Organisasi Terwaralaba (Skenario 1) IV-42
Gambar 4.8 Struktur Organisasi Terwaralaba (Skenario 2) IV-42
Gambar 4.9 Struktur Organisasi Terwaralaba (Skenario 3) IV-43
Gambar 4.10 Skema Distribusi dengan 1 Gudang IV-52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1-1 Prospektus Penawaran Aston Printer Center L1-1
Lampiran 2-1 Rancangan Investasi Awal Aston Printer Center Keadaan L2-1 Optimis
DAFTAR LAMPIRAN TABEL
Halaman
Tabel L2. 1 Rincian Fixture Toko L2-1
Tabel L2. 2 Rincian Peralatan Toko L2-1
Tabel L2. 3 Rincian Persediaan Awal L2-2
Tabel L2. 4 Rancangan 1 Keadaan Optimis L2-5
Tabel L2. 5 Rancangan 2 Keadaan Optimis L2-6
Tabel L2. 6 Rancangan 3 Keadaan Optimis L2-7
Tabel L3. 1 Rincian Fixture Toko L3-1
Tabel L3. 2 Rincian Peralatan Toko L3-1
Tabel L3. 3 Rincian Persediaan Awal L3-2
Tabel L3. 4 Rancangan 1 Keadaan Pesimis L3-5
Tabel L3. 5 Rancangan 2 Keadaan Pesimis L3-6
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan beberapa hal pokok mengenai penelitian ini, yaitu latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan masalah dan asumsi, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Saat ini tren bisnis dengan menggunakan konsep waralaba semakin membumi di Indonesia. Semakin banyak orang dan perusahaan di berbagai negara menggunakan konsep bisnis ini. Menurut Majalah Info Franchise Indonesia, omset bisnis waralaba di Indonesia pada tahun 2010 telah berada di angka lebih kurang Rp 114 triliun dengan jumlah tenaga kerja terserap lebih dari 700.000 orang. Hal ini meningkat pesat jika dibandingkan dengan omset pada tahun 2008 yang masih di angka Rp 81 triliun dengan jumlah tenaga kerja terserap lebih kurang 500.000 orang. Jumlah tersebut masih diprediksikan akan meningkat pada tahun – tahun mendatang.
Berdasarkan penelitian dalam Franchise (2009), industri waralaba nasional
dikelompokkan menjadi delapan kelompok besar yaitu makanan dan minuman
(food beverage), ritel dan minimarket, agen properti, kurir dan ekspedisi,
pendidikan, kesehatan dan kecantikan, pakaian dan perhiasan (fashion
accessories) serta otomotif. Salah satu kategori ritel yang memiliki pasar potensial
besar dan menjanjikan di Indonesia adalah kategori printer dan tinta
(Bataviase.2010). Menurut hasil survey IDC (International Data Corporation)
yang merupakan lembaga survei industri independen, memprediksi bahwa pertumbuhan penjualan printer di Indonesia sepanjang 2011 akan meningkat 15% dibandingkan tahun 2010 dari 2,3 juta unit printer laserjet dan inkjet diprediksi menjadi 2,8 juta unit printer (Affandi, 2011). Dengan prediksi tersebut bisa dipastikan pertumbuhan industri ritel kategori printer dan tinta akan semakin berkembang dengan pesat.
Center, Flash Mandiri, CV. Image Printer dan lainnya. Perkembangan usaha tersebut dapat melalui dua cara yaitu dengan pola konvensional yaitu membuka
cabang ataupun dengan cara waralaba. Seorang pengusaha yang ingin memperluas
usahanya dengan membuka cabang sangat tergantung dari modal yang
dimilikinya. Dengan menggunakan pola cabang, seorang pengusaha tidak perlu
membayar sejumlah biaya terhadap pihak lain serta reputasi usahanya dapat dijaga
dengan baik karena operasional usahanya ditangani secara langsung. Berbeda
halnya jika menggunakan pola bisnis waralaba dimana salah satu keunggulannya
adalah perluasan usaha yang semakin cepat dengan menggunakan modal dari
penerima waralaba dan resiko yang ditanggung oleh penerima waralaba. Penerima
waralaba akan membayar sejumlah fee kepada pemberi waralaba dan sebagai
wujud tanggungjawabnya, pemberi waralaba akan memberikan bantuan berupa
dokumen operasional serta monitoring yang berkelanjutan. Namun perlu
diperhatikan bahwa pola bisnis waralaba juga memiliki kelemahan dimana
dimungkinkan terjadinya kualitas layanan penerima waralaba yang buruk
sehingga berpengaruh terhadap reputasi merek pemberi waralaba. Hal ini dapat
dikarenakan kurangnya seleksi calon penerima waralaba serta kurangnya
dukungan dan monitoringdari pemberi waralaba (Franchise, 2009).
Kesuksesan usaha melalui bisnis waralaba dikarenakan sistem dan konsep bisnis yang diterapkan sudah teruji dan memiliki tingkat erorr yang kecil yang sudah terbukti memberikan keuntungan. Dilihat dari sisi pewaralaba model bisnis ini akan membantu mereka dalam mengembangkan usahanya karena mereka tidak memerlukan biaya yang besar dalam membuka cabang. Keuntungannya adalah pewaralaba mendapatkan royalti atas pemakaian merek dan sistem usahanya. Sedangkan bagi pihak terwaralaba memudahkan mereka jika ingin memiliki bisnis yang langsung memberikan keuntungan secara cepat tanpa membutuhkan waktu yang lama (Franchise,2009)
sejak tahun 2003 kini telah memiliki 147 outlet terwaralaba yang tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu Acaciana yang telah berdiri sejak tahun 1997 kini telah memiliki 13 outlet terwaralaba yang tersebar di Indonesia. Sedangkan Gold Ink yang berdiri sejak tahun 2007 kini memiiki lebih dari 11 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia. (Franchise, 2009)
Menurut Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI),
peluang bisnis dari usaha kecil yang berpotensi menjadi waralaba cukup besar
dengan pertumbuhan mencapai 12% per tahun. Namun, usaha kecil tersebut masih
kesulitan berkembang karena keterbatasan kemampuan dalam berwirausaha baik
menyangkut kompetensi dalam pengelolaan usaha, kemampuan berinovasi, dan
mengembangkan kreativitas serta masih rendahnya keuletan dalam berusaha.
(Bataviase, 2010). Kesulitan tersebut banyak disebabkan oleh tidak adanya
manajemen yang baik. Sebuah manajemen yang baik harus dimiliki oleh setiap
pengusaha sebagai syarat jika ingin mewaralabakan usahanya karena dapat
membantu pengusaha yang ingin sukses dalam bidang waralaba (Franchise,2009).
Dalam penelitian ini dirancang sebuah sistem manajemen waralaba yang dikhususkan pada usaha ritel kategori printer dan tinta. Dalam menyusun sistem
manajemen waralaba digunakan metode functional benchmarking yang tidak
membatasi diri pada perbandingan terhadap pesaing langsung sehingga dapat melakukan investigasi pada perusahaan – perusahaan yang unggul dalam industri yang tidak sejenis. Metode benchmarking digunakan dalam penelitian ini karena dengan metode ini dapat dilihat bagaimana usaha yang telah sukses dalam
menjalankan bisnis waralabanya sehingga dapat mengadopsi best practice untuk
meraih sasaran yang diinginkan. Hasil dari benchmarking menghasilkan sebuah
best practiceyang digunakan dalam penyusunan sistem manajemen waralaba.
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu :
1. Menghasilkan sebuah best practice untuk perancangan sistem manajemen
waralaba.
2. Menghasilkan sebuah sistem manajemen waralaba yang dapat diterapkan
untuk semua ritel kategori printer dan tinta.
3. Mengimplementasikan sistem manajemen waralaba yang telah dibuat untuk
Aston Printer Center.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :
1. Memudahkan pemilik usaha ritel jika ingin membuka cabang baru melalui sistem waralaba.
2. Mengetahui prosedur mewaralabakan suatu usaha.
1.5 Batasan Masalah
Agar pembahasan lebih terarah, penelitian dilakukan dengan pembatasan sebagai berikut :
1. Sistem yang dirancang digunakan untuk pihak pemberi waralaba (pewaralaba).
2. Implementasi sistem dilakukan pada Aston Printer Center. 3. Benchmarking dilakukan sampai tahap integrasi.
1.6 Asumsi Penelitian
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.7 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dibuat agar dapat memudahkan pembahasan penyelesaian masalah dalam penelitian ini. Penjelasan mengenai sistematika penulisan, sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan berbagai hal mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi-asumsi dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan teori-teori yang dipakai untuk mendukung penelitian, sehingga perhitungan dan analisis dilakukan secara teoritis. Tinjauan pustaka diambil dari berbagai sumber yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisi tahapan yang dilalui dalam penyelesaian masalah secara umum yang berupa gambaran terstruktur dalam bentuk flowchartsesuai dengan permasalahan yang ada mulai dari studi pendahuluan, pengumpulan data sampai dengan pengolahan data dan analisis.
BAB IV : PERANCANGAN SISTEM MANAJEMEN WARALABA
Bab ini berisi perancangan sistem manajemen waralaba yang dimulai dengan benchmarking pada tiga perusahaan. Dari hasil benchmarking
didapatkan best practice yang nantinya digunakan sebagai dasar dalam perancangan sistem manajemen waralaba.
BAB V : PEMBUATAN DAN ANALISIS PROSPEKTUS PENAWARAN
Bab ini berisi pengimplementasian sistem yang telah dirancang dengan membuat sebuah prospektus penawaran untuk Aston Printer Center. Kemudian dilakukan analisis terhadap prospektus tersebut.
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat teori-teori relevan dan mendukung analisis serta pemecahan masalah yang terdapat pada penelitian ini.
2.1. Waralaba
Definisi waralaba menurut Amir Karamoy (Konsultan Waralaba) yang dimuat dalam Andy (2009) adalah :
“Waralaba adalah suatu pola kemitraan usaha antara perusahaan yang memiliki merek dagang dikenal dan sistem manajemen, keuangan dan pemasaran yang telah mantap, disebut pewaralaba, dengan perusahaan atau individu yang memanfaatkan atau menggunakan merek dan sistem milik pewaralaba, disebut terwaralaba. Pewaralaba wajib memberikan bantuan teknis, manajemen dan pemasaran kepada terwaralaba dan sebagai imbal baliknya, terwaralaba membayar sejumlah biaya (fee) kepada pewaralaba. Hubungan kemitraan usaha antara kedua pihak dikukuhkan dalam suatu perjanjian lisensi atau waralaba”
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, definisi waralaba yaitu :
tertentu kepada pewaralaba yang telah disepakati bersama dari awal kontrak, serta mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pewaralaba.
Menurut Franchise (2009), waralaba pada hakikatnya memiliki beberapa elemen sebagai berikut:
1. Pewaralaba
Pewaralaba yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran barang atau jasanya.
2. Terwaralaba
Terwaralaba yaitu pihak yang menerima hak eksklusif dari pihak pewaralaba untuk kemudian mengembangkan merek usahanya di beberapa wilayah. 3. Master Franchise
Master franchise yaitu penerimaan hak eksklusif dari seorang terwaralaba untuk mengembangkan merek usahanya dalam suatu negara dengan lingkup besar.
4. Elemen – elemen biaya waralaba
Elemen biaya ini muncul sebagai akibat dari bentuk kompensasi atas sebuah hubungan yang terjadi. Biasanya elemen biaya ini yang menetapkan adalah pewaralaba dan menjadi kewajiban dari seorang terwaralaba untuk melaksanakannya. Adapun elemen – elemen biaya tersebut yaitu, franchise fee, royalty fee, dan advertising fee.
Menurut Widjaja (2001) dalam bentuknya sebagai bisnis, waralaba memiliki dua jenis kegiatan (Handrata dan Raharja, 2008) :
1. Waralaba Produk dan Merek Dagangan (Product/Trade Mark Franchising)
franchise fee dan selanjutnya pemberi waralaba memperoleh keuntungan (yang sering juga disebut dengan royalti berjalan) melalui penjualan produk yang diwaralabakan kepada penerima waralaba. Dalam bentuk yang sangat sederhana ini, waralaba produk dan merek dagang seringkali mengambil bentuk keagenan, distributor atau lisensi penjualan.
2. Waralaba Format Bisnis (Bussiness Format Franchising)
Agak berbeda dengan waralaba produk dan merek dagang, waralaba format bisnis menurut pengertian yang diberikan oleh Martin Mandelson dalam Franchising: Petunjuk Praktis bagi Pewaralaba dan Terwaralaba, waralaba format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (pemberi waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba), lisensi tersebut
memberi hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan
menggunakan merek dagang/nama dagang pemberi waralaba, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Mandelson (2004), ada sekurangnya sembilan alasan dasar mengapa pengusaha memilih untuk mewaralabakan usahanya. Alasan-alasan tersebut adalah (Handrata dan Raharja, 2008) :
1. Pengembangan jaringan usaha secara cepat begitu juga penetrasi pasarnya, maksudnya disini pemberi waralaba dapat dengan mudah mengeksploitasi teritorial pasarnya.
2. Modal sepenuhnya berasal dari penerima waralaba; jadi modal yang
diperlukan pihak pemberi waralaba menjadi tidak terlalu besar untuk menjadikan usahanya besar.
3. Pemberi waralaba menerima persentase atas penghasilan penerima waralaba tanpa menanggung kerugian penerima waralaba.
6. Waralaba membentuk sistemnya sendiri sebagai pencari laba.
7. Rasio keuangan ekuitas yang positif, karena tidak mengeluarkan modal yang besar.
8. Pemberi waralaba memperoleh penghasilan dari hasil penjualan dan bukan keuntungan penerima waralaba.
9. Pewaralaba tidak perlu terlalu terlibat langsung setiap hari atau memantau jalannya usaha yang dilakukan terwaralaba.
2.1.1. Pemberi Waralaba (Pewaralaba)
Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 pasal 1, pemberi waralaba (pewaralaba) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba. Menurut Widjaja (2002), keuntungan dan kerugian bagi pemberi waralaba antara lain (Handrata dan Raharja, 2008):
1. Keuntungan bagi pemberi waralaba.
Adapun keuntungan bagi pemberi waralaba antara lain:
a. Waralaba dapat menghasilkan keuntungan yang memadai tanpa perlu terlibat dengan resiko modal yang tinggi maupun dengan masalah – masalah detail sehari-hari yang timbul dari pengelolaan dan manajemen
outlet eceran yang kecil. Semua kegiatan administrasi dan pengelolaan jalannya bisnis serta produk yang diwaralabakan akan diselenggarakan sepenuhnya oleh penerima waralaba.
b. Tidak ada kebutuhan untuk menyuntik sejumlah besar modal untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan yang besar. Masing-masing
outletyang terbuka memanfaatkan sendiri sumber daya keuangan yang disediakan oleh setiap penerima waralaba.
c. Organisasi pemberi waralaba mempunyai kemampuan untuk
d. Pemberi waralaba akan lebih mudah untuk melakukan eksploitasi wilayah yang belum masuk dalam lingkungan organisasinya.
e. Pemberi waralaba hanya akan mempunyai permasalahan staff yang
lebih sedikit karena ia tidak terlibat dalam masalah staff pada masing-masing pemilik outlet. Setiap karyawan pada outlet bisnis penerima waralaba menjadi tanggung jawab penerima waralaba sepenuhnya. f. Penerima waralaba akan mengkonsentrasikan diri secara lebih optimum
pada bisnis yang diwaralabakan tersebut, oleh karena mereka adalah pemilik bisnis itu sendiri.
g. Pemberi waralaba cenderung untuk tidak memiliki aset outlet dagang sendiri. Tanggung jawab bagi aset tersebut diserahkan pada penerima waralaba yang memilikinya.
h. Seorang pemberi waralaba yang melibatkan bisnisnya dalam kegiatan manufaktur/pedagang besar bisa mendapatkan distribusi yang lebih luas dan kepastian bahwa ia mempunyai outletuntuk produknya.
2. Kerugian bagi pemberi waralaba
Adapun kerugian bagi pemberi waralaba antara lain:
a. Ada kemungkinan kekurangpercayaan diantara pemberi waralaba dan
penerima waralaba yang berasal dari ketidakseimbangan antara penerima waralaba individu dalam organisasi penerima waralaba dengan pihak-pihak yang harus dihubunginya dalam organisasi waralaba. Hal ini harus dihindari bagi seorang pemberi waralaba.
b. Ada kemungkinan dengan jumlah investasi yang sangat besar, suatu unit perusahaan yang dimiliki dan dikerjakan sendiri dapat memberikan keuntungan lebih besar dari keuntungan pemberi waralaba.
c. Jika penerima waralaba membayar feesebagai presentase dari penjualan kotor, ada kemungkinan penerima waralaba akan bertindak secara tidak terbuka dalam menunjukkan penghasilan kotornya.
d. Kemungkinan terdapat kesulitan-kesulitan dalam rekrutmen
orang-orang yang cocok sebagai penerima waralaba untuk bisnis tertentu. Selain kelebihan dan kekurangan bagi seorang pemberi waralaba, terdapat masalah-masalah yang potensial bagi penerima waralaba, diantaranya :
1. Adanya kemungkinan terwaralaba menurunkan reputasi nama atau merek
pewaralaba akibat kegagalannya memenuhi standar tertentu.
2. Adanya kemungkinan pelayanan masing-masing terwaralaba berbeda-beda
sehingga mempengaruhi loyalitas pelanggan.
3. Kemungkinan terjadinya persaingan tidak sehat diantara sesama terwaralaba
yang ikut merugikan pewaralaba.
2.1.2. Penerima Waralaba (Terwaralaba)
Menurut Widjaja (2002), terdapat keuntungan dan kerugian serta hak dan kewaiban bagi penerima waralaba,yaitu (Handrata dan Raharja, 2008) :
1. Keuntungan penerima waralaba.
Adapun keuntungan bagi penerima waralaba antara lain:
a. Penerima waralaba dapat mengatasi kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimiliki melalui program pelatihan yang terstruktur dari pemberi waralaba (support).
b. Penerima waralaba mendapat keuntungan dan aktivitas iklan dari promosi pemberi waralaba pada tingkat nasional dan atau internasional.
c. Penerima waralaba mendapatkan keuntungan dan daya beli yang besar
dari kemampuan negosiasi yang dilakukan pemberi waralaba atas seluruh penerima waralaba dan jejaringnya.
d. Penerima waralaba mendapat pengetahuan khusus dan berkemampuan
tinggi serta berpengalaman, organisasi dan manajemen kantor pusat pemberi waralaba, walaupun dia tetap mandiri dalam bisnisnya sendiri.
2. Kerugian penerima waralaba.
Adapun kerugian bagi penerima waralaba antara lain:
a. Penerima waralaba harus membayar pemberi waralaba atas jasa yang didapatkannya dan untuk penggunaan sistem waralaba yaitu dengan dan
dalam bentuk franchise fee pendahuluan atau uang waralaba terus
menerus.
b. Pemberi waralaba mungkin membuat kesalahan dalam kebijakan
kebijakannya. Dia mungkin mengambil keputusan yang berkaitan dengan inovasi bisnis yang berakhir pada kegagalan dan hal ini mungkin dapat mempengaruhi aktivitas penerima waralaba.
c. Reputasi, citra merek dan bisnis yang diwaralabakan mungkin menjadi
turun, karena alasan-alasan yang mungkin berada di luar kontrol baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba.
b. Memberikan kekuasaan bagi pemberi waralaba untuk melakukan pengawasan maupun inspeksi berkala ataupun secara tiba-tiba, guna memastikan bahwa penerima lisensi telah melaksanakan waralaba yang diberikan dengan baik.
c. Memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas
permintaan khusus dan pemberi waralaba.
d. Membeli barang modal tertentu ataupun barang-barang tertentu lainnya
dalam rangka pelaksanaan waralaba dan pemberi waralaba.
e. Menjaga kerahasiaan Hak atas Kekayaan Intelektual.
f. Tidak memanfaatkan Hak atas Kekayaan Intelektual.
g. Melakukan pendaftaran waralaba.
h. Tidak melakukan kegiatan sejenis, serupa, ataupun yang secara
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang mempergunakan Hak atas Kekayaan Intelektual.
i. Melakukan pembayaran royalti dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati bersama
4. Hak penerima waralaba.
Hak bagi seorang penerima waralaba, antara lain :
a. Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak
atas Kekayaan Intelektual;
b. Memperoleh bantuan dan pemberi waralaba atas segala macam cara pemanfaatan dan atau penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual penemuan atau ciri khas usaha.
Selain hal – hal diatas, terdapat masalah-masalah yang potensial menghadang penerima waralaba, diantaranya (Handrata dan Raharja, 2008) : 1. Terjadi kejenuhan pasar karena terlalu banyak terwaralaba dengan merek atau
produk yang sama di wilayah tertentu.
2. Adanya hasrat pewaralaba yang berlebihan untuk memperluas waralabanya
3. Pembatalan sepihak oleh pewaralaba bisa diberlakukan terhadap terwaralaba yang dipandang gagal memenuhi kesepakatan.
4. Pada beberapa industri jangka waktu pemberlakuan waralaba terlalu singkat.
5. Sebagian besar kontrak menyebutkan bahwa royalti yang harus dibayar
terwaralaba hanya berdasarkan gross sales (penjualan bruto) tanpa
memperhitungkan laba terwaralaba.
2.1.3. Franchise Fee
Franchise fee merupakan biaya awal waralaba dimana biaya ini harus dibayar di awal sebelum gerai waralaba beroperasi. Biaya ini dibayarkan untuk lisensi atau hak penggunaan merek yang diwaralabakan selama jangka waktu waralaba dan juga untuk hak menggunakan/meminjam pedoman operasional selama jangka waktu tertentu. Besarnya franchise feeini tergantung kebijaksanaan pewaralaba, tetapi biaya ini penting untuk diketahui komposisinya. Biasanya
franchise feemempunyai komposisi seperti berikut ini (Franchise, 2009) : 1. Survei lokasi.
2. Desain layout.
3. Inventori awal, termasuk stockbarang yang dibutuhkan.
4. Sourcing(pencarian supplier) untuk initial inventorydanstockbarang.
5. Bimbingan dan diskusi untuk menyusun business plan.
6. Rekrutmen dan/ atau seleksi para pegawai.
7. Sepervisi dan eksekusi launching.
2.1.4 Royalty Fee
Royalty feemerupakan biaya yang harus dibayar setelah gerai waralaba mulai
beroperasi. Pada umumnya pewaralaba yang menetapkan kapan jadwal
Royalty fee tersebut digunakan untuk beberapa hal seperti berikut ini (Franchise, 2009) :
1. Kelangsungan operasional pewaralaba dalam kaitannya dengan bimbingan
berkesinambungan bagi para terwaralaba.
2. Pelaksanaan audit waralaba dan evaluasi bisnis yang keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bimbingan berkesinambungan.
3. Penelitian dan pengembangan
4. Pengelolaan merek dagang dan strategi pemasaran
2.1.5 Advertising Fee
Advertising Fee ini merupakan biaya yang digunakan untuk membiayai keperluan pengelolaan merek dan strategi dana. Sehingga untuk kepentingan ini dana tersebut biasanya tidak diambilkan dari royalty fee namun diambil dari dana iuran dan advertising feeini (Franchise, 2009).
2.1.6 Jenis Waralaba
Menurut Pedoman Pelaksanaan Keterkaitan Kemitraan di Bidang Industri Kecil, terdapat tiga tipe atau jenis waralaba, yaitu (Pontoan dan Sutanto, 2008): 1. Product Franchise
Pada tipe ini, pewaralaba menghasilkan atau memproduksi suatu produk atau jasa yang dipasarkan oleh terwaralaba. Dalam tipe ini terwaralaba menyediakan atau membentuk gerai untuk memasarkan produk yang dihasilkan pewaralaba. Contoh: keagenan sepatu, pabrik sepatu X menghasilkan atau memproduksi sepatu, lalu terwaralaba membuat gerai untuk memasarkan sepatu-sepatu tersebut sesuai dengan petunjuk pewaralaba.
2. Business Opportunity Ventures
tidak menggunakan nama dan merek dagang pewaralaba tetapi mematuhi sistem yang ditetapkan oleh pewaralaba.
3. Business Format Franchising
Pada tipe ini, terwaralaba diberi lisensi untuk memasarkan produk atau jasa milik pewaralaba sesuai dengan produk atau jasa milik pewaralaba sesuai dengan sistem yang ditetapkan dan menggunakan merek dagang atau nama perusahaan pewaralaba. Contoh: real estate, fast food, hotel.
Menurut International Franchise Association (IFA) berkedudukan di
Washington DC yang merupakan organisasi waralaba internasional yang
beranggotakan negara-negara di dunia, ada empat jenis waralaba yang mendasar yang biasa digunakan di Amerika Serikat, yaitu (Pontoan dan Sutanto, 2008) : 1. Product Franchise
Pada tipe ini produsen menggunakan produk waralaba untuk mengatur bagaimana cara pedagang eceran menjual produk yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barang-barang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Pemilik toko harus membayar biaya atau membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini. Contohnya, toko ban yang menjual produk dari pewaralaba, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh pewaralaba.
2. Manufacturing Franchise
Pada tipe ini, waralaba memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek pewaralaba. Jenis waralaba ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
3. Business Oportunity Ventures
4. Business Format Franchising
Pada tipe ini, bentuk waralaba inilah yang paling populer di dalam praktek. Melalui pendekatan ini, perusahaan menyediakan suatu metode yang telah terbukti untuk mengoperasikan bisnis bagi pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang dari perusahaan. Umumnya perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu bagi pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalti. Kadang-kadang, perusahaan juga mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli persediaan dari perusahaan.
2.1.7 Perjanjian Waralaba
Menurut Rachmadi (2007) ada beberapa aspek dasar atau kunci yang seharusnya ditekankan dalam perjanjian waralaba. Pada umumnya, pewaralaba merupakan pihak yang aktif dalam pembuatan perjanjian waralaba karena lebih
mengetahui kondisi bisnis. Sebagai calon terwaralaba sebaiknya ikut
mengupayakan agar perjanjian mencakup semua masalah yang mungkin timbul. Perjanjian harus adil dan harus melindungi pihak terwaralaba dan isi perjanjian tersebut perlu mencakup beberapa hal, diantaranya (Pontoan dan Sutanto, 2008) : A. Recitals(Pembukaan)
Pembukaan perjanjian warlaba pada intinya harus berisi tentang adanya kesepakatan hubungan kontraktual. Informasi ini mencakup latar belakang pengembangan dan hak kepemilikan dari pewaralaba yang akan dilisensikan kepada terwaralaba. Seorang terwaralaba berkewajiban untuk mengoperasikan format bisnis secara ketat sesuai dengan manual operasi dan standar pengendalian kualitas yang diberikan oleh pewaralaba.
B. Status Hukum Terwaralaba
Status hukum yang dimaksud disini menekankan hubungan legal antara seorang pewaralaba dan terwaralaba serta mengonfirmasi bahwa semua pihak tidak bertindak dalam hubungan pegawai – pemberi kerja, prinsipal, dan agen, mitra umum, atau status lainnya
C. Hak yang diberikan
pewaralaba. Sebagai contoh hak yang diberikan mencakup sejumlah trademark, service marks, tradedress (sign age, desain counter, seragam, desain fitur),
manual operasi, program pelatihan awal, program pendukung, dan on going training, bantuan teknis, dan akses ke sumber daya, serta hak untuk membuat atau mendistribusikan produk pewaralaba.
D. Cakupan Wilayah
Cakupan wilayah yang dimaksud meliputi batasan wilayah yang ditentukan oleh apa, radius, jalan, kota, ataukah negara. Dan juga termasuk kesepakatan apakah pewaralaba mempunyai hak untuk membuka cabang sendiri di wilayah tersebut atau menambah terwaralaba lagi.
E. Pemilihan Lokasi Usaha
Penentuan lokasi usaha harus turut serta dijadikan perhatian dalam penyusunan perjanjian waralaba. Terwaralaba bebas memilih lokasi dan kemudian dimintakan persetujuan kepada pewaralaba. Ada beberapa pewaralaba yang memberikan bantuan nyata dalam pemilihan lokasi, dalam bentuk studi pemasaran dan demografis, negosiasi sewa dengan pemilik lahan, dan sebagainya.
F. Jasa yang diberikan oleh pewaralaba
Jasa yang diberikan oleh pewaralaba berupa layanan pra pembukaan yang biasanya mencakup penggunaan manual operasi, rekruitmen dan latihan pegawai, standar akuntansi dan sistem pembukuan, spesifikasi inventori dan peralatan, standar konstruksi, rencana desain gedung dan interior, serta dukungan iklan dan promosi grand opening. Layanan pasca pembukaan meliputi dukungan lapangan dan trouble shooting, R&D produk baru, pengembangan kampanye promosi iklan nasional, dan lain-lain.
G. Pasokan produk
H. Besarnya Fee, Royalty, dan Pembayaran Lain yang terkait dengan Pewaralaba dan Pelaporannya
Franchise fee dibayarkan secara berkala begitu perjanjian waralaba dilakukan. Ini merupakan kompensasi atas pemberian waralaba, lisensi merek dan rahasia dagang, pelatihan dan dukungan pra pembukaan, serta dukungan bahan baku awal. Kategori pembayaran kedua yaitu royalti dari penjualan brutto. Kategori ketiga adalah pembayaran fee untuk dana kerjasama iklan/promosi nasional demi efisiensi dan konsistensi upaya pemasaran. Pembayaran fee yang lain juga berupa penjualan produk/bahan baku, biaya audit dan inspeksi, dan lain-lain.
I. Pengendalian Kualitas
Pengendalian kualitas dalam sebuah perjanjian waralaba harus mencakup sistem jaminan kendali dan konsistensi kualitas. Beberapa bentuk batasan dalam produk terwaralaba seperti komposisi, bahan baku, dan perlengkapan yang harus memenuhi panduan dan spesifikasi prosedur operasi.
J. Asuransi, Penanganan Catatan, dan Kewajiban Lain dari Terwaralaba
Terdapat berbagai resiko yang mungkin terjadi yang tidak dapat ditanggung sendiri oleh seorang terwaralaba serta perlu diasuransikan, seperti banjir, kebakaran, perlindungan atas mesin dan kendaraan, perlindungan dari bahaya teroris, dan lain-lain. Pewaralaba biasanya mengikat terwaralaba dengan berbagai kewajiban, seperti memberikan laporan keuangan, menjaga standar kualitas pegawai dan pemasok, meng-upgrade peralatan atau fasilitas yang ada, menyediakan produk atau fasilitas sesuai standar pewaralaba, dan lain-lain.
K. Perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual
Dalam sebuah perjanjian waralaba, seorang calon terwaralaba harus memahami bahwa pewaralaba akan berusaha mencegah penyalahgunaan dan penyebarluasan rahasia dagang yang dilisensikan termasuk penggunaan manual operasi untuk pihak lain, terutama pesaing.
L. Penghentian Perjanjian Waralaba
M. Pengalihan Waralaba
Dalam perjanjian waralaba, perlu dicantumkan pemberian ijin kepada pembeli baru, pelatihan pembeli baru, pembayaran biaya pengambilalihan lisensi dan pelatihan kepada pewaralaba.
2.1.8 Panduan Operasi Manual Waralaba
Menurut Franchise (2009), panduan operasi manual merupakan hal penting sebelum sebuah bisnis waralaba dijual. Adapun penjelasan dari operasi manual tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1.Panduan Operasi Manual Waralaba
No Bagian Aspek
Tabel 2.1.Panduan Operasi Manual Waralaba (Lanjutan)
Spesifikasi, vendor, perawatan, dan perbaikan peralatan Operasional dan manajemen dari database franchisor 7 Administrasi Personel 8 Promosi Penjualan Perencanaaan Pembukaan
Promosi Umum (Ongoing) Promosi Spesial
Kehumasan
Menggunakan public figure Diskon dan promosi
Memelihara visi yang tinggi dalam komunitas
Memahami dan menganalisa tren dan statistik demografi lokal
9 Proteksi Merk Dagang Dan Rahasia Dagang
Penggunaan dan pemakaian merk dagang Contoh penyalahgunaan merk dagang Pemeliharaan dan proteksi rahasia dagang Memelihara dan menggunakan manual operasi Proteksi dari software komputer dan manual operasi Perjanjian menjaga rahasia untuk karyawan
10 Laporan Kepada Pewaralaba
Petunjuk dan syarat - syaratnya Contoh Form laporan
2.1.9 Prospektus Penawaran
Prospektus merupakan suatu penjelasan yang berupa keterangan tertulis dan terperinci mengenai kegiatan suatu perusahaan atau organisasi baru. Prospektus ini disebarluaskan kepada umum dan disampaikan kepada kelompok tertentu yang berkepentingan (Franchise, 2009). Dalam sistem waralaba, prospektus ini penting bagi pihak pewaralaba ataupun terwaralaba. Bagi pihak pewaralaba, prospektus merupakan syarat utama yang harus diserahkan jika ingin mendapatkan STPW (Surat Tanda Pendaftaran Waralaba). Dalam PP No.42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang mengatur kewajiban setiap pemberi waralaba (pewaralaba) harus memberikan prospektus penawaran kepada calon penerima waralaba (terwaralaba) pada saat menawarkan waralaba. Bagi seorang terwaralaba, prospektus menjadi sebuah dokumen penting yang dapat digunakan untuk menilai apakah perusahaan pewaralaba tersebut merupakan perusahaan yang baik atau tidak.
Kandungan prospektus waralaba sesuai dengan PP No.42 tentang Waralaba antara lain:
A. Data Identitas pemberi waralaba (pewaralaba);
B. Legalitas usaha waralaba;
C. Sejarah kegiatan usaha;
D. Struktur organisasi pemberi waralaba (pewaralaba);
E. Laporan keuangan 2 tahun terakhir;
F. Jumlah tempat usaha;
G. Daftar penerima waralaba;
H. Hak dan kewajiban pewaralaba dan terwaralaba.
Dalam kaitannya memasarkan waralaba ada beberapa hal yang sering menjadi perhatian para pewaralaba dalam memasarkan bisnisnya. Menurut Franchise (2009), berikut ini beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam membuat sebuah penawaran waralaba, antara lain :
A. Menampilkan Kisah Sukses Pewaralaba
B. Menampilkan Kisah Sukses Waralaba
Untuk informasi ini bisa dilakukan jika sudah ada pihak terwaralaba. Seorang pewaralaba dapat meminta testimonial dari terwaralaba yang telah berhasil menjalankan bisnis. Testimoni yang dibuat semenarik mungkin sangat ampuh untuk meyakinkan calon terwaralaba
C. Menampilkan Keunggulan Produk
Keunggulan produk yang dapat ditawarkan dapat berupa diferensiasi produk atau services yang ditawarkan dibandingkan dengan kompetitor sejenis. Selain itu bisa juga ditampilkan dari sisi pengembangan produknya yang dilakukan oleh tim RnD yang dimiliki oleh pewaralaba
D. Menampilkan Keunggulan Merek
Seorang pewaralaba dapat menampilkan berbagai riset yang menunjukkan posisi mereknya di industri. Jika merupakan pioner pertama di bidang tersebut, pewaralaba dapat menonjolkan dirinya. Jika ada media yang pernah meliput tentang waralabanya, seorang pewaralaba dapat menyertakan sumber tersebut baik dalam media cetak ataupun elektronik.
E. Menampilkan Sistem
Seorang pewaralaba dapat menggambarkan berbagai hal mengenai sistem bisnis yang ditawarkannya meliputi: manajemen, keuangan, pemasaran, alur pasokan, IT, SDM, dan logistik. Pewaralaba dapat menampilkan foto pabrik,
software yang digunakan, maupun alat keamanan.
F. Bantuan Start-UpUsaha
Bantuan start-up usaha merupakan bantuan yang diberikan sebelum sebuah
usaha dijalankan. Bantuan ini dapat berupa bantuan perizinan, set-up interior dan eksterior design, memberikan bantuan daftar supplier, pasokan produk, dan lainnya.
G. Program Training Bagi Karyawan dan Terwaralaba
Seorang pewaralaba dapat menampilkan berbagai foto kegiatan training
H. Dukungan yang Berkesinambungan
Pewaralaba dapat menampilkan dukungan berkelanjutan yang nantinya akan diberikan kepada terwaralaba baik dukungan operasional, pemasaran, atau pelatihan.
I. Tingkat keuntungan dan pengembalian modal dari catatan outletnya
Pewaralaba dapat membantu menampilkan gambaran dari tingkat pengembalian modal dari outlet yang sudah berjalan sehingga calon terwaralaba akan merasa lebih yakin dalam menentukan keputusannya.
J. Kontrak Waralaba
Kontrak waralaba yang menarik menjadi salah satu daya tarik bagi calon terwaralaba dalam menawarkan bisnis waralabanya.
2.2. Sistem Bisnis Ritel 2.2.1. Pengertian Ritel
Ritel berasal dari kata retail yang berarti eceran. Bisnis ritel merupakan suatu bisnis menjual dan jasa pelayanan yang telah diberi nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, atau pengguna akhir lainnya. Aktivitas nilai tambah yang ada dalam bisnis ritel diantaranya meliputi assortment, holding inventory, dan providing service(Sopiah dan Syihabudhin, 2009).
Menurut Foreign Agricultural Services, bisnis ritel adalah penjualan barang secara eceran pada berbagai tipe gerai seperti kios, pasar, department store, butik dan lain-lain (termasuk juga penjualan dengan sistem delivery service), yang umumnya untuk dipergunakan langsung oleh pembeli yang bersangkutan (Pandin, 2009)
2.2.2. Jenis – Jenis Ritel
Menurut Godam (2006) ritel di Indonesia dapat dikelompokkan
berdasarkan ciri – ciri tertentu, diantaranya : A. Discount Stores/ Toko Diskon
Discount store adalah toko pengecer yang menjual berbagai barang dengan harga yang murah dan memberikan pelayanan yang minimum, contohnya adalah Makro dan Alfa
B. Specialty Stores / Toko Produk Spesifik
Specialty store adalah toko eceran yang menjual barang-barang jenis lini produk tertentu saja yang bersifat spesifik. Contoh specialty stores yaitu toko buku gramedia, toko musik disc tarra, toko obat guardian, dan lainnya.
C. Department Stores
Department store adalah suatu toko eceran yang berskala besar yang pengeloaannya dipisah dan dibagi menjadi bagian departemen-departemen yang menjual macam barang yang berbeda-beda. Contohnya seperti ramayana, robinson, rimo, dan sebagainya
D. Convenience Stores
Convenience storeadalah toko pengecer yang menjual jenis item produk yang terbatas, bertempat di tempat yang nyaman dan jam buka panjang. Contoh minimarket alfa dan indomaret.
E. Catalog Stores
Catalog store adalah suatu jenis toko yang banyak memberikan informasi produk melalui media katalog yang dibagikan kepada para konsumen potensial. Toko katalog biasanya memiliki jumlah persediaan barang yang banyak.
F. Chain Stores
Chain store adalah toko pengecer yang memiliki lebih dari satu gerai dan dimiliki oleh perusahaan yang sama.
G. Supermarket
H. Hypermarket
Hypermarket adalah toko eceran yang menjual jenis barang dalam jumlah yang sangat besar atau lebih dari 50.000 item dan melingkupi banyak jenis
produk. Hypermarket adalah gabungan antara retailer toko diskon dengan
hypermarket. Contohnya antara lain Hypermarket giant, Hypermarket hypermart dan Hypermarketcarrefour.
Tabel 2.2.Karakteristik Beberapa Jenis Ritel Modern
Sumber : Pandin, 2009
2.2.3. Struktur Organisasi untuk Ritel
Menurut (Utami, 2010) , aktifitas spesifik yang dilakukan karyawan serta garis otoritas dan tanggung jawab karyawan dalam perusahaan dapat diidentifikasi melalui struktur organisasi perusahaan. Terdapat berbagai pilihan struktur organisasi dalam ritel diantaranya :
A. Struktur Organisasi Fungsional
Gambar 2.1.Struktur Organisasi Fungsional Sumber : Utami, 2010
B. Struktur Organisasi Berdasarkan Produk
Struktur ini disusun berdasarkan barang dagangan yang dijual dalam ritel.
Gambar 2.2.Struktur Organisasi Berdasarkan Produk Sumber : Utami, 2010
C. Struktur Organisasi Berdasarkan Geografis
Struktur ini disusun berdasarkan wilayah geografis yang dilayani oleh ritel.
D. Struktur Organisasi Kombinasi
Struktur ini merupakan bentuk kombinasi antara fungsional dan geografis maupun barang dagangan yang dijual.
Gambar 2.4.Struktur Organisasi Kombinasi Sumber : Utami, 2010
Struktur organisasi antara ritel satu dengan yang lainnya berbeda menurut tipe dari ritel dan ukuran perusahaan. Struktur organisasi ritel dibedakan menurut jenis ritel dan ukuran perusahaan, antara lain (Utami, 2010) :
A. Organisasi Ritel Tunggal (Single Store)
Pemilik merupakan manajer organisasi secara keseluruhan. Ketika penjualan tumbuh, karyawan dipekerjakan dengan spesialisasi terbatas. Saat penjualan meningkat dan pemilik menambah jumlah karyawan maka spesialisasi pekerjaan bisa terjadi.
B. Organisasi Regional Departement Store
Manajer harus mengawasi unit secara geografis yang saling berjauhan. Dalam sebagian perusahaan ritel, dua eksekutif senior bekerja bersama sama untuk mengatur perusahaan. Pada organisasi ini terdapat divisi antara lain, divisi barang dagangan, divisi pembelian, manajer kelompok, dan divisi ritel.
C. Organisasi Perusahaan dari Rantai Regional Department Store
2.2.4. Manajemen Bisnis Ritel
A. Mengelola Keuangan Ritel
Peranan sebuah aspek keuangan memegang hal yang penting dalam bisnis ritel. Mengelola keuangan ritel terdiri dari administrasi keuangan seperti pembuatan buku kas, buku pembelian, buku persediaan barang, buku penjualan, buku utang, dan buku piutang, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencatat transaksi keuangan ritel. Selain itu, dalam mengelola keuangan terdapat efisiensi keuangan dengan cara efisiensi kas, meminimalisasi piutang, meningkatkan perputaran persediaan, dan membuat perencanaan keuangan yang dapat mempermudah merencanakan penerimaan dan pengeluaran keuangan (Hartono, 2007).
B. Mengelola Barang Dagangan
Barang dagangan merupakan bauran produk yang menjadi aset terbesar dalam sebuah bisnis minimarket. Sehingga barang dagangan harus dikelola secara sistematis dan menyeluruh. Ada pun unsur-unsur pengelolaan barang dagangan dalam bisnis minimarket adalah pengadaan barang dagangan, pengelompokan barang, dan penjualan barang (Hartono, 2007).
1) Pengadaan Barang
Pengadaan barang dagangan dimulai dari proses pemesanan barang dengan berbagai pertimbangan yaitu perhitungan berapa lama waktu yang dibutuhkan mulai barang dipesan sampai barang datang (lead time), jumlah yang cukup untuk memenuhi konsumen dalam satu periode penjualan, dan batas jumlah minimal stok barang sampai pada penempatan barang-barang dagangan di rak display.
2) Persediaan Barang Dagangan
3) Penggolongan Barang
Penggolongan merupakan salah satu kegiatan untuk memberikan klasifikasi barang.
4) Penjualan dan Penetapan Harga Jual Barang
Penetapan harga jual produk merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan rencana bisnis dan strategi pemasaran perusahaan, karena langsung berpengaruh terhadap pelanggan dan perusahaan
5) Stock Opname
Stock opname (pemeriksaan) dilakukan secara berkala untuk semua jenis barang yang ada di rak display maupun di gudang. Hasil pemeriksaan fisik dicocokkan jumlahnya dengan saldo di komputer
2.2.5. Fungsi yang Dijalankan Ritel
Ritel mempunyai fungsi – fungsi yang dapat meningkatkan nilai produk dan jasa yang dijual kepada konsumen serta memudahkan distribusi produk. Fungsi yang dijalankan ritel memiliki manfaat baik bagi produsen atau konsumen. Fungsi tersebut antara lain (Utami, 2010):
A. Menyediakan Berbagai Macam Produk dan Jasa
Ritel sebagai pelaku bisnis berusaha menyediakan berbagai macam kebutuhan konsumen, yaitu beraneka ragam produk dan jasa baik dari sisi keanekaragaman jenis, merek, dan ukuran.
B. Memecah
Memecah disini berarti memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil yang akhirnya menguntungkan produsen dan konsumen. Jika produsen memproduksi barang dan jasa dalam ukuran besar maka harga barang dan jasa tersebut menjadi tinggi.
C. Perusahaan Penyimpan Persediaan
D. Penghasil Jasa
Ritel memberi kemudahan bagi konsumen dalam mengonsumsi produk – produk yang dihasilkan oleh konsumen. Ritel mampu mengantar produk hingga ke dekat tempat konsumen, selain itu ritel juga menyediakan jasa yang membuatnya mudah bagi konsumen dalam membeli dan menggunakan produk. Ritel menawarkan kredit sehingga konsumen dapat memiliki barang sekarang dan membayarnya kemudian. Selain itu ritel juga memperlihatkan barang yang mereka jual sehingga konsumen dengan mudah dapat melihatnya.
E. Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Dengan adanya barang dan jasa yang dijual ritel, untuk suatu aktivitas pelanggan yang memiliki beberapa barang, pelanggan akan membutuhkan ritel karena tidak semua barang dijual dalam keadaan lengkap. Pembelian salah satu barang ke ritel akan menambah nilai barang tersebut terhadap kebutuhan konsumen.
2.2.6. Proses Keputusan Manajemen Ritel
Menurut Utami (2010), terdapat empat bagian dalam menentukan pemahaman terhadap keseluruhan proses keputusan dalam manajemen ritel. Hal tersebut diperjelas dalam empat bagian yang dapat dilihat pada tabel 2.3
Tabel 2.3.Proses Keputusan Manajemen Ritel
No Bagian Aspek Keterangan
1 Memahami Lingkup Bisnis Ritel
Tabel 2.2 Proses Keputusan Manajemen Ritel (Lanjutan)
Sistem Pembelian Barang Sistem Pembelian Barang Penetapan Harga Barang Strategi Penetapan harga Bauran Komunikasi Ritel Metode Komunikasi
dengan Pelanggan
Aspek Kualitas Layanan Konsep kualitas layanan Fasilitas Parkir
Pengiriman Barang ke Konsumen
Penerimaan Barang Waktu Pelayanan Toko Sistem Antrean dan Penanganan
Keluhan
Soedjono (1994) menyatakan bahwa benchmarking adalah suatu alat
manajemen yang dipakai dengan maksud untuk menganalisa apa, mengapa dan seberapa hebatnya pesaing atau organisasi yang terbaik dalam melakukan tata cara bisnisnya dengan fokus kepada kepuasan pelanggan dan juga merupakan suatu usaha untuk memperbaiki diri secara terus-menerus agar menjadi kompetitif dan terbaik di tingkat dunia (Afiffey, 2008).
Proses benchmarking adalah kunci menuju perbaikan kinerja perusahaan. Tiga pendorong utama banyaknya perusahaan di dunia yang menggunakan
benchmarkingadalah (Afiffey, 2008):
A. Persaingan Global, yaitu karena perusahaan-perusahaan menyadari bahwa
C. Perbaikan Terobosan, yaitu perubahan yang mencolok lebih banyak disebabkan oleh benchmarking.
Perusahaan diharapkan dapat mengetahui apakah sudah mencapai kinerja terbaik dengan menggunakan benchmarking. Proses perbaikan kinerja diharapkan dapat membawa perusahaan dapat berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan lain terutama yang bergerak dalam industri yang sejenis. Selain itu, untuk mengetahui apakah sasaran strategisnya sudah tepat dan apakah proses kerjanya sudah berjalan dengan baik (Afiffey, 2008).
Benchmarking membantu mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahaan. Hal ini bertujuan agar dapat dilakukan perbaikan dari kelemahan yang dimiliki oleh perusahaan. Selain membantu dalam belajar dari
kepemimpinan perusahaan lain, benchmarkingdapat membantu dalam melakukan
prioritas alokasi sumber daya, mampu tetap kompetitif, dan mencapai total kepuasan konsumen (Afiffey, 2008).
2.3.2. Jenis – Jenis Benchmarking
Menurut Gaspersz (2002), pada dasarnya terdapat empat jenis
benchmarking, antara lain : A. Internal Benchmarking
Internal benchmarking merupakan investigasi benchmarking yang paling mudah dengan membandingkan operasi – operasi di antara fungsi fungsi dalam organisasi itu sendiri. Jenis investigasi ini dapat diterapkan pada perusahaan internasional atau multidivisi. Dengan demikian internal benchmarking adalah paket upaya perbaikan terus menerus untuk mengidentifikasi praktek bisnis terbaik yang ada di dalam lingkungan perusahaan sendiri. Dengan melakukan
internal benchmarking akan diperoleh informasi yang lebih jelas, kritis, dan obyektif tentang adanya kesenjangan performansi itu. Selanjutnya dengan
memahami informasi tersebut, berbagai upaya untuk mengurangi dan
menghilangkan kesenjangan itu dapat dilakukan.
Impelementasi internal benchmarking akan mendorong semakin
Dalam melakukan perbandingan, perlu ditetapkan benchmark target. Untuk jenis internal benchmarking, yang menjadi target adalah unit bisnis atau fungsi – fungsi dalam perusahaan yang diketahui memiliki performansi terbaik atau memiliki keunggulan tertentu pada sifat – sifat tertentu, sehingga patut untuk diteladani oleh unit bisnis lain atau fungsi – fungsi lain dalam perusahaan itu. B. Competitive Benchmarking
Merupakan tingkatan yang lebih lanjut dari internal benchmarking.
Competitive benchmarkingberfungsi untuk memposisikan produk dari perusahaan
terhadap produk dari pesaing. Competitive benchmarking diposisikan untuk
menciptakan atau meningkatkan daya saing serta mampu memperbaiki posisi produk dalam pasar yang kompetitif. Melalui competitive benchmarking akan diperoleh informasi tentang performansi terbaik dari pesaing, dimana informasi tersebut dapat digunakan untuk menciptakan produk yang terbaik dari yang terbaik .
Dalam competitive benchmarking, target pembanding berada di luar perusahaan dan bersifat fleksibel, tergantung pada tujuan melakukan competitive benchmarking itu. Dalam hal benchmark target dapat berupa produk – produk sejenis yang terbaik yang menjadi pesaing utama, atau bukan produk sejenis asalkan performansi spesifik tertentu dari produk itu dipandang dapat diinstalasi pada desain produk baru atau keunggulannya dapat mendatangkan inspirasi atau gagasan baru bagi perbaikan produk yang sudah ada.
Implementasi competitive benchmarking relatif lebih sulit dibandingkan dengan internal benchmarking, karena informasi yang diperlukan berada di luar perusahaan yakni pesaing domestik atau asing, sehingga diperlukan usaha tambahan untuk memperoleh informasi penting itu.
Competitive benchmarking sering juga disebut sebagai eksternal benchmarking. Informasi ini dapat diperoleh dari majalah, asosiasi bisnis sejenis, publikasi riset, dan sumber lain
yang tidak sejenis. Relevansi dari pembandingan pada functional benchmarking
perlu dipertahankan dengan mendifinisikan karakteristik performansi yang harus serupa dengan fungsi – fungsi dari perusahaan. Misalnya, Xerox Corporation ingin meningkatkan waktu penyerahan dari small parts ke teknisi, membuat Xerox mengidentifikasi L.L Bean sebagai pemimpin yang unggul dalam operasi pergudangan dan pemenuhan pesanan dan operasi pergudangan. Di sini terlihat bahwa Xerox Corporation sebagai perusahaan fotocopy meniru L.L Bean yang unggul dalam operasi pergudangan dan pemenuhan pemesanan. Kedua perusahaan, Xerox Corporation dan L.L Bean merupakan perusahaan tidak sejenis.
Nilai target pembanding pada functional benchmarking dapat berasal dari perusahaan tidak sejenis yang unggul. Implementasi functional benchmarking
memang lebih sulit dilakukan, mengingat informasi yang diperlukan panda umumnya lebih sulit diperoleh dan benchmarking target memerlukan imajinasi dan kreativitas yang tinggi.
D. Generic Benchmarking
Merupakan jenis benchmarking dimana beberapa fungsi bisnis dan proses
adalah sama tanpa mempedulikan ketidakserupaan atau ketidaksejenisan di antara
industri – industri. Generic benchmarking membutuhkan konseptualisasi yang
komprehensif serta merupakan jenis benchmarking yang paling sulit. Generic benchmarkingmerupakan perluasan dari functional benchmarking.
2.3.3. Tahapan Benchmarking
Metode benchmarking yang dilakukan bertujuan untuk mengukur dan
membandingkan kinerja terhadap aktivitas atau kegiatan serupa yang sejenis. Berikut ini merupakan beberapa tahapan dalam benchmarking, diantaranya (Gaspersz, 2002) :
A. Tahap Perencanaan (Planning)
Tahap ini dilakukan identifikasi subjek benchmarking, identifikasi target
B. Tahap Analisis
Tahap ini dilakukan perbandingan antara ketiga perusahaan yang menjadi
subjek benchmarking. Pada tahap ini juga digunakan untuk menentukan
kelemahan dan kekuatan yang ada di antara perusahaan yang di benchmarking. C. Tahap Integrasi (Integration)
Tahap ini mencakup metode benchmarking yang digunakan untuk
menentukan target operasional dalam proses perubahan atau perbaikan. Disini
semua temuan yang diperoleh dalam studi benchmarking harus dikomunikasikan
ke semua orang dalam hierarki perusahaan agar menjadi jelas serta meminta dukungan dan komitmen dari para pembuat keputusan agar menjamin sumber daya yang diperlukan untuk mencapai target yang telah ditentukan itu.
D. Tahap Tindakan
Pada tahap ini mencakup implementasi rencana – rencana yang telah dibuat dan dikembangkan oleh seluruh pekerja. Suatu mekanisme pelaporan dibutuhkan dalam tahap ini untuk memantau efektifitas dari rencana itu. Pemantauan dilakukan secara kontinyu demgan demikian informasi dalam tahap ini akan menjadi umpan balik bagi tahap perencanaan selanjutnya.
2.4. Aston Printer Center
telah memiliki 22 mitra dengan persebaran seluruhnya berada di Pulau Jawa. Aston Printer Center (APC) menetapkan kebijakan dimana dalam satu kota hanya ada satu mitra. Jika nanti ada pemohon baru yang ingin bergabung dengan APC untuk menjadi mitra harus mendapatkan izin dari mitra yang terlebih dahulu membuka usaha di sana baru kemudian datang langsung ke APC Pusat. Selama ini persetujuan untuk menerima masyarakat yang ingin bergabung langsung menjadi mitra dari APC dilaksanakan dengan pertimbangan dan rekomendasi dari mitra yang sudah bergabung sebelumnya.
Sistem Kemitraan yang dijalankan oleh APC ini memiliki beberapa ketentuan diantaranya, jumlah franchise feeyaitu Rp 15.000.000,00 yang dibayar di awal dan bersifat sekali untuk selamanya. Uang sebesar itu belum termasuk stok awal dan juga anggaran untuk publikasi, promosi, serta sewa lokasi. Untuk lokasi, pihak mitra yang harus mencari sendiri dimana letak perusahaan akan didirikan. Selain itu tidak adanya royalty fee setiap bulannya. Namun demikian, semua barang wajib diorder langsung ke pusat sehingga keuntungan yang didapat oleh APC per bulannya adalah dari penjualan barang ke cabang untuk tiap bulannya. Sebelum mitra beroperasi maka diadakan training terlebih dahulu bagi para teknisi yang nantinya akan ditugaskan di cabang. Training dilakukan di APC Pusat selama waktu yang dibutuhkan oleh perusahaan tersebut. Jika dalam perjalanannya masih ada kesulitan, maka APC Pusat membuka konsultasi bagi para mitranya yang mengalami kesulitan untuk kemudian dicari solusi bersama.
2.5. PT. Sumber Alfaria Trijaya (Alfamart)
Perusahaan ini membuka skema waralaba pada tahun 2001. Waralaba Alfamart adalah usaha minimarket yang dimiliki dan dioperasikan berdasarkan kesepakatan waralaba dari PT. Sumber Alfaria Trijaya,Tbk. selaku pemegang merk Alfamart.
Gambar 2.5.Gerai Alfamart
Sumber : Sumber Alfaria Trijaya,2010
2.5.1. Visi dan Misi Alfamart
Menurut Sumber Alfaria Trijaya (2010) , visi dan misi yang dimiliki oleh Alfamart adalah :
A. Visi Alfamart
1) Menjadi jaringan distribusi ritel terkemuka yang dimiliki oleh masyarakat luas, berorientasi kepada pemberdayaan pengusaha kecil, pemenuhan kebutuhan dan harapan konsumen, serta mampu bersaing secara global.
B. Misi Alfamart
1) Memberikan kepuasan kepada pelanggan / konsumen dengan berfokus pada produk dan pelayanan yang berkualitas unggul.
2) Selalu menjadi yang terbaik dalam segala hal yang dilakukan dan selalu menegakkan tingkah laku / etika bisnis yang tertinggi.
3) Ikut berpartisipasi dalam membangun negara dengan menumbuh-kembangkan jiwa wiraswasta dan kemitraan usaha.
4) Membangun organisasi global yang terpercaya, tersehat dan terus bertumbuh dan bermanfaat bagi pelanggan, pemasok, karyawan, pemegang saham dan masyarakat pada umumnya.
2.6. PT. Veneta Media Indonesia (Veneta System)
Gambar 2.6.Gerai Veneta System
Sumber : Veneta System,2008
2.6.1. Visi dan Misi VenetaSystem
Visi dan misi yang dimiliki oleh Veneta System adalah (Veneta System., 2008) :
A. Visi Veneta System
1) Menjadi jaringan waralaba terbesar di Indonesia dalam bidang refill tinta printer, dan produk regenerasi dengan dukungan dari Veneta System
B. Misi Veneta System.
1) Membangun jaringan outlet Veneta System dengan konsep waralaba di seluruh kota besar di Indonesia.
2) Mengembangkan pasar refill tinta printer di Indonesia.
2.7. PT. K-24 Indonesia (Apotek K-24)