• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK HEPATOPROTEKTOR PROPOLIS TERHADAP KERUSAKAN SEL HEPAR MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFEK HEPATOPROTEKTOR PROPOLIS TERHADAP KERUSAKAN SEL HEPAR MENCIT (Mus musculus) YANG DIINDUKSI PARASETAMOL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

EFEK HEPATOPROTEKTOR PROPOLIS TERHADAP KERUSAKAN

SEL HEPAR MENCIT (Mus musculus) YANG

DIINDUKSI PARASETAMOL

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Apriany Darma Wulan

G0008199

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ABSTRAK

Apriany Darma Wulan, G0008199, 2011, Efek Hepatoprotektor Propolis

Terhadap Kerusakan Sel Hepar Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi

Parasetamol. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian

propolis dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol dan efek peningkatan dosis propolis dalam meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol.

Metode Penelitian :Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post

test only controlled group design. Jumlah sampel sebanyak 28 ekor mencit jantan, galur Swiss webster, umur 2-3 bulan, berat badan + 20 gr. Teknik pengambilan sampel dengan incidental sampling. Sampel dibagi dalam 4 kelompok, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Pada kelompok K dan P1, mencit diberi aquades selama 14 hari. Kelompok P2 mencit diberi propolis dosis I dan kelompok P3 mencit diberi propolis dosis II, keduanya diberikan selama 14 hari. Parasetamol diberikan pada kelompok P1, P2 dan P3 pada hari ke-12, 13 dan

14. Hari ke-15, mencit dikorbankan dan organ hepar mencit dibuat preparat

dengan metode blok parafin dan pengecatan HE. Gambaran histologis hepar dinilai berdasarkan penjumlahan piknosis, karioreksis dan kariolisis. Data dianalisis dengan menggunakan uji One Way ANOVA (α = 0,05) dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD)(α = 0,05).

Hasil Penelitian : Dari hasil uji One Way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan

yang bermakna antara keempat kelompok perlakuan. Pada hasil uji Post Hoc

Multiple Comparisons (LSD) menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna

antara KK dan KP1, KK dan KP2, KK dan KP3, KP1 dan KP2, KP1 dan KP3,

serta KP2 dan KP3.

Simpulan Penelitian : Propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit yang

diinduksi parasetamol dan peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol.

(3)

commit to user

ABSTRACT

Apriany Darma Wulan, G0008199, 2011, The Hepatoprotector Effect of

Propolis to Liver Cell Damage of Mice (Mus musculus) which is Induced by

Paracetamol. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective : The objectives of this research are to know about the effect of propolis

in preventing the liver cell damage of mice by Paracetamol and also the increase

of propolis dose can increase protection effect to the hepar cell damage of mice

which is induced by paracetamol.

Methods : This was laboratory experimental research with post test only

controlled group design. Samples were 28 male mice, Swiss webster type, 2-3

months old age and + 20 gr of each weight. Those samples divided into 4 groups, each group has 7 mice. Sampling technique was incidental sampling. The group of K and P1, mice were given aquades for 14 days. The group of P2, mice were given a first propolis dose and the group of P3, mice were given a second propolis dose for 14 days. Paracetamol was given to groups of P1, P2, and P3, on the 12th, 13th, and 14th day. The 15th day, mice were sacrificed and hepars made preparations by the method of paraffin block and stained by HE. Hepar histological features were assessed based on quantifying of pyknosis, karyorhexis, and karyolysis. Data were analyzed using the One Way ANOVA test (α = 0.05)

and continued by Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) test(α = 0.05).

Result: The result of One Way ANOVA testshowed that there was a significant

difference between 4 groups. The result of Post Hoc Multiple Comparisons (LSD)

showed that there was a significant difference between KK and KP1, KK and KP2, KK and KP3, KP1 and KP2, KP1 and KP3, and also KP2 and KP3.

Conclusion : Propolis can prevent the hepar cell damage of mice which is

induced by paracetamol and the increase of propolis dose can increase protection effect to the hepar damage of mice which is induced by paracetamol.

(4)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan

Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Desember 2011

Apriany Darma Wulan

(5)

commit to user

vi

Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT dengan segala karunia dan rahmat yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Hepatoprotektor Propolis terhadap Kerusakan Sel Hepar Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Parasetamol”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari hambatan dan kendala. Namun dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan oleh banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M. Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Isdaryanto, dr., MARS., selaku Pembimbing Utama yang telah banyak

memberikan bimbingan, saran dan nasihat bagi penulis.

4. Bagus Wicaksono, drs., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah

memberikan bimbingan, saran dan nasihat bagi penulis.

5. Suyatmi, dr., M. Biomed., Sc., selaku Penguji Utama yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis.

6. Arif Suryawan, dr., AIFM, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan saran dan nasihat bagi penulis.

7. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Staf Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

9. Papaku sayang Kamarudin, the strong woman mamaku sayang Maryati dan

kakakku sayang Erwin dan Bulan, serta my special one yang selalu memberikanku dorongan, kasih sayang, nasihat dan mendoakanku.

10. Teman-temanku STKB dan sahabatku terima kasih atas nasihat dan dorongannya. 11. Teman-temanku kelompok tutorial A4 terima kasih atas kebersamaannya.

12. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik serta saran untuk peningkatan karya ini. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua.

Surakarta, 21 Desember 2011

(6)

commit to user

A. Latar Belakang ……….………..….……...1

B. Perumusan Masalah...3

C. Tujuan Penelitian...3

D. Manfaat Penelitian...4

BAB II LANDASAN TEORI...5

A. Tinjauan Pustaka...5

1. Hepar………...………..………5

2. Parasetamol………....….…..…...……….9

3. Propolis………....….….……...………12

4. Mikroskopis Kerusakan Hepar Setelah Pemberian Parasetamol Dosis Toksik………...….………...……….……16

5. Mekanisme Perlindungan Propolis terhadap Kerusakan Hepar Akibat Induksi Parasetamol………..…….………..………18

B. Kerangka Pemikiran………....…………...……….…20

C. Hipotesis...21

BABIII METODE PENELITIAN...22

A. Jenis Penelitian...22

B. Lokasi Penelitian...22

(7)

commit to user

vii viii

D. Teknik Sampling...23

E. Rancangan Penelitian...23

F. Identifikasi Variabel Penelitian………..25

1. Variabel Bebas………..25

2. Variabel Terikat………....25

3. Variabel Luar………....25

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...…....26

H. Alat dan Bahan Penelitian...28

I. Cara Kerja...29

J. Teknik Analisis Data Statistik...36

BAB IV HASIL PENELITIAN...37

A. Data Hasil Penelitian………..……….……37

B. Analisis Data………..……….…….38

BAB V PEMBAHASAN……….……42

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN...49

A. Simpulan………..……….…....49

B. Saran……….………49

DAFTAR PUSTAKA

(8)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat saat ini cenderung untuk kembali ke alam (back to nature)

dan lebih memilih memakai substansi bioaktif alami untuk agen terapeutik

(Son et al., 2004). World Health Organization (WHO) juga memperkirakan

80% penduduk dunia saat ini bergantung pada pengobatan herbal dalam

aspek kesehatan primer (Ernest et al., 2007).

Propolis merupakan produk lebah madu kaya akan zat-zat essensial

yang bermanfaat bagi manusia. Propolis atau ’bee glue’ adalah suatu

substansi yang mengandung resin dan lilin lebah, bersifat lengket dan

dikumpulkan dari berbagai sumber tanaman, terutama pucuk daun dan bunga.

Komposisi propolis terdiri dari resin (50%), lilin (30%), minyak esensial

(10%), pollen (5%), dan sisanya adalah mineral, vitamin dan senyawa

organik lainnya (Sorkun et al,. 2001). Kandungan zat kimianya yang

kompleks mempunyai banyak manfaat bagi manusia, diantaranya adalah

sebagai antimikroba, antioksidan, imunitas tubuh, antibiotik, antiinflamasi,

antikanker, serta hepatoprotektor (Russo et al,. 2002).

Menurut catatan sejarah, penggunaan propolis sebagai obat sudah

dilakukan sejak abad ke-12. Orang-orang Yunani dan Romawi telah

menggunakan propolis untuk mengobati luka. Di Mesir selain sebagai obat,

(9)

commit to user

Krell (1996) menyatakan bahwa kandungan flavonoid yang tinggi di

dalam propolis berfungsi sebagai antioksidan dan antibiotik, dimana dapat

memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, serta

meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler.

Berbagai penelitian juga menegaskan bahwa flavonoid dapat mencegah

terjadinya oksidasi oksigen akibat dari radikal bebas sehingga dapat

mencegah kerusakan organ tubuh, termasuk hepar. Pada antioksidan fenol

efektif untuk pertahanan tubuh melawan stres oksidatif (Russo et al., 2002).

Turunan asam fenolik yang berupa asam dicaffeoylquinic diketahui dapat

memberikan perlindungan terhadap kerusakan hati yang disebabkan oleh

alkohol (Basnett et al., 2003). Namun, penelitian tentang propolis di

Indonesia baru diketahui akhir-akhir ini karena penelitiannya yang belum

banyak dilakukan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang efek hepatoprotektor pada propolis.

Penelitian akan dilakukan terhadap mencit (Mus musculus) yang

dirusak heparnya dengan parasetamol dosis toksik (Burke et al., 2006).

Peneliti memilih parasetamol karena penggunaannya yang sudah banyak di

masyarakat sehingga dapat menyebabkan semakin meluasnya penggunaan

parasetamol sebagai obat analgetik antipiretik (Sunarsih, 1995). Hal ini dapat

memicu penggunaan parasetamol yang salah, dalam dosis tinggi dan waktu

lama sehingga dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan,

(10)

commit to user

sel-sel hepar (Sheen et al., 2002). Hal ini disebabkan oleh metabolit

parasetamol berupa N-asetil-p-benzokuinon (NAPQI) yang tidak dapat

dinetralisir semuanya oleh glutation hepar. NAPQI bersifat toksik dan sangat

reaktif sehingga dapat menyebabkan terjadinya reaksi radikal bebas

(Wilmana dan Gunawan, 2007). Maka dari itu, diharapkan dari penelitian ini

pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit akibat

induksi parasetamol, serta dapat meningkatkan efek proteksinya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit

(Mus musculus) yang diinduksi parasetamol?

2. Apakah peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan daya proteksi

terhadap kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi

parasetamol?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui efek pemberian propolis dalam mencegah kerusakan

sel hepar mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.

2. Untuk mengetahui efek peningkatan dosis propolis dalam meningkatkan

daya proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus) yang

(11)

commit to user D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

mengenai pengaruh propolis dalam mencegah kerusakan sel hepar

mencit (Mus musculus)yang diinduksi parasetamol.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk

penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Aplikatif

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi

masyarakat untuk menggunakan propolis sebagai obat alternatif untuk

(12)

commit to user

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hepar

Hepar atau hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar

terbesar, dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau kurang lebih 25% berat badan

orang dewasa. Hepar terletak pada rongga perut bagian bawah diafragma

dan menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hepar

merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks,

dimana fungsinya dalam sistem sirkulasi adalah untuk menampung,

mengubah, menimbun metabolit, menetralisasi dan mengeluarkan substansi

toksik yang terbawa oleh aliran darah. Sebagian besar darah yang menuju

ke hepar dipasok dari vena porta dan sebagian kecilnya dipasok dari arteri

hepatika (Amirudin, 2007; Junqueira et al., 2005).

Makroskopis hepar terbagi atas beberapa lobus dan tiap lobusnya

terbagi lagi menjadi struktur yang dinamakan lobulus, yang merupakan unit

mikroskopis dan fungsional organ. Secara mikroskopis, di dalam hepar

manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli. Setiap lobulus berbentuk

heksagonal dan terdiri dari lembaran-lembaran sel hepar berbentuk kubus

yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Diantara lembaran sel

hepar, terdapat kapiler-kapiler yang disebut sinusoid, dimana merupakan

(13)

commit to user

arteri hepatika yang melingkari bagian perifer lobulus hepar, juga terdapat

saluran empedu yang membentuk kapiler empedu, yaitu kanalikuli empedu

yang berjalan diantara lembaran-lembaran sel hepar (Amirudin, 2007; Price

dan Wilson, 1994).

a. Lobulus Hepar

Lobulus hepar berbentuk prisma poligonal dengan vena sentralis

sebagai pusatnya. Lobulus-lobulus ini dipisahkan oleh jaringan ikat dan

pembuluh darah. Daerah ini disebut trigonum portae yang berisi cabang

arteri hepatika, cabang vena porta, cabang duktus biliferus dan anyaman

pembuluh limfe (Junqueira et al., 2005).

(14)

commit to user

Secara fungsional, lobulus hepar dibagi dalam tiga zona:

1) Zona 1: zona aktif, sel-sel paling dekat dengan pembuluh darah,

akibatnya zona ini yang pertama kali dipengaruhi oleh

perubahan darah yang masuk.

2) Zona 2: zona intermedia, sel-selnya memberi respon kedua terhadap

darah.

3) Zona 3: zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak aktif bila

kebutuhan meningkat (Leeson et al., 1996).

Gambar 2. Pembagian Zona Lobulus Hepar (Junqueira et al., 2005)

b.Parenkim Hepar

Parenkim hepar terdiri atas sel-sel hepar (hepatosit) yang tersusun

berderet secara radier di dalam lobulus hepar. Lempeng-lempeng

hepatosit ini secara radial bermula dari tepian lobulus menuju ke vena

sentralis sebagai pusatnya. Lempeng-lempeng tersebut bercabang dan

beranastomosis bebas. Sel hepar berbentuk poligonal dengan enam atau

(15)

commit to user

bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi.

Permukaan sel hepar kontak dengan dinding sinusoid melalui celah

Disse dan kontak dengan permukaan hepatosit lain (Junqueira et al.,

2005; Lesson et al., 1996).

c. Sinusoid Hepar

Sinusoid merupakan pembuluh melebar yang tidak teratur dan

hanya terdiri dari satu lapis endotel yang tidak kontinyu. Sinusoid

terdapat diantara lempeng-lempeng sel hepar dan mengikuti

percabangannya, serta mempunyai pembatas yang tidak sempurna

sehingga memungkinkan terjadi pengaliran makromolekul dengan

mudah dari lumen ke sel-sel hepar dan sebaliknya. Sinusoid dikelilingi

dan disokong oleh selubung serabut retikuler halus untuk

mempertahankan bentuknya. Sel-sel endotel dipisahkan dari hepatosit

yang berdekatan oleh celah subendotel yang disebut celah Disse

(Eroschenko, 2000).

Pada sinusoid terdapat sel-sel fagosit dari retikuloendotelial yang

dikenal sebagai sel Kupffer, selnya berbentuk stelat, bervakuola jernih,

lisosom dan retikuloendoplasmanya granular yang tersebar di seluruh

sitoplasma. Inilah yang membedakan sel-sel Kupffer dengan sel-sel

endotel. Pada ruang-ruang sinusoid berbeda dengan kapiler, dimana

garis tengahnya lebih besar (9-12 um) dan sel pembatasnya tidak seperti

endotel biasa. Kemudian lamina basal pada sinusoid terputus-putus

(16)

commit to user 2. Parasetamol

Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin yang

memiliki efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893

(Wilmana dan Gunawan, 2007). Di Indonesia, parasetamol tersedia sebagai

obat bebas dan dapat dengan mudah mendapatkannya. Parasetamol

bertanggung jawab atas efek analgesik dan antipiretiknya, serta tidak

termasuk golongan AINS karena efek antiinflamasinya yang sangat kecil.

Efek antipiretik parasetamol ditimbulkan oleh gugus aminobenzen.

Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam

susunan saraf pusat yang mempengaruhi pusat hipotalamus untuk

pengontrolan suhu tubuh. Efek analgesiknya yaitu menghilangkan atau

mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia dan

keadaan lain. Sebaiknya parasetamol tidak diberikan terlalu lama karena

dapat menimbulkan nefropati analgesik. Parasetamol tidak menimbulkan

gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Reaksi alergi karena

parasetamol jarang terjadi, yaitu berupa eritema atau urtikaria. Parasetamol

juga dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pemakaian kronik. Hal

ini dapat terjadi karena mekanisme autoimun, defisiensi G6PD dan metabolit

yang abnormal (Katzung, 2004; Wilmana dan Gunawan, 2007).

Parasetamol diberikan secara peroral, dimana absorbsinya cepat dan

sempurna melalui saluran cerna, tergantung pada kecepatan pengosongan

lambung (Katzung, 2004). Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam

(17)

commit to user

seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat oleh protein

plasma dan sebagian lagi dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Pada

kondisi normal parasetamol mengalami glukoronidasi dan sulfasi, 80% akan

dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecilnya dengan asam

sulfat, kemudian hasil akhirnya akan dieliminasi lewat urin. Selain itu, dalam

jumlah kecil (4%) parasetamol akan diubah menjadi senyawa yang reaktif

dan toksik yaitu N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) (Brunton et al., 2006).

Gambar 3. Metabolisme Parasetamol Dosis Toksik Menjadi NAPQI

(Mycek et al., 2001)

Kemudian oleh glutation hati, NAPQI akan segera diubah menjadi

metabolit sistin dan merkapturat yang non toksik. Namun pada dosis tinggi,

jalur konjugasi parasetamol akan menjadi jenuh sehingga banyak yang

(18)

commit to user

glutation hati dapat habis (paling tidak berkurang 20-30% dari normal)

(Rochmah, 2000). Akibatnya NAPQI membentuk ikatan kovalen dengan

protein sel hati secara irreversibel sehingga menyebabkan terjadinya

kematian sel atau nekrosis sel hati. Nekrosis tubular ginjal dapat juga terjadi

(Mycek et al., 2001). Metabolit ini juga dapat menyebabkan pengikatan

kovalen pada makromolekul seperti DNA, RNA dan protein. Jika demikian,

maka dapat berakibat buruk terhadap fungsi sel yang akan segera terlihat

nyata (Murray et al., 2003).

Parasetamol aman diberikan dengan dosis 325-500 mg 4 kali sehari

pada orang dewasa dan untuk anak-anak dalam dosis yang lebih kecil yang

sebanding (Katzung, 2004). Pemberian parasetamol juga dapat menimbulkan

efek samping, namun tergantung pada dosis yang diberikan. Akibat dari dosis

toksik parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati, nekrosis tubulus

renalis, serta koma hipoglikemi. Hepatotoksisitas dapat terjadi apabila

pemberian dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/kg BB) setelah 48 jam

menelan parasetamol. Kerusakan yang timbul berupa nekrosis sentrolobularis

(Wilmana dan Gunawan, 2007). Dosis 20-25 gram atau lebih dapat berakibat

fatal. Sekitar 10% pasien keracunan yang tidak mendapatkan pengobatan

spesifik akan berakibat buruk menjadi kerusakan hati yang hebat, 10-20%

akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati. Kegagalan ginjal akut juga

terjadi pada beberapa pasien (Suarsana dan Budiasa, 2005). Hepatotoksisitas

karena parasetamol pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun 1966

(19)

commit to user 3. Propolis

Gambar 4. Lebah Madu Menggunakan Propolis Sebagai Pertahanan

Sarangnya Terhadap Ancaman Dari luar (Krell, 1996)

Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu pertahanan kota, dimana

digunakan oleh lebah sebagai pertahanan sarang terhadap ancaman virus,

bakteri, jamur, serangga, cuaca, serta memperkuat stabilitas stuktural sarang

lebah (Brumfitt et al,. 2000). Propolis atau ‘bee glue’ adalah suatu substansi

resin dan lilin lebah, yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai sumber

tanaman, terutama dari bunga dan pucuk daun (Suranto, 2010). Sifatnya

pekat, lengket, biasanya berwarna coklat kehitaman, mempunyai bau yang

khas dan rasanya agak pahit (Toprakci, 2005).

Komposisi propolis terdiri dari resin 50%, lilin dan asam lemak 30%,

minyak essensial 10%, pollen 5%, serta sisanya mineral, vitamin dan zat-zat

organik lainnya (Sorkun et al,. 2001). Namun karena dari sumber dan waktu

pengambilan yang berbeda-beda, maka warna, komposisi dan aroma dari

propolis dapat bervariasi (Brown, 2009). Propolis diketahui mengandung

(20)

commit to user

kecuali vitamin K, semua mineral kecuali sulfur, rantai asam amino esensial,

serta zat aktif lainnya (Marcucci, 1995).

Sebagai produk organik yang dihasilkan oleh lebah, penggunaan

propolis sebagai obat sudah dilakukan sejak abad ke-12. Di Yunani dan

Romawi, propolis telah dikenal sebagai pengobatan berbagai luka dan semua

zat-zat beracun. Orang Mesir menggunakan propolis selain sebagai obat, juga

menggunakannya untuk simbol keagamaan. Hipocrates bapak kedokteran

modern (460-377SM), sering mengobati luka dan tukak dengan

menggunakan propolis, baik untuk luka dalam maupun luar tubuh. Pada

perang Boer (1888-1902) antara penduduk Afrika Selatan dan Inggris,

propolis digunakan untuk membersihkan dan menyembuhkan luka dengan

cepat (Awan, 2009).

Penelitian tentang propolis mulai berkembang setelah ditemukannya

seekor tikus yang mati dalam sarang lebah lebih dari 5 tahun tidak mengalami

pembusukan (Wikipedia, 2011). Kini dengan dukungan riset dan teknologi,

telah membawa manusia menemukan manfaat propolis dalam berbagai segi

kehidupan, yaitu:

• Kosmetik dan kesehatan kulit

• Industri makanan

• Pestisida dan pengawet alami

• Industri lain

(21)

commit to user

Pada penelitian farmakologi, efek propolis mencakup sebagai anestetik,

antialergi, antibiotik, antijamur, antiperadangan, antiradiasi, pengawet,

antiseptik, antikanker, immunostimulator, serta antioksidan (Suranto, 2010).

Kandungan flavonoid dalam propolis yang berupa pinocembrin,

pinostrobin dan ester asam kafeat, dapat berkhasiat sebagai anestetik.

Khususnya pinocembrin dan ester asam kafeat, yang terbukti mempunyai efek

anestetik sepersepuluh kali daripada lidokain (Suranto, 2010).

Aktifitas antibiotik dari propolis antara lain disebabkan oleh berbagai

turunan asam organik seperti cinnamic, ferrulic, benzoic, caffeic, coumaric,

terpenes dan turunan-turunan berikutnya seperti limonene, p-cymene, eugenol,

galangin dan quercetin (Faten et al., 2002). Kelebihan propolis dibanding

antibiotik lainnya adalah efek sampingnya yang sangat kecil dan tidak

menimbulkan resistensi. Asam ferulat selain efektif terhadap bakteri gram

positif dan negatif, juga bersifat agglutinating (sebagai pembekuan darah)

(Santoso, 2010). Pada pinocembrin, quercetin dan sakauranetin dapat bersifat

sebagai antifungal (Rumah madu, 2010). Quercetin diketahui juga bersifat

sebagai antialergi (Suranto, 2010).

Ikatan fenol yang dikenal sebagai Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE),

berfungsi sebagai antikanker. Ini dibuktikan oleh S. Scheller, dkk yang

menguji efektifitas antikanker dari ekstrak etanol propolis (EEP) pada mencit

yang diinduksi dengan Ehrlich Carcinoma Cells, menunjukkan mencit dapat

(22)

commit to user

Ehrlich Carcinoma Cells ini juga berkaitan dengan kandungan flavonoid yang

terdapat dalam propolis (Grunberger et al., 2008).

Propolis juga efektif digunakan sebagai pencuci mulut, sudah dilakukan

di Brazil dan Jepang. Bahkan pasien bedah mulut di Jepang menggunakan

propolis sebagai pencuci mulut, khasiatnya lebih cepat sembuh dibanding

dengan pencuci mulut pabrik. Propolis yang dicampur madu terbukti

menyembuhkan luka lebih cepat dari Silver Sulfadiazine (Scott et al,. 2002).

Propolis mengandung zat-zat aktif yang dapat berperan melindungi hepar

dari kerusakan (hepatoprotektor), baik melalui peningkatan glutation maupun

sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkal

atau meredam dampak negatif oksidan di dalam tubuh, dengan cara

mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga

kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi, 2007). Beberapa senyawa yang

diketahui sebagai antioksidan di dalam propolis diantaranya adalah flavonoid,

fenol, vitamin (A, C dan E), beberapa mineral (Se, Zn, Cu, Fe, Mn), asam

ferulik dan caffeic, serta zat aktif lainnya (Krell, 1996).

Menurut penelitian, kandungan flavonoid dalam satu tetes propolis setara

dengan flavonoid yang dihasilkan dari 500 buah jeruk (Wikipedia, 2011).

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang diketahui dapat menghambat

oksidasi lipid dan pembentukan lipid peroksida melalui mekanisme

penangkapan radikal bebas dan metal chelation (Hegazi dan El-Hady, 2007).

(23)

commit to user

antioksidan dan antibiotik yang dapat menguatkan dan mengantisipasi terhadap

kerusakan jaringan, serta meningkatkan tumbuhnya jaringan. Dari hasil

penelitian pada ekstrak propolis, ditemukan bahwa terdapat empat senyawa

dari asam dicaffeoylquinic yang dapat melindungi hati dari kerusakan

(hepatoprotektor) akibat alkohol (Basnett et al., 2003). Bankova et al. (2006)

menambahkan bahwa ekstrak propolis berperan sebagai antioksidan karena

mengandung kafeik dan asam ferulik beserta esternya.

4. Mikroskopis Kerusakan Sel Hepar Setelah Pemberian Parasetamol Dosis

Toksik

Hepar memiliki kapasitas regenerasi yang luar biasa karena paling sering

menerima jejas. Pada jejas ringan, hepar dapat segera beregenerasi kembali

pada fungsi semula. Namun kapasitas cadangan hepar dapat habis apabila

hepar terkena penyakit yang menyerang seluruh parenkim hepar sehingga dapat

timbul kerusakan pada hepar (Crawford, 2007). Kerusakan stuktur hepar dapat

disebabkan oleh berbagai macam zat, diantaranya adalah alkohol, zat halotan

(CCL4), zat kimia makanan, serta obat-obatan (Murray et al., 2003).

Pada kondisi normal, parasetamol dikonjugasikan dengan asam

glukoronat dan asam sulfat, lalu sebagian kecilnya dihidroksilasi oleh sitokrom

P-450 menjadi metabolit N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI). Oleh glutation

hepar, metabolit ini akan diubah menjadi metabolit sistin dan merkapturat,

kemudian hasil akhir dibuang melalui urin (Wilmana dan Gunawan, 2007).

(24)

commit to user

cadangan asam glukoronat dan asam sulfat dalam hepar akan habis sehingga

terbentuklah metabolit reaktif yang berlebihan. Selama glutation tersedia untuk

mendetoksifikasi NAPQI tersebut, maka tidak akan terjadi reaksi radikal bebas.

Namun, jika glutation terus terpakai hingga akhirnya terjadi pengosongan

glutation dan penimbunan metabolit NAPQI (Katzung, 2004).

NAPQI merupakan metabolit minor parasetamol yang reaktif dan toksik

bagi hepar dan ginjal. Metabolit ini akan bereaksi dengan makromolekul sel

hepar, seperti protein sehingga dapat menyebabkan nekrosis sel hepar

(Wilmana dan Gunawan, 2007). Selain itu, NAPQI dapat menimbulkan stres

oksidatif sehingga juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid. Dimana

peroksidasi lipid merupakan bagian dari proses atau rantai reaksi terbentuknya

dari radikal bebas (chain reaction). (Widjaja, 1997).

Kerusakan hepar akibat parasetamol dapat terjadi karena toksik, alergi

dan radikal bebas. Biasanya kerusakan yang terjadi merupakan nekrosis di

sekitar sentrolobularis karena aktivitas sitokrom P-450 paling banyak terdapat

didaerah tersebut (Wenas, 1996). Kematian sel dapat terjadi bersamaan dengan

pecahnya membran plasma. Perubahan morfologis awal berupa edema

sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom. Terjadi

akumulasi trigliserid sebagai butiran lemak dalam sel dan terjadi

pembengkakan mitokondria yang progresif dengan kerusakan krista. Stadium

selanjutnya, sel dapat mengalami degenerasi hidropik, fragmentasi sel, dan inti

sel piknotik (kariopiknotik). Kemudian inti sel hancur dan membentuk

(25)

commit to user

karioreksis. Pada akhirnya kromatin basofil menjadi pucat (kariolisis) dan

terjadilah penghancuran serta pelarutan inti sel sehingga inti sel menghilang,

membran plasma pecah, dan terjadilah nekrosis sel (Wilson, 2006).

5. Mekanisme Perlindungan Propolis terhadap Kerusakan Sel Hepar akibat

Induksi Parasetamol

Propolis mengandung berbagai jenis zat aktif yang dapat meningkatkan

kadar glutation dan bersifat sebagai antioksidan. Kandungan antioksidan di

dalam propolis diantaranya adalah flavonoid, fenol, asam dicaffeoylquinic,

asam caffeic dan ferulik, vitamin C, E dan A, mineral Se, fe, Cu dan Zn, serta

asam amino essensial (Krell, 1996). Senyawa antioksidan tersebut mampu

meredam dampak negatif dari oksidan dengan cara memberikan elektronnya

sehingga dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya

(Bagiada, 1995). Antioksidan juga dapat mencegah pembentukan radikal bebas

dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Widjaja, 2007).

Flavonoid merupakan sekelompok senyawa polifenol tanaman yang

tersebar luas dalam berbagai konsentrasi. Senyawa flavonoid dapat

menghambat oksidasi lipid dan pembentukan lipid peroksida melalui

mekanisme penangkapan radikal bebas (Hegazi dan El-Hady, 2007).

Disamping itu, flavonoid memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe

(Fe diketahui dapat mengkatalisis beberapa beberapa proses yang

menyebabkan terbentuknya radikal bebas). Aktivitas antiperoksidatif flavonoid

(26)

commit to user

Zat besi (Fe) dan seng (Zn) adalah kandungan mineral terbanyak

yang terdapat di dalam propolis (Suranto, 2010), yang berfungsi sebagai

kofaktor SOD (Superoksida Dismutase). Kofaktor adalah suatu elemen

yang dengannya suatu faktor lain harus bersatu untuk dapat berfungsi.

Selenium (Se) berperan sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam

oksidasi asam lemak (Hartanto et al., 2000). Vitamin E merupakan

vitamin yang larut dalam lemak, berperan dalam menghambat peroksidasi

lipid sehingga dapat mencegah kerusakan sel membran yang lebih lanjut.

Pada vitamin C bekerja sebagai donor elekron, dengan cara memindahkan

satu elektronnya. Vitamin C berinteraksi dengan senyawa radikal bebas di

bagian cairan sel, karena senyawa ini mudah larut dalam air. Selain itu,

vitamin C juga berperan sebagai penyetabil keberadaan vitamin E

(Almatsier, 2002). Senyawa fenol, asam caffeic dan ferulik, asam

dicaffeoilquinic beserta esternya, dan vitamin A bermanfaat dalam

(27)

commit to user

Variabel luar yang tak terkendali: kondisi psikologis, keadaan awal hepar dan reaksi

(28)

commit to user C. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Pemberian propolis dapat mencegah kerusakan sel hepar mencit (Mus

musculus) yang terpapar parasetamol.

2. Peningkatan dosis propolis dapat meningkatkan efek proteksi terhadap

(29)

commit to user

22 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Populasi : Mencit jantan dengan galur Swiss webster berusia 2-3 bulan

dengan berat badan ± 20 gram.

Sampel : Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus Federer

(Ratnasari, 2009) yaitu:

(k-1)(n-1) > 15

(4-1)(n-1) > 15

3(n-1) > 15

3n > 15 + 3

n > 6 ≈ 7

Keterangan:

k : jumlah kelompok

(30)

commit to user

Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok adalah sebanyak

7 ekor mencit (n > 6). Jumlah kelompok mencit ada 4, sehingga pada

penelitian ini membutuhkan 28 ekor mencit dari populasi yang ada.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang dipakai adalah incidental sampling. Sampel

diperoleh dengan mengambil begitu saja subjek penelitian yang ditemui dari

populasi yang ada. Kemudian mencit tersebut dimasukkan kedalam 4

kelompok secara random.

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah the post test only controlled group

design (Taufiqqurohman, 2008).

KK : (-) O0

KP1 : (X 1) O1

KP2 : (X 2) O2

KP 3 : (X 3) O3

Gambar 5. Skema Rancangan Penelitian

Keterangan:

KK : Kelompok kontrol tanpa diberi propolis maupun parasetamol.

KP 1 : Kelompok perlakuan 1 diberi parasetamol tanpa diberi propolis.

KP 2 : Kelompok perlakuan 2 diberi parasetamol dan propolis dosis I.

(31)

commit to user

(-) : Pemberian aquades peroral 0,1 ml/20 gr BB mencit setiap hari

selama 14 hari berturut-turut.

(X 1) : Pemberian aquades peroral 0,1 ml/20 gr BB mencit setiap hari

selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi

parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit perhari.

(X 2) : Pemberian propolis peroral dosis I yaitu 0,0104 ml/20 gr BB

mencit selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14

diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah pemberian

propolis.

(X 3) : Pemberian propolis peroral dosis II yaitu 0,0208 ml/20 gr BB

mencit selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13 dan 14

diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1 jam setelah

pemberian propolis.

O0 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis

dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok kontrol.

O1 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis

dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok perlakuan 1.

O2 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis

dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok perlakuan 2.

O3 : Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karioreksis dan kariolisis

(32)

commit to user

Pada hari ke-15 setelah diberikan perlakuan, semua hewan percobaan

dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra servicalis agar efek dari

perlakuan masih tampak nyata. Selanjutnya dilakukan proses pembuatan

preparat hepar dengan metode blok parafin dan pengecatan hematoksilin

eosin (HE).

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Pemberian propolis

2. Variabel Terikat

Kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus)

3. Variabel Luar

Variabel luar terdiri dari variabel yang dapat dikendalikan dan yang tidak

dapat dikendalikan

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan

Variasi genetik, jenis kelamin, umur, berat badan, dan jenis makanan

mencit semuanya diseragamkan.

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan

Kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas, dan keadaan awal hepar

(33)

commit to user G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : pemberian propolis.

Propolis yang dipakai dalam penelitian ini adalah propolis cair asli

Indonesia, dengan nama dagang PropolisKU. Setiap 1 ml propolis

mengandung 150 mg ekstrak propolis asli Indonesia dengan zat aktif

flavonoid tidak kurang dari 3%. Dalam proses ekstraksi maupun seluruh

tahap produksinya tidak menggunakan alkohol sehingga aman untuk

dikonsumsi ibu hamil dan anak, penduduk di negara muslim, atau

konsumen yang memiliki faktor kesehatan tertentu (Suranto, 2010).

Propolis diberikan peroral dengan sonde lambung (ukuran 1,0 ml)

dalam 2 dosis mencit dalam 2 dosis, yaitu:

Dosis I : 0,0104 ml/20 gr BB mencit yang diencerkan hingga 0,2 ml

diberikan pada mencit KP 2.

Dosis II : 0,0208 ml/20 gr BB mencit yang diencerkan hingga 0,4 ml

diberikan pada mencit KP 3.

Skala pengukuran variabel ini adalah ordinal.

2. Variabel terikat : kerusakan sel hepar mencit (Mus musculus)

Kerusakan sel hepar mencit adalah gambaran mikroskopis sel hepar

mencit yang diinduksi parasetamol setelah diberi propolis. Hal ini dinilai

dari jumlah sel hepar yang mengalami piknosis, karioreksis dan kariolisis

yang dihitung dari 100 sel pada zona sentrolobuler. Kemudian dari

jumlah sel yang mengalami kerusakan dihitung jumlah skor

(34)

commit to user Adapun tanda-tanda kerusakan sel :

a. Sel yang mengalami piknosis intinya kisut dan bertambah basofil,

berwarna gelap batasnya tidak teratur.

b. Sel yang mengalami karioreksis inti mengalami fragmentasi atau

hancur degan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang

tersebar di dalam sel.

c. Sel yang mengalami kariolisis yaitu kromatin basofil menjadi pucat,

inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan menghilang begitu

saja (Wilson, 2006).

Pada penelitian ini, masing-masing dari derajat kerusakan diberi

skor 1. Skala pengukuran variabel ini adalah rasio.

3. Variabel Luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan. Variabel ini dapat

dikendalikan melalui homogenisasi.

1) Variasi genetik

Jenis hewan coba yang digunakan adalah mencit dengan galur

Swiss webster.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin mencit yang digunakan adalah jantan.

3) Umur

(35)

commit to user 4) Berat badan

Berat badan hewan percobaan + 20 gr.

5) Jenis makanan

Makanan yang diberikan berupa pellet dan minuman dari air PAM

(Perusahaan Air Minum).

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan.

1) Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.

Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan

yang berulang kali dan perkelahian antar mencit dapat

mempengaruhi kondisi psikologis mencit.

2) Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi karena adanya variasi

kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan.

3) Keadaan awal hepar mencit tidak diperiksa pada penelitian ini

sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan

heparnya sudah mengalami kelainan.

H. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

a. Kandang mencit 4 buah masing-masing untuk 7 ekor mencit

b. Timbangan hewan

c. Timbangan obat

d. Alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja

(36)

commit to user

e. Sonde lambung

f. Alat untuk pembuatan preparat histologi

g. Mikroskop cahaya medan terang

h. Gelas ukur dan pengaduk

i. Optilab

2. Bahan

a. Parasetamol

b. Makanan hewan percobaan (pellet)

c. Aquades

d. Bahan untuk pembuatan preparat histologi dengan pengecatan HE

(Hematoksilin Eosin)

e. Propolis

I. Cara Kerja

1. Dosis dan Pengenceran Propolis

Propolis yang digunakan dalam penelitian ini adalah propolis cair

dengan nama dagang propolisKU. Setiap 1 ml propolis mengandung 150

mg ekstrak propolis. Pada manusia, dosis konsumsi propolis untuk

perawatan atau pemeliharaan kesehatan adalah dua sendok makan sehari

atau setara dengan 400-600 mg ekstrak propolis per hari (Suranto, 2010).

Penentuan dosis yang diberikan kepada mencit adalah berdasarkan pada

hasil konversi dari manusia ke mencit (Ngatidjan, 1991), yang setara

(37)

commit to user

berat badan 70 kg. Dosis pemberian propolis ini dibedakan dalam dua

dosis, yaitu dosis I = 0,0104 ml/20 gr BB mencit dan dosis II = 0,0208

ml/20 gr BB mencit. Masing-masing dosis propolis yang diberikan dengan

menggunakan sonde lambung (ukuran 1,0 ml) adalah propolis yang telah

diencerkan dengan aquades menjadi volume 0,2 ml dan 0,4 ml. Propolis

dosis I diberikan pada KP 2 sehari sekali selama 14 hari berturut-turut,

sedangkan propolis dosis II diberikan pada KP 3 sehari sekali selama 14

hari berturut-turut.

Perhitungan dosis propolis :

a. Dosis I propolis setara dengan 600 mg ekstrak propolis pada manusia.

1 ml Propolis mengandung 150 mg ekstrak propolis

4 ml Propolis mengandung 600 mg ekstrak propolis

Dosis I = Nilai konversi x 4 ml propolis

= 0,0026 x 4 ml

Pengenceran Propolis:

5,2 ml propolis + aquades  100 ml larutan propolis

Dalam 1 ml larutan mengandung 0,052 ml propolis

Dalam 0,2 ml larutan mengandung 0,0104 ml propolis

Propolis yang disondekan adalah propolis yang diencerkan. Propolis

yang disondekan pada 1 ekor mencit (20 gr) pada KP 2 sebanyak 0,2 ml

(38)

commit to user b. Dosis II propolis

Propolis dosis II adalah 2 kali propolis dosis I. Jadi, propolis yang

disondekan pada 1 ekor mencit (20 g) pada KP 3 sebanyak 0,4 ml dan

diberikan selama 14 hari berturut-turut.

Pemberian propolis selama 14 hari berturut-turut bertujuan untuk

memberikan cadangan glutation di hepar sehingga ketika diinduksi

parasetamol dosis toksik, glutation dalam hepar tidak habis dan kerusakan

hepar dapat dicegah. Di luar jadwal perlakuan, mencit diberi makan pellet

dan minum air PAM ad libitum.

2. Dosis dan pengenceran Parasetamol

Dosis fatal (LD-50/Lethal Dossage-50) untuk mencit peroral yang telah

diketahui adalah 338 mg/kg BB atau 6,76 mg/20 gr BB mencit (Wishart dan

Knox, 2006). Dosis parasetamol yang digunakan untuk menimbulkan efek

kerusakan hepar berupa nekrosis sel hepar tanpa menyebabkan kematian

mencit adalah dosis 3/4 LD-50 perhari (Alberta dan Canada dalam Ratnasari,

2009). Dosis yang digunakan adalah 338 mg/Kg BB × 0,75 = 253,5 mg/Kg

BB = 5,07 mg/20 gr BB mencit. Parasetamol 500 mg dilarutkan dalam

aquades hingga 9,86 ml, sehingga dalam 0,1 ml larutan parasetamol

mengandung 5,07 mg parasetamol.

Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada hari ke-12,

13 dan 14. Pemberian parasetamol dengan cara ini bertujuan untuk

menimbulkan kerusakan berupa nekrosis sel hepar yang berupa nekrosis pada

(39)

commit to user

Wilmana dan Gunawan (2007) pemberian parasetamol dosis tunggal sudah

dapat menimbulkan kerusakan sel hepar berupa nekrosis pada daerah

sentrolobularis dalam waktu 2 hari setelah pemberian parasetamol.

3. Persiapan Mencit

Mencit diadaptasikan terlebih dahulu selama tujuh hari di Laboratorium

Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Sesudah

adaptasi, keesokan harinya dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis

dan dilakukan perlakuan.

4. Pengelompokan Subjek

Pada minggu kedua mulai dilakukan percobaan. Subjek dikelompokkan

menjadi empat kelompok secara random, dan masing-masing kelompok terdiri

dari 7 mencit. Adapun pengelompokan subjek adalah sebagai berikut:

a. KK : Kelompok kontrol diberi aquades peroral sebanyak 0,1 ml/20 gr

BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut.

b. KP 1 : Kelompok perlakuan 1 diberi aquades peroral sebanyak

0,1 ml/20 gr BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-turut

dan pada hari ke-12, 13 dan 14 juga diberi parasetamol 0,1 ml/20

gr BB mencit peroral perhari.

c. KP 2 : Kelompok perlakuan 2 diberi propolis peroral dosis I yaitu 0,0104

ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana pada

hari ke-12, 13, dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1

(40)

commit to user

d. KP 3 : Kelompok perlakuan 3 diberi propolis peroral dosis II yaitu 0,0208

ml/20 gr BB mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana pada

hari ke-12, 13, dan 14 diberi parasetamol 0,1 ml/20 gr BB mencit 1

jam setelah pemberian propolis.

Setiap sebelum pemberian parasetamol dan propolis, mencit dipuasakan

dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan lambung. Pemberian parasetamol

dilakukan ± 1 jam setelah pemberian propolis agar terabsorbsi terlebih dahulu.

5. Pemberian Perlakuan

Gambar 6. Skema Langkah-langkah Penelitian Aquades 0,1ml/20 gr BB mencit

Sampel 28 ekor mencit

Kelompok

Dipuasakan selama + 5 jam

Setelah + 1 jam

Perlakuan diberikan sampai hari ke-14. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15. 0,1 ml parasetamol dosis 5,07mg / 20 grBB mencit pada hari ke-12, 13, 14 Aquades 0,1ml/20 gr

(41)

commit to user 6. Pengukuran hasil

Pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama diberikan, semua hewan

percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra servicalis,

kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya dibuat preparat histologi

dengan metode blok paraffin dengan pengecatan HE. Pembuatan preparat

dilakukan pada hari ke-15 agar efek perlakuan tampak nyata. Lobus hepar

yang diambil adalah lobus kanan dan irisan untuk preparat diambil pada

bagian tengah dari lobus tersebut, hal ini dilakukan untuk mendapatkan

preparat yang seragam. Dari tiap lobus kanan hepar dibuat 3 irisan dengan

tebal tiap irisan 3-8 um. Jarak antar irisan satu dengan yang lain kira-kira

25 irisan.

Tiap hewan percobaan dibuat 3 preparat. Dari masing-masing

preparat diambil 1 daerah di sentrolobuler yang terlihat kerusakannya

paling berat. Dari 1 zona tersebut akan didapatkan 1 skor untuk tiap 100

sel sentrolobuler. Sehingga didapatkan 3 skor dari 1 hewan percobaan.

Dalam percobaan ini menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap

kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 skor untuk tiap kelompok

percobaan. Pengamatan preparat dengan pembesaran 100 kali dan 400 kali

untuk mengamati seluruh lapang pandang, kemudian ditentukan daerah

yang akan diamati pada sentrolobuler lobulus hepar dan dipilih 1 daerah

(42)

commit to user

Dari tiap zona sentrolobuler lobulus hepar tersebut dengan

pembesaran 1000 kali kemudian ditentukan jumlah inti yang mengalami

piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel.

Hasil yang diperoleh kemudian diberi skor dengan ketentuan :

a. Piknosis diberi skor 1,

b. Karioreksis diberi skor 1 dan,

c. Kariolisis diberi skor 1.

Jadi, misalnya dari satu daerah zona sentrolobuler dari 100 sel yang

diamati, ternyata terdapat 25 sel dengan inti piknosis, 15 dengan

karyoreksis dan 5 dengan karyolisis maka jumlah skor dari satu daerah

zona sentrolobuler tersebut adalah (25x1) + (15x1) + (5x1) = 45. Sehingga

dari tiap preparat diperoleh satu nilai skor. Jadi dari 3 preparat akan

didapatkan 3 skor dari 1 hewan percobaan. Dalam percobaan ini

menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya sehingga akan

diperoleh 21 skor untuk tiap kelompok percobaan. Selanjutnya rata-rata

skor dari masing-masing kelompok dibandingkan dengan uji Oneway

ANOVA dan jika terdapat perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan

(43)

commit to user J. Teknik Analisa Data Statistik

Data yang diperoleh akan dianalisa dengan menggunakan uji statistik

Oneway ANOVA (Analysis of Variance). Jika terdapat perbedaan yang

bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc Multiple Comparisons

(LSD). Apabila data yang diperoleh ternyata tidak memenuhi syarat uji

statistik parametrik Oneway ANOVA, maka sebagai alternatifnya akan

digunakan uji statistik non parametrik yaitu Kruskal Wallis. Derajat

kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05 (Dahlan, 2007). Analisis data

akan dilakukan dengan menggunakan program komputer Statistical

(44)

commit to user

37 37 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tentang efek hepatoprotektor propolis

terhadap kerusakan sel hepar mencit akibat induksi parasetamol, didapatkan

data hasil pengamatan pada masing-masing kelompok perlakuan. Hasil

pengamatan jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karioreksis dan

kariolisis untuk masing-masing kelompok, serta jumlah total sel hepar yang

rusak disajikan pada lampiran 4 tabel 5 – 8. Hasil rata-rata jumlah kerusakan

sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol pada masing-masing kelompok

disajikan pada tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Skor Kerusakan Sel Hepar Mencit yang Diinduksi

Parasetamol pada Masing-masing Kelompok.

Kelompok Rata-rata Jumlah Standar Deviasi

KK (aquades) 24,57 3,823

KP 1 (parasetamol) 82,43 5,287

KP 2 (dosis propolis I) 41,14 2,268

KP 3 (dosis propolis II) 34,43 4,962

(45)

commit to user Keterangan :

KK : Kelompok Kontrol

KP 1 : Kelompok Perlakuan 1

KP 2 : Kelompok Perlakuan 2

KP 3 : Kelompok Perlakuan 3

Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah kerusakan

hepar mencit yang paling tinggi adalah pada KP 1 (parasetamol dosis toksik)

yaitu 82,43 ± 5,287, sedangkan rata-rata jumlah kerusakan yang paling rendah

adalah pada KK (hanya aquades) yaitu 24,57 ± 3,823.

Gambaran kerusakan histologis (fotomikrograf) pada zona

sentrolubuler lobulus hepar mencit pada KK, KP 1, KP 2 dan KP 3 yang

ditandai dengan piknosis, karioreksis dan kariolisis dapat dilihat pada

lampiran 5.

B. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian mula-mula dianalisis secara

statistik dengan uji One-Way ANOVA (ANOVA tidak berpasangan) untuk

mengetahui adakah perbedaan rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit

pada zona sentrolobuler yang bermakna antara keempat kelompok. Jika

terdapat perbedaan yang bermakna, maka analisis data dapat dilanjutkan

dengan Uji Post Hoc Multiple Comparisons. Derajat kemaknaan yang

(46)

commit to user

menggunakan program komputer SPSS (Statistical Product and Service

Solution) 15.0 for Windows.

Syarat menggunakan uji One-Way ANOVA :

1. Hanya digunakan pada masalah skala pengukuran numerik. Masalah

skala pengukuran numerik pada hipotesis komparatif adalah masalah

skala pengukuran variabel yang mencari asosiasi antara skala variabel

numerik (interval atau rasio) dan kategorik (ordinal atau nominal).

2. Skala variabel numerik harus memiliki sebaran data normal, dibuktikan

dengan uji normalitas data metode analitik yaitu uji Kolmogorov-Smirnov

atau Saphiro-Wilk yang memiliki nilai p lebih besar daripada nilai α.

Misal, α = 0,05 maka nilai p untuk uji sebaran data normal harus

p > 0,05.

3. Varians data harus sama. Kesamaan varians data dapat diketahui dengan

menggunakan uji Homogenity of Variances. Jika varians data sama, maka

nila p > nilai α.

Jika ketiga syarat diatas tidak terpenuhi, maka dapat digunakan uji

hipotesis alternatif, yaitu berupa uji hipotesis non-parametrik Kruskall-Wallis

(Dahlan, 2007).

Data pada penelitian ini adalah kerusakan sel hepar mencit yang

dinyatakan dengan skala rasio (skala variabel numerik) dan kelompok

perlakuan yang dinyatakan dengan skala ordinal (skala variabel kategorik).

(47)

commit to user

menghasilkan masalah skala pengukuran numerik. Dapat dinyatakan bahwa

syarat pertama untuk menggunakan uji One-Way ANOVA terpenuhi.

Metode analisis yang lazim digunakan untuk menentukan jenis sebaran

data adalah uji Kolmogorov-Smirnov jika jumlah sampel > 50 atau uji

Saphiro-Wilk jika jumlah sampel ≤ 50 (Dahlan, 2007). Pada penelitian ini

menggunakan 28 sampel, maka digunakan uji Saphiro-Wilk untuk

menentukan apakah sebaran data normal atau tidak. Hasil uji Saphiro-Wilk

dapat dilihat pada lampiran 4 tabel 10.

Nilai p dari hasil uji Saphiro-Wilk untuk kelompok K, P1, P2, dan P3

berturut-turut adalah 0,096; 0,699; 0603; 0,975. Keempat nilai diatas lebih

besar dari α = 0,05, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebaran data dari

keempat kelompok tersebut terdistribusi secara normal. Oleh karena itu,

syarat kedua untuk menggunakan uji ANOVA terpenuhi. Selanjutnya,

dilakukan uji Homogenity of Variance untuk mengetahui apakah varians data

sama atau tidak.

Sebaran data secara deskriptif dapat dilihat pada lampiran 4 tabel 9 dan

hasil uji Homogenity of Variance dapat dilihat pada tabel 12. Pada uji

Homogenity of Variance didapatkan nilai 0,184, dimana nilai tersebut lebih

besar dari α = 0,05 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat

kesamaan varians data antar kelompok. Dengan kata lain, syarat ke-3 uji

(48)

commit to user

Hasil uji ANOVA dapat dilihat pada lampiran 4 tabel 13. Dari hasil

perhitungan uji ANOVA didapatkan nilai sig. untuk uji ANOVA adalah

0,000, dimana nilai ini lebih kecil dari nilai α (0,05) sehingga dapat ditarik

kesimpulan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor kerusakan histologis sel

sel hepar yang bermakna antara KK, KP 1, KP 2 dan KP 3.

Karena didapatkan adanya perbedaan yang bermakna (signifikan) dari

masing-masing kelompok tersebut, maka uji statistik dilanjutkan dengan Uji

Post Hoc untuk mengetahui antar kelompok mana perbedaan rata-rata skor

jumlah kerusakan histologis sel hepar dan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Uji LSD. Hasil uji Post Hoc Multiple Comparisons (LSD) dapat

dilihat pada lampiran 4 tabel 14. Ringkasannya adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Ringkasan hasil uji LSD (α = 0,05)

Kelompok p Perbedaan

KK-KP 1 0,000 Bermakna

KK-KP 2 0,000 Bermakna

KK-KP 3 0,000 Bermakna

KP 1-KP 2 0,000 Bermakna

KP 1-KP 3 0,000 Bermakna

KP 2-KP 3 0,007 Bermakna

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik LSD tampak

adanya perbedaan yang bermakna (signifikan) dari semua pasangan antar

(49)

commit to user

42 BAB V

PEMBAHASAN

Hepar merupakan organ yang sangat rentan mengalami kerusakan akibat

paparan zat-zat toksik. Hal ini berkaitan dengan fungsi hepar sebagai pusat

disposisi metabolik dari semua bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh

melalui saluran cerna. Respon hepar terhadap paparan suatu zat tergantung pada

intensitas paparan, populasi sel yang terkena, dan jenis paparan yang diterima

(akut atau kronik) (Crawford, 2007).

Daerah sentrolobularis merupakan lokasi yang paling sering mengalami

kerusakan akibat toksikan. Hal ini terjadi karena di daerah tersebut banyak

terdapat retikulum endoplasma halus yang merupakan tempat aktivitas enzim

sitokrom P-450 (C-P450), sehingga banyak ditemukan sel-sel hepar (hepatosit)

yang nekrosis pada daerah sentrolubularis (Cullen, 2005).

Secara teoritis, paparan parasetamol dosis toksik terhadap sel hepar mencit

dapat mengakibatkan kematian sel yang disebut nekrosis. Nekrosis merupakan

proses kematian sel yang bersifat patologis dan melibatkan sekelompok sel. Sel

yang mengalami nekrosis akan terlihat membengkak (hidropic), kehilangan

integritas membran, terjadi kebocoran lisosom dan kemudian mengalami lisis

(Thompson et al., 2002). Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi pada

merupakan petunjuk paling jelas pada kematian sel (Mitchell dan Cotran, 2007).

Pada penelitian ini, parameter yang digunakan pada sistem penilaian

(50)

commit to user

karioreksis dan kariolisis. Ketiga jenis kerusakan tersebut masing-masing diberi

skor 1. Proses kerusakan tersebut merupakan kelanjutan satu sama lain, yang akan

berakhir menjadi kematian sel (necrosis).

Sel hepar (hepatosit) mencit yang diinduksi dengan parasetamol dosis

toksik akan mengalami kerusakan yang digambarkan dengan inti sel yang

piknosis, karioreksis dan kariolisis. Pemberian dengan propolis selama 14 hari

berturut-turut ditambah dengan parasetamol dosis toksik pada hari ke-12, 13 dan

14 menunjukkan hasil berupa kerusakan sel hepar yang lebih sedikit dibandingkan

dengan pemberian parasetamol tanpa propolis. Hal ini disebabkan propolis

memiliki efek hepatoprotektif terhadap efek toksik parasetamol.

Kelompok kontrol digunakan sebagai pembanding terhadap kelompok

perlakuan dengan pemberian parasetamol dan kelompok perlakuan dengan

pemberian parasetamol dan propolis. Kelompok kontrol hanya diberikan aquades

sebagai plasebo. Pada kelompok kontrol juga terlihat gambaran inti piknosis,

karioreksis dan kariolisis. Fotomikrograf kelompok kontrol ditampilkan pada

lampiran 5 gambar 7. Hal ini terjadi karena secara fisiologis semua sel normal

akan mengalami proses apoptosis, yaitu kematian sel secara fisiologis dan bukan

“pembunuhan” sel yang terjadi pada kematian sel nekrotik. Setiap sel dalam tubuh

selalu akan mengalami penuaan yang diakhiri dengan kematian sel dan digantikan

oleh sel baru melalui proses regenerasi (Mitchell dan Cotran, 2007). Selain itu,

pengaruh variabel luar yang tidak dapat dikendalikan juga dapat menjadi

(51)

commit to user

Dari hasil uji Oneway ANOVA, didapatkan perbedaan yang bermakna dari

nilai rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit antara keempat kelompok.

Selanjutnya, hasil uji LSD menunjukkan perbedaan bermakna pada semua

pasangan antar kelompok data, yaitu antara kelompok K-P1, K-P2, K-P3, P1-P2,

P1-P3, dan P2-P3.

Pada hasil uji LSD menunjukkan terdapat perbedaan bermakna dari nilai

rata-rata jumlah kerusakan sel hepar antara kelompok K dan kelompok P1,

disebabkan karena sel-sel hepar mencit pada kelompok P1 mengalami kerusakan

akibat pemberian parasetamol dosis toksik, sedangkan pada kelompok K relatif

normal. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa parasetamol dosis

toksik mampu menginduksi kerusakan sel hepar akibat adanya metabolit NAPQI

yang reaktif dan toksik. Fotomikrograf kelompok P1 ditampilkan pada lampiran 5

gambar 8.

Ketika asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapeutik, jalur

glukoronidasi dan sulfasi dipisahkan dan jalur sitokrom P-450 bebas menjadi

penting. Selama glutation masih tersedia untuk konjugasi, parasetamol tidak akan

dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Namun dengan perjalanan waktu, glutation

yang terpakai akan lebih cepat daripada regenerasinya sehingga akhirnya akan

terjadi pengosongan glutation dan terjadi penimbunan metabolit yang toksik dan

reaktif, yaitu N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI). Kemudian NAPQI akan

membentuk ikatan kovalen dengan gugus sulfihidril pada makromolekul hepatosit

(52)

commit to user

Reaksi antara NAPQI dengan makromolekul hepatosit menyebabkan

disfungsi sistem enzim, serta kekacauan stuktural dan metabolik hepatosit.

NAPQI juga dapat memicu terbentuknya radikal bebas baru, dimana jika bereaksi

dengan asam lemak tak jenuh pada membran sel, maka akan menyebabkan

peroksidasi membentuk lipid peroksidasi. Kerusakan membran sel menyebabkan

terganggunya metabolisme energi dan hilangnya pengaturan volume yang dapat

berujung pada kematian sel (Goodman dan Gilman’s 2006; Winarsih, 2007).

Kematian sel ditandai oleh kerusakan pada sel, dimana kerusakan ini tampak pada

KP 1 yang terjadi peningkatan kerusakan pada inti sel. Glutation merupakan suatu

kofaktor yang esensial untuk enzim antioksidan yaitu glutation peroksidase.

Pada KP 2 merupakan kelompok perlakuan pemberian propolis dengan

dosis 0,0104 ml/20 gr BB mencit (dosis I) dan parasetamol dosis toksik,

sedangkan KP 3 merupakan kelompok perlakuan pemberian propolis dosis 0,0208

ml/20 gr BB mencit (dosis II) dan parasetamol dosis toksik. Hasil analisis data,

kerusakan sel hepar pada KP 2 dan KP 3 sama-sama menunjukkan perbedaan

bermakna dengan KK dan KP 1. Hal ini berarti bahwa pemberian propolis dengan

dosis I dan dosis II selama 14 hari berturut-turut dapat mengurangi kerusakan sel

hepar mencit akibat pemberian parasetamol dosis toksik, walaupun tidak dapat

mengembalikan sel hepar mencit ke kondisi normal, seperti pada kelompok

kontrol (KK). Fotomikrograf kelompok P1 dan P2 dapat dilihat pada lampiran 5,

gambar 9 dan 10. Dari data hasil penelitian, didapatkan rata-rata skor kerusakan

histologis hepar mencit pada KP 2 lebih tinggi daripada KP 3. Setelah dianalisis

(53)

commit to user

bermakna. Hal ini berarti bahwa peningkatan propolis dapat meningkatkan efek

proteksinya terhadap kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi parasetamol,

meskipun tidak dapat mengembalikan sel hepar mencit ke kondisi semula.

Menurut Ismail et al. (2010), status stres oksidatif sangat berkaitan dengan

terjadinya kerusakan sel-sel hepar. Maellaro et al. (2004) menyebutkan dalam

penelitiannya bahwa kerusakan sel hepar yang diinduksi oleh agen pendeplesi

glutation dapat dikurangi dengan pemberian zat-zat antioksidan. Sistem

antioksidan, baik enzimatik maupun non-enzimatik akan mengeliminasi

peroksidan dan radikal bebas yang berbahaya bagi kelangsungan hidup sel

(Dimascio et al, 2001). Propolis mengandung berbagai jenis senyawa antioksidan

yang mampu mencegah dan menghambat dari efek toksik parasetamol.

Kandungan antioksidan yang terdapat di dalam propolis antara lain adalah

flavonoid, fenol, asam dicaffeoylquinic, asam caffeic dan ferulik, vitamin C, E

dan A, mineral Se, fe, Cu dan Zn, serta asam amino essensial (Krell, 1996).

Semua jenis antioksidan yang terkandung dalam propolis berperan penting dalam

menentukan TAS (total antioxidant status). TAS mampu memberikan elektron

kepada molekul radikal bebas dan memutuskan reaksi berantai (chain reaction)

dari radikal bebas sehingga dapat menghambat dan mencegah terjadinya stres

oksidatif (Almatsier, 2002; Winarsih, 2007).

Senyawa flavonoid dapat menghambat oksidasi lipid dan pembentukan

lipid peroksida, dengan menangkap radikal bebas (Hegazi dan El-Hady, 2007).

Disamping itu, flavonoid memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe

(54)

commit to user

terbentuknya radikal bebas). Kostyuk et al.,(2001) juga melaporkan bahwa

interaksi antara senyawa flavonoid dengan ion Zn memiliki tambahan 1 pusat

radical scavenging sehingga kerja antioksidannya dapat lebih kuat.

Mineral besi (Fe) dan seng (Zn) berfungsi sebagai kofaktor SOD

(Superoksida Dismutase), dimana kofaktor merupakan suatu elemen yang

dengannya suatu faktor lain harus bersatu untuk dapat berfungsi. Selenium (Se)

berperan sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam oksidasi asam lemak

(Hartanto et al., 2000). Vitamin E merupakan vitamin larut dalam lemak, berperan

dalam menghambat peroksidasi lipid sehingga dapat mencegah kerusakan sel

membran yang lebih lanjut. Pada vitamin C bekerja sebagai donor elekron,

dengan cara memindahkan satu elektronnya. Selain itu, vitamin C juga berperan

sebagai penyetabil keberadaan vitamin E (Almatsier, 2002)

Penelitian tentang efek antioksidan propolis juga sudah banyak dilakukan.

Basnett et al. (1996) menyatakan bahwa turunan asam fenolik yang berupa asam

dicaffeoylquinic dalam propolis dapat memberikan perlindungan terhadap

kerusakan hati (hepatoprotector). Selain itu, penelitian Ichikawa et al. (2002)

dengan propolis hijau Brazil dan Kumazawa et al. (2004) dengan propolis

beberapa negara menjelaskan bahwa kemampuan propolis sebagai antioksidan

dapat menangkap radikal hidroksi dan superoksida kemudian menetralkan radikal

bebas tersebut sehingga keutuhan struktur sel dan jaringan serta membran lipid

(55)

commit to user

Berdasarkan hal di atas, hasil penelitian yang didapatkan para peneliti

kandungan propolis terdahulu dapat mendukung dan sejalan dengan hasil

penelitian ini. Kandungan dalam propolis (propolisKU), dapat memberikan efek

protektif terhadap kerusakan sel hepar mencit, terutama akibat dari induksi

Gambar

Gambar 1. Histologis Lobulus Hepar (Black, 2005)
Gambar 2. Pembagian Zona Lobulus Hepar (Junqueira et al., 2005)
Gambar 3. Metabolisme Parasetamol Dosis Toksik Menjadi NAPQI
Gambar 4. Lebah Madu Menggunakan Propolis Sebagai Pertahanan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Rasio Biaya Operasional dengan Pendapatan Operasional (BOPO) dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 lebih kecil dari kriteria.. penilaian tingkatan kesehatan bank yang

commit to user îòíòï Ô¿¬¿® Þ»´¿µ¿² îòì Ϋ¿²¹ Ô·²¹µ«° îòìòï Ö»²·- Õ±°» îòìòî ßµ«²¬¿²-· îòìòí л®¿¬«®¿² Ó îòìòì Ô¿°±®¿² Õ îòìòë Õ¿®¿µ¬»®·-¬ îòë

Agar reaksi oksidasi dapat berlangsung, gugus hidroksil (-OH) pada sitrat harus diatur kembali.Hal ini terjadi melalui dua tahap, pertama, molekul air dibuang dari satu karbon,

Berdasarkan data yang telah ada tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui lebih dalam tentang aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol rimpang

Selain meneropong ada pengaruh latar belakang pendidikan Menengah mahasiswa terhadap prestasi belajar, penelitian ini juga berupaya memotret apakah ada korelasi

Koefisien Pengaruh Persepsi tentang Penerapan Strategi Modelling The Way terhadap Keaktifan Siswa dalam Pembelajaran Fiqih di Madrasah Aliyah Negeri Kuok Kabupaten

PENERAPAN HASIL BELAJAR “MEMBUAT POTONGAN SAYURAN” PADA PRAKTIK PENGOLAHAN MAKANAN KONTINENTAL PADA SISWA KELAS XI SMKN3 SUKABUMI.. Universitas Pendidikan Indonesia

Hasil penelitian yang dilakukan pada konsumen bisnis modern di Yogyakarta ini diketahui bahwa untuk meningkatkan pengambilan keputusan pembelian konsumen khususnya pada