• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN FUNGSI KOGNITIF ANTARA LANSIA INSOMNIA DAN TIDAK INSOMNIA DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEDAAN FUNGSI KOGNITIF ANTARA LANSIA INSOMNIA DAN TIDAK INSOMNIA DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN FUNGSI KOGNITIF ANTARA LANSIA INSOMNIA DAN

TIDAK INSOMNIA DI PANTI WREDHA DHARMA BAKTI SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

YUSUF ALLAN PASCANA

G 0008245

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Insomnia dan

tidak Insomnia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

Yusuf Allan P., NIM : G0008245, Tahun : 2011

Telah diuji dan sudah disahkan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada hari Selasa , Tanggal 20 Desember 2011

Pembimbing Utama

Nama : I.G.B. Indro N., dr., Sp.KJ

NIP : 1973 1003 200501 1 001 (...) Pembimbing Pendamping

Nama : Novi Primadewi, dr., Sp.THT., M.Kes

NIP : 1975 1129 200812 2 002 (...) Penguji Utama

Nama : Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)

NIP : 1950 0131 197603 1 001 (...) Anggota Penguji

Nama : Enny Ratna S., drg.

NIP : 1952 1103 198003 2 001 (...)

Surakarta,...

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Desember 2011

Yusuf Allan Pascana NIM : G0008245

(4)

ABSTRAK

Yusuf Allan P., G0008245, 2011. Perbedaan Fungsi Kognitif pada Lansia Insomnia dan Tidak Insomnia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Lansia merupakan istilah bagi individu yang telah memasuki periode dewasa akhir atau usia tua, dimana manusia mulai mengalami penurunan secara fisik dan mental. Penurunan tersebut dapat menyebabkan gangguan tidur. Konsekuensi yang timbul dari gangguan tidur tersebut salah satunya adalah penurunan fungsi kognitif. Penekitian ini bertujuanuntuk mengetahui perbedaan fungsi kognitif antara lansia yang insomnia dan tidak insomnia.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan September-November 2011 di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Pengambilan sampel dilaksanakan secara total sampling. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang langsung diberikan pada penghuni panti. Data yang diperoleh berjumlah 33 data. Kemudian diambil 25% sampel yang memiliki skor insomnia tinggi dan 25% untuk skor insomnia rendah dan dianalisis menggunakan (1) Uji normalitas data Shapiro-Wilk

(2) Uji t melalui program SPSS 17.0 for Windows.

Hasil Penelitian: Penelitian menunjukkan (1) rerata skor MMSE untuk mengukur fungsi kognitif pada lansia dengan skor insomnia tinggi adalah 16.25, sedangkan pada insomnia skor rendah adalah 24.25 (2) hasil uji t menunjukkan p = 0.007 untuk perbedaan fungsi kognitif pada insomnia skor tinggi dan rendah.

Simpulan Penelitian: Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan fungsi kognitif antara lansia yang insomnia dan tidak insomnia. Lansia yang mengalami insomnia lebih cenderung mengalami penurunan fungsi kognitif daripada lansia yang tidak mengalami insomnia.

Kata kunci : lansia, insomnia, fungsi kognitif

(5)

ABSTRACT

Yusuf Allan P., G0008245, 2011. Differences in Cognitive Function between Elderly with Insomnia and without Insomnia in Dharma Bakti Nursing Homes Surakarta. Medical Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.

Objectives: Elderly is a term for individuals who have entered the period of late adulthood or old age, which people begin to decline physically and mentally. The decline can cause sleep disorder. One of the consequences arising from a sleep disorder is the decline in cognitive function. This research objective is to determine the difference between the cognitive function of elderly with insomnia and without insomnia.

Methods: This is a descriptive analytic research with cross sectional approach conducted in September-November 2011 in Dharma Bakti nursing home Surakarta. Sampling was carried out in total sampling. Research instruments in the form of questionnaires administered directly. Data obtained amounted to 33 data. 25% of the sample who score high insomnia and 25% for low and insomnia scores then analyzed using (1) normality test Shapiro-Wilk (2) t test with SPSS 17.0 for Windows.

Result: Research shows (1) the mean of MMSE score for measuring cognitive function in elderly with insomnia high score is 16:25, whereas a low score on insomnia is 24.25 (2) the results of the t test showed p = 0.007 for difference in cognitive function in insomnia with high and low scores.

Conclusions: Based on the results of research that has been done can be concluded that there are differences in cognitive function among elderly with insomnia and without insomnia. Elderly who have insomnia are more likely to have cognitive decline than elderly without insomnia.

Key words : elderly, insomnia, cognitive function

(6)

PRAKATA

Alhamdulillaah, puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah memberikan berkat, hidayah,, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Perbedaan Fungsi Kognitif antara Lansia Insomnia dan Tidak Insomnia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi beserta tim skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. I.G.B. Indro N, dr., Sp.KJ, selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat.

4. Dr. Novi Primadewi, Sp.THT, M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat. 5. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K), selaku Penguji Utama yang telah

memberikan bimbingan dan nasehat.

6. Enny Ratna S., drg., selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasehat.

7. Seluruh pegawai, perawat, dan penghuni Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta yang telah memberi banyak bantuan dalam penelitian ini.

8. Bapak, Ibu, kakak-kakak serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

9. Atika Zulfa dan Ratri Satya, yang telah berjuang bersama dalam penelitian ini.

10. Teman-teman yang telah meluangkan waktu membantu akomodasi dalam penelitian ini, Adrian, Andhika, Adhy dan Dwi.

11. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 5 Desember 2011

(7)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Lansia ... 5

2. Insomnia ... 7

3. Fungsi Kognitif ... 13

4. Hubungan Insomnia dengan Fungsi Kognitif ... 21

B. Kerangka Pemikiran ... 22

C. Hipotesis ... 23

BAB III. METODE PENELITIAN ... 24

A. Jenis Penelitian... 24

(8)

D. Teknik Sampling ... 25

E. Rancangan Penelitian ... 25

F. Identifikasi Variabel Penelitian... 26

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 26

H. Instrumen Penelitian ... 27

I. Teknik Analisis Data... 28

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 30

A. Deskripsi Sampel ... 30

B. Analisis Statistika... 31

BAB V. PEMBAHASAN ... 34

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 36

A. Simpulan ... 36

B. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37 LAMPIRAN

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Usia ... 30

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ... 31

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data ... 32

Tabel 4. Hasil Uji t tentang perbandingan Fungsi Kognitif ... 32

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Izin Penelitian

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Data Penelitian

Lampiran 5. Perhitungan Statistik

Lampiran 6. Kuesioner

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lansia merupakan istilah bagi individu yang telah memasuki periode dewasa akhir atau usia tua. Periode ini merupakan periode penutup bagi rentang kehidupan seseorang, di mana telah terjadi kemunduran fisik dan psikologis secara bertahap (Hurlock, 2003).

Lansia merupakan seorang laki-laki atau perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih yang secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karena suatu hal yang tidak mampu lagi berperan secara aktif dalam pembangunan (tidak potensial) Jadi lanjut usia adalah orang yang mengalami perubahan-perubahan fisik yang wajar, kulit sudah tidak kencang, otot-otot sudah mengendor, dan organ-organ tubuhnya kurang berfungsi dengan baik (Depkes, 2001).

Di Indonesia, populasi lansia pada tahun 2005 (15,8 juta/7,2 % penduduk Indonesia) meningkat 3 kali lebih besar daripada tahun 1970 (5,3 juta) (BPS, 2010). Peningkatan jumlah populasi lansia tersebut memunculkan motivasi dan keperluan untuk berinvestasi dalam penelitian-penelitian untuk meningkatkan healthspan dalam rangka memaksimalkan kualitas hidup dan meminimalkan beban finansial dan sosial sehubungan dengan ketidakmampuan pada lansia.

(12)

fisik tersebut menderita kondisi komorbid psikiatrik, terutama depresi dan anxietas. Sebagian besar usia lanjut yang menderita penyakit fisik dan gangguan mental tersebut menderita gangguan tidur (Prayitno, 2002).

Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan dari periode tidur. Kelompok usia lanjut cenderung lebih mudah bangun dari tidurnya. Kebutuhan tidur akan berkurang dengan berlanjutnya usia. Pada usia 12 tahun kebutuhan untuk tidur adalah sembilan jam, berkurang menjadi delapan jam pada usia 20 tahun, tujuh jam pada usia 40 tahun, enam setengah jam pada usia 60 tahun, dan enam jam pada usia 80 tahun (Buenaventura, 2000).

Insomnia dapat berupa kesulitan untuk tidur atau kesulitan untuk tetap tertidur. Bahkan seseorang yang terbangun dari tidur, tetapi merasa belum cukup tidur dapat disebut mengalami insomnia (Japardi 2002). Dengan demikian, insomnia merupakan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur pada usia lanjut dihubungkan dengan penurunan memori, konsentrasi terganggu, dan kinerja fungsional terganggu. Hal tersebut menyumbangkan peningkatan risiko kecelakaan, jatuh, dan kelelahan kronis (Kamel dan Gammack, 2006).

Gangguan dalam pola tidur normal pada orang tua mempunyai konsekuensi kesehatan yang penting, terutama mood dan fungsi kognitif.

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka orang tersebut mengalami penurunan fungsi kognitif dan fungsi psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat

(13)

(Prayitno, 2002). Dari penelitian diperoleh 34% lansia mengalami penurunan fungsi kognitif. Perempuan lebih banyak mengalami penurunan fungsi kognitif daripada laki-laki, yaitu sebesar 45,7 %. Penurunan fungsi kognitif terjadi pada 50 % lansia old, lebih banyak dibandingkan pada lansia young

elderly (27,7 %) (Zulsita, 2010).

Berdasarkan uraian tersebut, lansia pada umumnya akan mengalami penurunan fungsi kognitif. Namun pada sebagian kasus penurunan fungsi kognitif juga dapat disebabkan oleh insomnia. Dari latar belakang tersebut, penulis ingin melakukan penelitian untuk membuktikan apakah ada hubungan antara insomnia dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia.

B. Perumusan Masalah

Adakah perbedaan fungsi kognitif antara lansia yang mengalami insomnia dan tidak mengalami insomnia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan fungsi kognitif antara lansia yang insomnia dan tidak insomnia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi tingkat penurunan fungsi kognitif pada lansia b. Mengidentifikasi kejadian insomnia pada lansia.

(14)

.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris adanya hubungan antara insomnia dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia.

b. Menambah wawasan psikiatri khususnya tentang hubungan antara insomnia dengan penurunan fungsi kognitif pada lansia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak pengelola panti wredha, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan terhadap lansia yang memiliki gangguan tidur dan penurunan fungsi kognitif.

b. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding atau pustaka bagi para peminat masalah yang berhubungan insomnia atau fungsi kognitif.

c. Mengetahui angka kejadian insomnia di kalangan lansia di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.

(15)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Lansia

a. Klasifikasi Lansia

WHO mempunyai batasan usia lanjut sebagai berikut:

middle/young elderly usia antara 45 - 59 tahun, elderly usia antara 60

- 74 tahun, old usia antara 75 - 90 tahun dan dikatakan very old

berusia di atas 90 tahun. (WHO, 1998) b. Konsep Menua

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati, 2006).

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang (Papalia dan Feldman, 2005).

(16)

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Watson (2003) mengungkapkan bahwa lansia mengalami perubahan-perubahan fisik di antaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan ingatan (memori). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antarkelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi sekitar 1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Setiati, 2006; Harimurti dan Roosheroe, 2006).

c. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia

Adapun beberapa faktor yang dihadapi lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwanya adalah perubahan kondisi fisik, perubahan fungsi dan potensi seksual, perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan perubahan peran sosial di masyarakat.

1) Perubahan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis. Misalnya, tenaga berkurang, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang

(17)

makin rapuh, berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia misalnya badan menjadi bungkuk, pendengaran berkurang, penglihatan kabur, sehingga menimbulkan keterasingan. Proses penuaan mengakibatkan terganggunya berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastro-intestinal, sistem genito-urinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular dan sistem saraf pusat, dan sebgainya. Perubahan yang terjadi pada otak mulai dari tingkat molekuler, sampai pada struktur dan fungsi organ otak. Akibat dari perubahan tersebut maka antara lain akan terjadi penurunan peredaran darah ke otak pada daerah tertentu dan gangguan metabolisme, neurotransmiter, pembesaran ventrikel sampai akhimya terjadi atrofi dari otak.Berat otak menurun seiring dengan bertambahnya usia. Berat otak pada usia 90 tahun menurun 10 % dibandingkan dengan saat usia muda. Jumlah sel neuron berkurang sebanyak 100.000 sel per hari (Setiati, 2000; Lumbantobing, 1997). Akibatnya muncul fenomena perubahan struktural dan fisiologis, seperti sulit tidur, gangguan perilaku, gangguan seksual dan gangguan kognitif.

2) Perubahan Aspek Psikososial

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka akanmengalami penurunan fungsi kognitif dan fungsi psikomotor.

(18)

Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan (Depkes, 1999).

2. Kognitif

a. Definisi Kognitif

Kognitif merupakan suatu proses pekerjaan pikiran yang dengannya kita menjadi waspada akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan (Dorland, 2002).

b. Aspek-Aspek Kognitif

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara lain

1) Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan pada personal, tempat dan waktu. Orientasi terhadap personal (kemampuan menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya) menunjukkan informasi yang

overlearned. Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri

sering merefleksikan negatifisme, distraksi, gangguan pendengaran atau gangguan penerimaan bahasa.

(19)

Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi, kota, gedung dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal. Karena perubahan waktu lebih sering daripada tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi (Goldman, 2000).

2) Bahasa

Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan

naming.

a) Kelancaran

Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal.Suatu metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara spontan.

b) Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah tersebut. c) Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

(20)

d) Naming

Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk

menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya (Glisky, 2007).

3) Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar lingkungannya.

a) Atensi selektif

Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengingat sejumlah kecil informasi selama <30 detik dan mampu untuk mengeluarkannya kembali

b) Konsentrasi

Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatiannnya pada satu hal.Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk mengurangkan 7 secara berturut-turut dimulai dari angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata secara terbalik (Glisky, 2007).

4) Memori

Memori atau daya ingat dan proses belajar merupakan satu kesatuan. Belajar merupakan proses untuk memperoleh informasi atau pengetahuan baru, sedangkan memori adalah

(21)

proses penyimpanan informasi tersebut serta dapat mengingatnya kembali bila dibutuhkan. Proses ingat-mengingat adalah :

a) Encoding, di mana suatu informasi dari dunia luar akan

ditera dan didistribusikan ke beberapa unit penyimpanan di otak sebelum unit tersebut dapat mempelajari materinya. b) Konsolidasi merupakan penyimpanan informasi tersebut

yang lebih permanen.

c) Retrieval adalah mengingat kembali bahan informasi yang

telah disimpan. Memori terdiri atas :

a) Daya ingat sesaat (Immediate Memory) yaitu informasi yang hanya disimpan selama beberapa detik saja; contoh, memutar nomor telpon sambil melihat nomor tersebut di buku telpon, di mana orang lupa nomor tersebut setelah memutarnya.

b) Daya ingat jangka pendek (Short-term Memory) yaitu informasi dapat diingat setelah beberapa menit memperhatikan dan menghafalnya contoh, memutar nomor telpon sambil menghafalnya. Dapat bertahan dalam beberapa menit atau jam.

c) Daya ingat jangka panjang (Long - term Memory) yaitu informasi masa lampau masih dapat diingat. Ini merupakan

(22)

bank memori tentang apa yang diketahui dari pendidikan dan pengalaman, sebagian besar akan hilang setelah beberapa lama (Depkes, 1999).

d) Fungsi konstruksi

Mengacu pada kemampuan seseorang untuk membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah dirusak sebelumnya.

e) Kalkulasi

Kemampuan seseorang untuk menghitung angka. f) Penalaran

Kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak (Goldman, 2000).

c. Neurosains kognitif

1) Lobus frontalis

Korteks frontalis, khususnya area prafrontalis, membesar secara khusus pada manusia, dibandingkan dengan spesies lain. Secara anatomis, girus frontalis superior, medial dan inferior membentuk aspek lateral dari lobus frontalis. Secara fungsional, korteks motorik, korteks pramotorik dan korteks asosiasi prafrontalis adalah bagian yang utama. Korteks motorik terlibat dalam pergerakan otot spesifik; korteks

(23)

pramotorik terlibat dalam gerakan terkoordinasi berbagai otot; dan korteks asosiasi terlibat dalam integrasi informasi sensoris yang diproses oleh korteks sensorik primer.

Jalur dari dan ke lobus frontalis adalah banyak dan kompleks, tetapi satu kelompok jalur yang menghubungkan area prafrontalis dan nukleus mediodorsal dari talamus mempunyai kaitan dengan gangguan psikiatrik. Daerah magnoselular dari nukleus talamik menonjol keluar ke aspek orbital dan medial dari area prafrontalis; daerah parviselular menonjol keluar ke arah dorsolateral. Lesi yang mengenai jalur magnoselular menyebabkan hiperkinesis, euforia dan perilaku yang tidak sesuai, kadang-kadang disebut sebagai sindrom pseudopsikotik. Lesi yang mengenai jalur parviselular menyebabkan hipokinesis, apati dan gangguan kognisi, kadang-kadang disebut sindrom pseudodepresi. Gejala tambahan dapat berupa dandanan yang buruk, retardasi psikomotor, penurunan perhatian, kekerasan motorik, kesulitan perubahan mental dan kemampuan abstrak yang buruk.

Fungsi utama korteks frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian dan aspek produksi bahasa (Kaplan & Sadock, 1997).

2) Lobus temporal

(24)

Lobus temporalis, terletak di setiap sisi kepala berperan dalam fungsi memori, terutama bagian medial di mana terdapat dua struktur penting, yaitu hipokampus dan amigdala.(Kaplan& Sadock, 1997).

3) Hipokampus

Hipokampus berperan sebagai gerbang memori yang harus dilewati ketika memori baru menuju penyimpanan permanen (korteks). Hipokampus tidak menerima langsung input dari neokorteks. Data yang diterimanya berasal dari area asosiasi yang ditransmisikan terlebih dahulu ke korteks entorinal atau amigdala sebelum ke hipokampus.Kerusakan pada hipokampus dapat berakibat amnesia anterograde, dimana pasien tidak mampu membentuk memori baru, sedangkan memori lamanya masih tersimpan dengan baik. (Kaplan& Sadock, 1997).

4) Amigdala

Amigdala, terletak di samping hipokampus dalam lobus temporalis medial, merupakan struktur penting dalam memori emosional. Seseorang dengan kerusakan pada amigdala mungkin dapat mengingat kejadian yang pernah dialaminya, tetapi tidak bisa mengingat kandungan emosi di dalamnya. Selain penting dalam fungsi memori, lobus temporalis juga penting dalam fungsi bahasa, di mana terdapat struktur penting, yaitu area Wernicke, yang terletak di sekeliling girus Heschl di

(25)

bidang superior temporal.Serat-serat auditorik berjalan dari badan genikulatus medial dari talamus ke girus Heschl pada bidang superior temporal.Di sekeliling girus Heschl adalah korteks auditorik yang dikenal sebagai area Wernicke. Serat-serat dari area Wernicke diproyeksikan ke area Broca di lobus frontal inferior melalui fasikulus arkuatus dan mungkin jalur substansia alba lainnya. Area Broca dapat dianggap sebagai korteks motorik.Sebagai perluasan dari korteks premotorik, area Broca dapat membuat kode yang menghasilkan program artikulasi untuk area korteks motorik yang melayani pergerakan mulut, lidah dan laring (Goldman, 2000).

5) Lobus Parietalis

Lobus parietalis superior dan lobul parietalis inferior membentuk lobus parietal. Lobus parietalis inferior termasuk girus supramarginalis dan girus angularis. Korteks asosiasi untuk input visual, taktil dan auditoris terkandung dalam lobus parietalis. Lobus parietalis kiri mempunyai peranan istimewa dalam proses verbal; lobus parietalis kanan mempunyai peranan yang lebih besar dala proses visual-spasial (Kaplan dan Sadock, 1997).

d. Kognitif pada Lansia

(26)

Setiati (2006) menyebutkan adanya perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi tranmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Penurunan menyeluruh pada fungsi sistem saraf pusat dipercaya sebagai kontributor utama perubahan dalam kemampuan kognitif dan efisiensi dalam pemrosesan informasi (Papalia, 2008). Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang. Perubahan ini telah dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi otak. (Myers, 2008) menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, penciutan saraf dan dismorfologi, pengurangan densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan penurunan kemampuan perbaikan DNA. Raz dan Rodriguez (2006) juga menambahkan terjadinya hiperintensitas substansia alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang (Myers,

(27)

2008). Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif (Myers, 2008).

3. Insomnia

a. Definisi

Insomnia adalah kesukaran dalam memulai atau mempertahankan tidur di mana periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik secara terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan (Kaplan dan Saddock, 1997).

b. Fisiologi dan Siklus Tidur Normal

Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hipotalamus. Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia

(28)

ventrikulo retikularis medulo oblongata yang disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblongata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state (Japardi, 2002).

Tidur dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe Rapid Eye Movement

(REM) dan Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur NREM terdiri dari 4 stadium, yaitu stadium I, II, III, IV. Proses tidur dimulai dari stadium I, II, sampai IV, kemudian ke tidur yang terdalam (tidur dengan gelombang lambat), lalu kembali ke stadium III dan II menuju ke fase REM. (Setiati dan Laksmi, 2005)

Pola siklus tidur dan bangun (irama sikardian), adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu bagian di hipothalamus yang disebut Nucleus Supra-Chiasmatic

(NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmitter yang mempengaruhi pengeluaran hormon pengatur temperatur badan, kortisol, Growth Hormone (GH) dan lain-lain yang mempengaruhi peranan untuk bangun dan tidur. NSC bekerja seperti jam meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperature badan, kortisol, dan GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba,

(29)

NSC merangsang pengeluaran hormon melatonon sehingga orang tertidur. Hormon melatonin adalah hormon yang mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperature badan dan kortisol (Rahayu, 2006).

c. Perubahan Tidur Akibat Proses Menua

Walaupun terdapat perbedaan besar dalam pola tidur tiap individu, Orang usia lanjut pada umumnya memiliki waktu tidur total lebih sedikit daripada orang yang lebih muda. Secara fisiologis, terdapat perubahan tidur seiring dengan penambahan usia (proses penuaan), yaitu meningkatnya proporsi tidur stadium I dan terbangun lebih sering, dan menurunnya proporsi tidur stadium III dan IV, waktu latensi tidur REM dan effisiensi tidur (Setiati dan Laksmi, 2005). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah malam akibat penurunan fisis karena usia dan penyakit yang dideritanya, sehingga kualitas tidur secara nyata menurun. Faktor-faktor ini dapat mengakibatkan kemerosotan pada kualitas tidur dan tidur total kurang. Seiring proses penuaan, lamanya tidur REM cenderung lebih panjang, tetapi latensi tidur secara signifikan menurun, menunjukkan bahwa usia lanjut lebih mengantuk daripada populasi muda (Kamel dan Gammack, 2008).

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur bnormal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap terang. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur

(30)

tubuh menjadi berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormone yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

d. Klasifikasi dan Etiologi Insomnia

1) Dari sisi etiologi, ada 2 macam insomnia (Kaplan dan Saddock, 1997) yaitu:

a) Insomnia primer

Pada insomnia primer, terjadi hyperarousal state dimana terjadi aktivitas ascending retikular activating system yang berlebihan. Pasien bisa tidur tapi tidak merasa tidur.Masa tidur REM sangat kurang, sedangkan masa tidur NREM cukup, periode tidur berkurang dan terbangun lebih sering. Insomnia primer ini tidak berhubungan dengan kondisi kejiwaan, masalah neurologi, masalah medis lainnya, ataupun penggunaan obat-obat tertentu. b) Insomnia sekunder

Insomnia sekunder disebabkan karena gangguan irama sirkadian, kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis lainnya, atau reaksi obat. Insomnia ini sangat sering terjadi pada orang tua.Insomnia ini bisa terjadi karena psikoneurotik dan penyakit organik.Pada orang denga insomnia karena psikoneurosis, sering didapatkan keluhan-keluhan non organik seperti sakit kepala, kembung, badan pegal yang mengganggu tidur. Keadaan ini akan lebih parah jika orang tersebut mengalami ketegangan

(31)

karena persoalan hidup. Pada insomina sekunder karena penyakit organik, pasien tidak bisa tidur atau kontinuitas tidurnya terganggu karena nyeri organik, misalnya penderita arthritis yang mudah terbangun karena nyeri yang timbul karena perubahan sikap tubuh. 2) Berdasarkan waktu terjadinya insomnia (Ibrahim, 2001) dibagi

menjadi:

a) Initial Insomnia

Yaitu kesulitan untuk memulai tidur. Biasanya terdapat pada pasien gangguan jiwa dengan ansietas.

b) Middle Insomnia

Ditandai dengan seringnya terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk tidur kembali. Biasanya terdapat pada pasien depresi.

c) Late Insomnia

Yaitu sering bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali. Biasanya ditemukan pada pasien depresi. (Joewana, 1988)

3) Berdasarkan lamanya insomnia terbagi dalam tiga golongan besar, yaitu:

a) Transient Insomnia/Insomnia Sekilas

Jika lamanya kurang dari 4 minggu. Biasanya terjadi pada orang yang tidur secara normal, tetapi mengalami kesulitan tidur karena suatu stres yang berlangsungnya tidak terlalu lama,

(32)

misalnya pada perjalanan jauh dengan kapal terbang yang melampau zona waktu hospitalisasi

b) Short Term Insomnia

Yaitu insomnia jangka pendek.Terjadi antara 4 minggu sampai 36 bulan. Sering dihubungkan denga stres. Situasional seperti duka cita, kehilangan orang yang dicintai, menghadapi ujian/wawancara pekerjaan (Kaplan & Sadock, 1997).

c) Long Term Insomnia/Insomnia Kronik

Insomnia jangka panjang yang terjadi lebih dari 36 bulan, bahkan sampai bertahun-tahun (Rudi, 1988). Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur. Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau pikiran negatif terhadap tidur (sudah berpikir tidak akan bisa tidur) ( Japardi, 2002).

4) Berdasarkan berat ringannya (Dohrmaji, 2006), insomia terbagi: a) Mild Insomnia

Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, tanpa atau sedikit mengalami penurunan kualitas hidup.

b) Moderate Insomnia

(33)

Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, di sepanjang malam. Penderita insomnia jenis ini akan mengalami penurunan kualitas hidup yang relatif sedang.

c) Severe Insomnia

Yaitu kesulitan dalam memulai dan mempertahankan tidur, di sepanjang malam dan hampir di setiap hari. Biasanya diikuti dengan penurunan beratkualitas hidup.

e. Faktor Penyebab Insomnia

1) Gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan dengan gangguan klinik sebagai berikut (Prayitno, 2002): a) Apnea tidur

b) Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan, gerakan mendadak pada tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau bilateral, keluhan berupa “tungkai gelisah” (restless leg), tungkai kaku waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi.

c) Berbagai konflik emosional dan stres merupakan penyebab psikofisiologik dari insomnia.

d) Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali menimbulkan bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia.

e) Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena arthritis, penyakit keganasan, nocturia, penyakit hati atau ginjal

(34)

dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam.

f) Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan insomnia. Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam.

g) Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan beta-blockers dapat menginterupsi tidur.

2) Rahayu (2007) menjelaskan ada beberapa faktor penyebab insomnia pada lansia, yaitu:

a) Perubahan-perubahan irama sirkadian b) Gangguan tidur primer

c) Penyakit-penyakit fisik (hipertiroid, arthritis) d) Penyakit-penyakit jiwa (depresi, gangguan ansietas) e) Pengobatan polifarmasi. Alcohol, kafein

f) Demensia

g) Kebiasaan hygiene tidur yang tidak baik

h) Penyakit kronis yang menyebabkan nyeri (misalnya arthritis) terbatasnya pergerakan (misalnya Parkinson), atau kesulitan bernafas.

f. Simptom Insomnia

Simptom insomnia dapat meliputi salah satu atau lebih simptom di bawah ini:

1) Kesulitan tidur

(35)

2) Bangun tidur secara berkala saat malam hari dengan kesulitan untuk kembali tidur

3) Bangun terlalu pagi di pagi hari

4) Tidur yang tidak menyegarkan (rasa lelah saat bangun dan selama keseharian)

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

· Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk.

· Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan.

· Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.

· Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan (Buysse et al., 2005).

g. Akibat Insomnia

Akibat gangguan tidur, deprivasi tidur, dan merasa mengantuk yaitu penurunan produktivitas, penurunan performa kognitif, peningkatan kemungkinan kecelakaan, resiko morbiditas dan mortilitas lebih tinggi, penurunan kualitas hidup (Rafknowledge, 2004).

(36)

Kualitas tidur yang buruk dikaitkan dengan penurunan memori dan konsentrasi, dan gangguan kinerja dalam uji psikomotorik. Gangguan tidur juga dikaitkan dengan peningkatan risiko jatuh, penurunan kognitif, dan tingkat kematian lebih tinggi. Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang normal (Kamel dan Gammack, 2006). h. Insomnia pada lanjut usia

Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita dan pada kelompok usia lebih lanjut. Lebih dari 50% usia lanjut mungkin mengeluhkan kesulitan waktu tidur malam (Lumbantobing, 2004).

Perubahan-perubahan ini berbarengan dengan perubahan fisik lain. Umumnya dorongan homeostatik untuk tidur lebih dulu menurun, baru diikuti oleh dorongan irama sirkadian untuk terjaga. Sehingga kita sering melihat orang tua yang sebelumnya menderita insomnia, tapi setelah lanjut usia adalah insomnia sekunder. Insomnia ini bisa terjkadi karena psikoneurosis dan penyakit organik (Turana, 2007).

(37)

Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur dalam (delta sleep) lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan rapid eye

movement (REM) (Kamel dan Gammack, 2006).

Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang disekresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan meningkatnya umur (Rahayu, 2006).

4. Hubungan Insomnia dengan Fungsi Kognitif pada Lansia

Insomnia dan gangguan kognitif merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Namun penelitian yang menghubungkan keduanya masih sedikit sekali. Penelitian yang dilakukan Halmov dan Valdas (2009) menyebutkan bahwa insomnia kronis pada lansia menyebabkan penurunan pada fungsi memori, atensi pada satu target, perkiraan waktu dan integrasi dua dimensi. Penelitian lain menyebutkan, insomnia dengan waktu tidur

(38)

yang sedikit berhubungan erat dengan hiperkortisolemia, peningkatan aktifitas katekolamin dan saraf simpatis. Semakin meningkatnya penurunan memori berkaitan dengan tidur berhubungan dengan peningkatan kortisol (Lee et al., 2007). Dilihat dari adanya hubungan erat antara waktu tidur yang pendek dengan hiperkortisolemia, dapat disimpulkan bahwa insomnia kronik berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif (Fernandez-Mendoza

et al. 2010). Pengaruh langsung kortisol terhadap gangguan kognitif belum

ditemukan.

Simpulan lain dinyatakan oleh O’Brien et al. (2004), yang menyebutkan bahwa peningkatan kortisol tidak menyebabkan penurunan fungsi kognitif secara signifikan, melainkan karena adanya penurunan volume hippocampus. Penurunan volume hipokampus dapat disebabkan oleh insomnia kronis (Riemann et al., 2007).

(39)

B. Kerangka Pemikiran

Penurunan Volume Hipokampus Penurunan pada :

1. Fungsi Memori 2. Atensi pada 1

Target

3. Perkiraan Waktu 4. Integrasi 2 Dimensi

Insomnia

Hiperkortisolemia Kronis

Penurunan Fungsi Kognitif Kesulitan Memulai Tidur dan Mudah Terbangun saat Tidur

Lansia

Gangguan Psikis Penuaan

Penyakit Kronis yang Mengganggu Tidur

(40)

C. Hipotesis

Ada perbedaan fungsi kognitif pada kansia yang insomnia dan tidak insomnia.

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan pendekatan

cross sectional.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta selama bulan September-November 2011

C. Subjek penelitian

Penelitian dilakukan pada pria dan wanita lansia yang menghuni Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, dengan kriteria sebagai berikut

1. Kriteria inklusi :

a. Pria atau wanita usia 60 - 80 tahun

b. Tinggal di Panti Wredha Surakarta minimal selama 6 bulan c. Lolos tes L-MMPI

d. Bersedia menjadi responden penelitian 2. Kriteria eksklusi :

a. Memilki riwayat stroke dan dementia

(42)

D. Teknik Sampling

. Teknik sampling yang digunakan adalah dengan metode total

sampling. Total sampling yaitu mengambil semua sampel yang ada dalam

populasi tersebut karena populasi kurang dari 100 (Arikunto, 2006).

E. Rancangan Penelitian

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel

Lansia Usia 60 - 80 Tahun di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta

Informed concent

KSPBJ Insomnia Rating Scale

MMSE

Analisis data dengan Uji t Hasil

(43)

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Insomnia 2. Variabel tergantung : Fungsi kognitif 3. Variabel perancu :

a. Terkendali : Usia, status gizi

b. Tak terkendali : Faktor psikis, riwayat penyakit degeneratif

G. Definisi Opersional Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Insomnia dapat ditentukan dengan kuesioner Insommnia Rating Scale. Insomnia (+) bila skor ≥10 dan tidak insomnia (-) bila skor < 10 Skala : nominal

2. Variabel Terikat

Fungsi kognitif disini diukur dengan uji Mini Mental State

Examination (MMSE).

Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan :

a. Skor 24 - 30 diinterpretasikan sebagai fungsi kognitif normal b. Skor 17 - 23 berarti probable gangguan kognitif

c. Skor 0 - 16 berarti definite gangguan kognitif Skala : interval

(44)

H. Instrumen penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara member seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiono, 2006)

Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Kuesioner berisi biodata

2. Kuesioner L-MMPI

Instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk dijawab responden dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak sesuai dengan perasaan dan keadaan responden. Responden dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya bila jawaban ”tidak” berjumlah 10 atau kurang.

3. KSPBJ – IRS

(45)

keluhan tidur (Yul Iskandar, 1985). Insomnia (+) bila skor ≥10 dan tidak insomnia (-) bila skor < 10

4. MMSE

MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif. MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30 poin yang dikelompokkan menjadi 7 kategori : orientasi terhadap tempat (negara, provinsi, kota, gedung dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan, hari dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100, atau mengeja kata WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami suatu kalimat, menulis kalimat dan mengikuti perintah 3 langkah), dan kontruksi visual (menyalin gambar).

Interpretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada saat pemeriksaan :

(46)

2. Skor 17-23 berarti probable gangguan kognitif

3. Skor 0-16 berarti definite gangguan kognitif

I. Cara Kerja dan Teknik Pengambilan Data

1. Responden mengisi kuesioner data pribadi yang telah disediakan 2.Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mengetahui angka

kebohongan sampel. Bila responden menjawab “tidak” maka diberi nilai 1.Bila didapatkan angka lebih besar atau sama dengan 10 maka respondeninvalid dan dikeluarkan dari sampel penelitian.

3. Responden mengisi KSPBJ IRS untuk mengetahui adakah insomnia pada responden. Bila didapatkan nilai lebih besar atau sama dengan 10 maka sampel dikatakan mengalami insomnia.

4. Responden mengisi MMSE untuk mengetahui adakah penurunan fungsi kognitif pada responden. Bila didapatkan nilai kurang dari atau sama dengan 23 maka sampel dikatakan mengalami penurunan fungsi kognitif.

J. Teknik Analisis Data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik analisis data komaparasi t-test. Uji t adalah uji yang membandingkan rata-rata dari 2 populasi yang bersifat independen.

(47)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Sampel

Penelitian dilaksanakan pada bulan September-November 2011 di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta.Subyek penelitian adalah lansia berumur 60-80 tahun penghuni Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta. Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 85 orang. Dari 85 orang tersebut, sampel yang memenuhi criteria inklusi penelitian sebanyak 33 orang, sampel yang gugur sebanyak 52 orang. Sampel gugur karena eksklusi 12 orang, 20 orang mengalami psikosis, 17 orang tidak dapat diberikan kuesioner dan 3 orang tidak dapat berkomunikasi.

Tabel 4.1.Distribusi sampel berdasarkan umur

No Usia Jumlah Persentase

1

2

60 - 70

> 70 - 80

13

20

39,4 %

60,6 %

Total 33 100 %

Sumber : data primer, 2011

(48)

Tabel 4.2.Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasar tabel 2 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini responden laki-laki lebih banyak dibandingkan responden perempuan. Persentase yang didapatkan yaitu 51,5% respondenl aki-laki dan 48.5% perempuan dari keseluruhan jumlah responden sebanyak 3 orang.

B. Analisis Statistika

Peneliti mengambil 25 % sampel yang memiliki skor KSPBJ IRS tertinggi dan 25 % lagi dari yang terendah untuk mendapatkan hasil yang lebih signifikan. Untuk mengetahui adanya perbedaan yang bermakna antara fungsi kognitif pada lansia dengan skor IRS tinggi dan rendah digunakan uji

t-independent dengan program SPSS 17.00.Uji t-independent termasuk

dalam uji parametrik sehingga memiliki syarat di mana data harus terdistribusi normal, sebaran data homogen, dan sampel diambil secara acak. Sedangkan untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak, dilakukan uji normalitas. Uji normalitas yang dilakukan pada

(49)

analitik. Cara analitik memiliki tingkat objektivitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan deskriptif sehingga dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk (Dahlan, 2005).

Tabel 4.3. Hasil uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk

D

ari tabel 4.3, diketahui hasil uji normalitas data yang dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test. Dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 berarti bahwa data tersebut terdistribusi secara normal, sebaliknya bila nilai signifikan hitung < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal. Karena nilai p untuk sebaran data fungsi kognitif 0.355, maka distribusi data tersebut normal, karena nilai p > 0.05.Oleh karena itu, penelitian ini dapat menggunakan uji t.

Tabel 4.4. Hasil Uji t tentang perbandingan fungsi kognitif menurut skor

IRS

Kelompok N Mean SD Uji t p

Data Nilai p Keterangan

Skor IRS tinggi 0.876 Distribusi data normal

Skor IRS rendah 0.120 Distribusi data normal

(50)

Skor IRS tinggi 8 16.25 4.46 3.195 0.007

Skor IRS rendah 8 24.25 5.50

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari hasil uji t, nilai p tentang perbandingan fungsi kognitif insomnia skor tinggi dan rendah adalah 0.031 yang berarti jika dilakukan penelitian yang sama 1000 kali, akan didapatkan 993 hasil yang sama dengan penelitian ini. Berdasarkan data-data tersebut dapat diintepretasikan secara statistik bahwa terdapat perbedaan fungsi kognitif yang signifikan antara pasien dengan insomnia grade tinggi dan rendah

(51)

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Panti Wredha Dharma Bakti Surakarta, didapatkan data-data seperti yang telah disajikan dalam tabel-tabel pada Bab IV.

Tabel 4.1 menunjukkan distribusi sampel menurut umur, dimana sebagian besar berumur 70 - 80 tahun (60,6 %) sisanya berusia 60 - 70 tahun (39,4 %). Tabel 4.2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, di mana jumlah sampel laki-laki (51,5 %), lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (38,5 %).

Tabel 4.3 menunjukkan uji normalisasi data dimana didapatkan hasil bahwa data terdistribusi normal sehingga dapat digunakan uji t yang ditunjukkan hasilnya pada tabel 4.4.

Hasil Uji t menunjukkan perbedaan yang signifikan antara fungsi kognitif pada lansia dengan skor IRS tinggi dan skor IRS rendah. Skor IRS tinggi pada sampel menunjukkan bahwa pasien insomnia, sedangkan skor IRS yang rendah menunjukkan bahwa pasien tidak insomnia. Hasil ini sesuai dengan teori, dimana insomnia dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif, terutama pada aspek memori dan konsentrasi. Di mana lebih dari 50 % lansia mengalami insomnia. (Rafknowledge, 2004; Kamel dan Gammack, 2006; Lumbantobing, 2004)

(52)

Insomnia berhubungan erat dengan hiperkortisolemia, peningkatan aktifitas katekolamin dan saraf simpatis. Di mana pada usia lanjut ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperature tubuh berfluktuasi. Melatonin, hormon yang disekresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan meningkatnya umur. Semakin meningkatnya penurunan memori berkaitan dengan tidur berhubungan dengan peningkatan kortisol. (Rahayu, 2006; Lee et

al., 2007; Fernandez-Mendoza et al. 2010). Teori lain dinyatakan oleh O’Brien

et al. (2004), yang menyebutkan bahwa peningkatan kortisol tidak menyebabkan

penurunan fungsi kognitif secara signifikan, melainkan karena adanya penurunan volume hippokampus. Penurunan volume hippokampus dapat disebabkan oleh insomnia kronis (Riemann et al., 2007).

Meskipun pada hasil penelitian menunjukkan hasil yang signifikan, namun penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan. Salah satunya adalah sedikitnya jumlah sampel yang valid. Dari 85 orang penghuni panti wredha, sampel yang memenuhi kriteria inklusi penelitian sebanyak 33 orang, sampel yang gugur sebanyak 52 orang. Sampel gugur karena eksklusi 12 orang, yaitu karena telah berumur lebih dari 80 tahun, memiliki riwayat penyakit stroke, dan tidak lolos L-MMPI. Sebanyak 20 sampel mengalami psikosis, sehingga sulit diajak bekerja sama. Sisanya, sebanyak 17 orang sudah mengalami cacat fisik yang berat sehingga harus tinggal di ruang isolasi dan sulit diberikan kuesioner, dan 3 orang mengalami kesulitan berkomunikasi. Faktor lain yang menyebabkan sedikitnya sampel yang didapat adalah cakupan penelitian yang sempit, di mana

(53)

penelitian hanya dilakukan di satu panti wredha saja, serta kurangnya waktu dalam melakukan penelitian.

Penelitian ini juga memiliki beberapa faktor yang dapat merancukan penelitian, seperti faktor psikis, pengaruh lingkungan, atau penurunan kognitif karena usia yang sudah tua.

(54)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan fungsi kognitif antara lansia yang insomnia dan tidak insomnia. Lansia yang mengalami insomnia lebih cenderung mengalami penurunan fungsi kognitif daripada lansia yang tidak mengalami insomnia.

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, maka saran-saran penulis adalah sebagai berikut:

1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut tentang perbedaan antara penurunan fungsi kognitif antara lansia yang insomnia dan tidak insomnia dengan sampel yang lebih banyak dan cakupan lebih luas. 2. Perlu adanya upaya mengetahui penyebab yang pasti dari insomnia yang

dialami oleh lansia untuk menentukan penanganan lebih lanjut.

3. Perhatian terhadap kesehatan penduduk lanjut usia perlu ditingkatkan, untuk mencegah adanya penurunan fungsi kognitif yang lebih dini.

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Revisi VI. Jakarta : PT Asdi Mahasatya

Buenaventura RD. Late Life Depression: Issues in Identification and Management. Breakfast Symposium. Eli Lilly, Bangkok. 12 August 2000. Buysse D. J., Germain A., Moul D., dan Nofzinger E. A. 2008. Chronic Insomnia.

Am J Psychiatry. 165(6): 678–686

Dorland, W.A.N., 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp: 1157

Fernandez-Mendoza J., Calhoun S., Bixler E. O., Pejovic S., Karataraki M., Liao D., Vela-Bueno A., et al. 2010. Insomnia with objective short sleep duration is associated with deficits in neuropsychological performance: A general population study. SLEEP. 33(4):459-465.

Glisky, E. L.Changes in Cognitive Function in Human Aging. In :Riddle D. R., (eds). Brain Aging: Models, Methods, and Mechanisms. Boca Raton : CRC Fields

Goldman, H.H., 2000. Review of General Psychiatry: An Introduction to

ClinicaL Medicine. 5th ed. Singapore: McGraw-Hill.

Halmov I. dan Vadas L. 2009. Sleep in Older Adults: Association between

Chronic Insomnia and Cognitive Functioning. PMID: 19630361

Harumwati, Rr. E., Gambaran Kognitif Pada Lansia. 2008. Universitas Sumatera Utara. Undergraduate Thesis

Hurlock, Elizabeth. 1990. Psikologi Perkembangan edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Pp 102-103

(56)

Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. http://www.library.usu.ic/download/japardi12.pdf. (3 Maret 2011).

Joewana, Satya. 1988. Psokopatologi Insomnia. Cermin Dunia Kedokteran No. 53 Kamel, S. N., Gammack J. K. 2006. Insomnia on Elderly : Cause, Approach and

Cure. Am J Medicine.119, 463-469

Kaplan, H.I.& Sadock, B.J., 1997. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2, edisi VII. Jakarta, Binarupa Aksara. Pp : 194-201.

Lee B. K., Glass T. A., McAtee M. J., Wand G. S., Bandeen-Roche K., Bolla K. I. dan Schwartz B. S. 2007. Associations of Salivary Cortisol With Cognitive Function in the Baltimore Memory Study. Arch Gen Psychiatry . 64(7):810-818.

Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan

Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta, Gadjahmada University Press,

pp : 68 -136.

Myers, J.S. 2008. Factors Associated with Changing Cognitive Function in Older Adults : Implications for Nursing Rehabilitation. Rehabilitation Nursing;

May/Jun 2008; 33, 3; ProQuest Medical Library pg. 117.

Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D., 2005. Human Development.10th ed. New York: McGraw-Hill.

Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Usia Lanjut (Psikogeriatrik) di Puskesmas. Depkes RI, 1999.

Prayitno, A., 2002. Gangguan Pola Tidur pada Kelompok Usia Lanjut dan

Penatalaksanaannya. J Kedokter Trisakti. 21:23-30

Rafknowledge. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur lainnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.Pp: 57-65.

(57)

Riwidikdo, Handoko. 2009. Statistik Kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. pp: 77-81

Scanlan, J.M., Binkin, N., Michieletto, F., Lessig, M., Zuhr, E., and Borson, S., 2007. Cognitive Impairmen, Chronic Disease Burden, and Functional Disability: A Population Study of Older Italians. The American Journal of

Geriatric Psychiatry, 2007; 15, 8; 716.

Setiati, S., Harimurti, K., dan Roosheroe, A.G., 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1335-1340

Setiati, S., dan Laksmi P.W., 2006. Insomnia in Geriatrics. Acta Med

Indonesia-Indonesia J Intern Med vol. 37

Taufiqurrahman M.A., 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu

Kesehatan. Surakarta. LPP UNS dan UNS Press.

Turana,Yudha. 2007. Gangguan Tidur : Insomnia.

http://www.medikaholistik.com (19 September 2008).

WHO. Definition of an older or elderly person. Available from URL : htttp://www.who.int/whosis/mds/mds _definition (3 Maret 2011)

Winocur, Gordon, et al., 2007. Cognitive Rehabilitation in the Elderly : An Evaluation of Psychosocial Factors. Journal of the International

Neuropsychological Society (2007), 13, 153–165.

Zulsita, Arni. 2010. Gambaran kognitif pada Lansia. Universitas Sumatera Utara. Skripsi.

Gambar

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data .....................................................................
Tabel 4.1.Distribusi sampel berdasarkan umur
Tabel 4.2.Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.3. Hasil uji normalitas data dengan Shapiro-Wilk
+3

Referensi

Dokumen terkait

Analisis makna dilakukan dengan bertolak dari pandangan Hutomo bahwa ada keterkaitan antara fungsi (junction) dan guna (use) dari cipta sastra terhadap komunitasnya,

Pemahaman tersebut ditujukan agar praktikan dapat mencapai keahlian (skill) yang harus dimiliki sehingga praktikan dapat melaksanakan setiap tugas yang

Menurut Akhmad Olih Solihin dan Khairul Hadziq (2010: 9) servis bawah dilakukan dengan cara melambungkan bola terlebih dahulu sebelum melakukan pukulan dengan ayunan

Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan oleh pembaca sebagai pedoman dalam mengenali permasalahan remaja dan juga kiat kiat dalam menanggulangi permasalahan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Model RGEC

kerja Pembuatan laporan mingguan tentang hasil pengamatan, diserahkan pada pertemuan berikutnya (waktu 1 minggu).. Pengambilan keputusan dalam

PENGARUH SERVICESC APE TERHADAP KEPUASAN PENGUNJUNG DI FLOATING MARKET LEMBANG.. Uni versitas Pendidikan Indonesia |