• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Konflik Dahrendorf Johnson Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Konflik Dahrendorf Johnson Indonesia"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Johnson, D. P. 2008. Contemporary Sociological Theory: An Integrated Multi-level Approach. New York: Springer.

Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Relasi Kewenangan dan Kepentingan-Kepentingan yang Berkonflik

Dahrendorf menolak tekanan kaum fungsionalis pada integrasi, nilai dan konsensus normatif, serta stabilitas karena berat sebelah; sebaliknya, dia berusaha untuk mendasarkan teorinya pada suatu perspektif Marxis yang modern, yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Tetapi tidak seperti aliran Frankfurt, Dahrendorf tidak menggunakan perspektif Marxis sebagai suatu dasar untuk kritik budaya yang radikal. Sebaliknya dia menekankan tingkat analisa struktur sosial. Khususnya, dia mengkritik Marx mengenai teori pembentukan kelas dan teori konflik kelasnya yang hanya relevan untuk tahap awal kapitalisme, bukan untuk masyarakat industri post-capitalist. Teori Dahrendorf ini lebih umum dari pada teori Marx, karena berlaku untuk masyarakat kapitalistik maupun masyarakat sosialistik (373).

Marx mendasarkan teorinya mengenai pembentukan kelas pada pemilihan alat produksi. Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang penting, dan bukan pemilikan alat produksi. Dalam tahap awal kapitalisme, mereka yang memiliki alat produksi mengontrol penggunaannya, tetapi ini tidak berarti bahwa ada hubungan intrinsik atau yang mengharuskan antara pemilikan dan kontrol. Karena kapitalisme berkembang dan perlahan-lahan berubah menjadi masyarakat post-capitalist, pemilikan yang sah atas alat produksi dan kontrol yang efektif sudah dipisahkan. Pemilikan alat produksi dalam masyarakat industri post-capitalist sudah tersebar secara meluas di kalangan pemegang saham, sedangkan kontrol yang efektif dilaksanakan oleh manajer atau eksekutif yang profesional. Meskipun manajer atau eksekutif tingkat tinggi mungkin memiliki sebagian besar dari saham itu dalam perusahaan itu, kontrol mereka bukanlah berasal dari pemilikannyaini, tetapi dari kedudukan posisi otoritasnya dalam perusahaan itu.

(2)

yang dimiliki pemegang saham itu bersifat laten atau potensial, tidak aktif. Kontrol yang laten dapat diubah menjadi kontrol yang aktif, hanya dengan mempengaruhi atau berjuang lewat manajer atau eksekutif yang berada dalam posisi otoritas dalam perusahaan itu atau kalau perlu dengan menggantikan mereka. Pusat perhatian Dahrendorf adlah struktur otoritas dari perusahaan industri lebih dari pada pola pemilikan.

Dahrendorf melihat teorinya lebih luas dari teori Marx, yang tidak hanya dapat diterapkan untuk prusahaan produksi di mana pemiliknya melaksanakan kontrol otoritatif, melainkan juga untuk tipe semua “asosiasi yang dikoordinasi secara imperatif”. Istilah yang dipinjam dari Weber ini menunjukkan suatu sifat yang selalu ada dalam semua tipe organisasi sosial atau sistem sosial. Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu “dikoordinasi secara impertif” dengan hubungan otoritas. Seperti dia katakan “.... otoritas merupakan suatu karakteristik dari organisasi sosial yang bersifat umum seperti masyarakat itu snediri”. Hubungan otoritas dapat diamati tidak hanya dalam perusahaan produksi yang dikontrol oleh pemiliknya, tetapi juga dalam birokrasi pemerintahan, partai politi, gereja, semua jenis organisasi sukarela, serikat buruh, dan organisasi profesional, dan sebagainya. Hubungan antara pemilik alat produksi dan bukan pemilik yang bekerja untuk mereka merupakan suatu hal khusus atau subtipe dari hubungan-hubungan otoritatif.

(3)

Marx merupakan suatu tipe khusus dalam sejarah; ini berarti bahwa pokok-pokok analisa Marx yang terinci itu, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk dapat diterapkan pada tipe masyarakat industri modern.

Bentuk Kelompok Konflik

Salah satu tujuan Dahrendorf adalah mengidentifikasi kondisi dimana kepentingan laten menjadi manifes dan menghantarnya menjadi kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Kondisi tersebut terbagai ke dalam bentuk teknis, politik, dan sosial (Dahrendorf, 1959: 157-205). Dalam kondisi teknis Dahrendorf mendiskusikan munculnya pemimpin dan pembentukan ideology. Dalam kondisi politik Dahrendorf menekankan tingkat kebebasan bagi kelompok untuk mengatur dan mengikat pada suatu tindakan kolektif. Kondisi sosial terutama meliputi langkah komunikasi antar anggota dari suatu kelompok semu (375).

Kondisi ini bervariasi untuk pembagian kelas konstituen yang berbeda. Diluar level minimal yang diperlukan bagi bentuk kelompok konflik, pemimpin dan ideologi sangat bervariasi dalam konteks kemampuan untuk mengerahkan dan mempertahankan tindakan kolektif kelompok. Sehubungan dengan kebebasan politik, satu bentuk ekstrim ditunjukkan oleh pemerintahan totaliter yang melarang adanya partai politik oposisi, serikat pekerja, maupun asosiasi sukarela lainnya. Bentuk ekstrim lainnya, masyarakat demokratis dan terbuka, memberikan berbagai toleransi bagi kelompok untuk mengejar kepentingannya, termasuk kelompok oposisi yang menyokong perubahan sosial. Akhirnya, tingkat komunikasi antara anggota dari kelas yang sama menjadi bervariasi untuk kelompok konflik yang berbeda, mencerminkan sebagian tingkat persebaran ekologi dari anggotanya atau variasi solidaritas internalnya.

(4)

berbeda . misalnya , individu yang mengantisipasi pindah ke posisi dominasi di masa depan lebih mungkin daripada yang lain untuk mendukung legitimasi struktur otoritas yang ada bukannya mengembangkan kesadaran kelas . faktor lain yang mempengaruhi kesadaran kelas dan mobilisasi kelompok konflik adalah tingkat konsistensi posisi kelas individu dalam pengaturan yang berbeda . marx telah menunjukkan bahwa mereka yang bawahan dalam peran kerja mereka juga bawahan dalam sistem politik , dalam tingkat kesejahteraan ekonomi, dan status mereka secara keseluruhan dalam masyarakat. meskipun status pekerjaan sangat penting karena ketergantungan masyarakat pada sumber daya material menyediakan dan jumlah waktu yang mereka habiskan di tempat kerja, Dahrendorf menunjukkan bahwa individu-individu dalam masyarakat industri modern biasanya milik berbagai asosiasi yang berbeda dan kelompok, dan status mereka mungkin berbeda dalam pengaturan yang berbeda. beberapa keterlibatan organisasi dapat menjadi sumber status yang tinggi dan manfaat lainnya, sementara yang lain mungkin berstatus rendah. Dahrendorf menekankan gagasan bahwa individu berbeda dalam hal apakah materi kesejahteraan mereka, tingkat otoritas, dan aspek lain dari status mereka konsisten atau tidak konsisten dalam berbagai organisasi dan pengaturan sosial di mana mereka mungkin terlibat.

Dahrendorf mengacu pada pola di mana statusnya individu konsisten dalam pengaturan sosial yang berbeda sebagai salah satu tinggi "superimposisi". Berbeda dengan situasi di mana individu memiliki status yang rendah atau bawahan dalam satu pengaturan tapi status yang tinggi dan pengaruh di negara lain (Dahrendorf, 1959:213-315). Dahrendorf menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat superimposisi, semakin besar probabilitas bahwa kesadaran kelas akan dikembangkan dan class action yang dilakukan. Dalam situasi seperti itu, konflik kemungkinan akan dibawa dari satu pengaturan atau asosiasi untuk pengaturan dan asosiasi lainnya. konflik umum tersebut akan mencerminkan baik dan memperkuat munculnya solidaritas kelas dan umum budaya kelas (Dahrendorf, 1959:191-193; 201-205).

Intensitas dan Kekerasan Konflik

(5)

keterlibatan dari pihak-pihak yang berkonflik. Apakah individu terlibat secara penuh dalam suatu konflik tertentu atau apakah konflik itu kecil mencerminkan pentingnya hasil untuk mereka terlibat didalamnya. Berlawanan dengan intensitas, konsep kekerasan menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan itu untuk mengejar kepentingannya. Tingkat kekerasan dapat sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh ketenangan sampai ke kekerasan terbuka termasuk kekerasan fisik atas manusia. Apakah alat yang digunakan itu bersifat kekerasan atau tidak untuk memecahkan konflik akan tergantung pada alternatif-alternatif yang ada. Apabila intensitas dan kekerasan konflik berhubungan satu sama lain, Dahrendorf berpendapat bahwa variabel-variabel ini secara konseptual berbeda dan dapat bervariasi.

Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas adalah tingkat keserupaan konflik di berbagai asosiasi yang berbeda serta tingkat mobilitasnya. Umumnya intensitas akan tinggi apabila terdapat tingkat keserupaan yang tinggi pula. Dalam situasi serupa energi yang dikeluarkan dalam konflik pada suatu asosiasi yang berbeda akan disatukan. Isu konflik itu sendiri menjadi satu dalam cakupan luas yang melampaui batas asosiasional tertentu. Dalam kasus yang ekstrem, masyarakat sebagai suatu keseluruhan di bagi dalam dua kelompok besar yang saling bermusuhan, dengan konflik yang mendalam yang menelan banyak energi dari sebagian besar masyarakat. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang luas dan mendalam dari tipe ini akan menjadi semakin besar kalau tak astu pun dari asosiasi yang terlibat ini memberikan kesempatan untuk mobilitas ke atas.

(6)

kelas subordinat itu bersifat absolute, maka konflik kelas mungkin akan keras. Sebaliknya kalau deprivasi itu hanya relatif singkat, konflik yang keras tidak mungkin terjadi meskipun intensitasnya tinggi.

Variabel yang paling penting dalam model Dahrendorf yang mempengaruhi derajat kekerasan dalam konflik kelas adalah tingkat dimana konflik itu secara eksplisit diterima dan diatur. Pengaturan konflik sangat erat kaiatannya dengan kondisi politik yang memepengaruhi kesadaran dan pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Pada ekstrim yang satu mereka yang berada dalam posisi domunasi berusaha untuk mengangkat kenyataan atau validitas antagonisme atau konflik didasarkan pada kelas dan mereka boleh melarang terbentuknya kelompok kepentingan konflik. Tanpa meliahat bagaimana usaha seperti itu bermaksud untuk menekan konflik dapat dibenarkan, konflik dan antagonisme tidak dapat dilenyapkan. Keduanya tertanam dalam struktur hubungan otoritas itu. Usaha untuk menekan atau mengangkat hanya membuatnya tertekan ke bawah permukaan, di mana dia bisa mendidih perlahan dan menjadi panas yang tidak diketahui untuk jangka waktu yang lam. Tetapi pelan konflik yang terpendam itu meledak ke luar. Jadi, pola totaliter adalah suatu pola di mana usaha untuk menekan konflik itu secara periodic di selingi oleh meledaknya perang keras. Berlawanan dengan pola totaliter ini, mereka yang berada dalam posisi dominasi dapat menerima secara eksplisit adanya kepentingan konflik dan menyediakan saluran untuk menyatukan dan merembuknya secara periodic, pengukuran akan kepentingan yang saling bertentangan itu akhirnya mengakibatkan berkurangnya manifestasi konflik yang keras. Tetapi masyarakat demokratis sangat bertentangan dengan masyarakat totaliter, menurut pengakuan yang eksplisit akan adanya kepentingan yang bertentangan dan akan oengembangan mekanisme pengaturan konflik. Pengaturan seperti itu, menurut Dahrendorf mengurangi kemungkinan kekrasan. Pengaturan konflik itu di dasarkan pada pengakuan yang ekspisit akan kenyataan dan kenenaran adanya konflik, artinya kedua belah pihak dilihat sebagai memiliki kepentingan yang saling bertentangan secara sah.

Model Konflik VS Model fungsional

(7)

struktur sosial daripada kalau menggunakan salah satunya saja. Ia menggambarkan asumsi yang berbeda dari dua perspektif seperti “dua wajah” di dalam masyarakat (Dahrendorf, 1959: 157-179). Teori fungsional menekankan stabilitas, integrasi, integrasi fungsional dan nilai konsensus. Teori konflik, sebaliknya, menekankan konflik yang terjadi secara alami dimana-mana, efek dari knflik dalam mempengaruhi perubahan sosial, ketidakseimbangan sumber dan kekuatan, langkah berbeda dari masing masing elemen dalam masyarakat berkontribusi untuk disintegrasi dan kegunaan paksaan untuk memelihra kontrol sosial (Dahrendorf, 1959:161-162). dapat disimpulkan perbedaan mendasar antara dua model tersebut tentu sangat besar. Seperti yang kita lihat, analisis milik Dahrendorf dari konflik dalam masyarakat industri modern tidak konsisten apabila mendasarkan asumsi teori konflik yang dia identifikasi. Sebagai contoh, dalam model konflinya,membangun pola model peraturan yang berkontribusi untuk memelihara keberadaan struktur otoritas, bukan disintegrasi dan perubahan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari perancangan hotel ini diha- silkan hotel yang terinspirasi dari bu- daya dan hasil seni kriya local sehingga citra keseluruhan bangunan terasa bu- daya

Kegiatan penyuluhan diawali dengan pemberian informasi tentang mencampur material dengan bahan dari abu batu saat mendirikan suatu bangunan yang memerlukan banyak

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahnya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “ judul “Pengaruh

Berdasarkan delapan dimensi yang mewakili variansi tingkat kejadian bencana alam di Indonesia (71.2%), dapat diringkas empat kelompok provinsi-provinsi dengan tipikal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan penerapan model pembelajaran penemuan terbimbing dengan demonstrasi menggunakan media bantu Geogebra

Hal inilah yang menarik peneliti untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh metode tanya jawab terhadap hasil belajar peserta didik kelas V SD Satya Bhakti

Secara tematik, pertanyaan dari Najwa Syihab mengandung tema harapan dari dirut Persija jakarta megenai hasil konkrit yang dapat dihasilkan oleh PSSI selama jeda dan

2015.“Pengaruh Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan, Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Pada Sektor Manufaktur Barang Konsumsi Yang