• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Kabinet pada Masa Demokrasi Liberal

09.58 Fauzan Al-Rasyid 25 comments

Dua partai terkuat pada masa Demokrasi Liberal adalah PNI dan Masyumi. Kedua partai ini silih berganti memimpin kabinet. Dengan sering bergantinya kabinet menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Kabinet-kabinet yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal adalah:

1. Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Setelah bentuk negara RIS dibubarkan, kabinet pertama yang membentuk NKRI adalah kabinet Natsir yang merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi dan PNI sebagai partai kedua terbesar menjadi oposisi. PNI menolak ikut serta dalam komite karena merasa tidak diberi kedudukan yang tepat sesuai dengan kekuatannya. Tokoh-tokoh terkenal yang mendukung kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir. Djoeanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusuma.

Program:

1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman;

2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan; 3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang;

4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat; 5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat. Hasil:

1. Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.

Kendala yang dihadapi:

1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).

(2)

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 tahun 1950 mengenai DPRD yang terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, Presiden Soekarno menunjuk Sartono, ketua PNI, untuk menjadi formatur. Hampir selama satu bulan Sartono membuat kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi, tetapi gagal. Akhirnya Sartono mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 23 hari (28 Maret 1951 – 18 April 1951). Kemudian presiden menunjuk Sukiman Wirosandjojo dari Masyumi dan menunjuk Djojosukarto sebagai formatur, mereka berhasil membentuk kabinet koalisi antara Masyumi, PNI, dan sejumlah partai kecil.

Program:

1. Menjamin keamanan dan ketentraman;

2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani;

3. Mempercepat persiapan pemilihan umum;

4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.

Hasil:

Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

(3)

1. Adanya pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran, mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dalam MSA ini terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI. Hal ini dikarenakan RI menjadi diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat, bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran terhadap barang-barang mewah.

3. Masalah Irian barat belum juga teratasi.

4. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam biangnya. Kabinet Wilopo dipimpin oleh Mr. Wilopo (tokoh PNI) dan mendapatkan dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program:

(4)

o Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD); o Meningkatkan kemakmuran rakyat;

o Meningkatkan pendidikan rakyat; o Pemulihan keamanan.

 Program luar negeri:

o Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda; o Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia; o Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Hasil:

Tidak ada hasil yang cukup signifkan dari Kabinet Wilopo.

Kendala yang dihadapi:

(5)

2. Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB, pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa penjajahan Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap sebagai miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya dari peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).

3. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.

4. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.

5. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Selain itu, peristiwa tersebut dijadikan sarana oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

(6)

Sastroamidjojo sebagai perdana menteri. Sementara itu Masyumi menjadi partai oposisi.

Program:

1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu; 2. Pembebasan Irian Barat secepatnya;

3. Pelaksanaan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB; 4. Penyelesaian pertikaian politik.

Hasil:

1. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.

2. Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Kendala yang dihadapi:

1. Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

2. Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menuntut Aceh sebagai Propinsi. Daud Beurueh (pimpinan PUSA) menilai bahwa tuntutan itu diabaikan dan menyatakan Aceh sebagian dari NII.

3. Terjadi peristiwa 27 Juni 1955, suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Peristiwa ini adalah masalah TNI-AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Setelah peristiwa 17 Oktober, Nasution mengundurkan diri sebagai KSAD dan digantikan oleh Bambang Sugeng. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti karena tugasnya dirasakan sangat berat dan permohonan tersebut disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo, tetapi Angkatan Darat di bawah KSAD Zulkifli Lubis menolak menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya

dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Ketika Bambang Utoyo dilantik pada tanggal 27 Juni 1955, TNI AD memboikot pengangkatan itu karena Bambang Utoyo adalah KSAD yang tidak pernah berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Tidak ada seorangpun panglima tinggi yang hadir dalam upacara tersebut meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.

4. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.

5. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

6. Munculnya konflik antara PNI dan NU. Hal ini menyebabkkan NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.

(7)

NU menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinet inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) Dalam kabinet ini Burhanudin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk partai oposisi.

Program:

1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah;

2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru;

3. Masalah desentralisasi, inflasi, dan pemberantasan korupsi; 4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;

5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif. Hasil:

1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih Konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Hasil seleksi ini menghasilkan empat partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.

2. Perjuangan diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.

3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.

4. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.

(8)

Kendala yang dihadapi:

Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin pun dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinet pun jatuh. Sehingga dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula. Tanggal 3 Maret 1956, Kabinet Burhanudin mengembalikan mandatnya kepada presiden. Kabinet ini merupakan kabinet peralihan dari DPR. Sementara ke DPR hasil Pemilu.

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada tanggal 20 Maret 1956 yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.

Program:

Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:

1. Perjuangan pengembalian Irian Barat;

2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD;

3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai; 4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara;

5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.

Selain itu, program pokoknya adalah:

1. Pembatalan KMB;

2. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, dan menjalankan politik luar negeri bebas aktif;

(9)

Hasil:

Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah pembatalan seluruh perjanjian KMB.

Kendala yang dihadapi:

1. Berkobarnya semangat anti-Cina di masyarakat.

2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer, seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.

3. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.

4. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.

5. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

7. Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)

Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, Presiden Soekarno menunjuk dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama kabinet Karya dengan programnya yang disebut Panca Karya dan Ir. Djuanda sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan zaken kabinet, yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.

Program:

(10)

2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia; 3. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB; 4. Perjuangan pengembalian Irian Barat;

5. Mempergiat dan mempercepat proses pPembangunan.

Hasil:

1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia karena lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.

2. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Dengan dibentulnya Dewan Nasional merupakan titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.

3. Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.

4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala yang dihadapi:

1. Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.

2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.

(11)

Berakhirnya kekuasaan kabinet:

Kabinet ini berakhir saat presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sejak itu mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

Jawaban Terbaik: Dampak positif sistem liberal:

1. Bisa mencapai kemajuan ekonomi yang pesat karena majunya industri dan sektor swasta.

2. Bersifat demokratis kepada warganya. Dampak negatif sistem liberal:

1. Terjadi kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin.

2. Masyarakat yang bebas membuat negara agak berbelit dalam membuat kebijakan yang kurang populer.

Dampak posistif sistem komunis/sosialis:

1. Kemerataan dalam perekonomian rakyatnya.

2. Pemerintah mudah mengendalikan warganya karena pemerintahan bersifat otoriter.

Dampak negatif sistem komunis/sosialis:

1. Sulit untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan ekonomi karena sektor swasta dan industri kurang berkembang.

2. Kurang mampu bersaing menghadapi kemajuan zaman.

Vamos · 5 tahun yang lalu

1

Jempol ke atas

0

Jempol ke bawah

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Positif :

(12)

sekarang.

2. Mempunyai sistem otoriter dari masing2 daerah, dan berkonsentrasi dalam satu pemerintahan.

Negatif :

1. Satu negara akan saling bekerja sama, menghancurkan satu sama lain, dan akan ada penghianatan.

2. Menjadi lebih selektif dalam menjadikan pemerintahan yang baik, untuk menghancurkan satu sama lain.

Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Pemilihan Umum Anggota DPR dan Konstituante Indonesia 1955)

Poster kampanye pada Pemilu 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia yang diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.

Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, dan kepala

(13)

Daftar isi

 1 Tahapan  2 Hasil

o 2.1 DPR

o 2.2 Konstituante

 3 Dekret Presiden  4 Referensi

Tahapan

Pemilu 1955 dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

 Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, diikuti oleh 29 partai politik dan individu.

 Tahap ke-dua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Hasil

Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen).

Partai-partai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Persatuan Rakyat Desa (bukan PRD modern), ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso).

DPR

Lihat pula: Daftar anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1956–1960

No

. Partai

Jumlah Suara

Persent ase

Jumlah Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2. Masyumi 7.903.886 20,92 57

(14)

No

. Partai

Jumlah Suara

Persent ase

Jumlah Kursi

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.091.160 2,89 8

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1.003.326 2,66 8

7. Partai Katolik 770.740 2,04 6

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5

9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia (IPKI) 541.306 1,43 4

10.Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 483.014 1,28 4

11.Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2

12.Partai Buruh 224.167 0,59 2

13.Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2

14.Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2

15.Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 200.419 0,53 2

16.Murba 199.588 0,53 2

17.Baperki 178.887 0,47 1

18.Persatuan Indonesia Raya (PIR)

Wongsonegoro 178.481 0,47 1

19.Grinda 154.792 0,41 1

20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia

(Permai) 149.287 0,40 1

21.Persatuan Dayak (PD) 146.054 0,39 1

22.PIR Hazairin 114.644 0,30 1

23.Partai Persatuan Tharikah Islam (PPTI) 85.131 0,22 1

24.AKUI 81.454 0,21 1

25.Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1

(15)

No

. Partai

Jumlah Suara

Persent ase

Jumlah Kursi

(PRIM)

27.Angkatan Comunis Muda (Acoma) 64.514 0,17 1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1

29. Lain-lain 1.022.433 2,71

-Jumlah 37.785.29

9 100,00 257

Konstituante

Lihat pula: Daftar anggota Konstituante 1956–1959

No

. Partai/Nama Daftar

Jumlah Suara

Persent ase

Jumlah Kursi

1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119

2. Masyumi 7.789.619 20,59 112

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91

4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80

5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 1.059.922 2,80 16

6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 988.810 2,61 16

7. Partai Katolik 748.591 1,99 10

8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10

9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Indonesia (IPKI) 544.803 1,44 8

10. Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) 465.359 1,23 7

11. Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3

12. Partai Buruh 332.047 0,88 5

13. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 0,40 2

(16)

No

. Partai/Nama Daftar

Jumlah Suara

Persent ase

Jumlah Kursi

15. Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI) 179.346 0,47 3

16. Murba 248.633 0,66 4

17. Baperki 160.456 0,42 2

18.Persatuan Indonesia Raya (PIR)

Wongsonegoro 162.420 0,43 2

19. Grinda 157.976 0,42 2

20.Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia

(Permai) 164.386 0,43 2

21. Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3

22. PIR Hazairin 101.509 0,27 2

23. Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 74.913 0,20 1

24. AKUI 84.862 0,22 1

25. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1

26.Partai Republik Indonesis Merdeka

(PRIM) 143.907 0,38 2

27. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1

28. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1

29. Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1

30. Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1

31. Radja Keprabonan 33.660 0,09 1

32.Gerakan Banteng Republik Indonesis

(GBRI) 39.874 0,11 1

33. PIR NTB 33.823 0,09 1

34. L.M.Idrus Efendi 31.988 0,08 1

35. Lain-lain 426.856 1,13

-Jumlah 37.837.10

(17)

Dekret Presiden

Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Kemudian pada 4 Juni 1960, Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Latar Belakang Pemilihan Umum 1955

Pemilu merupakan salah satu sarana untuk melaksanakan demokrasi guna mengikutsertakan rakyat dalam kehidupan bernegara, belum dapat dilaksanakan di tahun-tahun pertama kemerdekaan sekalipun ide tentang itu sudah muncul.

Selama masa Presiden Soekarno (1945-1965), yang melewati beberapa era seperti Revolusi fisik, Demokrasi Parlementer, dan Demokrasi Terpimpin, hanya sekali terjadi Pemilu, yaitu Pemilu 1955. Pemilu ini terjadi pada masa pemerintahan Perdana Menteri Buhanuddin Harahap dari Masyumi (29 Juli 1955-2Maret 1956). Akan tetapai peraturan yang dijadikan landasan dalam pemilihan umum 1955 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang telah disusun pada masa pemerintahan Perdana Menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1952-2 Juli 1953).1[1]

Adapun latar belakangnya diselengarakannya Pemilu 1955:

a) Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan.

b) Pertikaian Internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup menguras energi dan perhatian.

c) Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu ( UU pemilu baru disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan disahkan oleh kabinet wilopo)

Selain itu adanya dorongan oleh kesadaran untuk menciptakan demokrasi yang sejati, masyarakat menuntut diadakan Pemilu. Pesiapan Pemilu dirintis oleh kabinet Ali Sastroamijoyo I. Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk. Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955, Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap desa dan kota

(18)

dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-masing partai beruasaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.2[2]

Tujuan Pemilihan Umum 1955

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan untuk memilih anggota-anggota parlemen (DPR) dan Konstituante (Lembaga yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi negara). Adapun sistem Pemilu yang digunakan dalam Pemilu 1955 adalah sistem perwakilan proporsional. Dengan sistem ini, wilayah negara RI dibagi dalam 16 daerah pemilihan (dimana Irian Barat dimasukkan sebagai daerah pemilihan ke-16, padahal Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda, sehingga Pemilu tidak dapat dilangsungkan didaerah tersebut).3[3]

Dalam sistem perwakilan proporsional setiap daerah pemilihan mendapat sejumlah kursi berdasarkan jumlah penduduknya, dengan ketentuan setiap daerah berhak mendapat jatah minimum enam kursi di Konstituante dan tiga di Parlemen. Di setiap daerah pemilihan, kursi diberikan kepada partai-partai dan calon-calon anggota lainnya sesuai dengan jumlah suara yang mereka peroleh, sisa suara bisa digabungkan, baik antara berbagai partai di dalam suatu daerah pemilihan (kalau partai-partai bersangkutan sebelumnya telah menyatakan sepakat untuk menggabungkan sisa suara), maupun digabungkan untuk satu partai ditingkat nasional.4[4]

Adapun Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD yang dilaksanakan secara terpisah antara Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya

2 [2] Syafie, Inu Kencana, Azhari, SSTP, Sistem Politik Indonesia. (Refka Aditama :

Bandung) hlm:73

3 [3] Suwarno, Sejarah Politik Indonesia Modern (Yogyakarta:Ombak, 2012), hlm 98

(19)

karena kedekatan emosional. Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap biaya negara terlalu besar.5[5]

Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955

Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November. Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.

Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.

Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

a) Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.

b) Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.6[6]

Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.

5 [5] Muslim, Dudung Abdul,2004, Pemilu Dari Masa Ke Masa (1) (): Meneladani Para

Elite di Tahun 1955 (Online). http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada 29-9-2014

6 [6] Siregar, Insan Fahmi, Partai Masyumi dalam Dinamika Demokrasi di Indonesia

(20)

Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.

Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.

Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.

Hasil Pemilihan Umum 1955

Hasil Pemilu Tahap I (29 september 1955)

(21)

kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).7[7]

Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun 1955 :

No Nama Partai Julmlah

Suara Prosentase Jumlah Kursi 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2. Masyumi 7.903.886 20,92 57

3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39 5. Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII)

1.091.160 2,89 8 6. Partai Kristen Indonesia

(Parkindo) 1.003.326 2,66 8

7. Partai Katolik 770.740 2,04 6 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 753.191 1,99 5 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Partai Rakyat Nasional (PRN) 242.125 0,64 2 12

.

Partai Buruh 224.167 0,59 2

13

. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 219.985 0,58 2 14

. Partai Rakyat Indonesia (PRI) 206.161 0,55 2 15

.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

200.419 0,53 2 16

.

Murba 199.588 0,53 2

17 .

Baperki 178.887 0,47 1

18 .

Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro

178.481 0,47 1 19

.

Grinda 154.792 0,41 1

20

. Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 149.287 0,40 1 21 Persatuan Daya (PD) 146.054 0,39 1

7 [7] Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta:Balai

(22)

. 22 .

PIR Hazairin 114.644 0,30 1

23 .

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.

. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 77.919 0,21 1 26

. Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM) 72.523 0,19 1 27

.

Angkatan Comunis Muda (Acoma)

64.514 0,17 1 28 R.Soedjono Prawirisoedarso 53.306 0,14 1 29

. Lain-lain 1.022.433 2,71 1

37.785.29 9

100,0 0

257

Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.8[8]

Hasil Pemilu Tahap II

Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.

Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut:

No Nama Partai Jumlah

Suara 1. Partai Nasional Indonesia (PNI) 9.070.218 23,97 119

8 [8] Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta (Jakarta:Gramedia,1999) hlm:

(23)

2. Masyumi 7.789.619 20,59 112 3. Nahdlatul Ulama (NU) 6.989.333 18,47 91 4. Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.232.512 16,47 80 5. Partai Syarikat Islam Indonesia

(PSII)

1.059.922 2,80 16 6. Partai Kristen Indonesia

(Parkindo)

988.810 2,61 16 7. Partai Katolik 748.591 1,99 10 8. Partai Sosialis Indonesia (PSI) 695.932 1,84 10 9. Ikatan Pendukung Kemerdekaan

Partai Rakyat Nasional (PRN) 220.652 0,58 3 12

. Partai Buruh 332.047 0,88 2

13

. Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS) 152.892 040 2 14

.

Partai Rakyat Indonesia (PRI) 134.011 0,35 2 15

.

Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)

179.346 0,47 3 16

.

Murba 248.633 0,66 4

17 .

Baperki 160.456 0,42 2

18

. Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro 162.420 0,43 2 19

Persatuan Daya (PD) 169.222 0,45 3 22

.

PIR Hazairin 101.509 0,27 2

23 .

Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)

. Persatuan Rakyat Desa (PRD) 39.278 0,10 1 26

(24)

27

. Angkatan Comunis Muda (Acoma) 55.844 0,15 1 28

. R.Soedjono Prawirisoedarso 38.356 0,10 1 29

.

Gerakan Pilihan Sunda 35.035 0,09 1 30

.

Partai Tani Indonesia 30.060 0,08 1 31

.

Radja Keprabonan 33.660 0,09 1 32

. L.M.Idrus Effendi 31.988 0,08 1 35

Kelebihan dan Kelemahan dari Pelaksanaan Pemilihan Umum 1955 Kelebihan Pelaksanaan Pemilu 1955

Pemilu 1955 sekalipun merupakan yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia ternyata mempunyai beberapa catatan positif, antara lain :

a) Tingkat partisipasi rakyat sangat besar ( + 90 % dari semua warga punya hak pilih). Lebih dari 39 juta orang memberikan suara, mewakili 91,5 persen dari para pemilih terdaftar.

b) Prosentase suara yang sah cukup signifikan ( + 80 % dari suara yang masuk) padahal + 70 % penduduk Indonesia masih buta huruf.

c) Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.

Kelemahan Pelaksanaan Pemilu 1955

a) Krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.

9 [9] Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Jakarta (Jakarta:Gramedia,1999) hlm:

(25)

Pemilu 1955 bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat dari kegagalan Dewan Konstituante dalam menghasilkan konstitusi baru.

b) Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak.

Tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang representatif, stabilitas pemerintahan dan mampu menghasilkan konstitusi baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil. Selain itu, tidak adanya pemenang mayoritas juga menimbulkan masalah lain, dimana kekuasaan terbagi-bagi ke dalam berbagai aliran politik yang akhirnya mengakibatkan sistem pemerintahan saat itu menjadi tidak stabil.

c) Kekecewaan diantara Partai Politik

Jumlah partai lebih bertambah banyak dari pada berkurang, dengan dua puluh delapan partai mendapat kursi, padahal sebelumnya hanya dua puluh partai yang mendapat kursi. Beberapa pemimpin Masyumimerasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk mengintensifkan Islam ditingkat rakyat jelata.10[10]

10 [10] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta:Gadjah Mada University

Referensi

Dokumen terkait

Tugas dari admin yang penting lainnya adalah tanggung jawabnya dalam membuat salinan data sebagai cadangan dari data-data penting miliki suatu jaringan dari

bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 33 Tahun 2001 tentang Organisasi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja sudah tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Peraturan

[r]

Permainan (game) ini membahas tentang Petualangan Si Joody dimana dengan menggerakkan karakter dari Si Joody supaya menemukan Fiko serta untuk mendapatkan nilai tertinggi sesuai

Bahwa benar selanjutnya setelah situasi aman Saksi-III dan Saksi-IV menyusul Saksi-I dan Saksi-II yang telah berangkat ke Puskesmas dan disana Saksi-I, Saksi-II, dan

Terdapat perbe- daan yang nyata (P<0,05) pada panjang kepala, panjang midpiece, dan panjang ekor utama antara anoa dewasa (A) dan anoa muda (B) pada pewarnaan W (Tabel 4),

yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil pemeriksaan sementara yang telah disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan, OJK menetapkan laporan

1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, 34, .... Ibu Tini memiliki 2 buah deposito. Deposito pertama sebesar Rp. Dan deposito kedua sebesar Rp. Hitunglah tingkat bunga yang diperoleh Ibu