BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Stakeholder
Stakeholder, kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan
hubungannya dengan berbagai ilmu dan konteks, misalnya manajemen
bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumber daya alam, sosiologi, dan
lain-lain. Lembaga-lembaga public telah menggunakan istilah stakeholder
ini secara luas ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi
keputusan. Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah
entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus
meberikan manfaat bagi stakeholder nya. Dengan demikian, keberadaan
suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh
stakeholder kepada perusahan tersebut (Ghozali dan Chariri 2007:25).
Istilah pemangku kepentingan (stakeholder) merujuk kepada semua
pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan perusahan.
Dengan perkembangan akhir-akhir ini, stakeholder menyadari adanya hal
yang dapat menambah nilai suatu perusahaan. Salah satu cara nya adalah
dengan melakukan kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan
aktivitas sosial atau corporate social responsibility. Oleh karena itu, teori
pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi relevan untuk menjelaskan
pengembangan corporate social responsibility di perusahaan. Dengan
harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Manfaat tersebut
dapat dilakukan dengan cara menerapkan program corporate social
responsibility. Dengan adanya program tersebut pada perusahaan
diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan bagi karyawan, pelanggan,
dan mayarakat lokal. Sehingga diharapkan akan terjalin hubungan yang
baik antara perusahan dengan lingkungan sekitarnya.
2.1.2 Teori Agensi
Teori ini merupakan salah satu teori yang muncul dalam
perkembangan riset akuntansi yang merupakan modifikasi dari
perkembangan model akuntansi keuangan dengan menambahkan aspek
perilaku manusia dalam model ekonomi. Teori agensi mendasarkan
hubungan kontrak antara pemegang saham/pemilik dan
manajemen/manajer. Menurut teori ini, hubungan antara pemilik dan
manajer pada hakekatnya sukar tercipta karena adanya kepentingan yang
saling bertentangan.
Dalam teori agensi, hubungan agensi muncul ketika satu orang atau
lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) umtuk memberikan
suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan
keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Tujuan dari
teori agensi adalah, pertama, untuk meningkatkan kemampuan individu
(baik principal maupun agen) dalam mengevaluasi lingkungan di mana
keputusan harus diambil (The belief revision role). Kedua, untuk
pengalokasian hasil antara principal dan agen sesuai dengan kontrak kerja
(The performance evaluation role).
Konflik antara manajer dan pemegang saham atau yang sering
disebut dengan masalah keagenan dapat diminimumkan dengan suatu
mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan
kepentingan-kepentingan tersebut, sehingga timbul biaya keagenan (agency cost). Ada
beberapa alternatif untuk mengurangi agency cost, diantaranya adanya
kepemilikan saham oleh institusional dan kepemilikan saham oleh
manajemen (Haruman, 2008).
2.1.3 Teori Legitimasi
Menurut Dowling dan Pfeffer, legitimasi adalah hal yang penting
bagi organisasi, batasan-batasan yang ditekankan oleh norma-norma dan
nilai-nilai sosial, dan reaksi terhadap batasan tersebut mendorong
pentingnya analisis perilaku organisasi dengan memperhatikan
lingkungan. Hal yang mendasari teori legitimasi adalah kontrak sosial
antara perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan beroperasi dan
menggunakan sumber ekonomi (Ghozali dan Chariri, 2007:18).
Legitimasi perusahaan akan diperoleh jika terdapat kesamaan
antara hasil dengan yang diharapkan oleh masyarakat dari perusahaan,
sehingga tidak ada tuntutan dari masyarakat. Teori legitimasi menjadi
landasan bagi perusahaan untuk memerhatikan apa yang menjadi harapan
norma-norma sosial yang berlaku di tempat perusahaan tersebut
melangsungkan kegiatannya.
Hasil penelitian di atas menjelaskan bahwa legitimasi perusahaan
dapat ditingkatkan melalui corporate social responsibility. Untuk itu,
pengungkapan corporate social responsibility merupakan salah satu
bentuk perhatian perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Dengan
adanya program corporate social responsibility, perusahaan dapat
memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar, sehingga
masyarakat sekitar dapat menerima baik keberadaan perusahaan di
lingkungannya.
2.2. Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Menurut Untung (2008:1) corporate social responsibility adalah
komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan
ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial
perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap
aspek ekonomis, sosial,dan lingkungan. Keberadaan perusahaan idealnya
bermanfaat untuk masyarakat sekitar.Bahwa prinsip dasar corporate social
responsibility adalah pemberdayaan masyarakat setempat yang notabene miskin
agar terbebas dari kemiskinan.
Selain memberdayakan masyarakat, dari sisi perusahan, jelas agar
operasional berjalan lancar tanpa gangguan. Jika hubungan antara perusahaan dan
menurut Untung (2008:6) tampak bahwa manfaat corporate social responsibility
bagi perusahaan antara lain:
a. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi serta citra merek perusahaan. b. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial.
c. Mereduksi risiko bisnis perusahaan.
d. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha. e. Membuka peluang pasar yang lebih luas.
f. Mereduksi biaya, misalnya terkait dampak pembuangan limbah. g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders.
h. Memperbaiki hubungan dengan regulator.
i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. j. Peluang mendapatkan penghargaan.
2.3. Tipe industri
Tipe industri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu industri high-profile dan
low-profile. Perusahaan yang termasuk ke dalam tipe industri high-profile
merupakan perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas tingi terhadap
lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau tingkat kompetisi yang kuat
(Robert, 1992). Preston (1997) mengatakan bahwa perusahaan yang memiliki
aktivitas ekonomi yang memodifikasi lingkungan, seperti industri ekstraktif, lebih
mungkin mengungkapkan informasi mengenai dampak lingkungan dibandingkan
industri yang lain.
Perusahaan yang termasuk ke dalam industri low-profile adalah
perusahaan yang tidak terlalu memperoleh sorotan luas dari masyarakat manakala
operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan atau kesalahan pada aspek
tertentu dalam proses atau hasil produksinya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Robert (1992), perusahaan yang
pertambangan, kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agribisnis,tembakau
dan rokok, makana dan minuman, media dan komunikasi, energy (listrik),
enggenering, kesehatan serta transportasi dan pariwisata. Sedangkan perusahaan
yang termasuk ke dalam industri low-profile adalah bangunan, keuangan dan
perbankan, supplier peralatan medis, property, retailer, tekstil dan produk tekstil,
produk personal, dan produk rumah tangga.
2.4. Ukuran Dewan Komisaris
Menurut Fama dan Jensen (1983), ukuran dewan komisaris merupakan
mekanisme pengendalian tertinggi, yang bertanggungjawab untuk memonitor
tindakan manajemen puncak. Dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan
akan dipandang lebih baik, karena pihak dari luar akan menetapkan kebijakan
yang berkaitan dengan perusahaan lebih objektif dibanding perusahaan yang
memiliki susunan dewan komisaris yang hanya berasal dari dalam perusahaan.
Teori agensi telah digunakan secara luas dalam penelitian tentang dewan
komisaris, hal ini dilakukan dengan membagi tipe anggota dewan komisaris
menjadi dua, yaitu outside dan inside directors (Arifin, 2002). Dewan komisaris
yang terdiri dari inside dan outside director akan memiliki akses informasi khusus
berharga yang dapat membantu dewan komisaris dan menjadikannya sebagai alat
efektif dalam keputusan pengendalian (Fama dan Jensen, 1983).
Sedangkan menurut Mulyadi (2002) fungsi dewan komisaris itu sendiri
adalah mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen
tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan
pengendalian intern perusahaan.
Coller dan Gregory (1999) menyatakan bahwa semakin besar jumlah
anggota dewan komisaris maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO
dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif.
2.5. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk meghasilkan
keuntungan, baik yang berasal dari kegiatan operasional maupun yang berasal dari
kegiatan-kegiatan non operasionalnya. Profitabilitas menunjukkan suatu
keuntungan perusahaan. Profitabilitas yang tinggi juga menunjukkan suatu
perusahaan tersebut bekerja dengan baik. Profitabilitas merupakan salah satu
faktor yang dipertimbangkan dalam menilai sehat tidaknya suatu perusahaan
selain faktor modal, kualitas aktiva, manajemen, dan likuiditas. Profitabilitas
sebagai sekelompok rasio yang menunjukkan kombinasi dari pengaruh likuiditas,
manajemen aset, dan utang pada hasil operasi.
Menurut Houston (2010:146), rasio profitabilitas terdiri dari :
1. Margin Laba atas Penjualan (Profit Margin on Sales)
Rasio ini mengukur laba bersih per dolar penjualan; dihitung dengan membagi laba bersih dengan penjualan.
Rumusan :
Margin Laba atas Penjualan =Laba bersih
Penjualan X 100%
2. Pengembalian atas Total Aset (Return on Assets- ROA) Return on Assets adalahrasio laba bersih terhadap total aset. Rumusan :
Pengembalian atas total aset –ROA =Laba Bersih
3. Rasio Kemampuan Dasar untuk Menghasilkan Laba
Rasio kemampuan dasar untuk mengahsilkan laba (basic earning- BEP) adalah rasio yang menunjukkan kemampuan aset perusahaan dalam menghasilkan laba operasi; dihitung dengan membagi EBIT dengan total aset.
Rumusan :
Rasio kemampuan dasar untuk Menghasilkan laba (BEP) = EBIT
Total aset X 100%
4. Pengembalian Ekuitas Biasa (Return on Equity -ROE)
Return on Equity adalah rasio laba bersih terhadap ekuitas biasa; mengukur tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa. Rumusan :
Pengembalian atas ekuitas biasa- ROE=Laba Bersih
Ekuitas bIasa X 100%
Analisis rasio profitabilitas yang peneliti teliti adalah dengan
menggunakan ROA.ROA merupakan metode pengukuran yang objektif yang
didasarkan pada data akuntansi yang tersedia dan besarnya ROA dapat
mencerminkan hasil dari serangkaian kebijakan perusahaan.
2.6. Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang
mayoritas dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi, asset management dan kepemilikan institusi lain).
Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham terbesar sehingga
merupakan sarana untuk memonitor manajemen (Djakman dan Machmud, 2008).
Menurut Tarjo (2008) kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham
perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi,
Menurut Coffey dan Fryxell (1991) menemukan bahwa tingkat
pengungkapan corporate social performance yang tinggi akan menarik investor,
khususnya investor institusional. Kepemilikan institusional memiliki peranan
penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan
pemegang saham.Keberadan investor institusional dianggap mampu menjadi
mekanisme pengawasan yang efektif dalam setiap pengambilan keputusan,
sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba (Jensen dan
Meckling, 1976).
2.7. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang tipe industri, ukuran dewan komisaris, profitabilitas,
kepemilikan isntitusional, dan pengungkapan corporate social responsibility telah
banyak dilakukan oleh beberapa peneliti.
Adawiyah (2013) dengan hasil penelitian tipe industri, ukuran perusahaan,
dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social
responsibility. Leverage berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social
responsibility.
Diba (2012) dengan hasil penelitian kepemilikan saham pemerintah,
regulasi pemerintah dan ukuran industri berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan CSR di Indonesia. Kepemilikan saham asing, tipe perusahaan, dan
proftabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR di
Sulastri dan Indriani (2011) dengan hasil penelitian profitabilitas, size,
umur perusahaan dan ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Leverage tidak berpengaruh
terhadap pengungkapan tanggung jwab sosial perusahaan.
Sitepu dan Siregar (2008) dengan hasil penelitian dewan komisaris dan
profitabilitas berpengaruh terhadap jumlah informasi sosial yang diungkapkan.
Leverage, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap jumlah informasi
sosial yang diungkapkan.
Anggraini (2006) dengan hasil penelitian tipe industri berpengaruh
terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial. Kepemilikan manajemen,
financial leverage, biaya politis, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial.
Sembiring (2005) dengan hasil penelitian profitabilitas dan leverage tidak
berpengaruh negatif terhadap pengungkapan tangung jawab sosial.size, profile,
dan ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial.
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Variabel Penelitian Hasil Penelitian Adawiyah 2013 Variabel independen:
tipe industri, ukuran perusahaan,
profitabilitas, dan
leverage.
Tipe industri, ukuran perusahaan, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social responsibility. Leverage
Lanjutan Review Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Variabel Penelitian Hasil penelitian Pengungkapan corporate
pemerintah, dan ukuran
industry berpengaruh
signifikan terhadap
pengungkapan CSR di
Indonesia. Kepemilikan saham asing, tipe perusahaan, dan profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR di Indonesia. terhadap jumlah informasi sosial yang diungkapkan.
Leverage, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap jumlah informasi sosial yang diungkapkan. Sulastri dan
Deri
2011 Variabel Independen: profitabilitas, size, umur perusahaan, ukuran
Profitabilitas, size, umur perusahaan dan ukuran dewan komisaris berpengaruh
terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Leverage tidak
berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung
jawab sosial perusahaan.
Anggraini 2006 Variabel Independen:
tipe industry,
Tipe industry berpengaruh
terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial. Kepemilikan manajemen,
financial leverage, biaya politis, dan profitabilitas tidak
berpengaruh terhadap
pengungkapan tanggung
Lanjutan Review Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Variabel Penelitian Hasil penelitian
Sembiring 2005 Variabel
Independen: size
Size perusahaan, profile,
dan ukuran dewan
komisaris berpengaruh
prositif terhadap
pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Leverage dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
2.8. Kerangka Konseptual
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting. Berdasarkan pada kajian teori dan penelitian terdahulu mengenai
hubungan antara tipe industri, ukuran dewan komisaris, profitabilitas, kepemilikan
institusional, dan pengungkapan Corporate Social Responsibility, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat digambarkan dengan kerangka
Variabel Independen Variabel Dependen H1
H2
H3
H4
H5
Variabel Moderating
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Dalam penelitian ini, pengungkapan corporate social responsibility
menjadi variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas. Alasan peneliti untuk
menjadikan pengungkapan corporate social responsibility sebagai variabel
dependen untuk mengetahui apakah konsep pengungkapan corporate social
responsibility pada perusahaan tersebut dapat dipengaruhi oleh keempat variabel
bebas di atas.
Y = Pengungkapan
Corporate Social Responsibility
Z =Kepemilikan Institusional X1 =Tipe Industri
X2= Ukuran Dewan Komisaris
Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pengaruh Tipe Industri terhadap Pengungkapan Corporate Social
Responsibility
Tipe industri merupakan karakteristik yang dimiliki oleh perusahaan
yang berkaitan dengan bidang usaha, risiko usaha, karyawan
perusahaan, dan lingkungan perusahaan. Tipe industri dibedakan
menjadi dua jenis yaitu, industri high-profile dan industri low-profile.
Perusahaan yang termasuk ke dalam tipe industri high-profile
merupakan perusahaan yang mempunyai tingkat sensitivitas tingi
terhadap lingkungan, tingkat risiko politik yang tinggi, atau tingkat
kompetisi yang kuat.
H1: Tipe Industri berpengaruh terhadap Pengungkapan Corporate
Social Responsibility
b. Pengaruh Ukuran Dewan Komisaris terhadap Pengungkapam
Corporate Social Responsibility
Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan
pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar
mengungkapkan informasi corporate social responsibility, sehingga
dapat dijelaskan bahwa perusahaan yang memiliki ukuran dewan
komisaris yang lebih besar akan lebih banyak mengungkapkan
H2: Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan
Corporate Social Responsibility
c. Pengaruh Profitabilitas terhadap Pengungkapan Corporate Social
Responsibility
Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan, baik yang berasal dari kegiatan operasional
maupun yang berasal dari kegiatan-kegiatan non operasionalnya.
Profitabilitas menunjukkan suatu keuntungan perusahaan.
Profitabilitas yang tinggi juga menunjukkan suatu perusahaan tersebut
bekerja dengan baik.
H3: Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan Corporate
Social Responsibility
d. Pengaruh Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas
secara simultan terhadap Pengungkapan Corporate Social
Responsibility
Tipe industri, ukuran dewan komisaris dan profitabilitas merupakan
alat ukur untuk mengetahui apakah sebuah perusahaan telah
menerapkan pengungkapan corporate social responsibility.Dengan
tipe industri yang high-profile, jumlah dewan komisaris yang banyak,
dan profitabilitas yang tinggi menjadi penilaian bahwasannya suatu
H4: Tipe Industri, Ukuran Dewan Komisaris dan Profitabilitas
berpengaruh secara simultan terhadap Pengungkapan Corporate
Social Responsibility
e. Pengaruh Kepemilikan Institusional sebagai Variabel Moderating
dalam Memoderasi Hubungan antara Variabel Independen denga n
Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan
yang mayoritas dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan
asuransi, bank, perusahaan investasi, asset management dan
kepemilikan institusi lain). Kepemilikan institusional memiliki
peranan penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi
antara manajer dan pemegang saham. Tingkat pengungkapan
corporate social responsibility yang tinggi akan menarik investor,
khususnya investor institusional.
H5: Kepemilikan Institusonal mempengaruhi Tipe Industri, Ukuran
Dewan Komisaris dan Profitabilitas terhadap Pengungkapan
Corporate Social Responsibility
2.9 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang
kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Berdasarkan latar belakang
masalah, rumusan masalah, landasan teori dan kerangka konseptual, maka
H1: Tipe industri berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social
responsibility
H2: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan corporate
social responsibility
H3: Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan corporate social
responsibility
H4: Tipe industri, ukuran dewan komisaris, dan profitabilitas berpengaruh secara
simultan terhadap pengungkapan corporatesocial responsibility
H5: Kepemilikan institusional mempengaruhi tipeindustri, ukuran dewan
komisaris, dan profitabilitas terhadap pengungkapan corporate social