• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN (7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN (7)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

instrumentasinya dirangkai secara khusus sehingga pengukuran dapat dilakukan secara otomatis. Rangkaian tersebut menggunakan katup solenoid yang dapat diatur sebagai jaringan dan menggunakan spektrofotometer sebagai detektor. Instrumen pengukuran dapat dirangkai seperti pada Gambar 3.2.

Rangkain ini tersusun oleh beberapa komponen yakni, three way solenoid valve, spektrofotometer, pompa peristaltik, webcam, komputer (Software LabVIEW 2013) dan Arduino Uno. Pompa peristaltik akan menarik carrier ketika ketiga katup solenoid (V1, V2 dan V3) dalam keadaan nonaktif sehingga carrier

akan mengalir melalui katup solenoid pertama (V1) dan sampel dapat diinput

dengan menggantikan jalannya carrier dalam artian mengaktifkan katup solenoid pertama, reagen 1,5-difenilkarbazida dan larutan asam sulfat diinput secara berurutan dengan mengaktifkan katup solenoid kedua (V2) dan ketiga (V3).

Reagen 1,5-difenilkarbazida dan larutan asam sulfat akan diinput sesuai volume yang ditentukan dengan cara mengontrol katup solenoid yang dikendalikan oleh Arduino Uno. Arduino Uno merupakan suatu sistem mikrokontroler yang berfungsi sebagai pusat pengendali output. Source code arduino (Sketch) yang telah dibuat kemudian ditanamkan (Embedded) ke mikrokontroler, sehingga mikrokontroler dapat bekerja sesuai dengan program yang dibuat. Pencampuran akan terjadi pada reaction coil hingga ke detektor. Nilai absorbansi pada spektrofotometer akan direkam oleh kamera dan akan diolah menggunakan software LabView pada komputer.

(2)

tombol stop disebelah kiri front panel, sehingga akan muncul peringatan untuk menyimpan data hasil pengukuran dalam bentuk file.

Gambar 4.1 Tampilan Front Panel

4.2 Kondisi Optimum Pengukuran Kromium Heksavalen

4.2.1 Optimasi panjang gelombang kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon

Penentuan panjang gelombang maksimum (λmax) dilakukan menggunakan

(3)

tingkat energi yang lebih tinggi dimana energi yang diabsorpsi untuk terjadinya transisi merupakan perbedaan antara dua tingkat energi tersebut yang bersesuaian dengan panjang gelombang sinar pada spektrum sinar tampak (Effendy, 2006). Penggambaran profil penentuan panjang gelombang ditampilkan dalam Gambar 4.2.

500 510 520 530 540 550 560

0.000

Gambar 4.2 Profil serapan panjang gelombang maksimum senyawa kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon pada panjang gelombang 500-560 nm dengan interval 10 nm

(4)

Panjang gelombang optimum yang telah diperoleh digunakan untuk mengukur absorbansi sampel dalam penelitian. Sampel dialirkan melalui katup solenoid pertama dan diinjeksikan asam sulfat dengan variasi volume ketika sampel mencapai katup solenoid kedua, selanjutnya diinjeksikan 1,5-difenilkarbazida sebanyak 200 µL setelah aliran mencapai katup solenoid ketiga dan pencampuran akan terjadi hingga ke detektor. Penambahan larutan asam sulfat dalam analit berfungsi untuk mempengaruhi pH larutan analit dalam mengontrol pembentukkan anion kompleks yang dapat bereaksi dengan ligan pengompleks. Variasi volume injeksi dilakukan mulai dari 50 µL sampai 250 µL untuk mengetahui volume optimum agar kompleks terbentuk secara maksimal dan berada pada kondisi stabil. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali pada setiap variasi volume injeksi. Hasil pembacaan ditampilkan dalam Tabel 4.1 dan Gambar 4.4.

(5)

Perubahan pH menyebabkan keseimbangan pada larutan juga berubah, spesies utama akuatik Cr(VI) adalah H2CrO4, HCrO4-, CrO42- dan Cr2O72-. Pada pH

antara 2 sampai 6 spesies yang utama adalah ion Cr2O72- dan HCrO4-. Pada pH 1

spesies yang dominan pada larutan adalah ion H2CrO4. Pada pH lebih dari 6

spesies CrO42- yang lebih dominan (Cotton dan Wilkinson, 1989). Berdasarkan

spesies tersebut dapat dijelaskan bahwa setelah tercapai pH optimum nilai absorbansi menurun karena spesiasi Cr2O72- menjadi H2CrO4. Pada saat reaksi,

Cr(VI) direduksi menjadi Cr(II) sehingga terbentuk menjadi difenilkarbazon, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Vogel,1985)

O sistem alir multi-commutation pada laju alir sebesar 25 µL/detik

(6)

b. Volume injeksi 1,5-difenilkarbazida

Panjang gelombang dan volume asam sulfat optimum digunakan dalam percobaan selanjutnya dengan variasi volume penambahan 1,5-difenilkarbazida. Sampel sebanyak 200 µL dialirkan melalui katup solenoid pertama dan diinjeksikan asam sulfat sebanyak 100 µL ketika sampel mencapai katup solenoid kedua, selanjutnya diinjeksikan 1,5-difenilkarbazida dengan variasi volume setelah aliran mencapai katup solenoid ketiga dan pencampuran akan terjadi hingga ke detektor. Reagen yang ditambahkan pada analisis sistem alir multi-commutation secara spektrofotometri ini berfungsi sebagai larutan pengompleks. Reaksi yang terjadi antara 1,5-difenilkarbazida dengan Cr(VI) akan menghasilkan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon dengan warna komplementer ungu yang dapat diserap dan dideteksi oleh detektor hingga menghasilkan nilai berupa absorbansi, namun belum diketahui dengan pasti jumlah ligan yang berperan dalam pembentukan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon (Vogel,1985).

Perubahan volume injeksi reagen akan mempengaruhi nilai absorbansi dan puncak yang dihasilkan. Volume reagen yang semakin banyak akan meningkatkan warna kompleks yang terbentuk, sehingga nilai absorbansi akan meningkat. Semakin banyaknya volume reagen yang ditambahkan juga akan menyebabkan semakin banyaknya sampel yang bereaksi dengan reagen, sehingga waktu deteksi akan semakin lama dan sinyal yang dihasilkan akan semakin landai. Hasil penelitian yang diperoleh dari variasi volume 1,5-difenilkarbazida dengan metode sistem alir multi-commutation dapat ditunjukkan pada Gambar 4.4 dan Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pengaruh volume injeksi 1,5-difenilkarbazida terhadap nilai absorbansi Volume Injeksi

1,5-difenilkarbazida (µL) AbsorbansiNilai

50 0,833

100 0,984

150 1,157

200 1,045

(7)

-0.2 metode sistem alir multi-commutation pada laju alir sebesar 25 µL/detik

Berdasarkan Gambar 4.5 dan Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai absorbansi rata-rata tertinggi yaitu pada volume injeksi 150 µL yaitu sebesar 1,157. Kenaikan nilai absorbansi dari volume 50 sampai 150 µL terjadi karena banyaknya Cr(VI) yang bereaksi dengan 1,5-difenilkarbazida seiring dengan bertambahnya volume reagen menjadi kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon. Volume injeksi 200 dan 250 µL mengalami penurunan nilai absorbansi dan pelebaran puncak, hal ini dikarenakan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon yang terbentuk mengalami proses dispersi yang terlalu banyak oleh 1,5-difenilkarbazida sehingga terjadi pelebaran puncak dan nilai absorbansi yang kecil (Trojanowicz,2008). 4.3 Karakteristik Analisis Kromium Heksavalen

(8)

dengan hukum Lambert-Beer yang menyatakan bahwa nilai absorbansi sebanding dengan konsentrasi, A = εbc. Kurva kalibrasi antara konsentrasi terhadap absorbansi ditunjukkan pada gambar 4.6. Berdasarkan kurva kalibrasi tersebut diperoleh persamaan regresi linier yaitu y = (0.123 ±0,001)x + (0.501 ±0,003) dengan nilai R2 = 0.996. Hasil kurva kalibrasi tersebut dapat digunakan untuk

penentuan kriteria pengukuran menggunakan metode analisis sistem alir multi-commutation secara spektrofotometri yang meliputi linieritas, sensitivitas, limit deteksi dan akurasi.

0

2000 4000 6000 8000 1000 0

1200 0

1400 0

-0.3 0.2 0.7 1.2 1.7

Waktu retensi (s)

A

b

so

rb

an

si

5 6

7 8

1 2

3 4

(9)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 4.5 Kurva kalibrasi larutan standar Cr(VI) dengan metode multi-commutation

pada λ=542 nm dengan volume asam sulfat maksimum=100 µL, volume reagen=150 µL dan laju alir sebesar 25 µL/detik

4.3.1 Linieritas

Parameter adanya hubungan linier dapat dilihat dari koefisien korelasi (r). Besarnya koefisien korelasi menggambarkan keterkaitan antar peubah yaitu konsentrasi dan absorbansi. Nilai koefisien korelasi (r) yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan jika hubungan antara kedua peubah sangat erat atau linier. Hasil dari penelitian ini diperoleh nilai korelasi (r) sebesar 0,996 yang artinya 99,6% perubahan absorbansi dipengaruhi konsentrasi sedangkan 0,4% dipengaruhi oleh faktor lain.

4.3.2 Sensitivitas

(10)

multi-commutation yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 yakni y = (0.123 ± 0,001)x + (0.501 ± 0,003). Berdasarkan persamaan tersebut nilai sensitivitas ditentukan oleh besarnya nilai slope yaitu sebesar 0,123 ± 0,001 absorbasi/ppm. Nilai sensitivitas tersebut menyatakan bahwa setiap satuan perubahan konsentrasi analit dengan selisih satu akan menghasilkan perubahan sinyal absorbansi sebesar 0,123 ± 0,001. Nilai slope yang besar menunjukkan bahwa perubahan konsentrasi yang kecil dapat memberikan respon yang berarti. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap satuan perubahan konsentrasi dengan selisih satu memberikan perubahan sinyal yang kecil. Hal tersebut dikarenakan volume larutan tidak berbanding lurus dengan diameter tube sehingga menyebabkan proses dispersi tidak merata. Hal tersebut didukung dengan teori menurut Trojanowicz (2008), dimana diameter tube semakin kecil maka proses dispersi semakin menurun, puncak yang dihasilkan semakin runcing dan tinggi. Selain itu, semakin banyak volume sampel yang di injeksi maka puncak yang dihasilkan semakin tinggi. Namun ketika volume yang diinjeksikan terlalu banyak dan diameter tube yang digunakan kecil akan menyebabkan proses dispersi berjalan lambat dan akan menghasilkan perubahan warna kompleks yang pudar dan puncak absorbansinya rendah.

4.3.3 Limit deteksi

Nilai limit deteksi dapat dihitung dengan melihat hasil pengukuran larutan blanko dengan 10 kali pengulangan. Berdasarkan absorbansi yang diperoleh dapat dihitung nilai standart deviasi untuk menentukan nilai YLOD yang dapat dilihat

pada tabel 4.3. Kemudian disubstitusikan ke persamaan kurva kalibrasi sehingga didapatkan nilai limit deteksi. Limit deteksi yang diperoleh pada pengukuran kromium heksavalen dengan metode analisis sistem alir multi-commutation yaitu 0,024 ppm. Nilai tersebut menunjukkan batas konsentrasi minimal yang dapat dideteksi, sehingga apabila konsentrasi analit lebih rendah dari batas tersebut maka alat tidak dapat menghasilkan respon yang signifikan. Semakin kecil konsentrasi analit yang dapat dideteksi maka kemampuan alat dalam mendeteksi analit semakin baik pada batas konsentrasi terkecil.

(11)

Absorbansi YB SD YLOD

0,498 0,501 0,498 0,501 0,498 0,499 1,581x10-3 0,504

0,497 0,498 0,497 0,497 0,500 4.3.4 Akurasi

Nilai akurasi diperoleh dengan mengukur sampel limbah elektroplating, larutan standar 4 ppm dan sampel akurasi yang merupakan campuran dari sampel limbah dan standar 4 ppm dengan perbandingan volume 1:1. Penentuan suatu sampel dengan menggunakan metode tertentu tidak menutup kemungkinan akan adanya gangguan komponen dalam suatu campuran, sehingga kadar analit sebenarnya dalam sampel tidak dapat diketahui secara pasti. Nilai replika analisis semakin dekat dengan sampel sebenarnya maka semakin akurat metode tersebut. Hasil uji akurasi diperoleh dengan menggunakan perhitungan persen perolehan kembali. Persen perolehan kembali yang dapat diterima yaitu sekitar 80%-120% (Harmita, 2004). Persen perolehan kembali yang diperoleh untuk penentuan kromium (VI) dengan analisa sistem alir multi-commutation secara spektrofotometri dapat dilihat pada Tabel 4.4. Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh menunjukkan bahwa metode analisis yang dilakukan dapat diterima. Hasil pengukuran nilai absorbansi pada sampel limbah elektroplating menunjukkan nilai 0,925 (Lampiran 4.5) dan berdasarkan perhitungan dengan mensubstitusikan nilai absorbasi ke persamaan linier kurva kalibrasi diperoleh konsentrasi Cr(VI) pada sampel sebesar 3,45 ppm.

Tabel 4.4 Hasil pengukuran uji akurasi

Larutan Volume (mL) Kadar Kromium(mg) Akurasi

Sampel akurasi 20 0,077

105,8%

Sampel limbah 10 0,0345

Gambar

Gambar 4.1 Tampilan Front Panel
Gambar 4.2 Profil serapan panjang gelombang maksimum senyawa kompleks Cr(VI)-difenilkarbazon pada panjang gelombang 500-560 nm dengan interval 10 nm
Gambar 4.3 Profil penentuan volume asam sulfat yang diinjeksikan dengan metodesistem alir multi-commutation pada laju alir sebesar 25 µL/detik
Tabel 4.2 Pengaruh volume injeksi 1,5-difenilkarbazida terhadap nilai absorbansi
+4

Referensi

Dokumen terkait

Subjek Retribusi adalah setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh pelayanan tera/ tera ulang dari Pemerintah Daerah.. Bagian Kedua

dilakukan otomatisasi pembuatan peta persepsi dari metoda Hybrid DISTATIS untuk memudahkan stakeholders yang tidak mempunyai latar belakang Statistika, Matematika, dan

Apabila tingkat disabilitas ditinjau dari penyakit degeneratif yang diderita maka terlihat gambaran bahwa persentase yang menderita penyakit degeneratif (jantung, Diabetes

Pengujian viskositas ini bertujuan untuk mencari nilai Melt Flow Rate (MFR) MFR didapat dari plastik yang dilebur di dalam tabung berbentuk silinder selama 10 menit dan ditekan

Sehubungan dengan hal tersebut maka timbul permasalahan bagaimana prinsip dan alasan yang menjadi dasar bagi bank sebelum melakukan perikatan dengan asuransi, bagaimana

Sistem ini berfungsi sebagai bahan evaluasi dalam menentukan kebijakan berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah per kecamatan atau per kelurahan meliputi Informasi penyebaran

Karyawan yang memiliki kinerja buruk atau yang hasil penilaiannya tidak sesuai dengan kompetensi dasar yang seharusnya mereka miliki diberikan pelatihan kerja agar

LOKASI USAHA/BIDANG USAHA YANG TELAH MEMENUHI KOMITMEN Izin Usaha atas nama dengan NIB 9120007500045 yang telah diterbitkan melalui sistem OSS dengan rincian