• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit bagi Pasien BPJS terhadap Tindakan Medis yang Dilakukan oleh Dokter Mmuda (Studi pada RSUP Dr. M. Djamil Padang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit bagi Pasien BPJS terhadap Tindakan Medis yang Dilakukan oleh Dokter Mmuda (Studi pada RSUP Dr. M. Djamil Padang)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau

dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak untuk menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi

tuntutan itu.”13

Hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari Bahasa Belanda,

yaitu istilah verbintennis dan overeenkomst diatur dalam Buku III

KUHPerdata. Pengertian perjanjian itu sendiri dimuat di dalam pasal 1313

KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih. Dalam membuat perjanjian, kedudukan

antara para pihak yang mengadakan perjanjian sama dan sederajat (pasal

1313 KUHPerdata). Selain itu, dalam menerjemahkan istilah verbintennis dan

overeenkomst dalam Bahasa Indonesia mempunyai arti yang luas, sehingga

menimbulkan perbedaan dan beragam pendapat dari para sarjana hukum.

Untuk memahami dan istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat

beberapa pendapat para sarjana tersebut adalah :

a) R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu

perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

13

(2)

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal.14

b) Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan

adalah suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan peristiwa atas keadaan. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini

disebut perikatan dalam arti luas.15

c) “R. M, Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum.”16

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak,

dimana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat

hukum tertentu. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku Ketiga Kitab

Undang – Undang Hukum Perdata adalah suatu hubungan hukum antara dua

orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu

hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi

tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si

berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut

“debitur” atau si berutang. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan

dengan “prestasi”, yang menurut undang – undang dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang

2. Melakukan suatu perbuatan

3. Tidak melakukan suatu perbuatan

14

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermassa, Jakarta, 1985, hal 1. 15

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 1982, hal 6. 16

(3)

Pengertian perjanjian tersebut ternyata mempunyai arti yang luas dan umum

sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu perjanjian dibuat. Hanya

menyebutkan tentang pihak yang itu, suatu perjanjian akan lebih tegas artinya,

jika pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang

atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang

harta kekayaan.

Dalam membuat suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak

dan menganut sistem terbuka. Maksud asas tersebut, setiap orang pada dasarnya

boleh membuat perjanjian mengenai apa saja. Peraturan mengenai hukum

perjanjian pada umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap, dimana pihak

– pihak dalam membuat perjanjian, bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang

ada. Kebebasan itu, menurut undang – undang dibatasi, sepanjang tidak

bertentangan dengan undang – undang kesusilaan dan ketertiban umum.

Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat

dibuat secara lisan atau tertulis. Andaikata dibuat secara tertulis, perjanjian tertulis

dimaksud bersifat sebagai pembuktian apabila terjadi perselisihan. Walaupun

untuk beberapa perjanjian tertentu, apabila bentuk tertulis itu tidak dilakukan,

perjanjian tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis itu tidak semata – mata

hanya merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan pula syarat untuk

sahnya perjanjian. Misalnya perjanjian kerja waktu tertentu wajib dibuat tertulis.

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu :

 Pihak – pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak

(4)

Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap

untuk melakukan hubungan hukum.

 Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau

dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk

mengadakan tawar – menawar diantara mereka.

 Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun

oleh pihak lain, selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai

tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak

boleh bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan dan ketertiban

umum.

 Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian

mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya

saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi

suatu prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, begitu juga

sebaliknya.

 Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun

tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat

sesuai dengan ketentuan yang ada.

 Syarat – syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat –

syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang

– undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat

dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah

(5)

Pengertian perjanjian terdapat batasannya diatur dalam Pasal 1313

KUHPerdata yang berbunyi :

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

“Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya

berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang

lengkapdan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung kelemahan –

kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapat diperinci sebagai berikut :”17

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja

Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,

tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu

mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya

dimana setidak – tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan

diri”. Jadi jelas nampak adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah

pihak yang membuat perjanjian.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan. Dalam

pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :

a. Melaksanakan tugas tanpa kuasa

b. Perbuatan melawan hukum.

17

(6)

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/perbuatan yang

tidak mengandung adanya konsensus. Pengertian perbuatan itu sendiri juga

sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan

tersebut adalah hukum.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Untuk pengertian perjanjian disini dapat diartikan juga pengertian

perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan. Padahal

perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang

menyangkut hubungan lahir batin. Sedangkan perjanjian yang dimaksud

dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitur dan

kreditur. Dimana hubungan antara kreditur dan debitur terletak dalam

lapangan harta kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud

perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk

mengadakan perjanjian sehingga pihak – pihak mengikatkan dirinya itu

tidaklah jelas maksudnya untuk apa.

B. Subjek dan Objek Perjanjian

Subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terdapat dalam perjanjian.

Dalam hal ini terdapat dua macam subjek, yakni seseorang manusia atau

suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau mendapat hak atas

(7)

memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa

dan tidak berada dibawah pengampuan.

Subjek perjanjian dengan sendirinya sama dengan subjek perikatan yaitu

kreditur dan debitur yang merupakan subjek aktif dan subjek pasif. Adapun

kreditur maupun debitur tersebeut dapat orang – perseorangan maupun dalam

bentuk badan hukum. KUHPerdata membedakan dalam tiga golongan untuk

berlakunya perjanjian :

1. Perjanjian berlaku bagi pihak yang membuat perjanjian

2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang

mendapat hak

3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga

Sedangkan objek dalam perjanjian adalah berupa prestasi, yang berwujud

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk

memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan

sesuatu, baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk

berbuat sesuatu yaitu prestasi dapat berwujud berbuat sesuatu atau melakukan

perbuatan tertentu yang positif. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan. Dalam hal

ini terdapat tiga macam objek, yakni :

1. Barang – barang yang dapat diperdagangkan

2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan

3. Barang – barang tersebut sudah ada atau akan ada

(8)

Mengenai objek perjanjian, diperlukan beberapa syarat untuk menentukan

sahnya suatu perikatan, yaitu :

a. Objeknya harus tertentu. Syarat ini hanya diperlukan bagi perikatan yang

timbul dari perjanjian.

b. Obyeknya harusnya diperbolehkan, artinya tidak bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan

c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang. Hal ini dikarenakan suatu hubungan

hukum yang ditimbulkan dari adanya perikatan berada dalam lapangan

hukum harta kekayaan.

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu

4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan

perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu secara

timbale balik. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah

pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu

pihak saja, ataupun tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya

(9)

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak kesatu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka salahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau

berlakulah ia sebagai undang-undang. 18

Kecakapan para pihak pembuat perjanjian

Subjek untuk melakukan perjanjian harus cakap merupakan syarat umum

untuk melakuakan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,

sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peratutan perundang-undangan

untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Subjek hukum terbagi dua yaitu, manusia dan badan hukum. Menurut

pasal 329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,

jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Jadi menurut ketentuan

pasal ini, semuaq orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri

dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang

untuk melakukan perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang.

Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barag yang menjadi objek suatu

perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian

yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk

memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

18

(10)

Menurut pasal 1333 KUH Perdata “Barang yang menjadi objek suatu

perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat

dihitung dan ditentukan.”

Sebelumnya dalam pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya

barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok

persetujuan. Dengan demikian barang-barang diluar perdagangkan tidak dapat

menjadi obyek perjanjian, misalnya barang-barang yang dipergunakan untuk

keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum,

gedung-gedung umum dan udara.

Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya

tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau

jenis objek merupakan syarat yang mengikat perjanjian.

Suatu sebab yang halal

Sebab yang halal ini tidak lain adalah isi dari perjanjian . jadi dalam hal ini

harus dihilangkan salah sangka bahwa maksud sebab itu disini adalah suatu

sebab yang menyebabkakan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan

hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab yang halal.

Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenakan oleh undang-undang

menurut pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan

dengan undang-undang ketertiban umum, dan kesusilaan. Perrjanjian itu

dianggap tidak pernah ada. dengan kibat hukum terhadap perjanjian bercausa

(11)

tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untk memnuntut

pemenuhan perjanjian di muka hakim.

D. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai jenis-jenis perjanjian ini diatur dalam buku III KUH Perdata, peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian yang ada. Oleh karena itu disini dimungkinkan para pihak itu untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu :

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur

dalam KUH Perdata. Yang termasuk kedalam perjanjian ini, misalnya jual-beli, tukar-menukar, sewa menyewa dan lain-lain.

2. Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur

dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para

pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.19

Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 macam, yaitu:

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini diatur dalam KUH Perdata pasal 1235 sampai dengan pasal

1238 KUH Perdata. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli,

tukar menukar, penghibanhan, sewa menyewa, pinjam-pinjaman, dan

lain-lain.

2. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

“tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

sesuatu, apa si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan

penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi

dan bunga.”

19

(12)

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian

ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian

untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis dan lain-lain.

Menurut Mariam Darus jenis-jenis perjanjian:

a. Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak.

b. Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang memberikan keuntungan

bagi salah satu pihak.

c. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama

adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah

perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang

diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan

perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur didalam KUH Perdata, akan tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah dari

perjanjian ini tidak terbatas dan lahirnya berdasarkan asas kebebasan

berkontrak.

d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan

adalah perjanjian yang mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu

kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian oleh

pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak-pihak

lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)

e. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsesual adalah

(13)

kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata ini sudah

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya (pasal 1338 KUH Perdata). Selain itu, ada pula perjanjian

yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan uang, mislanya

perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUH Perdata). Perjanjian terakhir

ini dinamakan perjanjian riil.

f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Jenis perjanjian istimewa

adalah :

1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian oleh para pihak yang

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya

perjanjian pembebasan uang;

2. Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian para pihak yang

menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, pasal

1774 KUH Perdata;

4. Perjanjian sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum

public, misalnya perjanjian pemborong.

Selanjutnya, berhubungan dengan pembedaan perjanjian timbale balik dengan

perjanjian Cuma-Cuma dan pernjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus

Badrulzaman, perjanjian dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran

perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya pemilik hotel

yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual

beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada

(14)

a. Faham pertama : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai

perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari

peejanjian khusus tetap ada (contractus sui generic)

b. Faham kedua : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang dipakai

adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (Teori

absorsi)

c. Faham ketiga : mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang

yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adlah ketentuan

undang-undang yang berlaku untuk itu (Teori combinate).

Terlepas dari pembagian jenis perjanian yang dikemukakan para sarjana

diatas yang terpenting adalah mengetahui pengertian dari jenis perjanjian itu

sendiri, sehingga tidak terdapat penafsiran yang berlainan.

E. Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Dapat

dikatakan wanprestasi, apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang

dijanjikan. “Ia alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar

perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh

dilakukannya.”20

Dengan demikian, wanprestasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh

pihak debitur atas perjanjian yang ia buat bersama-sama dengan pihak

kreditur. Ada 4 macam wanprestasi yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya

20

(15)

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

dijanjikan

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya..

Akibat dari perbuatan wanprestasi atau kelalaian dilakukan, dapat

mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dengan sungguh-sungguh

melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Bagi pihak yang

dirugikan, dapat melakukan upaya hukum dengan sungguh-sungguh

melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Bagi pihak yang

dirugikan , dapat melakukan upaya hukum dengan tuntutan ganti kerugian,

dengan terlebih dahulu memberikan teguran secara tertulis. Dengan teguran

terulis tersebut, maka dapat dijadikan alat bukti bahwa pihak yang lain telah

melakukan wanprestasi atas perjanjian yang ia buat bersamanya.

Didalam suatu perikatan apabila si berutamg karena kesalahannya tidak

melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka dikatakan bahwa siberutang itu

wanprestasi atau lalai/ingkar. Atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia

melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.

Didalam kenyataannya adalah sukar untuk menetukan kapan seseorang

berhutang itu dikatakan melakukan wanprestasi, karena sering kali ketika

mengadakan perjanjian pihak-pihak tidak menetukan waktu untuk

melaksanakan perjanjian itu. Karena wanprestasi mempunyai akibat yang

(16)

wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di

depan hakim.

“Terhadap kelalaian atau kealpaan si berhutang (di berhutang atau debitur

sebagai pihak yang wajib melakukan sesuatu), diancamkan beberapa sanksi

atau hukuman. Hak-hak kreditur kalau terjadi ingkar janji adalah sebagai

berikut” : 21

1. Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan (nakomen) ;

2. Hak untuk menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu

bersifat timbale balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding)

3. Hak untuk menuntut ganti rugi (Schade vergoeding)

4. Hak untuk menuntut pemenuhan perikatan disertai dengan ganti rugi

5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Apabila undang-undang menyebutkan rugi maka yang dimaksud

adalah kerugian yang nyata yang dapat diduga atau diperkirakan pada saat

perikatan itu diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji. Jumlahnya

ditentukan dengan suatu perbandingan diantara keadaan kekayaan sesudah

terjadinya ingkar janji dan keadaan kekayaan seandainya tidak terjadi

ingkar janji.

Pada dasarnya asas ganti rugi yang laxim dipergunakan adalah uang,

oleh karena menurut ahli-ahli Hukum Perdata maupun yurisprudensi uang

merupakan alat yang merupakan alat yang paling praktis, yang paling

sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain

21

(17)

uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebgai bentuk ganti

rugi, yaitu pemulihan keadaan semula ( in natura ) dan larangan untuk

mengulangi. Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan

uang paksa tetapi uang paksa bukan merupakan bentuk atau wujud ganti

rugi.

Akibat yang sangat penting dari tidak terpenuhinya perikatan adalah

kreditur dapat minta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang

dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur harus terlebih

dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Jadi maksud “berada dalam

keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari kreditur tentang saat

selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi.

Kerugian yang dimaksud adalah kerugian nyata yang dapat diduga atau

diperkirakan pada saat perikatan itu diadakan yang timbul sebagai akibat

dari ingkar jani. Jumlahnya ditentukan dengan suatu perbandingan diantara

keadaan kekayaan sesudah terjadinya ingkar janji dan keadaan kenyataan

seandainya tidak terjadi ingkar janji.

Tetapi tidak semua kerugian dapat dimintakan pengtapkan, gantian

Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan dengsn

menetapkan, hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada

waktu perjanjian dibuat dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap

sebagai suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat

dimintakan penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa

(18)

bunga uang menurut penetapan undang-undang yang berjumlah 6%

setahun. Oleh karena bunga adalah merupakan apa yang harus dibayar si

berutang karena kelalaiannya, maka bunga itu dinamakan bunga moratoir.

Kerugian yang jumlahnya melampaui batas yang dapt diduga tidak boleh

ditimpakan kepada debitur.

F. Pembelaan debitur yang dianggap lalai

Seorang debitur yang dituduh lalai dapat membela diri dengan mengajukan

beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman itu.

Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu :

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force

majeur);

2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai

(exceptio non adimpleti contractus);

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi (pelepasan hak : bahasa Belanda ; rechtsverwerking).

1. Keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).

Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa

tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama

sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap

keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.

Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata mengatur pembebasan debitur dari

kewajiban mengganti kerugian,karena suatu kejadian yang dinamakan keadaan

memaksa. Dua pasal tersebut merupakan doublure, yaitu dua pasal yang

(19)

yang tak terduga, tak disengaja dan tak dapat dipertanggungjawabkan kepada

debitur serta memaksa dalam arti debitur terpaksa tidak menepati janjinya.

Ada keadaan tertentu di mana terjadi suatu peristiwa yang tak terduga di

luar kesalahan pihak debitur, tetapi segala akibat peristiwa itu harus dipikulkan

kepadanya karena ia telah menyanggupinya atau karena penanggungan segala

akibat itu termaktub dalam sifatnya perjanjian.

2. Exceptio non adimpleti contractus

Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar

ganti rugi itu mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak

menetapi janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal balik, dianggap ada suatu

asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya.

Prinsip „menyeberang bersama-sama‟ dalam jual beli ditegaskan dalam

pasal 1478 KUHPer :

Si pejual tidak diwajibkan memyerahkan barang-barangnya, jika si

pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak

mengizinkan penundaan pembayaran tersebut.”

Prinsip exceptio non adimpleti contractus ini tidak disebutkan dalam pasal

UU, melainkan merupakan hukum yurisprudensi, yaitu suatu peraturan hukum

yang telah diciptakan oleh para hakim.

3. Pelepasan hak (“rechtsverwerking”)

Merupakan suatu sikap pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh

menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.

Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi

(20)

barang itu dipakainya. Atau ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap tersebut

dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia

kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu

sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.

G.Berakhirnya Perjanjian

Berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonimlain, seperti berakhirnya

kontrak dan hapusnya perikatan (KUH Perdata pasal 1381). Secara umum,

berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang

dibuat diantara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur, tentang sesuatu

hal. Pihak kreditur dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu

prestasi sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitur adalah pihak yang wajib

untuk memenuhi suatu prestasi sesuai dengan saksama maka pemenuhan itu

adalah tanda pengakhiran suatu perjanjian secara otomatis.

1. Dasar Hukum Berakhirnya Perjanjian\

Sampai sat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai landasan

berakhirnya perjanjian masih merujuk pada pasal 1381 KUH Perdata, yang

dalan beberapa hal relah ketinggalan zaman. Menurut pasal 1381 KUH

Perdata,

“ Perikatan-perikatan dapat hapus:

 Karena pembayaran;

 Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan

penyimpanan atau penitipan;

(21)

 Kerena perjumpaan utang atau kompensasi;

Namun sebagai pedoman umum, pasal-pasal KUH Perdata tentang

berakhirnya perjanjian (perikatan) relative luas, yang singkatnya dituangkan

dalam ketentuan.

2. Berakhir karena undang-undang dan perjanjian

Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan

apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat KUH

Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara insklusif. Dari praktik,

dapat diamati perjanjian yang berakhir karena undang-undang adalah :

a. Konsinyasi;

b. Musnahnya barang terutang, dan;

c. Daluwarsa.

Adapun perjanjian yang berkhirnya karena perjanjian adalah :

(22)

Dalam praktik, ditentukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian yang disebabkan

oleh :

 Jangka waktunya berakhirnya;

 Dilaksanakannya objek perjanian;

 Kesepakatan kedua belah pihak;

 Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak,

 Adanya keputusan pengadilan.

Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian

Referensi

Dokumen terkait

Identifikasi quality factor sesuai dengan apa yang diinginkan, karena menurut data yang dimiliki dari hasil wawancara mengenai jumlah katalog yang diproses dengan

Salah satu metode yang dapat digunakan dalam penjadwalan mata pelajaran adalah dengan menggunakan hibridisasi algoritme genetika dan simulated annealing (GA-SA)

Penurunan kadar asam sianida dalam koro benguk akibat perendaman dalam air kapur ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juwita Marriana

Praktik Pengalaman Lapangan, yang selanjutnya disebut PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk

Pada program ini banyak menampilkan mengenai view-view tampilan untuk membuat partitur, mengatur tempo, mengimport audio visual dan sebagainya. Aplikasi ini dapat mempermudah

[r]

Pelaksanaan pembelajaran Aswaja pada kelas Intensive telah dilakukan pendidik sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang telah dibuat. pada tahap

Kualitas air boiler ditunjukkan oleh berbagai parameter terukur yang harus berada pada nilai tertentu untuk dapat merepresentasikan kualitas air boiler berada dalam kondisi baik..