BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini Indonesia menghadapi beban ganda penyakit atau double burden yaitu keadaan di mana penyakit menular masih merupakan masalah kesehatan penting dan pada waktu bersamaan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) penyakit tidak menular semakin meningkat. Penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi mikrobiologi seperti TB Paru, HIV/AIDS,
DBD dan penyakit lainnya masih belum tuntas dan masih menjadi prioritas masalah kesehatan karena jumlahnya yang masih tinggi dan pada waktu yang
bersamaan penyakit tidak menular turut mengalami peningkatan (Kemenkes, 2011).
Penyakit tidak menular merupakan penyakit yang lebih banyak disebabkan
oleh gaya hidup manusia seperti stroke, penyakit jantung, diabetes, kanker dan sebagainya. Di samping penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan, kematian akibat penyakit tidak menular diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin (Kemenkes, 2011).
2012. Diperkirakan pada tahun 2030 insiden kanker dapat mencapai 26 juta orang
dan 17 juta di antaranya meninggal akibat kanker, terlebih untuk negara miskin dan berkembang kejadiannya akan lebih cepat (Kemenkes, 2014).
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah salah satu kanker yang sering menyerang wanita. Menurut WHO tahun 2015 kanker serviks menempati
urutan ke-2 sebagai penyakit yang sering menyerang wanita terutama di negara berkembang. Diperkirakan terjadi sekitar 445.000 kasus baru pada tahun 2012 dengan jumlah kematian sekitar 270.000 (Kemenkes, 2015).
Pusat Data dan Informasi Kanker Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015 melaporkan bahwa estimasi jumlah penderita kanker di
Indonesia pada tahun 2013 adalah 347.792 orang dan di Sumatera Utara adalah 13.391 orang. Adapun estimasi jumlah kanker serviks di Indonesia adalah 98.692 orang dan di Sumatera Utara adalah 4694 orang.
Pengendalian penyakit kanker di Indonesia ditentukan oleh keberhasilan penerapan strategi penanganan yang komprehensif, terorganisir, terkoordinasi dan
berkesinambungan dan dilaksanakan oleh seluruh jajaran pemerintah bersama segenap lapisan masyarakat, termasuk organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, kalangan swasta dan dunia usaha, serta seluruh individu masyarakat.
Pemerintah saat ini telah melaksanakan beberapa program dalam pengendalian kanker yaitu upaya promotif dengan mengeluarkan regulasi antara lain kawasan
Indonesia dan masyarakat telah mengembangkan program deteksi dini kanker
leher rahim di Puskesmas (Kemenkes, 2015).
Penanganan penyakit kanker di Indonesia menghadapi berbagai kendala
yang menyebabkan hampir 70% penderita ditemukan dalam keadaan sudah stadium lanjut. Kendala yang sering dijumpai di antaranya masih rendahnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kanker. Ini terkait dengan umumnya orang mempercayai mitos. Misalnya bahwa kanker tidak dapat dideteksi, tidak bisa dicegah dan disembuhkan, padahal pada kenyataannya
dengan perkembangan teknologi saat ini kanker bisa dideteksi dini. Bahkan beberapa jenis yang paling umum, seperti kanker payudara, kolerektal, dan
serviks dapat disembuhkan jika terdeteksi dini. Kendala lainnya yaitu belum ada program deteksi dini massal yang terorganisir secara maksimal. Saat ini capaian deteksi dini kanker, khususnya kanker serviks masih jauh dari harapan padahal
kemenkes sendiri sudah menyediakan berbagai deteksi dini kanker serviks di seluruh puskesmas di Indonesia (Kemenkes, 2014).
Salah satu metode deteksi dini kanker serviks yang paling populer di dunia adalah Pap Smear. Metode ini dilakukan dengan mengusap cairan dari leher rahim, kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat
perubahan-perubahan yang terjadi dari sel tersebut. Di negara maju metode ini telah berhasil melakukan penapisan 40-50% wanita, sedangkan di negara berkembang masih
1985, WHO merekomendasikan suatu pendekatan alternatif bagi negara
berkembang dengan konsep down staging terhadap kanker serviks dengan pemeriksaan inspeksi visual asam asetat (IVA) (WHO, 2012)
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 796 tahun 2010 menjelaskan bahwa Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) adalah metode skrining
kanker serviks yang dilakukan dengan mengamati leher rahim yang telah dipulas dengan asam asetat/asam cuka 3-5% untuk melihat abnormalitas. Daerah yang tidak normal akan berubah warna dengan batas yang tegas menjadi putih atau
disebut dengan acetowhite, yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki lesi prakanker. IVA adalah praktik yang dianjurkan untuk fasilitas
dengan sumberdaya sederhana dibandingkan dengan jenis penapisan lain. IVA merupakan alternatif dari metode Pap Smear yang dilakukan di puskesmas. Dibandingkan dengan pap smear, IVA memiliki keuntungan yaitu, aman, lebih
mudah dan murah, akurasi tes sama dengan tes lain yang digunakan untuk penapisan kanker serviks, peralatan lebih sederhana dan interpretasi dapat
dilakukan oleh bidan, tenaga medis dan dokter umum sehingga skrining dapat dilakukan dengan cakupan lebih luas dan diharapkan temuan kanker serviks secara dini lebih banyak (Kemenkes, 2010).
Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher rahim yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%. Jika tidak ada
pengobatan cukup mudah bisa langsung diobati dengan metode krioterapi atau gas
dingin yang disemprotkan ke leher rahim (Kemenkes, 2010).
Berdasarkan data subdit kanker Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular (PPTM) per Januari 2014, jumlah perempuan seluruh Indonesia umur 30-50 tahun adalah 36.761.000. Sejak tahun 2007-2013 deteksi dini yang telah
dilakukan sebanyak 644.951 orang (1,75%) dengan jumlah IVA positif berjumlah 28.850 orang (44,47%). Dari data tersebut, suspek kanker leher rahim sebanyak 840 orang (1,3 per 1000 penduduk). Masih rendahnya capaian deteksi IVA
merupakan tantangan yang besar mengingat target yang harus dicapai pada 2025 adalah 80% wanita (Kemenkes, 2014).
Dalam mengatasi kanker serviks, Kementerian Kesehatan pada tahun 2007 telah melakukan program penemuan dan tata laksana penderita kanker yaitu dengan pelatihan tenaga teknis deteksi dini dan tata laksana kanker leher rahim,
sosialisasi program, serta menyelenggarakan pilot proyek di 6 provinsi. Adapun 6 provinsi yang menjadi pilot proyek deteksi dini kanker serviks yaitu Deli Serdang
(Sumatera Utara), Gresik (Jawa Timur), Kebumen (Jawa Tengah), Gunung Kidul (DI. Yogyakarta), Karawang (Jawa Barat) dan Gowa (Sulawesi Selatan). Deteksi dini kanker serviks ini dilakukan dengan menggunakan metode IVA (Depkes,
2008). Kegiatan pelatihan dan pilot proyek ini selesai dilakukan pada tahun 2008. Pada tahun 2009 baru memasuki tahap evaluasi dan pemantapan program pilot.
2010), sampai saat ini IVA sudah terlaksana di 32 provinsi, 207 kabupaten dan
717 puskesmas. Selain itu, Kementerian Kesehatan juga menciptakan pelatih yang akan melatih tenaga puskesmas untuk siap melakukan deteksi dini. Saat ini,
sebanyak 184 pelatih telah disiapkan (Kemenkes, 2015).
Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu puskesmas yang
menyelenggarakan pelayanan IVA yang tersebar pada 8 puskesmas yaitu puskesmas Tanjung Morawa, Pancur Batu, Batang Kuis, Bandar Khalifah, Talun Kenas, Sei mencirim, Petumbukan dan Namorambe. Kegiatan pelayanan IVA di
puskesmas dilakukan dengan penjaringan yaitu petugas turun ke setiap desa untuk memberikan pelayanan IVA terhadap masyarakat. Salah satu puskesmas yang
menyelenggarakan upaya kesehatan berupa deteksi dini kanker serviks dengan metode IVA adalah Puskesmas Batang Kuis.
Puskesmas Batang Kuis merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten
Deli Serdang yang telah melaksanakan kegiatan IVA sejak tahun 2008. Pemanfaatan pelayanan IVA oleh masyarakat masih belum mencapai target yang
sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa keberhasilan kegiatan penapisan untuk mencegah kanker serviks mencakup 80% dari populasi yang berisiko yang berarti 80% dari populasi perempuan berusia 30-50 tahun. Pelayanan IVA di puskesmas
ini dilakukan oleh 2 orang bidan yang pernah mendapatkan pelatihan IVA oleh Kementerian Kesehatan. Pembiayaan pemeriksaan IVA berasal dari Anggaran
Siklus pelayanan IVA dilaksanakan setiap 5 tahun sekali sehingga setelah
5 tahun puskesmas akan mendata kembali jumlah wanita pasangan usia subur yang ada di wilayah kerjanya. Siklus pertama pelayanan IVA di Puskesmas
Batang Kuis di mulai pada tahun 2008 sampai 2010, kemudian siklus kedua adalah tahun 2011-2015. Sasaran dari pelayanan IVA di puskesmas Batang Kuis
pada siklus kedua berjumlah 3415 orang dengan pembagian target dalam satu tahun adalah 683 orang dan dalam satu bulan adalah 57 orang. Pemanfaatan pelayanan IVA di Puskesmas Batang Kuis sejak tahun 2011 sampai tahun 2014
baru mencapai 1856 orang atau jika dipersentasekan adalah 54%. Jumlah ini tentu tergolong rendah mengingat target yang telah ditetapkan oleh Kemenkes adalah
80%. Gambaran pemanfaatan IVA di Puskesmas Batang Kuis dari tahun
2011-Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Batang Kuis
Dari Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa persentase wanita yang melakukan pemeriksaan IVA di Puskesmas Batang Kuis pada dari tahun 2011 sampai 2014
mengalami fluktuasi. Pada tahun 2011 pelayanan IVA mencapai target namun pada tahun selanjutnya kembali mengalami penurunan. Berdasarkan keterangan
Diperkirakan hal ini terjadi karena tingkat pengetahuan dan kurang meratanya
penyebaran informasi mengenai adanya kegiatan IVA di masyarakat.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI
menyebutkan bahwa banyak hal yang dapat memengaruhi rendahnya capaian deteksi dini kanker serviks, mulai dari masih rendahnya kesadaran dan
pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kanker seviks, ketakutan para wanita terhadap pemeriksaan, belum adanya program deteksi dini massal yang terorganisasi secara maksimal, sulitnya suami untuk mengizinkan istrinya
menjalani pemeriksaan serta faktor sosial kultur di masyarakat seperti mitos ataupun kepercayaan terhadap pengobatan tradisional yang belum terbukti secara
ilmiah.
Menurut Anderson (Notoatmodjo, 2010) komponen yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah : 1. Faktor predisposisi yaitu faktor yang
menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan
oleh perbedaan faktor demografi, struktur sosial dan manfaat-manfaat kesehatan, 2. Faktor pendukung yaitu faktor yang mencerminkan bahwa meskipun ada faktor predisposisi namun ia tidak akan bertindak untuk menggunakannya kecuali bila ia
mampu untuk menggunakannnya, seperti kemampuan untuk membayar, 3. Faktor kebutuhan yaitu faktor yang menggambarkan bahwa kemungkinan untuk mencari
pengobatan akan terwujud apabila dirasakan itu sebagai kebutuhan.
tahu bahwa ada pemeriksaan IVA yang dilakukan oleh puskesmas dan baru kali
ini mendengar ada pemeriksaan IVA, sebahagian lain mengatakan bahwa mereka tidak sempat untuk memeriksakan diri karena sibuk dengan pekerjaan. Sebahagian
dari wanita pasangan usia subur yang diwawancarai bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di daerah Batang Kuis tersebut. Mereka bekerja pada pagi hari dan
selesai pada sore hari sehingga tidak sempat untuk melakukan pemeriksaan IVA. Berdasarkan wawancara tersebut juga diketahui bahwa ada masyarakat yang bekerja di ladang dan menjadi pembantu rumah tangga sehingga tidak memiliki
kesempatan untuk memeriksakan IVA.
Tidak ada yang menjaga anak juga menjadi alasan untuk tidak
memeriksakan diri, selain itu mereka tidak merasa ada keluhan sakit yang mengharuskan mereka untuk pergi memeriksakan diri, masyarakat lebih mementingkan penyakit yang memang sudah diderita seperti rematik, diabetes
dan lain-lain daripada melakukan pemeriksaan IVA yang hanya berfungsi sebagai deteksi dini.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Karlina (2010) mengenai perilaku ibu dalam pemanfaatan IVA menunjukkan bahwa wanita usia subur yang menggunakan layanan metode IVA memiliki pengetahuan yang baik
sedangkan yang tidak menggunakan layanan metode IVA memiliki pengetahuan yang cukup. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang baik memengaruhi
wanita usia subur untuk datang memanfaatkan pelayanan IVA.
signifikan terhadap pemeriksaan Pap Smear. Variabel sikap memberikan
pengaruh paling besar terhadap pemeriksaan Pap Smear. Oleh karena itu pengetahuan berperan penting dalam membentuk sikap dan perilaku wanita untuk
memeriksakan dirinya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
tertarik melakukan penelitian di puskesmas Batang kuis untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan IVA dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian adalah apakah ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, pendidikan, pekerjaan), pemungkin (informasi, dukungan keluarga), dan kebutuhan (kebutuhan yang dirasakan) terhadap pemanfaatan
pelayanan IVA dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, pendidikan, pekerjaan), pemungkin (informasi,
dukungan keluarga), dan kebutuhan (kebutuhan yang dirasakan) terhadap pemanfaatan pelayanan IVA dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas
1.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap,
pendidikan, pekerjaan), pemungkin (informasi, dukungan keluarga), dan kebutuhan (kebutuhan yang dirasakan) terhadap pemanfaatan pelayanan IVA
dalam deteksi dini kanker serviks di Puskesmas Batang Kuis Tahun 2015.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Batang Kuis untuk mengembangkan pelayanan IVA dalam deteksi dini kanker serviks.
2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang untuk mengembangkan pelayanan IVA dalam deteksi dini kanker serviks. 3. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat setempat mengenai manfaat
pemeriksaan IVA.
3. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan untuk memperkaya kajian ilmu