• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Motivasi Berprestasi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi terhadap Motivasi Berprestasi Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea Tahun 2011"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori tentang Motivasi 2.1.1. Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam manajemen hanya ditujukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya.

Menurut Hasibuan (2003) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Peterson dan Plowman sebagaimana dikutip Hasibuan (2003), menyatakan bahwa seseorang akan bekerja keras dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya antara lain ; (1) the desire to live, artinya keinginan untuk hidup merupakan keinginan utama dari setiap orang, (2) the desire for possession, artinya keinginan untuk memiliki sesuatu, (3) the desire for power, artinya keinginan akan kekuasaan,(4) the desire for recognition, artinya keinginan akan pengakuan.

(2)

seperti sandang, pangan, papan dan perumahan. Keinginan perawat pelaksana ini belum sampai pada tahap keinginan untuk berkuasa ataupun keinginan untuk pengakuan.

Setiap pekerja mempunyai motif (wants) tertentu dan mengharapkan kepuasan dari hasil pekerjaannya. Kebutuhan (needs) dan keinginan (wants) yang dipuaskan dengan bekerja itu adalah ; (1) kebutuhan fisik dan keamanan: menyangkut kepuasan kebutuhan fisik (biologis), seperti makan, minum, tempat tinggal, di samping kebutuhan akan rasa aman dalam menikmatnya, (2) kebutuhan sosial : karena manusia saling tergantung satu sama lain, maka terdapat berbagai kebutuhan yang hanya dapat terpuaskan bila masing-masing individu ditolong atau diakui oleh orang lain, (3) kebutuhan egoistik : ini berhubungan dengan keinginan orang untuk bebas mengerjakan sesuatu sendiri dan puas karena berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Motivasi berprestasi menurut McClelland dalam Hasibuan (2003) adalah ; (1) motivasi power, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan situasi lingkungan (klien), (2) motivasi affiliation, yaitu merupakan dorongan untuk berhubungan dengan orang lain atas dasar pelayanan, (3) motivasi reward, yaitu dorongan unutk mendapat imbalan tertentu.

(3)

konkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan, (6) mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.

2.1.2. Teori Motivasi

Teori motivasi merupakan teori-teori yang membicarakan bagaimana motivasi manusia dalam melaksanakan pekerjaan dan mencapai tujuan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor pembentuk terciptanya motivasi. Menurut Gibson et.al (2006), secara umum mengacu pada 2 (dua) kategori :

1. Teori kepuasan (Content Theory), yang memusatkan perhatian kepada faktor dalam diri orang yang menguatkan (energize), mengarahkan (direct), mendukung (sustain) dan menghentikan (stop) perilaku petugas.

2. Teori proses (Process Theory), menguraikan dan menganalisa bagaimana perilaku itu dikuatkan, diarahkan, didukung dan dihentikan.

Menurut Gibson et.al (2006), mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut:

1. Teori kepuasan terdiri dari ; (a) teori Hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow, (b) teori Dua Faktor dari Frederick Herzberg, (c) teori ERG (Existence, Relatedness, Growth) dari Alderfer, (d) teori prestasi dari McClelland.

2. Teori Proses terdiri dari ; (a) teori harapan, (b) teori pembentukan perilaku, (c) teori keadaan.

(4)

a) Kebutuhan akan prestasi (Need for achievement)

Kebutuhan akan prestasi diartikan sebagai dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil. Kebutuhan akan prestasi merupakan daya penggerak yang memotivasi semangat kerja seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya guna mencapai prestasi yang maksimal. Hanya dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan memperoleh pendapatan yang besar, yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

(5)

Individu berprestasi tinggi tampil dengan sangat baik ketika merasa kemungkinan berhasil adalah 0,5 yaitu, ketika memperkirakan bahwa memiliki kesempatan 50-50 untuk berhasil. Individu ini tidak suka berspekulasi dengan ketidaktetapan yang tinggi karena tidak mendapatkan pencapaian kepuasan dari keberhasilan yang kebetulan. Demikian pula, tidak menyukai ketidaktetapan rendah (kemungkinan untuk berhasil) karena nantinya tidak akan ada tantangan untuk keterampilan-keterampilan mereka. Individu berprestasi tinggi menentukan tujuan-tujuan yang mengharuskan mereka berjuang.

b) Kebutuhan akan kekuasaan (Need for power)

(6)

c) Kebutuhan akan afiliasi (Need for affiliation)

Kebutuhan akan afiliasi menjadi daya penggerak yang memotivasi semangat bekerja seseorang. Kebutuhan akan afiliasi akan merangsang gairah kerja seseorang yang menginginkan kebutuhan akan perasaan diterima orang lain, perasaan dihormati, perasaan maju dan tidak gagal, dan perasaan ikut serta. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang unutk persahabatan, lebih menyukai situasi-situasi yang kooperatif dibandingkan situasi yang kompetitif.

Beberapa prediksi yang didukung dengan baik bisa dibuat berdasarkan hubungan antara kebutuhan pencapaian dan prestasi kerja. Individu dengan kebutuhan pencapaian yang tinggi lebih menyukai situasi pekerjaan yang memiliki tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan resiko tingkat menengah. Ketika karakteristik ini merata, individu yang berprestasi tinggi akan sangat termotivasi. 2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi

Faktor motivasi dibedakan menjadi dua, yang pertama dinamakan situasi motivasi yang “subjective” atau faktor intrinsik dan yang kedua adalah faktor “objective” atau faktor ekstrinsik.

(7)

itu dapat terpenuhi secara positif bagi petugas, maka sejauh itu pula dorongan/daya motivasinya untuk bekerja bagi tercapainya tujuan organisasi.

Gibson et.al. (2006), menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk bekerja dengan bergairah ataupun bersemangat tinggi, apabila ia memiliki keyakinan akan terpenuhinya harapan-harapan yang didambakan serta tingkat manfaat yang akan diperolehnya. Motivasi yang timbul karena adanya usaha secara sadar dari manusia dan dilakukan untuk menimbulkan daya/ kekuatan/ dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu (perilaku) bagi tercapainya tujuan organisasi di tempat bekerja. Faktor-faktor tersebut meliputi gaji atau upah yang meningkat, adanya atasan atau pimpinan yang bijak, hubungan rekan kerja yang baik, kebijaksanaan organisasi/instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik, kebijaksanaan organisasi/instansi yang tepat, lingkungan kerja fisik yang baik dan terjaminnya keselamatan kerja. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi terpenuhinya akan harapan-harapan dan hasil kongkrit yang akan diperolehnya, maka semakin tinggi pula motivasi positif yang akan ditunjukkan olehnya.

2.2. Teori tentang Budaya Organisasi 2.2.1. Pengertian Budaya Organisasi

(8)

mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Sehingga untuk merubah suatu budaya harus pula merubah paradigma orang yang telah melekat. Budaya mempunyai kekuatan yang penuh, berpengaruh pada individu dan kinerjanya bahkan terhadap lingkungan kerja.

Robbin (2006), menyatakan bahwa budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. Lebih lanjut, Robbin (2006), menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekalian menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi.

Menurut Gibson et al (2006) budaya organisasi adalah cara pandang para pegawai dan bagaimana hal tersebut dipersepsikan sebagai suatu pola seperti kepercayaan, nilai yang menjadi suatu harapan. Budaya organisasi berkaitan dengan harapan, nilai dan perilaku, hal tersebut mempengaruhi secara individu, kelompok dan proses organisasi.

(9)

Berbagai teori dari hasil penelitian menghasilkan berbagai pandangan dan perbedaan tipe budaya. Tipologi yang digeneralisasi menjadi budaya organisasi secara umum adalah : (a) budaya yang dikembangkan dalam organisasi secara kekeluargaan (clan culture), (b) organisasi dengan peraturan, kebijakan, prosedur kerja, serta pengambilan keputusan yang jelas (bureaucratic culture), (c) organisasi dengan dinamika pegawai untuk berkreasi dan berinovasi (entrepreneaurial culture), (d) organisasi dengan orientasi pengembangan pemasaran (market culture) (Gibson

et. al, 2006).

Budaya organisasi merupakan suatu kekuatan yang tidak tampak, yang dapat menggerakkan orang-orang untuk melakukan suatu aktivitas kerja. Budaya organisasi yang kuat mendukung tujuan organisasi, sebaliknya yang lemah atau negatif menghambat atau bertentangan dengan tujuan organisasi. Budaya yang kuat dan positif sangat berpengaruh terhadap perilaku dan efektivitas kinerja organisasi sebagaimana dinyatakan oleh Deal & Kennedy, Miner, Robbin dalam Sutrisno (2007), karena menimbulkan antara lain sebagai berikut:

1. Nilai-nilai kunci yang saling menjalin, tersosialisasikan, menginternalisasikan, menjiwai pada para anggota, dan merupakan kekuatan yang tidak tampak;

2. Perilaku-perilaku karyawan secara tidak disadari terkendali dan terkoordinasi oleh kekuatan yang informal dan tidak tampak;

3. Para anggota merasa komit dan loyal pada organisasi;

(10)

6. Para karyawan merasa senang, karena diakui dan dihargai martabat dan kontribusinya, yang sangat rewarding.

7. Adanya koordinasi, integrasi dan konsistensi yang menstabilkan kegiatan-kegiatan organisasi;

8. Berpengaruh kuat terhadap organisasi dalam tiga aspek : pengarahan perilaku dan kinerja organisasi, penyebarannya pada para anggota organisasi, dan kekuatannya, yaitu menekan para anggota untuk melaksanakan nilai-nilai budaya;

9. Budaya berpengaruh terhadap perilaku individual maupun kelompok.

Greenberg dan Baron dalam Wibowo (2010) menyatakan budaya organisasi adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan yang diterima bersama oleh anggota organisasi. Akar setiap budaya organisasi adalah serangkaian karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota organisasi.

(11)

1. Inovasi dan pengambilan resiko : merupakan tingkat daya pendorong karyawan untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. Karyawan didorong rela berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dan dapat menciptakan Sesuatu hal yang baru dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan. Organisasi berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan dan lebih menyukai karyawan yang agresif. Organisasi cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, organisasi juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi

2. Perhatian terhadap detail : yaitu tingkat tuntutan terhadap karyawan untuk mampu memperlihatkan ketepatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Dimana diperlukan karyawan yang handal dan memiliki kompetensi dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang perlu ditangani dengan lebih serius. Organisasi akan merekrut para lulusan muda universitas, memberi pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan lulusan muda ini dalam suatu fungsi yang khusus. Organisasi lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.

(12)

proses yang digunakan untuk meraih hasil tersebut. Hasil yang didapat harus sesuai dengan yang diharapkan organisasi.

4. Orientasi terhadap individu : yaitu tingkat keputusan manajemen dalam mempertimbangkan efek-efek hasil terhadap individu yang ada di dalam organisasi.

5. Orientasi terhadap tim : yaitu tingkat aktifitas pekerjaan yang diatur dalam tim, bukan secara perorangan. Kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim yaitu diperlukan kerjasama dalam melaksanakan tugas bersama untuk mendapatkan hasil yang maksimal, bukan individu. Organisasi lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Organisasi juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi dan mengutamakan kerja sama tim.

6. Agresivitas : tingkat tuntutan terhadap orang-orang agar berlaku agresiv dan bersaing dan tidak bersikap santai. Berkaitan dengan semangat dan spirit dalam melakukan suatu pekerjaan.

7. Stabilitas : tingkat penekanan aktifitas organisasi dalam mempertahankan status quo berbanding pertumbuhan.

(13)

mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dikerjakan berdasarkan pengertian bersama, dan cara para anggota berperilaku.

Budaya organisasi dalam bidang pelayanan perawat pelaksana dapat dilihat dari filosofi, tujuan dan sasaran, struktur organisasi, fasilitas dan perawatan, dan kualifikasi pegawai adalah beberapa komponen dari struktur organisasi. Standar proses mencakup aktifitas yang terkait dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.

2.2.2. Pembentukan Budaya Organisasi

Menurut Robbin (2006) budaya organisasi terbentuk pada dasarnya melalui beberapa tahap, seperti pada gambar 2.2 berikut ini.

Sumber : Robbin (2006)

Gambar 2.1 Pembentukan Budaya Organisasi

Budaya organisasi terbentuk diawali dengan falsafah dasar pemilik organisasi yang merupakan budaya asli organisasi yang mempunyai pengaruh sangat kuat dalam kriteria yang tepat. Tahap selanjutnya adalah falsafah dasar yang diturunkan manejer puncak yang bertugas menciptakan suatu budaya organisasi yang kondusif dan dapat diterima oleh seluruh anggota berupa nilai-nilai peraturan, kebiasaan agar dapat

(14)

dimengerti. Tahap selanjutnya adalah tahap sosialisasi, dengan sosialisasi yang tepat, maka akan terbentuk budaya organisasi yang diharapkan (Robbin,2006).

2.2.3. Dimensi Budaya Organisasi.

Hofstede dalam Sobirin (2007) mengelompokkan budaya organisasi ke dalam 6 dimensi:

1. Process Oriented vs. Result Oriented

Pada process oriented culture, perhatian organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi. Sementara, pada result oriented culture perhatian organisasi lebih ditujukan pada hasil kegiatan ketimbang prosesnya sehingga sering organisasi tidak memerdulikan bagaimana proses dilakukan yang penting hasilnya cepat didapat dan sesuai dengan harapan organisasi.

2. Employee Oriented vs. Job Oriented

Employee oriented culture menggambarkan lingkungan internal organisasi pekerja yang menginginkan agar organisasi terlebih dahulu memperhatikan kepentingan para pekerja sebelum berorientasi pada pekerjaan. Job oriented culture

beranggapan bahwa para pekerja harus mendahulukan pekerjaan sebelum menuntut dipenuhinya kepentingan mereka.

3. Parochial vs. Profesional

(15)

adalah bagian integral dari organisasi. Professional culture karyawan merasa bahwa kehidupan pribadi adalah urusan sendiri dan alasan organisasi merekrut karyawan adalah karena kompetensi dalam melakukan pekerjaan bukan latar belakang keluarga atau alasan lain.

4. Open system vs. Close System

Open system culture menjelaskan bahwa organisasi cenderung tidak menutup diri dari perubahan baik yang terjadi pada lingkungan internal maupun eksternal.

Close system culture sebaliknya, organisasi diperlakukan sebagai sebuah mesin (machine organization) yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak melakukan perubahan.

5. Loose Control vs. Tight Control

Loose control culture, organisasi dengan tingkat pengendalian yang longgar, organisasi seolah tidak memiliki alat pengendali dan tata aturan formal yang memungkinkan organisasi bisa mengendalikan pekerjanya. Tight control culture,

organisasi semacam ini cenderung menetapkan aturan yang ketat bahkan dalam batas yang cenderung kaku. Penyimpangan terhadap aturan sangat tidak ditolerir.

6. Normative vs. Pragmatic

(16)

Dimensi budaya organisasi yang dijabarkan di atas, budaya organisasi yang terlihat di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea adalah Proccess Oriented, perhatian organisasi lebih ditujukan pada proses aktivitas yang berjalan yaitu proses perawatan terhadap pasien dan sejauh mana orang-orang yang bekerja pada organisasi patuh terhadap ketentuan atau kebijakan yang telah digariskan organisasi contohnya disiplin yang ditetapkan meliputi jam masuk kerja yang terbagi atas 3 shift yaitu pagi, sore dan malam.

2.2.4. Peranan dan Fungsi Budaya Organisasi

Wheelen & Hunger yang dikutip Nimran (1999), secara spesifik mengemukakan sejumlah peranan penting yang dikemukakan sejumlah peranan penting yang dimainkan oleh budaya organisasi, yaitu ; a) Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi pekerja, b) Dapat dipakai untuk mengembangkan keikatan pribadi dengan organisasi, c) Membantu stabilisasi organisasi sebagai suatu sistem sosial, d) Menyajikan pedoman perilaku, sebagai hasil dari norma-norma perilaku yang sudah terbentuk.

(17)

yang dapat dilakukan oleh masyarakat, (5) budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Menurut Kotter dan Heskett dalam Ndraha (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa betapapun kuatnya budaya dan cocok untuk situasi atau lingkungan (context), tetapi tidak untuk situasi lainnya. Dibutuhkan dimensi lain yaitu ketepatan dan kecocokan. Budaya yang kuat namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan situasi sesungguhnya dapat membuat orang berperilaku menghancurkan. 2.2.5. Sumber-Sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbin, 2006), yaitu :

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut berkepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru.

b. Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Penghargaan organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai.

(18)

2.2.6. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Budaya Organisasi

Menurut Tosi, Rizzo, Carrol dalam Munandar (2001), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,yaitu ;

a. Pengaruh umum dari luar yang luas

Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.

b. Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Keyakinan-keyakinan dan nilai yang dominan dari masyarakat luas, misalnya kesopansantunan dan kebersihan.

c. Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi

Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah internal maupun eksternal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan dalam mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

2.2.7. Konsep Budaya Organisasi dalam Pelayanan Keperawatan

Konsep budaya organisasi dalam pelayanan keperawatan sebagai bagian organisasi rumah sakit merupakan hal yang penting. Menurut Mukhlas (2005), budaya organisasi rumah sakit adalah pedoman atau acuan untuk mengendalikan perilaku organisasi dan perilaku perawat, tenaga kesehatan lainnya dalam berinteraksi antara mereka dan berinteraksi dengan rumah sakit lain.

(19)

yang dijadikan pedoman bekerja bagi semua anggota rumah sakit dapat diikutsertakan oleh peran perawat. Selain itu kemampuan perawat dalam pelayanan keperawatan secara professional dipengaruhi oleh budaya organisasi di tempat perawat bekerja, karena nilai-nilai antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain berbeda.

Menurut Kotter dan Heskett dalam Ndraha (2003) ada keterkaitan yang erat antara budaya organisasi dengan kinerja. Budaya yang kuat akan menghasilkan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Budaya yang kuat akan membantu kinerja dalam menciptakan motivasi dalam diri pekerja, menimbulkan rasa nyaman bekerja, kemudian timbul komitmen yang membuat karyawan lebih meningkatkan hasil kerja. 2.2.8. Budaya yang Kuat versus Budaya yang Lemah

Perbandingan antara budaya yang kuat dengan budaya yang lemah telah menjadi hal yang umum. Alasannya adalah budaya yang kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap sikap karyawan dan lebih tertuju langsung untuk mengurangi keluar masuknya karyawan.

(20)

Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya pekerja yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan kesepakatan yang tinggi mengenai tujuan organisasi di antara anggota-anggotanya. Kebulatan suara terhadap tujuan akan membentuk keterikatan, kesetiaan, dan komitmen organisasi. Kondisi ini selanjutnya akan mengurangi kecenderungan karyawan untuk keluar dari anggota organisasi.

2.3. Teori tentang Iklim Organisasi

Istilah Iklim organisasi (organizational climate) pertama kali dipakai oleh Hurt Lewin pada tahun 1930-an, yang menggunakan istilah iklim psikologi (pshycological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai oleh R Tagiuri dan G Litwin. Tagiuri mengemukakan sejumlah istilah untuk melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana perilau muncul: lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu), budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field setting), pola perilaku (behaviour setting), dan kondisi (conditions) (Stringer, 2002)

2.3.1. Pengertian Iklim Organisasi

(21)

Menurut Litwin dan Stringer juga dikutip Stringer (2002) : iklim organisasi adalah suatu konsep yang menerangkan kualitas lingkungan organisasi yang dirasakan dan dialami oleh anggota-anggotanya dan dapat diukur dengan menggunakan kuesioner yang tepat.

Menurut Swansburg (2000), iklim organisasi adalah status emosi yang ditunjukkan oleh anggota sistem. Iklim ini dapat formal, rileks, defensif, berhati-hati, menerima, percaya, dan sebagainya. Iklim ini adalah impresi subyektif karyawan atau persepsi tentang organisasi perawat.

2.3.2. Iklim Organisasi Rumah Sakit

Pada konsep Quality Assurance penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit dapat dilihat dari empat komponen yang mempengaruhinya, yaitu :

1. Aspek klinis, yaitu komponen yang menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknisi medis.

2. Efisiensi dan efektifitas, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosis dan terapi berlebihan.

3. Keselamatan pasien, yaitu upaya perlindungan pasien dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien, seperti jatuh, kebakaran dan lain-lain.

4. Kepuasan pasien, yaitu yang berhubungan dengan kenyamanan, keramahan dan kecepatan pelayanan.

(22)

a. Sasaran utama organisasi rumah sakit adalah memberikan pelayanan pribadi (perawatan dan pengobatan) kepada masing-masing pasien, berbeda dari kegiatan manufaktur benda yang sifatnya seragam. Nilai ekonomis produk dan sasaran organisasi tersebut harus tunduk pada nilai sosial dan perikemanusiaan.

b. Jika dibandingkan dengan industri manufaktur, rumah sakit sangat bergantung pada, dan agresif dalam bekerjaif terhadap masyarakat sekitarnya. Segala kegiatannya harus diintegrasikan dengan kebutuhan dan permintaan para “pelanggan” dan calon-calon “pelanggan”. Kebutuhan pasien harus diatas keperluan rumah sakit dan para karyawannya.

c. Hampir seluruh kegiatan di rumah sakit bersifat urgent dan tidak dapat ditangguhkan. Kegiatan ini menjadi beban fungsional dan moral bagi organisasi dan para anggotanya. Tanggung jawab dan tanggung gugat harus jelas bagi setiap karyawan. Kesilapan dan kesalahan tidak dapat ditolerir.

d. Sifat dan jumlah pekerjaan tidak merata. Rumah sakit tidak dapat menggunakan prosedur dan teknik manufaktor misal rumah sakit lebih cenderung pada bentuk sistem sosio-prosedural dan bukan tekno-struktural.

e. Sebagian besar karyawan rumah sakit adalah tenaga profesional, yang mana menimbulkan kerumitan administratif dan operasional.

(23)

g. Kepala rumah sakit hampir tidak mempunyai wewenang, kekuasaan, dan kebijaksanaan yang sama jika dibanding pemimpin-pemmpin perusahaan. Hal ini disebabkan keanekaragaman profesi dan keterlibatan orang awam dalam operasional rumah sakit. Para dokter, perawat dan ahli tenaga medis lainnya menganggap profesinya sesuatu yang suci, sehingga pengendalian dan perintah merupakan sesuatu yang dipantangkan. Sebaliknya para penyantun atau pemegang saham merasa perlu adanya manajemen yang dapat menjamin “surplus” demi kelangsungan hidup rumah sakit.

h. Rumah sakit adalah badan formal yang semi-birokratis, dan semi-otoriter, tetapi sangat bergantung pada hirarki konvensional, peraturan dan prosedur. Pembidangan dan profesionalisme sangat menonjol di bidang rumah sakit. Oleh karena itu yang erat sangat dituntut.

i. Rumah sakit menuntut kegiatan yang efisien dan prestasi kerja yang dapat diatur agar efektivitas organisasi secara keseluruhan dapat dicapai. Untuk itu, organisasi rumah sakit harus memungkinkan :

1. Pembagian tugas seluas-luasnya;

2. Ketergantungan pelayanan yang baik; 3. Koordinasi kegiatan yang selaras.

(24)

keperawatan rumah sakit yang dirasakan baik dan dapat meningkatkan kepuasan kerja perawat pelaksana, antara lain: 1) Dihargai oleh manajer dan pasien, 2) Pembagian otoritas yang jelas diantara diantara sejawat dengan manajer perawat, 3) kondisi kerja yang baik, 4) Gaji tinggi, 5) Kesempatan pengembangan karier yang meningkatan kemampuan perawat profesional untuk mengembangkan diri mereka melalui aktualisasi diri perawat melalui aktualisasi diri, 6) Dukungan administratif yang mencakup pengaturan staf adekuat dan pilihan waktu dinas (shift), 7) Peningkatan berorientasi tim dan saling percaya antara manajer perawat dengan perawat pelaksana, 8) Manajer perawat harus membuat strategi manajemen untuk mendukung perawat baru dan melibatkannya dalam pembuatan keputusan, 9) Manajer perawat membuat suatu iklim dimana inovasi dan pengambilan resiko diterapkan dengan adil dan sama.

Menurut Stringer yang dikutip dalam Kosasih (2002) iklim kerja pada suatu organisasi rumah sakit secara obyektif hanya bisa dijelaskan dan diukur secara tidak langsung melalui persepsi daripada para anggota-anggotanya.

2.3.3. Dimensi Iklim Organisasi

Iklim organisasi secara objektif berada dalam suatu organisasi, tetapi ia hanya bias dijelaskan dan diukur secara tidak langsung melalui persepsi dari pada anggota-anggotanya (Stringer, 2002).

(25)

dijumpai banyak variasi iklim organisasi. Penelitian mengenai iklim organisasi ini, diawali oleh Stringer dan Litwin pada tahun 1968 di Harvard Bussiness School. Setelah itu kuesioner yang digunakan dalam penelitian telah mengalami beberapa kali revisi dan sejak 1986 Stringer mengembangkan sendiri kuesioner yang lebih konsisten dan sederhana. Menurut Stringer, perlu pengelompokan ciri-ciri tertentu dalam iklim ke dalam kelompok-kelompok yang akan menjadi ciri khas suatu organisasi jika dibandingkan dengan organisasi lain. Pengelompokan ini berguna bagi pimpinan organisasi sebagai suatu pedoman untuk meningkatkan motivasi dan kinerja serta kepuasan kerja para anggotanya.

Kuesioner iklim organisasi yang dikembangkan dan telah digunakan Stringer (2002) terdiri atas 24 (dua puluh empat) item yang dikelompokkan atas 6 (enam) dimensi yaitu, Struktur, Standar, Tanggung jawab, Pengakuan, Dukungan, dan Komitmen.

a. Struktur

(26)

b. Standar

Standar menerangkan dan mengukur tekanan yang dirasakan oleh karyawan untuk meningkatkan kinerjanya dan kebanggaan yang dirasakan oleh karyawan karena telah melaksanakan tugas dengan baik. Skor standar yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan adanya tekanan manajemen untuk selalu berusaha meningkatkan kinerjanya. Skor standar yang rendah menunjukkan bahwa karyawan tidak merasakan adanya tekanan manajemen untuk meningkatkan kinerja.

c. Tanggung jawab

Tanggung jawab menerangkan dan mengukur persepsi karyawan tentang kesangggupan menyelesaikan suatu masalah tanpa dikontrol oleh orang lain. Skor tanggung jawab yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan diberi semangat dan dorongan untuk menyelesaikan suatu masalah. Skor tanggungjawab yang rendah menunjukkan karyawan merasa tidak diberi semangat dan dorongan untuk mengambil suatu resiko atau mencoba suatu pendekatan baru untuk menyelesaikan suatu masalah.

d. Pengakuan

(27)

menunjukkan karyawan merasakan bahwa penghargaan tidak secara konsisten diberikan.

e. Dukungan

Dukungan menerangkan dan mengukur persepsi karyawan terhadap kepercayaan dan kerja sama saling mendukung yang ada dalam satu kelompok kerja. Skor dukungan yang tinggi menunjukkan karyawan merasakan bahwa karyawan adalah bagian dari suatu kelompok yang bertugas dengan baik dan mudah mendapatkan bantuan atau dukungan (terutama dari atasan) bila diperlukan. Skor dukungan yang rendah menunjukkan karyawan merasakan bekerja sendirian dan terpisah dari kelompok.

f. Komitmen

Komitmen menerangkan dan mengukur perasaaan kebanggaan karyawan sebagai bagian dari organisasi dan tingkat komitmen mereka dalam mencapai tujuan organisasi. Skor komitmen yang tinggi menujukkan loyalitas terhadap organisasi adalah tinggi. Skor komitmen yang rendah menunjukkan karyawan merasakan apatis terhadap perkembangan dan pencapaian tujuan organisasi.

2.4. Budaya Organisasi dan Iklim Organisasi

(28)

Walaupun dapat berkembang dan berubah, budaya organisasi relatif tetap. Budaya organisasi dapat secara langsung dapat memengaruhi perilaku anggota organisasi. Budaya organisasi dapat juga memengaruhi perilaku pribadi anggota organisasi.

Iklim organisasi melukiskan lingkungan internal organisasi dan berakar pada budaya organisasi. Bila budaya organisasi bersifat relatif tetap, maka iklim organisasi bersifat relatif sementara dan dapat berubah dengan cepat. Jika penerapan budaya organisasi dapat memengaruhi perilaku organisasi secara positif, maka pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku organisasi dapat bersifat positif dan negatif.

Menurut Schwartz dan Davis dalam Wirawan (2007), budaya organisasi bukanlah iklim organisasi. Budaya organisasi menunjukkan struktur dalam organisasi yang berakar pada nilai–nilai, kepercayaan dan asumsi yang dikembangkan dan dipegang teguh oleh anggota organisasi dalam melaksanakan tugas dan perannya. Penguasaan nilai-nilai, asumsi, dan kepercayaan dilakukan melalui sosialisasi kepada individu dan kelompok secara sistematis. Karena dikelola, budaya bersifat stabil, walaupun juga bersifat fragil, karena sistem organisasi bergantung pada tindakan anggotanya. Sebaliknya, iklim organisasi merupakan lingkungan organisasi yang relatif statis yang berakar pada sistem nilai organisasi.

(29)

terhadap kinerja anggota organisasi. Berbeda dengan budaya organisasi, maka iklim organisasi memfokuskan pada persepsi anggota organisasi terhadap lingkungan kerjanya yang terutama dapat meningkatkan motivasi kerja dan kinerja kerja.

2.5 Keperawatan di Rumah Sakit

Tenaga keperawatan merupakan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar mengingat perawat adalah tenaga paramedis yang memberikan perawatan kepada pasien secara langsung, sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat. Seorang perawat dikatakan profesional jika memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan keperawatan profesional serta memiliki sikap profesional sesuai kode etik profesi.

Asuhan keperawatan adalah adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis, membutuhkan kreatifitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan (Carpenito,2000). Adapun tahap dalam melakukan asuhan keperawatan yaitu: pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, evaluasi.

(30)

sehingga setiap tenaga keperawatan mampu melaksanakan pelayanan prima dalam memberikan asuhan keperawatan.

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Kelompok kerja Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia di tahun 2001 merumuskan kompetensi yang harus dicapai oleh perawat profesional adalah sebagai berikut :

1. Menunjukkan landasan pengetahuan yang memadai untuk praktek yang aman. 2. Berfungsi sesuai dengan peraturan/undang-undang ketentuan lain yang

mempengaruhi praktek keperawatan.

3. Memelihara lingkungan fisik dan psikososial untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan kesehatan yang optimal.

4. Mengenal kemampuan diri sendiri dan tingkat kompetensi profesional.

5. Melaksanakan pengkajian keperawatan secara komprehensif dan akurat pada individu dan kelompok di berbagai tatanan.

(31)

7. Melaksanakan asuhan keperawatan yang direncanakan.

8. Mengevaluasi perkembangan terhadap hasil yang diharapkan dan meninjau kembali sesuai data evaluasi.

9. Bertindak untuk meningkatkan martabat dan integritas individu dan kelompok. 10. Membantu individu atau kelompok membuat keputusan berdasarkan informasi

yang dimiliki.

Menurut Henderson yang dikutip Nursalam (2002), keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai nursing services menyangkut bidang yang amat luas, secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir sampai meninggal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa sehingga orang tersebut dapat secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain.

Masyarakat dewasa ini sudah mulai memerhatikan pemberi jasa pelayanan kesehatan termasuk tenaga perawat yang merupakan penghubung utama antara masyarakat dengan pihak pelayanan secara menyeluruh. Bahkan menurut Nash et.al

yang dikutip oleh Swisnawati (2000), melaporkan penelitian yang dilakukan oleh ANA (American Nurse’s Association) bahwa 60 % sampai 80 % pelayanan preventif yang semula dilakukan oleh dokter, sebenarnya dapat diberikan oleh perawat dengan kemampuan profesional dan menghasilkan kualitas pelayanan yang sama.

(32)

pelayanan perawat sangat diperlukan dalam memenuhi kepuasan pasien yang sedang dirawat di rumah sakit. Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil perawat profesional adalah gambaran dan penampilan secara menyeluruh. Perawat dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.

2.5.1 Definisi Perawat

Perawat adalah karyawan rumah sakit yang mempunyai dua tugas yaitu merawat pasien dan mengatur bangsal (Hadjam, 2001). Menurut Ali (2002), menyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakannya sendiri atau dibawah pengawasan dan supervisi dokter atau suster kepala.

(33)

kelompok dan masyarakat) serta pelayanan yang mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan secara keseluruhan (Hidayat, 2004).

2.5.2 Fungsi Perawat

Berdasarkan lokakarya keperawatan nasional tahun 1983 dalam Hidayat (2004), disebutkan bahwa fungsi perawat adalah :

a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.

c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.

d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan. e. Mendokumentasikan proses keperawatan.

f. Mengidentifikasikan hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan keterampilan dan praktek keperawatan.

g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok serta masyarakat.

(34)

i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan.

Perawat dalam memberikan pelayanan prima harus peka dalam memahami alur pikiran dan perasaan pasien serta bersedia mendengarkan keluhan pasien tentang penyakitnya. Sehingga perawat dapat mengerti bahwa apa yang dikeluhkan merupakan kondisi yang sebenarnya, sehingga respon yang diberikan terasa tepat dan benar bagi pasien. Seorang perawat sangat besar peranannya dalam mengurangi buruknya kondisi psikologis pasien yang muncul sebagai akibat penyakit yang dideritanya seperti cemas, takut, stres sampai depresi. Dalam hal ini perawat berperan dalam menciptakan suasana psikologis yang kondusif bagi usaha penyembuhan yang optimal yaitu dengan memberikan pelayanan prima (Taylor, 1995 dalam Ali, 2002).

2.6. Landasan Teori

(35)

Litwin & Stringer dalam Koontz et.al (1984) menyatakan bahwa teori tiga kebutuhan (berprestasi, berafiliasi dan berkuasa) dari McClelland sebagai tipe utama motivasi, ditemukan bahwa ketiga kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh iklim organisasi. Terdapat 9 dimensinya, antara lain : struktur, standar, tanggungjawab, pengakuan, dukungan, komitmen, imbalan, konflik & identifikasi dan resiko.

(36)

Kombinasi teori-teori tersebut disajikan dalam bagan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Landasan Teori

Sumber : Robbin (2006), Litwin & Stringer dalam Koontz et.al (1984)

2.7. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan terarah maka digambarkan dalam kerangka konsep seperti berikut :

- Inovasi dan pengambilan resiko - Perhatian terhadap detail

(37)

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dijelaskan pengertian konsep sebagai berikut:

Budaya organisasi yang terlihat di RSUD Porsea meliputi aspek perhatian terhadap detail, berorientasi tim dan agresif dalam bekerja, serta iklim organisasi meliputi aspek struktur kerja, standar kerja, pengakuan dan komitmen berpengaruh terhadap motivasi berprestasi perawat pelaksana. Dengan adanya motivasi perawat pelaksana untuk berprestasi dalam memberikan pelayanan kesehatan diharapkan mampu meningkatkan kinerjanya. Pembatasan indikator dilakukan dengan pertimbangan penekanan pada keadaan yang nyata dan merupakan permasalahan yang ada di area penelitian.

BUDAYA ORGANISASI (X1)

MOTIVASI BERPRESTASI

IKLIM ORGANISASI (X2)

Gambar

Gambar 2.1 Pembentukan Budaya Organisasi
Gambar 2.2. Landasan Teori
Gambar 2.3. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Penyajian informasi secara multimedia merupakan salah satu cara yang sedang popular pada saat ini dan cara ini semakin banyak digunakan oleh para pengguna komputer dalam

Penggunaan navigasi situs sangat mudah, yaitu dengan meng-klik sebuah link mengenai pembahasan materi yang diinginkan maka pembahasan materi tersebut akan langsung ditampilkan

Ilustrasi Pengalihan Sebagian Besar Debit Banjir Bengawan Solo melalui Sudetan Plangwot – Sedayu Lawas.. WADUK LAPANGAN DENGAN LAPISAN GEOMEMBRANE • Merupakan solusi jangka

Program studi yang diusulkan harus memiliki manfaat terhadap institusi, masyarakat, serta bangsa dan negara. Institusi pengusul memiliki kemampuan dan potensi untuk

memiliki kecerdasan emosional yang baik maka individu tersebut akan mampu mengenali dan menangani perasaan diri sendiri dan orang lain dengan baik, selain itu penyelesaian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kadar besi, seng, tembaga dan timbal antara biji melinjo segar, emping yang dibuat sendiri dan yang beredar di pasaran, dan

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan lama konsumsi obat anti tuberkulosis pada pasien TB paru dengan pa- rameter yang berbeda seperti jumlah trombosit dan

Berdasarkan rata-rata nilai hasil post-test keterampilan vokasional anak tunadaksa SMALB-D YPAC Surabaya yaitu kemampuan mereka dalam keterampilan vokasional membuat