BAB I
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh lingkungan, baik pengalaman atau pendidikan di sekolah. Di rumah pengalaman kegamaan pada anak mengikuti pola keagamaan orang tua. Praktek keagamaan yang benar oleh orang tua akan menjadi keuntungan sendiri bagi anak perihal agamanya ketika dewasa. Sebaliknya, keagamaan seorang anak tidak baik jika semasa kecilnya ia tidak di perkenalkan agama secara baik. Peran orang tua sangat menentukan keberagaman anak.
Di sekolah, keagamaan anak ditentukan oleh guru agama. Dasar agama di lingkungan keluarga akan dikembangkan di sekolah sesuai tingkat pengetahuannya. Semakin bertambah umur mereka, semakin bertambah pula konsep agama yang mereka miliki. Semula mereka hanya mengenal tuhan melalui fantasi dan emosinya, ketika di sekolah ia akan mengenal tuhan secara formal sebagaimana diajarkan oleh guru mereka. Pada tahapan ini, mereka sangat tertarik untuk mempelajari agama. Sebagaimana dikatakan Jalaluddin dalam buku psikologi agama, anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak? b. Bagaimana Perkembangan Agama Pada Anak-Anak? c. Apa Saja Sifat Agama Pada Anak?
d. Bagaimana Pendekatan Pembinaan Agama Pada Anak? 3. Tujuan Pembahasan
a. Untuk Mengetahui Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak? b. Untuk Mengetahui Perkembangan Agama Pada Anak-Anak? c. Untuk Mengetahui Sifat Agama Pada Anak?
d. Untuk Mengetahui Pendekatan Pembinaan Agama Pada Anak?
B. PEMBAHASAN
Bahasa merupakan tahan awal seorang anak mengenal tuhan.1 Semula
nama tuhan dikenal secara acuh tak acuh. Selanjutnya ia akan merasakan
kegelisahan setelah melihat orang-orang dewa menunjukkan rada kagum dan takut kepada tuhan. Ia akan gelisah dan ragu tentang adanya yang gaib yang tidak dapat dilihatnya. Ia akan mengikuti dengan mengulang-ulang apa yang dibaca oleh orang dewasa. Lambat laun, tanpa sadar, pemikiran tentang tuhan akan masuk dalam dirinya dan menjadi pembinaan kepribadiannya.2 Zakiah Derajat
mengatakan, semula, tuhan bagi anak merupakan hal yang asing yang diragukan kebaikan niatnya. Hal ini disebabkan oleh pengalaman kesenagan atau kesusahan belum dirasakan oleh seorang anak. Namun setelah ia menyaksikan orang dewasa yang disertai emosi atau perasaan tertentu dalam memandang tuhan, perlahan-lahan perhatiannya terhadap tuhan mulai tumbuh. Bahkan pada tahap awal, pengalaman tentang tuhan merupakan hal yang tidak disenangi karena merupakan ancaman bagi integritas kepribadiannya. Itulah sebabnya, menurut Zakiah, seorang anak sering menanyakan tentang dzat, tempat dan perbuatan tuhan untuk mengurangi kegelisahannya.
Jawaban yang diterima oleh anak atas pertanyaan yang ia ajukannya dengan puas sepanjang jawaban itu serasi. Jawaban yang tidak serasi akan membawa pada keragu-raguan dan pandangan skeptis pada masa remaja. Oleh karena itu, apa yang dipercayai seorang anak tergantung pada apa yang diajarkan oleh orang tua di rumah dan seorang guru di sekolah.3
Disamping menjadi sandaran emosi, tuhan menjadi penolong moral yang berarti penolong anak-anak dalam menghadapi dorongan jahat yang timbul di hatinya. Pada masa akhir anak-anak terlihat perhatiannya yang sangat kepada tuhan karena ia penolong yang baik, menolong orang lemah, membalas orang yang aniaya. Gambaran tentang ini sangat menolong anak untuk menerima kesusahan dan penderitaan yang kadang-kadang meminta pengorbanan.4
Karena ini Zakiah Derajat mengatakan bahwa anak yang lebih besar, sembahyang dan doanya lebih sungguh-sungguh dari pada anak kecil. Ia mulai menyadari bahwa tuhan sebagai tempat penolong dan agama sebagai kebaikan tertinggi. Kejahatan yang paling besar pada anak usia 9 tahun adalah mencela agama. Nilai agama meningkat bersama nilai-nilai keluarga atau berarti moral keluarga mengikuti moral agama.
Allah semakin dekat kepada jika si anak karena anak makin dekat pula padanya. Ia mulai mendengar kata hatinya tentang akhlak dan Allah menjadi pantulan dari suara tersebut.5
1. Perkembangan Jiwa Anak
Dalam proses perkembangan terjadi perubahan yang terus menerus dan satu kesatuan. Masa perkembangan itu adalah masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak sekolah, masa remaja dan masa dewasa.6
Perkembangan adalah serangkaian perubahan progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman, seperti dikatakan oleh Van den Dalk, perkembangan berarti berkembang secara kualitatif. Ini berarti perkembangan bukan hanya sekadar perubahan beberapa centimetr pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
Menurut Kohnstam tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi 5 periode :
a. Umur 0-3 tahun, periode vital atau menyusuli
b. Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain
c. Umur 6-12 tahun periode intelektual (masasekolah)
d. Umur 12-21 tahun periode sosial atau masa pemuda atau masa adolesence
5 Ibid, hal 65.
e. Umur 21 ke atas periode dewasa atau masa kemana tangan fisik dan psikis seseorang.7
2. Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak
Yang dimaksud dengan masa anak-anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan :8
a. 0-2 tahun (masa vital) b. 2-6 (masa kanak-kanak) c. 6-12 tahun (masa sekolah)
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan demikian anak telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten(tersembunyi). Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:
1) Prinsip biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa disekelilingnya. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2) Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnnya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
3) Prinsip eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara
7 Sururin, ilmu jiwa agama, jakarta: PT grafindo persada.2004. hal.46
sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.9
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekligus melainkan melalui pentahapan. Demikian juga perkembangan agama pada diri anak. Oleh karena itu timbul pertanyaan, darimanakah timbulnya agama pada diri anak?dalam hal ini, menurut beberapa ahli ada yang berpendapat bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah anak berada pada tahap kemetangan.
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh. Perasaan anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan barcampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidiknya supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada masa kedua (7 tahun ke atas) perasaan anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
Adapun faktor-faktor yang dominan dalam perkembangan jiwa keagamaan pada anak antar lain: 10
a) Rasa Ketergantungan
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Faur Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keingianan untuk perlindungan, keinginan akan pengalaman baru, keinginan untuk mendapat tanggapan, keinginan untuk dikenal. Berdasarkan kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, maka bati sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
b) Instink Keagamaan
Menurut Woodwort, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.
Dengan demikian, isi, warna dan corak perkembangan keberagamaan anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin dalam kandungan.
Hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa sesungguhnya apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan lainnya. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya, bahkan diatas kebutuhan akan kekuasaan. Keinginan tersebut merupkan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai Tuhan.11 Ada beberapa teori antara lain :
1) Teori Monistik (mono=satu)
Bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya sumber tunggal manakah yang dimaksud yang paling dominan sebagai sumber kejiwaan itu timbul beberapa pendapat :
a) Thomas Van Aquino
Yang menjadi sumber kejiwaan agama itu adalah berfikir. Manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya.
b) Frederick Hegel
Filosof Jerman ini berpendapat agama adalah suatu pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.
c) Rudolf Otto
Sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal darithe wholly other yang sama sekali lain. Jika seorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain, maka keadaan mental seperti itu diistilahkan olrh R. OTTO numinous. perasaan yang seperti itu sebagai sumber dari kejiwaan agama pada manusia.
2) Teori fakulti(faculty theory)
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting. Yaitu : fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa(will).
a) Cipta berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
b) Rasa menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c) Karsa menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.12
3. Perkembangan Agama Pada Anak
Perkembangan pada anak melewati beberapa fase atau tingkatan, seperti yang disampaikan oleh Ernest Harm, dalam bukunya Development of Religious on Children, yaitu perkembangan agama pada anak melalui tiga tingkatan bahwa:13
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkat ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada tahap ini pemahaman anak tentang
konsep Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh emosi dan fantasi. Itu dikarenakan pemahaman konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, yang mana kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi oleh kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun masih menggunakan konsep fantasi itu.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini biasanya dimulai sejak anak masuk sekolah dasar. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realistis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Ide pemahaman keagamaan pada masa ini atas dorongan emosional, hingga mereka bisa melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa
ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga kegamaan yang mereka lihat dan dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan usianya, konsep ini terbagi atas tiga golongan, yaitu :
1) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil dari fantasi, hal tersebut disebabkan dari luar.
2) Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
3) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa faktor luar yang bersifat alaminya.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada diri manusia sejak Ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan kepada Sang Pencipta, atau dalam Islam dikenal dengan Hidayah al-Diniyah (baca: Hidayatud Diniyah), berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya potensi ini, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang beragama
Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dorongan keberagamaaan merupakan faktor bawaan manusia. Apakah nantinya setelah dewasa seorang anak akan menganut agama yang taat, sepenuhnya tergantung dari pembinaan nilai-nilai agama dari kedua orang tuanya. Keluarga merupakan pendidikan dasar pada anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah pelanjut dari pendidikan rumah tangga. Dalam kaitan ini terlihat peran strategis dan peran sentral keluarga dalam meletakkan dasar-dasar keberagamaan bagi anak.14
4. Sifat-Sifat Agama Pada Anak
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat keagamaan pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat keagamaan pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority, yaitu ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, yaitu maksudnya faktor keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.
Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda, telah melihat, mempelajari hal-hal yang ada di luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua merekatentang sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan agama. Kembali lagi bahwasannya orang tua memiliki pengaruh sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki.
Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua dan guru mereka. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Oleh karena itu bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:15
a. Unreflective (Tidak Mendalam)
Yaitu kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka cukup puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa anak, ada diantara mereka yang memiliki ketajaman pemikiran untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
b. Egosentris
masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
c. Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ketuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep ketuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep ini terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa keberadaan Tuhan itu sama dengan manusia.
d. Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
e. Imitatif
Dalam hal menjalankan kegamaan yang dilakukan oleh anak-anak berdasarkan dari hasil meniru, yang mereka peroleh dari hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif.
f. Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada pada orang dewasa, rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan kreatif, mereka hanya kagum pada keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dati pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
Dalam pembinaan agama pada pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok serta sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi, karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya. 16
Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat terpuji tidaklah mungkin dengan penjelasan saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat anak cenderung melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik.
Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihandan pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu diberikan sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumny, terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina yang pertama adalah orang tua, kemudian guru. Sikap anak terhadap agama dibentuk pertama kali di rumah melalui pengalaman yang didapat dari orang tuanya, kemudian disempurnakan dan diperbaiki oleh guru disekola maupun di tempat pengajian seperti masjid, musholla, TPA/TPQ dan madrasah diniyah.
dari orang tua maupun dari guru, seperti pemberian sedekah kepada fakir miskin, berkurban, menolong terhadap sesama dan sebagainya. Oleh karena itu guru agama memiliki keperibadian yang dapat mecerminkan ajaran agama, seperti apa yang diajarkannya kepada anak didiknya.
Kepercayaan kepada Tuhan dan agama pada umumnya tumbuh melalui pembiasaan dan latihan sejak kecil, dengan kata lain pembiasaan dalam pendidikan pada anak sangat penting, terutama pembentukan pribadi akhlak dan agama pada umumnya, karena pembiasaan-pembiasaan itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Semakin banyak pengalaman yang didapatnya melalui pembiasaan itu, akan banyak pula unsur-unsur agama dalam pribadinya, dan semakin mudahlah ia memahami sebuah ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agamanya di kemudian hari.
Secara rinci, pembinaan agama kepada anak yang sesuai dengan sifat keberagamaan anak maka dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:17
a. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman langsung seperti salat berjamaah, bersedakah, zakat, berkurban, meramaikan hari raya dengan bersama-sama membaca takbir dan sebagainya. Pengalaman agama secara langsung tersebut ditambah dengan penjelasan sekedarnya saja atau pesan-pesan yang disampaikan melalui dongeng, cerita, main drama, nyanyian, permainan sehingga tidak membebani mental maupun pikiran mereka.
b. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan anak-anak, mengingat sifat agama anak masih egosentris. Sehingga model pembinaan agama bukan mengikuti kemauan orang tua maupun guru saja, melainkan harus banyak variasi agar anak tidak cepat bosan. Untuk itu orang tua maupun guru harus memiliki banyak ide dan kreativitas tentang strategi dan teknik pembinaan agama, sehingga setiap saat bisa berganti-ganti pendekatan dan metode walaupun materi yang disampaikan boleh jadi sama.
c. Pengalaman agama anak selain didapat dari orang tua, guru dan teman-teman sebaya, mereka juga belajar dari orang-orang disekitarnya yang tidak mengajarinya secara langsung. Untuk itu pembinaan agama anak juga penting dilakukan melalui pembauran secara langsung dengan masyarakat luas yang terkait dengan kegiatan agama seperti pada waktu mengikuti salat tarwih, salat
jumat, salat hari raya, berkurban maupun kegiatan yang lainnya. Dengan mengajak anak sekali waktu berbaur secara langsung dengan masyarakat yang melakukan peribadatan maka anak akan semakin termotivasi untuk menirukan perilaku-perilaku agama yang dilakukan oleh masyarakat umum. Hal itu perlu dilakukan mengingat agama anak masih bersifat anthromorphis.
d. Pembinaan agama kepada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajari anak salat, maka lebih dahulu diajarkan tentang hafalan bacaan salat secara berulang-ulang hingga hafal diluar kepala sekaligus diiringi denagn tindakan salat secara langsung dana kan lebih menarik apabila dilakukan bersama teman-temannya. Setelah anak hafal bacaan dan gerakan salat, maka seiring bertambah usia, pengalaman dan pengetahuannya baru dijelaskan tentang syarat, rukun serta hikmah salat. Demikian juga tentang materi-materi pembinaan agama lainnya.
e. Mengingat sifat agama masih imitatif, pemberian contoh nyata dari orang tua, guru dan masyarakat lingkungannya sangatlah penting. Untuk itu dalam proses pembinaan tersebut perilaku orangtua maupun guru harus benar-benar dapat dicontoh anak baik secara ucapan maupun tindakan.
maupun kampus-kampus Islam ataupun pusat-pusat kebudayaan Islam, agar pertumbuhan jiwa keagamaan mereka semakin baik. Selain kunjungan langsung ke objek pusat-pusat agama, pembinaan agama anak juga sangat penting melalui petualangan layar kaca baik televisi maupun video compact disk (VCD) tentang pusat-pusat kebudayaan agama secara global maupun peristiwa-peristiwa alam seperti nonton VCD tentang jejak-jejak rasul maupun berbagai peristiwa agama seperti yang banyak diciptakan oleh Harun Yahya dari Turki. Pembinaan agama dengan pendekatan ini sangat penting, mengingat rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat kegamaan pada anak.
Jadi penanaman agama itu mulai dengan amaliah atau tindakan, petualangan berupa kunjungan maupun studi banding kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya dan pada waktu yang tepat. Dengan kata lain pembiasaan sangatlah penting dalam pembinaan keagamaan anak.18
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak di atas bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Perkembangan Jiwa anak
a. Umur 0-3 tahun, periode vital atau menyusuli
b. Umur 3-6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain c. Umur 6-12 tahun periode intelektual (masasekolah)
d. Umur 12-21 tahun periode sosial atau masa pemuda atau masa adolesence
e. Umur 21 ke atas periode dewasa atau masa kemana tangan fisik dan psikis seseorang.
2. Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak, perkembangan keberagamaan anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan orang tuanya. Keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak sejak janin dalam kandungan.
3. Perkembangan Agama Pada Anak-Anak
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
4. Sifat Agama Pada Anak
a. Unreflective (Tidak Mendalam) b. Egosentris
c. Anthromorphis d. Verbalis dan Ritualis e. Imitatif
f. Rasa Heran
5. Pendekatan Pembinaan Agama Pada Anak
a. Pembinaan agama lebih banyak bersifat pengalaman langsung
b. Kegiatan agama disesuaikan dengan kesenangan anak-anak, mengingat sifat agama anak masih egosentris
c. Pengalaman agama anak selain didapat dari orang tua, guru dan teman-teman sebaya
d. Pembinaan agama kepada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung
e. Mengingat sifat agama masih imitatif, pemberian contoh nyata dari orang tua, guru dan masyarakat lingkungannya sangatlah penting.
Daftar Rujukan
Derajat Zakiah, 1979, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang.
Zulkifli, 2005, Psikologi perkembangan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Sururin, 2004, ilmu jiwa agama, Jakarta: PT Grafindo Persada.
Baharuddin, Mulyono, 2008, Psikologi Agama dalam perspektif Islam, Malang: UIN press.