• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam U"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMILU SERENTAK 2019 DALAM UPAYA PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

M. Arie Herdianto, Dr. Muchammad Ali Safaat, S.H., M.H., M. Dahlan, S.H., M.H. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Email: d_toto93@yahoo.co.id

ABSTRAK

Indonesia merupakan sebuah negara yang menerapkan sistem presidensial dan sistem multipartai secara bersama-sama. Beberapa argumentasi menyebutkan bahwa kombinasi dari kedua sistem tersebut merupakan suatu hal yang rumit bahkan berpotensi menyebabkan pelemahan terhadap sistem presidensial itu sendiri sehingga berujung pada inektivitas dan instabilitas pemerintahan. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta pemilu anggota legislatif yang akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 diyakini akan memperkuat sekaligus memurnikan sistem presidensial di Indonesia.

Kata kunci: Pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019, penguatan sistem presidensial

ABSTRACT

Indonesia is a state which is applicating the presidential system of government and the multiparty system simultaneously. Some thesis mentioned that the combination of these two systems is a complicated thing even potentially lead to the weakening of the presidential system itself, directs to inactivity and instability government. The general concurrent election which held in 2019 is believed to strengthen also purify the presidential system in Indonesia, especially in Presidential authority as head of state and head of government.

(2)

A. Pendahuluan

Reformasi merupakan suatu titik balik bagi Bangsa Indonesia untuk

mengevaluasi penerapan prinsip kedaulatan rakyat yang dianggap minim semasa

rezim Orde Lama dan Orde Baru. Hal tersebut –pada puncaknya- ditandai dengan

perubahan terhadap batang tubuh Undang-undang Dasar 1945, khususnya pada

pasal-pasal yang secara spesifik mengatur tentang penguatan terhadap sistem

presidensial di Indonesia.1 Secara tidak langsung, penguatan terhadap sistem

presidensial sebagaimana disepakati oleh MPR diawal proses Perubahan UUD

1945 akan berpengaruh terhadap tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,

dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa dalam pelaksanaan sistem presidensial,

Presiden bertanggungjawab kepada rakyat secara langsung dan bukan melalui

MPR.2 Melalui momentum tersebut, Indonesia mengalami transformasi sistem

dari yang sebelumnya melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh

MPR (indirect democracy) menjadi pemilihan Presiden dan Wakil Presden secara

langsung oleh rakyat (direct democracy).

Momentum pergeseran sistem pemilu tersebut tidak serta merta

mengurangi problem ketatanegaraan di Indonesia. Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal

22E Ayat (3) seolah memberikan hegemoni dan supremasi terhadap partai politik

mulai dari sekedar mengusulkan hingga mencalonkan pasangan Presiden dan

Wakil Presiden, calon anggota DPR, bahkan calon anggota DPRD Propinsi, serta

DPRD Kota/Kabupaten, suatu hal yang berbeda dengan peta politik pada Rezim

Orde Baru. Kondisi normatif tersebut secara konseptual membuka arus

demokratisasi pada masa transisi saat itu, namun disisi lain justru menimbulkan

1

MPR merumuskan 5 kesepakatan yang menjadi dasar pijakan dalam Perubahan UUD, yaitu: (1) Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah; (2) Bentuk negara kesatuan akan dipertahankan; (3) Sistem pemerintahan presidensial akan diperkuat; (4) Penjelasan UUD ditiadakan sedangkan isinya yang bersifat normatif dijadikan isi pasal UUD; dan (5) Perubahan dilakukan dengan addendum, dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam

Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. xix dan 3.

2

(3)

praktek-praktek politik pragmatis yang jauh dari nilai-nilai ideologis partai dan

hanya berorientasi untuk mencari kekuasaan belaka.

Munculnya puluhan partai pada saat pemilu justru akan menimbulkan

permasalahan baru. Pertama, hal tersebut membuka peluang terjadinya transaksi

politik akibat fragmentasi peta politik yang secara ideologis sebenarnya tidak

saling berseberangan. Salah satunya, dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (4)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 20033 menegaskan bahwa pilpres dilaksanakan pasca

pileg dan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan atau

Wakil Presiden adalah partai yang telah memenuhi persyaratan ambang batas

minimal pada pencalonan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam pilpres

(presidential threshold). Secara politis, terfragmetasinya peta politik partai

kedalam banyak sub tidak akan memunculkan satu partai dominan atau

menguasai setidak 50%+1 suara pada pileg, akibatnya koalisi partai politik

terbentuk hanya 3 bulan sebelum pelaksanaan pilpres. Hasilnya adalah koalisi

yang pragmatis tersebut.

Kedua, koalisi pragmatis tersebut pada akhirnya hanya akan terus menekan

Presiden terpilih melalui infiltrasi kepentingan partai pada berbagai kebijakan

yang hendak diambil oleh Presiden. Kebijakan yang paling awal berpeluang

untuk diintervensi adalah pembentukan kabinet yang merupakan ranah prerogatif

Presiden. Frasa dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi

“Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” menjadi landasan

konstitusional bagi Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government)

untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri secara mandiri dan jauh

3

Penulis mengambil ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 karena undang-undang tersebut lahir pasca Perubahan UUD. Selain itu ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (4) sama dengan ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (5) dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang sama-sama mengatur tentang jadwal pelaksanaan pilpres pasca pileg dan ketentuan mengenai

(4)

dari intervensi dari pihak manapun, khususnya partai politik pendukung

pemerintah.4

Namun, kondisi yang terjadi menggambarkan bahwa Presiden dan Wakil

Presiden yang terpilih secara langsung melalui partai politik sebagai fasilitatornya

kerap mengalami intervensi politik dalam penyusunan anggota kabinet. Dimulai

sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil

Presiden Jusuf Kalla periode 2004-2009,5 semasa Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono periode 2009-2014,6 dan terakhir pada

masa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.7 Akibatnya kinerja

eksekutif menjadi kurang optimal dan Presiden berada dalam kondisi yang

tersandera oleh partai pendukungnya sendiri.

Dan ketiga, menyangkut pada hubungan antara Presiden dan DPR.

Merujuk kepada pola sistem presidensial sebagaimana yang direkonseptualisasi

oleh James Madison bahwa terdapat kewenangan tumpang tindih antara cabang

eksekutif dan legislatif khususnya, hal tersebut sekaligus memberikan ruang bagi

berjalannya mekanisme checks and balances.8 Keberadaan mekanisme tersebut

secara obyektif dapat menghasilkan suatu pemerintahan yang sehat dimana

Presiden diawasi oleh DPR begitu pula sebaliknya sehingga potensi terjadinya

penyalahgunaan kewenangan dapat ditekan. Tetapi kondisi yang ada, fungsi

pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintah melalui penggunaan

hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat kerap dijadikan

4

Kewenangan Presiden tersebut secara eksplisit diatur lebih lanjut dalam Pasal 3, Pasal 7, Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 24 Ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Anonymous, 9 Mei 2009, Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Pemilu 2009,

http://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.akhir.perolehan.suara.nasional.p emilu, diakses tanggal 23 Agustus 2015.

7

M. Arie Herdianto, Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam Upaya Penguatan Sistem

Presidensial di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, 2015, hlm. 67-69. 8

(5)

sebagai ajang adu posisi tawar (bargaining position). Akibatnya, pemerintah

kembali tersandera dan terhambat –kali ini oleh DPR- untuk menerapkan sebuah

kebijakan, sedangkan DPR menjadi kurang produktif dalam menghasilkan

undang-undang karena terkonsentrasi untuk sekedar menyudutkan posisi

pemerintah.

Apabila kita tarik garis lurus, maka dukungan pragmatis pada pencalonan

Presiden pada pilpres yang disusul dengan pembentukan kabinet bermuara pada

relasi antara Presiden dan DPR. Ketiga faktor ini dianggap sebagai penyebab

inefektivitas dan instabilitas pemerintahan, termasuk pada pemerintahan Presiden

Joko Widodo.

Menjadi kajian utama dari penulis, pertama, berdasarkan permohonan

judicial review terhadap UU Pilpres oleh Effendi Gazali tersebut, MK

memutuskan bahwa Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan pemilu

dilaksanakan secara serentak dalam jangka waktu 5 tahun sekali.9 Berdasarkan

original intent Pasal 22E Ayat (2) UUD NRI 1945 selama masa pembahasan

dalam Perubahan Ketiga, MK menjelaskan bahwa yang masuk dalam rezim

pemilu adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan

Wakil Presiden, salah satunya mengacu kepada pendapat Slamet Effendy Yusuf

yang menjawab pertanyaan Tjetje Hidayat dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan

Indonesia (F-KKI), bahwa:10

“…Presiden nanti dalam pemilihan yang langsung itu diadakan di dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bareng-bareng ketika memilih DPR, DPD, kemudian DPRD (Propinsi dan Kota/Kabupaten).”

9

MK menggunakan menafsirkan sesuai original intent Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Perubahan UUD 1945 pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum memang dimaksudkan untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc 1 dengan jelas muncul kata-kata “Pemilu bareng-bareng”, “Pemilu serentak” serta istilah yang lebih spesifik “Pemilu lima kotak”, dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, hlm. 14.

10

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan 1999-2002 Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan), Buku V Pemilihan Umum, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010,

(6)

Original intent Pasal 22E Ayat (1) dan (2) yang menghendaki pelaksanaan

pilpres dan pileg secara serentak, Mahkamah juga berpendapat bahwa kebiasaan

(desuotudo) seperti yang dilakukan saat ini yaitu dengan memisahkan antara

pelaksanaan pileg dan pilpres terlebih dahulu dengan alasan pelantikan Presiden

dan Wakil Presiden oleh MPR tidak dapat menjadi alasan konstitusionalitas yang

dapat dipersamakan dengan ketentuan konstitusi, apalagi hanya mendasarkan

pada kebiasaan yang baru dilaksanakan sekali dan pada teks konstitusi yang

sebenarnya sudah menyatakan secara tegas (expresis verbis) maupun secara

implisit sangat jelas.11

Putusan ini disatu sisi mementahkan Pendapat Mahkamah sebelumnya

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang

menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu --pileg dan pilpres-- secara terpisah

merupakan sebuah kebiasaan “the life of law has not been logic it has been

experience” yang telah diterima dan dilaksanakan sehingga pelaksanaan pemilu

terpisah –seperti halnya yang diatur dalam UU Pilpres—adalah konstitusional.12

Serta pada sisi lain mengamini discenting opinion yang diajukan oleh 3 hakim

konstitusi yaitu Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M. Akil Mochtar

terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang

menyatakan bahwa:13

1. Mahkamah tidak konsisten dengan pendapatnya dalam putusan perkara-perkara sebelumnya (misal Putusan Nomor 56/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009) yang melakukan penafsiran konstitusi cenderung pada tafsir tekstual dan original intent, dikatakan bahwa seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon;

2. Menyatakan bahwa original intent Pasal 22E Ayat (1) dan (2) memang menghendaki pemilu yang diadakan satu kali dalam 5 tahun sebagai satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya (electoral laws and electoral processes) oleh “suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;

11

Putusan MK Nomor 14/…, Op. Cit., hlm. 77. 12

Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, hlm. 186-187. 13

(7)

3. Menyatakan bahwa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden membutuhkan MPR yang sudah dilantik sehingga memunculkan logika bahwa pileg memang dilaksanakan sebelum pilpres dianggap terlalu menyederhanakan masalah, alasan lain bahwa pelaksanaan pileg tersebut merupakan konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan di Indonesia;

4. Menganggap bahwa mekanisme presidential threshold merupakan akal-akalan politis, karena legitimasi Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial terletak pada rakyat bukan DPR atau MPR laiknya dalam sistem parlementer, sehingga sebenarnya threshold sudah tercantum dalam peta persebaran suara sebagaimana terdapat dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”;

5. Jika pemilu dilaksanakan secara serentak, maka secara mutatis mutandis mekanisme presidential threshold akan kehilangan relevansinya.

Kedua, Saldi Isra berpendapat bahwa sistem presidensial di Indonesia

masih berorientasi pada sistem parlementer.14 Berdasarkan pernyataan tersebut,

maka penulis menganggap bahwa pemilu serentak dapat dijadikan salah satu

alternatif untuk memperkuat atau memurnikan sistem presidensial berbasis sistem

multipartai seperti yang ada di Indonesia. Penguatan sistem presidensial yang

dimaksud adalah penegasan peran Presiden sebagai kepala negara sekaligus

kepala pemerintahan apabila dikaitkan pada hubungan dengan DPR, termasuk

hubungan Presiden dengan koalisi pendukung maupun hubungan dengan pihak

oposisi. Seperti dalam proses pembentukan koalisi pemenangan calon Presiden

dan Wakil Presiden, penyusunan daftar nama calon menteri yang akan diposisikan

sebagai anggota kabinet, serta hubungan kerja antara Presiden dengan DPR.

14

(8)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah

yaitu “bagaimana peran dari pemilu serentak terhadap penguatan sistem

pemerintahan presidensial?”.

C. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian yuridis

normatif. Penelitian jenis ini menekankan kepada analisis terhadap bahan-bahan

hukum (library based, focusing on reading and analysis of the primary and

secondary materials).15 Selain itu, penulis menggunakan 3 pendekatan dalam

menganalisis bahan-bahan yang digunakan, yaitu: 1. Pendekatan

perundang-undangan (statute approach); 2. Pendekatan konseptual (conceptual approach);

dan 3. Pendekatan sejarah (historical approach).

D. Pembahasan

1. Peran Pemilu Serentak terhadap Penguatan Sistem Presidensial

Sistem pemilihan proporsional yang diimplementasikan bersamaan

dengan sistem presidensial dan sistem multipartai banyak dirasakan tidak

ideal, termasuk dalam kasus di Indonesia. Sistem proporsional menghendaki

bahwa tidak ada suara dalam partai politik yang terbuang percuma laiknya

dalam sistem distrik sehingga banyak sekali partai politik yang terakomodir

dalam parlemen – sehingga menjadikannya terfragmentasi,16 hanya saja

dibentuk syarat ambang batas untuk membatasi jumlah partai politik efektif di

parlemen (parliamentary threshold).

15

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm. 46.

16

Jose Antonio Cheibub menyatakan bahwa divided government akan terjadi pada sistem pemerintahan presidensial apabila: (1) jumlah parpol efektif terlalu banyak; (2) tidak menerapkan sistem pemilu mayoritarian, melainkan menggunakan sistem pemilu proporsional untuk memilih parlemen, dan (3) pemilihan presiden dan pemilihan parlemen tidak dilakukan bersamaan. Dalam Ramlan Surbakti dkk., Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional

(9)

Pada beberapa istilah, fragmentasi menjadi rujukan yang umum

digunakan untuk menggambarkan begitu banyaknya ragam background

politik yang terakomodir dalam parlemen, akibatnya pengambilan suara

didalamnya baik pada masing-masing kompartemen alat kelengkapan

dewan termasuk di Komisi maupun paripurna menjadi tidak efektif.

Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa kombinasi sistem

presidensial dan sistem multipartai cenderung bermasalah, yaitu:17

1. Sistem presidensial berbasis multipartai cenderung mengakibatkan kebuntuan hubungan eksekutif dan legislatif sehingga kerja pemerintahan menjadi tidak efektif;

2. Sistem multipartai cenderung menciptakan polarisasi ideologis daripada sistem dua-partai;

3. Kombinasi kedua sistem tersebut juga berimplikasi pada sulitnya membentuk koalisi antarpartai dalam sistem presidensial;

Permasalahan yang terjadi dalam penentuan koalisi pilpres untuk

mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden ada pasca penetapan kursi

legislatif yang fragmentatif. Lobi politik terjadi dimana-mana, sifat

pragmatis, dan singkat menjadi kerikil tajam yang juga kerap terjadi

dimanapun, termasuk di Indonesia. Akibatnya, pemerintah yang terpilih

menjadi tersandera baik oleh kekuatan pendukungnya sendiri dan juga

oleh pihak oposisi.

Jika pada masa Orde Baru pemerintah yang menyandera birokrat,

militer, dan Golkar dengan pork barrel politics-nya, termasuk anggota

DPR dan MPR yang diangkat oleh Presiden sehingga mereka selalu

aklamatif dalam mendukung rezim yang berkuasa. Berbanding terbalik

pada kondisi pasca Reformasi ini dimana pihak yang tersandera adalah

pemerintahnya, yakni oleh kekuatan-kekuatan politik pendukungnya

sendiri maupun oleh pihak oposisi.

17

(10)

Sebenarnya MPR dalam pembahasan Perubahan UUD sudah

berupaya untuk menahan agar sistem presidensial tidak direduksi atau

tereduksi baik secara alamiah melalui model diktator dan otoriter,

maupun secara politis yakni kuasa parlemen yang melebihi pemerintah

(legislative heavy). Pada pembahasan mengenai pelaksanaan pemilu,

Soewarno dari F-PDIP misalnya, menyatakan di akhir pembahasan pasal

mengenai pelaksanaan pemilu “setiap lima tahun sekali” bahwa:18

“Pemilu itu diadakan serempak dan sekali saja, baik menyangkut Presiden dan Wakil Presiden, menyangkut Anggota DPR Pusat, DPRD, maupun Dewan Perwakilan Daerah. Jadi dengan demikian akan terjadi kerja yang efisien dan juga hasilnya maksimal dan menghindari resiko sosial dan politik yang mungkin tidak kita inginkan…”

Secara sederhana, pernyataan tersebut berarti bahwa pemilu nasional

(general elections, dengan `s` karena sifatnya yang jamak) meliputi

pemilu Presiden serta pemilu anggota DPR dan DPD dilaksanakan secara

serentak atau dalam satu kali pelaksanaan. Berbeda halnya dengan

pemilu yang dilakukan terpisah dimana pilpres dilaksanakan sesudah

pelaksanaan pileg.

Jika kita mengacu kepada studi perbandingan mengenai sistem

pemerintahan baik dalam sistem presidensial maupun sistem parlementer

secara konvensional bahwa terdapat perbedaan pemaknaan antara Pasal 3

Ayat (5) UU Pilpres19 dengan pelaksanaan pemilu dalam sistem

presidensial pada umumnya. Sulardi mengatakan kondisi seperti itu

sebagai sistem yang serba-tanggung, dikatakan parlementer tidak tetapi

presidensial juga bukan.20

Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan bahwa dalam sistem

presidensial, pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan terlebih

18

Naskah Komprehensif…, Buku V Pemilihan Umum, Op. Cit., hlm. 610. 19

Pasal 3 Ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, berbunyi “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.” 20

(11)

dahulu baru setelah itu pemilihan anggota legislatif.21 Sedangkan dalam

sistem parlementer, pemilihan anggota parlemen dilaksanakan terlebih

dahulu, baru kemudian partai politik atau koalisi terbesar di parlemen

mengusulkan calon Perdana Menteri kepada kepala negara.22

Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, antarcabang

kekuasaan tidak dapat saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya,23

upaya yang bisa dilakukan sebatas checks and balances karena sifat

antarcabang yang horizontal bukan vertikal. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra, frasa “…lima tahun sekali…”

dalam Pasal 22E Ayat (1) yang berbunyi: “Pemilihan umum

dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil

setiap lima tahun sekali.” mengandung makna bahwa tidak ada dua, tiga,

atau lebih pemilu dalam rentang lima tahun kecuali satu kali.24 Dapat kita

pahami bahwa pemilu yang dilaksanakan terpisah seperti yang diterapkan

di Indonesia saat ini tidak membawa perubahan yang signifikan, kecuali

yang terkait dengan inefektivitas anggaran dan waktu serta instabilitas

kondisi politik.

Pertama, pemilu yang terpisah menjadi salah satu sumber

permasalahan yang ada. Satu contoh yakni politik transaksional yang

dikatakan oleh Effendi Gazali sebagai salah satu penghambat kemajuan

Indonesia.25 Pada permohonan uji materiil yang diajukannya, Effendi

Gazali menyatakan bahwa “POLITIK TRANSAKSIONAL yang terjadi

berlapis-lapis (bertingkat-tingkat), umumnya antara Partai Politik

dengan Individu yang berniat menjadi Pejabat Publik, serta antara

Partai Politik untuk pengisian posisi Pejabat Publik tertentu. Dikaitkan

21

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013, hlm. 10. 22

Ibid. 23

Menurut Alfred Stefan dan Cindy Skach utamanya pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif karena keduanya mendapatkan mandat langsung dari pemilih melalui pemilu, dalam Saldi Isra,

Pergeseran…, Op. Cit., hlm.41.

24

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/…, Op.Cit., hlm. 11. 25

(12)

dengan Pemilihan Umum Anggota Legislatif dan Pemilihan Umum

Presiden & Wakil Presiden), POLITIK TRANSAKSIONAL BISA

TERJADI 4 SAMPAI 5 KALI, yakni: a) Pada saat mengajukan

Calon-calon Anggota Legislatif; b) Pada saat mengajukan Calon Presiden &

Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential Threshold; c)

Setelah diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum Presiden

(jika dibutuhkan Putaran Kedua); d) Pada saat pembentukan kabinet; e)

Pada saat membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat

yang kemudian menjadi sejenis prototype untuk koalisi di Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi

jabatan dan sebagainya;”26

Politik transaksional tentu menjadi sebuah ganjalan kronis bagi

proses demokratisasi pemilu dalam upaya untuk menciptakan legitimate

government serta dapat dipastikan terjadi pada setiap penyelenggaraan

pemilu. Bahkan Effendi Gazali mengatakan bahwa politik transaksional

bisa terjadi 4 sampai 5 kali dalam pelaksanaan pemilu, yaitu pada saat: a)

Mengajukan Calon-calon Anggota Legislatif; b) Mengajukan Calon

Presiden & Calon Wakil Presiden karena ketentuan Presidential

Threshold; c) Diketahuinya hasil Putaran Pertama Pemilihan Umum

Presiden (jika dibutuhkan Putaran Kedua); d) Pembentukan kabinet; e)

Membentuk semacam koalisi di Dewan Perwakilan Rakyat yang

kemudian menjadi sejenis prototype untuk koalisi di Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (tingkat I dan II), antara lain untuk alokasi jabatan dan

sebagainya.27

Argumentasi diatas diperkuat oleh penelitian Ibrahim Fahmy

Badoh dan Luky Djani (2006) mengenai praktek korupsi pemilu pada

tahun 2004 dimana dari 25 pola pemilu –yang dikualifikasikan dalam 7

kategori—yakni: a) Pendaftaran pemilih; b) Pendaftaran dan penetapan

26 Ibid. 27

(13)

peserta pemilu; c) Penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi; d)

Pencalonan dan penetapan calon anggota legislatif; e) Kampanye; f)

Pendaftaran pemilih; serta g) Pemungutan, perhitungan, dan penetapan

suara, pelaku utamanya adalah perorangan calon anggota legislatif, partai

politik sebagai peserta pemilu, simpatisan, termasuk petugas di

lapangan.28 Baik Effendi Gazali maupun Ibrahim Fahmy Badoh dan

Luky Djani sama-sama memfokuskan pada peserta pemilu yang

berorientasi kepada kekuasaan dan faktor-faktor materialistis.

Kedua, mekanisme pencalonan Presiden dan atau Wakil Presiden

oleh partai politik atau gabungan partai politik yang didasarkan pada

syarat presidential threshold. Premis kedua ini menjadi argumentasi

pendukung bahwa pemilu yang terpisah memang berpotensi besar untuk

menimbulkan politik pragmatis yang hanya berorientasi pada kekuasaan

belaka.

28

Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani, Korupsi Pemilu, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2006, hlm. 132-133.

Pemilu anggota DPR

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Pragmatisme politik, sebab terbesarnya adalah standar nilai presidential threshold

yang besar

1. Pemilu terpisah

(14)

Pemilu serentak seperti yang digambarkan diatas (Gambar D.1)

mampu menempatkan satu golongan partai politik dengan suara

mayoritas mutlak atau gabungan beberapa partai politik sebagai

mayoritas baik dalam pemerintahan maupun di DPR. Persamaan latar

belakang politik partai baik di pemerintahan maupun di DPR menjadi

salah satu –meminjam istilah E.D. Raile, the executive toolbox--

keuntungan bagi pemerintah atas dukungan yang diberikan oleh DPR.29

Meski harus diakui pula bahwa pemilu serentak tidak menutup

kemungkinan terjadinya intrik-intrik politik tertentu.

Sebagai contoh, hasil yang ‘sebenarnya diharapkan’ pada

pelaksanaan pemilu serentak 2019 ada pada pemerintahan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono (Pemilu

2009) dimana Partai Demokrat berhasil memperoleh suara tertinggi

dalam pileg dengan 21.655.295 suara (20,81%) atau 148 kursi di DPR,

kemudian disusul berurutan oleh Partai Golkar (106 kursi) dan PDIP (94

kursi). Secara politis, hal tersebut berpengaruh terhadap konstelasi politik

29

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia : Upaya Mencari Format

Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, Al-Mizan, Bandung, 2014, hlm.

70.

2. Pemilu serentak

Gambar D.1 Skema Perbandingan

Pemilu Terpisah dan Pemilu Serentak

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

+

Pemilu anggota DPR

Presiden

+

(15)

baik sebelum pilpres --yang memenangkan pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Boediono—maupun setelah Pilpres.30 Namun diluar

konstelasi politik yang ada, secara konseptual pemilu serentak memang

menghendaki adanya kesamaan pandangan politik –termasuk kesamaan

platform partai politik maupun koalisi—antara Presiden dengan DPR.

Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya kesamaan-kesamaan cara

pandang antara Presiden dengan DPR adalah jaminan efektivitas kinerja

pemerintahan. Djayadi Hanan mengungkapkan bahwa aktor utama yang

berpengaruh dalam proses-proses pengambilan keputusan di DPR hanya

terletak pada segelintir saja, yakni pada pimpinan fraksi dan pada

pimpinan komisi.31 Sebagai catatan bahwa Partai Demokrat dan koalisi

pemerintah di DPR menguasai 421 kursi (75,2%), sedangkan pihak

oposisi yakni PDIP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura hanya menguasai

138 kursi (24,8%), itu pun belum ditambah dengan perbedaan cara

pandang pada internal misalnya PDIP antara Megawati Soekarnoputri

dengan Taufik Kiemas.32

Jumlah kursi mutlak yang diperoleh oleh koalisi pemerintah di

DPR juga berimbas terhadap putusan-putusan DPR yang cenderung

yesman terhadap kebijakan pemerintah.33 Akhirnya, baik pemerintah

30

Pengumuman hasil pilpres oleh KPU tentu berimbas terhadap susunan kabinet (di pemerintahan) maupun susunan koalisi fraksi dan penentuan posisi-posisi alat kelengkapan dewan di DPR.

31

Djayadi Hanan, Op. Cit., hlm. 141. Sebagai komposisi dari Alat Kelengakapan Dewan (AKD) di DPR, peran pimpinan DPR dan pimpinan komisi menjadi sangat signifikan, Partai Demokrat menjadi partai terbesar yang mengisi kedua AKD tersebut yaitu Ketua DPR, Ketua Komisi III, VII, dan X, serta sebagai Wakil Ketua Komisi pada Komisi I, II, IV, V, VI, VIII, IX, dan XI, dalam Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014, hlm. 132.

32

Ibid., hlm. 133. 33

(16)

maupun DPR dapat saling berkompromi dan `bermufakat` mengenai

kebijakan-kebijakan yang ada. Meski pada sisi lain, konsep seperti itu

pada akhirnya melahirkan ciri politik kartel.

Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa ketiadaan oposisi yang

efektif sebagai penjelmaan dari mekanisme checks and balances menjadi

salah satu ciri keberadaan politik kartel, selain ciri 1) Hilangnya ideologi

partai yang menentukan arah koalisi; 2) Sikap permisif (serba boleh)

dalam pembentukan koalisi; 3) Hasil pemilu yang tidak berpengaruh

dalam menentukan perilaku politik partai; dan 4) Kuatnya kecenderungan

partai untuk bertindak sebagai suatu kelompok,34 misalnya sikap politik

PKB ditentukan oleh sikap KIH secara kolektif.

Ilustrasi politik semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono Jilid II sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentu

menjadi salah satu kehendak yang dapat diwujudkan dari

diaplikasikannya pelaksanaan pemilu serentak yakni kesamaan partai

atau platform partai politik antara pemerintah dan DPR, namun tidak dari

sisi kompromistisnya meski dapat diyakini pula bahwa kompromi politik

juga akan tercipta bagaimanapun sistemnya hanya saja rekayasa sistem

dapat dilakukan untuk menekan titik potensi terjadinya kompromi yang

menjurus pada pragmatisme politik.

Selain kesamaan platform politik, pemilu serentak juga diharapkan

dapat menekan adanya transaksionalitas pemilu sebagaimana yang

diharapkan pula oleh Effendi Gazali yang disebabkan oleh jeda waktu

antara pileg dan pilpres. Adanya jeda 3 bulan antara pileg dan pilpres35

Op. Cit., hlm. 85. Baca Djayadi Hanan, Ibid., hlm. 352-357 untuk melihat hasil kompromi antara

pemerintah dengan DPR. 34

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia

Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009, hlm. 3.

35

(17)

semakin membuka peluang bagi partai politik untuk menimbang

untung-rugi berkoalisi dengan partai A, B, C, dst.

Pemilu serentak juga mencoba me-redesign tatanan koalisi partai

politik yang ada kedalam bentuk yang lebih solid, fundamentalis,

berbasis kesamaan visi misi, dan pertemuan chemistry. Hal tersebut tidak

dapat dibentuk dalam waktu yang singkat laiknya yang disebutkan dalam

Pasal 14 Ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres, melainkan hubungan yang

dibangun melalui proses yang panjang.

Guna mendukung terciptanya koalisi yang solid maka partai politik

diharapkan membangun koalisi –karena dalam sistem multipartai yang

dikombinasikan dengan sistem proporsional seperti di Indonesia tidak

dimungkinkan adanya partai mayoritas dan sederhana layaknya pada

sistem distrik— lebih awal atau jauh sebelum dilaksanakannya pemilu.

Diskursus pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, bahwa hasil Pemilu

2014 dan koalisi yang berada didalamnya tentu menjadi keuntungan

tersendiri bagi pelaksanaan pemilu serentak tersebut. Bahwa keberadaan

dari KIH maupun KMP yang menyebabkan polarisasi perpolitikan

Indonesia pada dua kutub besar tentu menjadi desain yang `sebenarnya`

diharapkan.36

Jika kita flashback pasca penetapan hasil Pileg 2014 yang lalu,

maka terdapat dua kutub koalisi besar yakni KIH dan KMP yang

cenderung seimbang. Andai kedua koalisi besar tersebut berupa dua buah

partai seperti Republik dan Demokrat di Amerika Serikat maupun

Konservatif dan Buruh di Inggris, maka transaksionalitas politik

termasuk didalamnya politik dua kaki dapat benar-benar ditekan.

Sampai sejauh ini, posisi KIH dan KMP memang masih jelas,

yakni sebagai ruling party dan opposition side sehingga keberadaan

36

(18)

fragmentasi partai politik dapat disederhanakan dengan keberadaan

koalisi –yang sangat diharapkan bertahan hingga lebih kurang 5 tahun

kedepan— membuahkan jalinan politik yang memang berdasarkan pada

common platform politik partai, visi misi calon, persamaan isu strategis,

dan memprioritaskan rakyat.

E. Penutup

1. Kesimpulan

Konsep pemilu serentak sebagaimana yang telah dijelaskan diatas

diterapkan untuk menekan potensi terjadinya pelemahan terhadap sistem

presidensial di Indonesia, khususnya pada kekuasaan presiden sebagai kepala

negara dan kepala pemerintahan. Melalui banyak argumen diatas, dapat

diambil hipotesis bahwa terpolarisasinya peta politik pasca pelaksanaan

pemilu anggota legislatif menjadi salah satu penyebabnya, tepatnya pada

penerapan mekanisme presidential threshold sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Prosentase ambang batas

minimal yang didesain untuk menekan jumlah partai politik efektif yang

berpeluang untuk mencalonkan Presiden dan atau Wakil Presiden justru

menjadi prasyarat yang mengharuskan partai politik untuk berkoalisi.

Implikasi dari keharusan untuk membentuk koalisi guna mendukung

pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah tersanderanya

Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh partai politik pendukungnya sendiri,

salah satunya melalui desakan partai politik untuk memasukkan nama-nama

bakal calon menteri atau anggota kabinet kepada Presiden, akibatnya kinerja

pemerintahan kerap mengalami pergolakan politik serta menjadi tidak efektif.

Selain itu, kebuntuan hubungan (deadlock) antara Presiden dengan

DPR dapat ditekan seiring dengan keberadaan koalisi yang solid dan

terbentuk jauh sebelum pelaksanaan pemilu. Salah satu alasannya, Presiden

dan DPR dalam sistem presidensial merupakan dua lembaga yang sama-sama

(19)

menyebabkan satu dengan yang lainnya tidak dapat saling membubarkan.

Sehingga, kewenangan konstitusional presiden tidak dapat dipengaruhi oleh

kekuatan politik yang ada di DPR, begitu pula sebaliknya. Desain pemilu

serentak yang membuat mekanisme presidential threshold menjadi tidak

relevan untuk diaplikasikan membuat DPR menjadi lebih obyektif dalam

melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah sehingga checks and

balances akan lebih optimal, karena rakyat yang akan menentukan calon mana

yang pantas untuk dipilih atau tidak dipilih kembali pada pemilu selanjutnya.

Jadi, berdasarkan uraian sebagaimana telah dijabarkan diatas penulis

berkesimpulan bahwa pemilu serentak dapat memperkuat sistem presidensial

di Indonesia melalui keberadaan koalisi yang solid dan berdasarkan common

platform partai politik serta tidak dibangun semata-mata untuk memenuhi

persyaratan ambang batas yang pragmatis.

2. Saran

Diakhir penulisan ini, penulis memberikan beberapa saran kepada

pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat, terutama kepada partai

politik sebagai peserta pemilu, antara lain:

1. Pelaksanaan pemilu serentak membutuhkan persiapan yang matang oleh

partai politik sebagai peserta pemilu (Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E

Ayat (3) UUD NRI 1945), yang meliputi mekanisme pencalonan bakal

calon anggota legislatif DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten

serta bakal calon Presiden dan Wakil Presiden;

2. Persiapan yang matang hendaknya dimulai sejak berjalannya

pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla

(2014-2019) yakni melalui konsistensi sikap dari partai politik dalam

Koalisi Indonesia Hebat (KIH) maupun Koalisi Merah Putih (KMP)

sehingga terdapat langkah antisipatif guna menghadapi pencalonan baik

anggota legislatif maupun calon Presiden dan Wakil Presiden pada pemilu

(20)

3. Partai politik yang tergabung dalam KIH maupun KMP diharapkan

mampu menggali chemistry yang ada diantara mereka, hal tersebut dapat

berdampak pada kesolidan dan konsistensi peran masing-masing koalisi

dan partai politik yang bergabung didalamnya pasca pelaksanaan Pilpres

2019, apakah peran sebagai partai pendukung pemerintah atau sebagai

partai opisisi, sehingga diharapkan muncul konfigurasi politik pasca

Pilpres 2019 yang stabil hingga menjelang pergantian pemimpin pada

Pilpres 2024;

4. Diharapkan muncul suatu produk undang-undang yang komprehensif dan

menyeluruh mengenai pemilu, jika perlu dilakukan kodifikasi pada

undang-undang yang mengatur tentang pemilu, seperti undang-undang

tentang penyelenggara pemilu, undang-undang tentang pilpres dan pileg,

serta undang-undang tentang partai politik;

5. Salah satu pokok bahasan penting yang perlu diatur secara formil yaitu

ketentuan mengenai pembatasan terhadap pencalonan Presiden dan Wakil

Presiden oleh partai politik jika mekanisme presidential threshold

dihapuskan, sehingga proses pencalonan menghasilkan calon-calon yang

ideal bagi pilpres.

F. Daftar Pustaka

Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia :

Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, Al-Mizan, Bandung, 2014

Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke

Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010

Ibrahim Fahmy Badoh dan Luky Djani, Korupsi Pemilu, Penerbit Indonesia

Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar

(21)

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia Publishing, Malang, 2005

Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem

Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer

Gramedia (KPG), Jakarta, 2009

Margarito Kamis, Jalan Panjang Konstitusionalisme Indonesia, Setara

Press, Malang, 2014

Ramlan Surbakti dkk., Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan

Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, Kemitraan bagi

Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta, 2011

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers,

Jakarta, 2013

Syamsuddin Haris, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta, 2014

Syamsuddin Haris, Ramlan Surbakti, dkk., Pemilu Nasional Serentak 2019

(e-book), Electoral Research Institute-Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia, Jakarta, 2015

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan 1999-2002

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan), Buku V Pemilihan Umum,

Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

2010

Skripsi

M. Arie Herdianto, Pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 dalam Upaya

Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan,

(22)

Undang-undang dan Putusan

Undang-undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden

dan Wakil Presiden, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4924

Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013

Internet

Anonymous, 9 Mei 2009, Inilah Hasil Akhir Perolehan Suara Pemilu

2009,http://nasional.kompas.com/read/2009/05/09/22401496/inilah.hasil.a

Gambar

  Gambar D.1

Referensi

Dokumen terkait

Nilai min yang diperoleh oleh item 10 pula ialah 3.75, di mana seramai 166 orang responden (62.4%) tidak setuju dengan kenyataan bahawa saya pernah mengikut kawan ponteng

Jika dikaitkan dengan rancangan penelitian ini maka delapan tahapan tersebut yaitu: (1) menyeleksi topik penelitian, dalam hal ini adalah dengan melihat budaya mutu

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang diambil dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.Data yang

Dari penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam skripsi “ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PENJUALAN BARANG PADA LEEKOFIBER YOGYAKARTA” maka dapat ditarik

departemen tenaga kerja dialokasikan berdasarkan jumlah karyawan dan anggaran biaya departemen pemeliharaan dialokasikan berdasarkan jam pemeliharaan.. Berikut ini data estimasi

Dengan tujuan kegiatan adalah ananda melatih ketrampilan motorik halus anak dalam melatih koordiansi mata dengan tangan dan kelenturan pergelanga tangan, juga

Studi literatur meliputi studi mengenai perangkat lunak yang akan digunakan untuk merancang sistem otomasi pada proses pengepakan teh berbasis SCADA yang dilengkapi

<$iat mekanika kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan atau mela+an beban/beban yang datang dari luar. <Oang dimaksud dengan beban dari luar yaitu gaya/gaya diluar