• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja pada Pekerja Perkebunan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Semangat Kerja

A.1. Definisi Semangat Kerja

Morale atau semangat kerja menurut American Heritage

Dictionary (dalam Chambers & Honeycutt, 2009) adalah spirit yang

dimiliki oleh seseorang dan sekelompok orang yang ditunjukkan dengan adanya kepercayaan diri, keceriaan, disiplin dan kemauan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Semangat kerja juga didefinisikan dengan adanya energi, antusiasme, rasa kebersamaan dan kebanggaan yang dimiliki oleh karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya (Hart, Wearing, Conn, Carter, & Dingle, 2000; Hart & Cooper, 2005). Sementara itu, McKnight, Ahmad & Schroeder (2001) mendefinisikan semangat kerja sebagai derajat seorang karyawan merasa senang atau bahagia dengan pekerjaan maupun lingkungan kerjanya.

(2)

Menurut Sastrohadiwiryo (2003) terminasi semangat kerja mengacu pada suatu kondisi mental, atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja tersebut untuk bekerja dengan giat dan konsekwen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Selanjutnya Hasibuan (2005) menyebutkan bahwa semangat kerja sebagai keinginan dan kesungguhan seseorang dalam mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan disiplin untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh berbagai ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa semangat kerja adalah sikap mental individu terhadap pekerjaan dan lingkungan kerjanya dimana individu bersedia mengerjakan pekerjaannya dengan gembira dan bersungguh-sungguh yang pada akhirnya akan menentukan kesediaan, antusiasme, kerjasama, dan energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

A.2. Aspek Semangat Kerja

Maier (1998) mengemukakan empat aspek semangat kerja, yaitu: 1. Kegairahan

(3)

bekerja untuk organisasi dan tidak mengutamakan pada apa yang mereka peroleh.

2. Kualitas untuk bertahan

Aspek ini tidak langsung menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai semangat kerja yang tinggi tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran di dalam pekerjaannya. Ini berarti adanya ketekunan dan keyakinan penuh dalam diri karyawan. Keyakinan ini menunjukkan seseorang yang memiliki energi dan kepercayaan dalam memandang masa yang akan datang dengan baik. Individu tetap berusaha mencapai tujuan semula meskipun mengalami kesulitan, hal ini yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki kualitas untuk bertahan. Ketekunan mencerminkan seseorang memiliki kesungguhan dalam bekerja. Sehingga tidak menganggap bahwa bekerja sebagai hal yang menghabiskan waktu saja melainkan sebagai sesuatu yang penting.

3. Kekuatan untuk melawan frustrasi

Aspek ini menunjukkan adanya kekuatan seseorang untuk selalu konstruktif walaupun mengalami kegagalan yang ditemui dalam bekerja. Seseorang yang memiliki semangat kerja yang tinggi tentunya tidak akan memiliki sifat pesimis apabila menemui kegagalan dalam pekerjaannya. 4. Semangat kerja

(4)

menunjukkan adanya kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain agar orang lain dapat mencapai tujuan bersama.

A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja

Penelitian-penelitian mengenai semangat kerja yang selama ini dilakukan menunjukkan bahwa semangat kerja dipengaruhi oleh sikap positif individu terhadap pekerjaan dan penilaian hasil kerja (Linz, Good, & Huddleston, 2006), persepsi karyawan terhadap keadilan atasan pada proses pengangkatan dan promosi karyawan (Ingram, 2009), kepercayaan terhadap organisasi atau organizational trust (Fard, Ghatari, & Hasiri, 2010), merger (Chambers & Honeycutt, 2009), downsizing (Makawatsakul & Kleiner, 2003; Myers, 1993), organizational team

building (Zia, 2011), perubahan-perubahan organisasi (Decker, Wheeler,

Johnson, & Parson (2001). Selain faktor-faktor diatas, pemberian

feedback, insentif dan autonomy dengan variabel moderator yaitu

kedekatan hubungan atasan-bawahan juga memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap semangat kerja karyawan (McKnight, Ahmad, & Schroeder, 2001).

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja karyawan dapat dibedakan menjadi faktor yang berasal organisasi, yaitu: merger, downsizing,

(5)

autonomy, keadaan organisasi serta ukuran organisasi, dan faktor yang

berasal dari individu seperti sikap dan persepsi.

A.4. Indikator Turunnya Semangat Kerja

Dalam suatu organisasi, adapun yang menjadi tanda-tanda atau indikasi menurunnya semangat kerja antara lain sebagai berikut (Nitisemito, 2002):

1. Rendahnya produktivitas kerja

Penurunan produktivitas dapat terjadi karena kemalasan dan penundaan pekerjaan, dan lain sebagainya. Penurunan ini menjadi indikasi bahwa dalam organisasi terjadi penurunan semangat kerja. 2. Tingkat absensi yang naik atau tinggi

Penurunan semangat kerja pada karyawan menyebabkan karyawan malas bekerja.

3. Labour turnover atau tingkat perpindahan karyawan yang tinggi

Meningkatnya jumlah karyawan yang memutuskan keluar dari perusahaan yang disebabkan oleh karyawan yang mengalami ketidaknyamanan ketika bekerja.

4. Tingkat kerusakan yang meningkat

(6)

5. Kegelisahan dimana-mana

Bentuk-bentuk kegelisahan yang terjadi seperti ketidaktenangan dalam bekerja, keluh kesah dan lain sebagainya. Ketika karyawan merasa tidak nyaman memungkinkan karyawan melakukan perilaku yang dapat merugikan organisasi tempatnya bekerja.

6. Tuntutan yang sering terjadi

Tuntutan karyawan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan yang dirasakan oleh karyawan. Organisasi harus mewaspadai tuntutan masal yang dilakukan oleh karyawan.

7. Pemogokan

Pemogokan adalah wujud ketidakpuasan, kegelisahan dan sebagainya. Jika hal ini terus berlanjut akan berujung pada munculnya tuntutan dan pemogokan.

(7)

B. Perubahan Organisasi

B.1. Definisi Perubahan Organisasi

Secara sederhana, perubahan organisasi adalah cara baru dalam mengelola dan bekerja (Dawson, 2003). Selanjutnya, perubahan organisasi diartikan juga sebagai perubahan aspek-aspek inti dari cara organisasi beroperasi yang meliputi struktur teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu yang ada dalam sebuah organisasi (Mills, Dye, & Mills, 2009). Senada dengan hal tersebut, Zorn (dalam Lewis, 2012) mengemukakan bahwa perubahan organisasi diartikan juga sebagai mengubah atau memodifikasi struktur dan proses organisasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perubahan organisasi adalah perubahan pada aspek-aspek inti operasional sebuah organisasi meliputi perubahan struktur, teknologi, budaya, pimpinan, tujuan dan individu-individu dalam organisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan organisasi dan perubahan dalam bekerja.

B.2. Bentuk-bentuk Perubahan Organisasi

Menurut Malopinsky dan Osman (dalam Pershing, 2006), perubahan organisasi dapat dikarakteristikkan berdasarkan beberapa perspektif sebagai berikut:

1. Tingkat perubahan : transformasi dan incremental

(8)

radikal pada strategi organisasi termasuk misi, visi, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan, serta transformasi struktur dan komponen-komponen utamanya. Perubahan transformasi biasanya terjadi karena adanya kejadian kritis dalam kehidupan organisasi, seperti perubahan pimpinan yang disebabkan adanya merger atau akuisisi atau kegagalan pencapaian tujuan organisasi.

Bentuk lain dari perubahan organisasi adalah incremental, yaitu bentuk perubahan evolusi dari sebuah organisasi, seperti pengenalan teknologi-teknologi baru, produk-produk baru, dan proses-proses yang baru. Perubahan incremental biasanya melakukan hal-hal yang baru tanpa mengubah hal-hal yang fundamental dalam organisasi seperti struktur dan budaya organisasi.

Perubahan transformasional dan incremental sering juga disebut dengan bentuk perubahan organisasi revolusi dan evolusi, yang menekankan pada perbedaan diantara perubahan strategis dan perubahan tahap demi setahap untuk meningkatkan efektivitas organisasi.

2. Mode perubahan : proaktif dan reaktif

(9)

sebelum adanya ancaman dari lingkungan eksternal dan internal. Perubahan proaktif ditandai dengan adanya inovasi proses dan produk. 3. Kontrol terhadap perubahan : terencana dan tidak terencana

Pendekatan proaktif terhadap proses perubahan merupakan manifestasi dari bentuk perubahan terencana. Perubahan terencana merupakan hasil dari usaha yang fokus dari agen perubahan, yaitu individu yang memimpin dan mendukung proses perubahan. Perubahan terencanan ini dilakukan berdasarkan hasil analisa seperti adanya kesenjangan kinerja, kesenjangan antara proses organisasi yang diinginkan dengan proses yang ada, dan perilaku-perilaku anggota organisasi. Analisa kesenjangan kinerja menghasilkan masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan masalah segera atau kesempatan untuk dieksplorasi lebih lanjut. Inovasi proses dan produk merupakan contoh dari perubahan terencana.

(10)

B.3. Pendekatan Pengelolaan Perubahan Organisasi

Perubahan organisasi merupakan suatu fenomena yang kompleks. Perubahan tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja. Sebaliknya, setiap perubahan harus sistematis dan logis agar memiliki kesempatan untuk berhasil. Dalam mengimplementasikan perubahan, diperlukan pemahaman mengenai langkah-langkah perubahan yang efektif dan cara mengatasi penolakan karyawan terhadap perubahan (Griffin, 2004).

Ada beberapa pendekatan dalam pengelolaan perubahan salah satunya dikemukakan oleh Kurt Lewin. Lewin mengidentifikasi tiga fase dalam memulai dan membangun sebuah perubahan. Menurutnya, keberhasilan sebuah organisasi harus diikuti ketiga tahap tersebut. Adapun ketiga fase proses perubahan tersebut adalah sebagai berikut (Rao & Rao, 1999) :

a. Pencairan (unfreezing)

Tahap ini bertujuan untuk menyadarkan karyawan bahwa perilaku yang ada saat ini tidak lagi sesuai, tidak relevan dan tidak cocok dengan kebutuhan perubahan saat ini. Tahap ini memutuskan tradisi dan cara-cara lama sehingga karyawan siap menerima cara-cara yang baru. Tahap ini meliputi menyingkirkan metode konvensional dan mengenalkan dinamika perilaku yang baru yang lebih sesuai dengan kondisi saat itu.

b. Perubahan (changing)

(11)

bahwa perilaku yang sekarang tidak lagi sesuai tidaklah cukup. Kondisi penting yang harus ada yaitu tersedianya berbagai alternatif perilaku. Pada fase ini, karyawan mempelajari cara-cara yang baru.

c. Pembekuan (Refreezing)

Pada tahap ini karyawan menginternalisasi keyakinan baru, perasaan dan perilaku yang telah dipelajari pada tahap perubahan. Perilaku baru menjadi perilaku yang permanen bagi tiap karyawan. Karyawan menggunakan metode baru dan sikap baru.

C. Kesiapan Berubah

C.1. Definisi Kesiapan Berubah

(12)

Kesiapan berubah juga didefisikan sebagai pikiran yang dimiliki individu sepanjang proses perubahan yang merefleksikan kesediaan dan penerimaan terhadap perubahan (Bernerth dalam Shah, 2010). Penelitian lain menyebutkan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik untuk mengambil suatu tindakan (Walinga, 2008). Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Walinga, sebelumnya Madsen (2003) mengemukakan bahwa kesiapan berubah sebagai kesiapan mental dan fisik karyawan untuk mengambil tindakan segera yang bertujuan untuk meningkatkan, mengubah, memvariasikan atau memodifikasi sesuatu. Sebelum mengembangkan pikiran yang positif mengenai perubahan organisasi, maka karyawan harus dapat melihat kondisi organisasi dan lingkungan pada saat ini dan membandingkan keadaan organisasi dan lingkungan pada masa lalu dengan masa yang akan datang. Kesiapan berubah merupakan dasar apakah karyawan akan menolak atau mengadopsi perubahan (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007). Kesiapan berubah dapat diperoleh melalui usaha proaktif agen perubahan dengan cara mempengaruhi keyakinan, sikap dan perilaku target perubahan untuk meningkatkan motivasi mereka untuk berubah (Applebaum & Wohl, 2000).

(13)

C.2. Dimensi Kesiapan Berubah

Kesiapan terhadap perubahan merupakan konstruk multidimensi yang dipengaruhi oleh keyakinan karyawan bahwa (Holt, Armenakis, Field, & Harris, 2007):

a. Perasaan mampu melaksanakan perubahan yang diusulkan (self

efficacy).

Change self efficacy mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa

yakin bahwa dirinya memiliki ketrampilan atau tidak memiliki ketrampilan serta dapat melakukan atau tidak dapat melakukan tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas yang terkait dengan implementasi perubahan yang akan dilakukan.

b. Kesesuaian atau ketepatan perubahan dengan kebutuhan organisasi (appropriateness).

Appropriateness mengacu kepada sejauh mana seseorang merasa

(14)

c. Pemimpin yang berkomitmen dalam perubahan (management

support).

Management support mengacu pada sejauh mana seseorang merasa

bahwa pemimpin-pemimpin dalam organisasi dan pihak manajemen memiliki komitmen atau tidak memiliki komitmen serta mendukung atau tidak mendukung implementasi perubahan yang akan dilakukan. d. Keuntungan yang didapatkan oleh anggota organisasi akibat suatu

proses perubahan (personal benefit).

Personal benefit adalah sejauhmana seseorang merasa bahwa dirinya

akan memperoleh keuntungan atau tidak memperoleh keuntungan dari implementasi perubahan yang akan dilakukan.

C.3. Anteseden Kesiapan Berubah

Holt, Armenakis, Field, dan Harris (2007) mengemukakan empat perspektif yang mempengaruhi kesiapan berubah, yaitu:

1. Proses perubahan

(15)

2. Isi perubahan

Isi perubahan mengacu kepada sejauhmana ide-ide tertentu dan karakteristik perubahan dibagikan atau diperkenalkan kepada karyawan.

3. Konteks perubahan

Konteks perubahan terdiri dari kondisi dan lingkungan dimana karyawan berfungsi.

4. Atribut atau karakteristik individu

Atribut individu mengacu sejauhmana perbedaan-perbedaan yang dimiliki individu menentukan penerimaan terhadap usaha-usaha perubahan. Perbedaan atribut ini akan mengakibatkan sebagian orang mudah untuk menerima perubahan, sementara sebagian yang lainnya cenderung menolak perubahan.

Selain itu, penelitian-penelitian mengenai kesiapan berubah menunjukkan bahwa kesiapan berubah dipengaruhi oleh job insecurity,

self monitoring, persepsi akan keadilan dari perubahan sebelumnya,

ambiguitas peran (Goksoy, 2012), distributive justice dan procedural

justice, hubungan atasan-bawahan, hubungan dengan rekan kerja (Shah,

(16)

akan dukungan atasan dan organisasi, dan self efficacy (Desplaces, 2005),

active job, passive job, dan self efficacy (Cunningham, Woodward,

Shannon, MacIntosh, Ledrum, Rosenbloom, & Brown, 2002), kredibilitas agen perubahan, dinamika sosial dan interpersonal, strategi penyampaian pesan perubahan (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993), komunikasi (Elving, 2005) dan komponen pesan perubahan (Armenakis, Harris, Field, 1999; Armenakis & Harris, 2002; Bernerth, 2004; Elving, 2005). Faktor demografis yang mempengaruhi kesiapan berubah yaitu usia (Shah & Shah, 2010; Madsen, John, & Miller, 2006), tingkat pendidikan (Alas, 2008; Madsen, John, & Miller, 2006), jenis kelamin, dan status karyawan (Alas, 2008).

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anteseden kesiapan berubah dapat dibagi menjadi empat faktor, yaitu (1) faktor yang berhubungan dengan perubahan, yaitu proses perubahan perubahan, isi perubahan, konteks perubahan dan karakteristik orang yang terlibat perubahan; (2) faktor yang berasal dari organisasi, yaitu: organizational

justice, hubungan atasan-bawahan, sistem yang mendukung perubahan,

(17)

C.4. Dampak Kesiapan Berubah

Kesiapan berubah merupakan hal yang penting baik bagi individu maupun organisasi. Kesiapan berubah akan diwujudkan dalam sejumlah sikap kerja yang berbeda. Berikut adalah penelitian-penelitian yang melihat hubungan kesiapan berubah pada karyawan dengan outcome yang diperoleh oleh organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Wanberg dan Banas (2000) menemukan bahwa individu dengan penerimaan yang rendah terhadap perubahan dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah, lebih mudah teriritasi dengan lingkungan kerja, dan meningkatnya intensi untuk keluar dari perusahaan.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Weiner (2009) menemukan bahwa ketika kesiapan berubah tinggi maka anggota organisasi akan lebih mungkin untuk memulai perubahan, mengerahkan upaya yang lebih besar, menunjukkan ketekunan dan perilaku yang lebih kooperatif sehingga hasilnya adalah implementasi perubahan menjadi efektif.

D. Gambaran Umum Perusahaan

(18)

tanggal 18 Desember 1962 yang diubah dengan Akta No. 20 tanggal 9 September 1963. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan No. J.A5/121/20 tanggal 14 September 1963 dan diumumkan dalam Berita Negara Indonesia No. 81 tanggal 8 Oktober 1963, Tambahan No. 531.

Perusahaan ini memulai operasi komersialnya pada tahun 1963 dan bergerak di bidang perkebunan yang berlokasi di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Produk utamanya adalah minyak kelapa sawit dan karet, serta kakao, teh, dan benih dalam kuantitas yang lebih kecil. Disamping mengelola perkebunannya sendiri, perusahaan ini juga mengembangkan perkebunan plasma.

Perusahaan kelapa sawit ini telah meraih sertifikat Roundtable on

Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk area Sumatera Utara sejak awal tahun

2009. Perusahaan ini juga menerima sertifikat RSPO yang pertama untuk area Sumatera Selatan pada bulan Oktober 2011.

(19)

E. Pengaruh Kesiapan Berubah terhadap Semangat Kerja

Semangat kerja karyawan dapat dilihat dalam bentuk perilaku karyawan di tempat kerja, dimana perilaku-perilaku tersebut ditentukan oleh tingkat semangat kerjanya. Hasil penelitian pada perawat menemukan bahwa semangat kerja berpengaruh terhadap individu dan kelompok. Secara individual, semangat kerja mempengaruhi pekerjaan karyawan, dalam hal ini mempengaruhi motivasi, kepuasan dan kinerja perawat serta berpengaruh terhadap diri perawat itu sendiri, seperti retensi, mobilitas dan stres yang dialami di tempat kerja. Hasil penelitian ini lebih jauh menerangkan bahwa semangat kerja individu akan berpengaruh terhadap kelompok yaitu secara emosi berpengaruh terhadap hubungan yang dimilikinya dengan pasien dan kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu, semangat kerja juga akan mempengaruhi kohesivitas, komunikasi, interaksi, antusiasme, kerjasama dan kreativitas kelompok (MacFadzean & MacFadzean, 2005).

(20)

kondisi pekerjaan, penggajian, status dan rasa aman (Herzberg dalam Sunderji, 2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Decker, Wheeler dan Parson (2001) juga menemukan bahwa penurunan semangat kerja yang signifikan dapat terjadi disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam organisasi. Saat ini tiap organisasi dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah (Robbins & Judge, 2009). Perubahan harus diikuti dengan kapasitas organisasi untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara cepat dan efektif agar tetap bertahan (Slocum & Hellriegel, 2009; Weber & Weber, 2001).

(21)

Perubahan organisasi menyebabkan cara-cara lama menjadi tidak lagi sesuai. Perubahan menimbulkan keadaan dari tahu menjadi tidak tahu. Perubahan menyebabkan karyawan harus bergerak meninggalkan status quo menuju sesuatu yang baru sehingga menimbulkan ketakutan, ketakutan akan ketidaktahuan serta ketakutan mengenai kemungkinan gagal dalam menghadapi kondisi yang baru (Coch & French dalam Vakola & Nikolau, 2005). Kondisi perubahan yang tidak pasti dan menekan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perubahan yang pada akhirnya mempengaruhi sikap karyawan terhadap organisasi secara keseluruhan. Sikap karyawan terhadap perubahan juga dipengaruhi oleh proses perubahan yang dilakukan (Oreg, 2006).

(22)

Penelitian lain menyebutkan bahwa stres kerja yang dialami karyawan terkait perubahan organisasi yang terjadi di organisasi menimbulkan sikap negatif karyawan terhadap perubahan. Stres kerja tersebut berasal dari hubungan kerja yang buruk, beban kerja yang berlebih, dan pembayaran kompensasi yang tidak adil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan sosial yang tidak mendukung merupakan prediktor paling kuat dari sikap negatif terhadap perubahan. Stress meningkatkan penolakan terhadap perubahan yang dilakukan (Vakola & Nikolau, 2005). Penolakan atau resistensi karyawan terhadap perubahan merupakan salah satu faktor yang dilaporkan paling sering menyebabkan perubahan organisasi gagal (Kotter & Cohen, 2002).

Bernerth (2004) menemukan bahwa faktor keberhasilan perubahan organisasi adalah kesiapan karyawan dalam berubah. Kesiapan berubah merefleksikan keyakinan, sikap, dan intensi perilaku terhadap usaha perubahan (Desplaces, 2005). Kesiapan berubah merupakan pertanda kognisi untuk mengadopsi atau menolak usaha-usaha perubahan. Sehingga ketika kesiapan berubah ada maka sebuah organisasi akan mengadopsi perubahan dan penolakan terhadap perubahan akan berkurang (Armenakis, Harris, & Mossholder, 1993).

(23)

lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru menunjukkan hasil kerja yang lebih baik daripada individu-individu yang tidak dapat beradaptasi dengan situasi yang baru. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa individu-individu yang mampu beradaptasi dengan perubahan di lingkungan kerjanya akan memiliki kinerja yang lebih baik daripada individu-individu yang tidak mampu beradaptasi.

Hasil penelitian yang dilakukan Weiner (2009) menemukan bahwa ketika kesiapan berubah tinggi maka anggota organisasi akan lebih mungkin untuk memulai perubahan, mengerahkan upaya yang lebih besar, dan menunjukkan perilaku yang lebih kooperatif sehingga hasilnya adalah implementasi perubahan menjadi efektif. Sebaliknya individu dengan penerimaan yang rendah terhadap perubahan dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang lebih rendah, lebih mudah teriritasi dengan lingkungan kerja, dan meningkatnya intensi untuk keluar dari perusahaan (Wanberg & Banas, 2000).

F. Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

- Honorarium Panitia Pelaksana Kegiatan - Honorarium Pegawai Honorer/Tidak Tetap - Belanja Bahan Pakai Habis - Belanja Pemeliharaan Jalan - Honorarium Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

KANDUNGAN PEMBELAJARAN STANDARD OBJEKTIF CADANGAN AKTIVITI PENGUASAA TAHAP N (TP

Peningkatan PDRB diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang merupakan kondisi yang diperlukan ( necessary condition ) bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan

Plot (c) shows the variation of modeled apparent reflectance in visible and in mid-infrared band with respect to AOD values for clear atmosphere and for different aerosol models

Peserta didik dinyatakan lulus jika sudah menyelesaikan pembelajaran dari kelas X sampai dengan kelas XII dengan nilai rata-rata raport minimal 70 untuk seluruh

Aerosol optical depth retrieval over land surface using remote sensing employs the use of radiative transfer simulations and/or simultaneous measurements of

In this study we have considered five atmospheric parameters as the indicators of monsoon behavior namely Mean Sea Level Pressure (MSLP), vertical relative humidity, OLR, wind

2) Ser tifikatBadan Usaha (SBU) kualifikasi : Usaha Kecil dengan klasifikasi Bangunan Gedung - Subklasifikasi Jasa Pelaksana Konstruksi Bangunan Komersial (BG004)