• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reksi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Reksi Laut China Selatan Yang Dilakukan Oleh Republik Rakyat Tiongkok"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS DAN KEDUDUKAN LAUT CHINA SELATAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL

A. Sejarah Konflik Laut China Selatan

Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spartly, diikuti oleh Tiongkok pada awal abad

ke-20, dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Disaat berkecambuknya perang dunia II, Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya PD II, Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan dari kawasannya. Sejak 1970 klaim terhadap kawasan tersebut meningkat pesat sejalan dengan perkembangan penemuan dan hukum internasional. Perkembangan pertama menyangkut ditemukannya ladang minyak yang diperkirakan cukup banyak di kawasan tersebut berdasarkan survey geologi yang dilakukan para peneliti dari perusahaan Amerika dan Inggris. Penemuan ini sudah tentu membuat harga kepulauan dan pulau kecil serta batu karang di kawasan tersebut meroket. Perkembangan kedua, berkaitan dengan ditetapkannya Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang 200 mil laut bagi setiap negara berdasarkan ketentuan dari UNCLOS ( United Nation Conference on The Law of The Sea )35.

Klaim terhadap Laut China Selatan yang dilakukan oleh negara-negara sering sekali didasarkan pada alasan historis semata. Klaim berdasarkan alasan historis ini menyebabkan ketidakpastian dalam penguasaan dan kepemilikan Laut

35

(2)

China Selatan. Tiap-tiap negara mengklaim dengan alasan sejarah nya masing-masing sehingga terjadi tumpang tindih dalam mengklaim Laut China Selatan. Dan klaim yang tumpang tindih ini mengakibatkan konflik di Laut China Selatan.

Alasan historis dijadikan dasar oleh negara-negara dalam mengklaim Laut China Selatan, contohnya saja Tiongkok, Vietnam, dan Filipina. Tiongkok

mengklaim Laut China Selatan berdasarkan sejarah bahwa Kepulauan Paracel yang terletak 300 Km sebelah tengggara pantai Tiongkok telah dikuasai oleh Pemerintahan Dinasti Han antara 206 sebelum masehi hingga 220 sesudah masehi. Disebutkan pula oleh Direktur Institut Arkeologi Provinsi Guangdong; Gu Yunguan, 98% benda-benda yang telah ditemukan digugus Paracel merupakan mata dagangan buatan Tiongkok. Sejak itu Tiongkok terus melancarkan berbagai upaya demi membuktikan kedaulatannya atas Kepulauan Paracel termasuk Kepualaun Spratly dengan berpegang pada dokumen sejarah dan peninggalan Arkeologi. Sedangkan Vietnam berpendapat bahwa Kaisar gia Long dari Vietnam (1802) telah mencantumkan Spartly sebagai wilayah kekuasaannya.

(3)

gugus pulau di bagian timur Kepulauan Spartly, dan tahun 1978 menduduki lagi gugus Pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun (kosong). Filipina juga merujuk kepada Perjanjian Perdamaian San Francisco 195136, yang antara lain menyatakan bahwa Jepang telah melepaskan haknya

terhadap Kepulauan Spartly, dan tidak mengemukakan diserahkan kepada negara mana. Selain ketiga negara tersebut, ada juga klaim yang diajukan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam. Malaysia menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly. Menurut Malaysia, langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang diduduki oleh Filipina dan Amboyna yang diduduki Vietnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau37.

Perbedaan sejarah dalam mengklaim Laut China Selatan tidak hanya menyebabkan klaim tumpang tindih dan konflik, tetapi juga menimbulkan

36

Perjanjian Perdamaian dengan Jepang (San Francisco Peace Treaty) atau lebih dikenal sebagai Perjanjian San Francisco (Treaty of San Francisco) antara Sekutu dan Jepang secara resmi ditandatangani oleh 49 negara pada 8 September 1951di San Francisco, California. Perjanjian ini berlaku efektif mulai 28 April 1952. Perjanjian San Francisco secara resmi mengakhiri Perang Dunia II, dan mengakhiri secara resmi kedudukan Jepang sebagai kekuatan imperialis, dan mengalokasikan kompensasi untuk warga sipil Sekutu dan mantan tawanan perang yang menderita kejahatan perang Jepang. Perjanjian ini sebagian besar didasarkan pada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Dokumen Perjanjian San Francisco secara resmi membatalkan hak-hak Jepang berdasarkan Protokol Boxer tahun 1901 dan hak Jepang atas Korea, Formosa (Taiwan), Hong Kong (koloni Inggris), Kepulauan Kuril,

Pescadores, Kepulauan Spratly, Antartika, dan Pulau Sakhalin.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_San_Francisco#Nasib_teritori_seberang_laut_Jepang, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015)

37

(4)

perbedaan pemberian nama Laut China Selatan dan kepulauan di Laut China Selatan.

Istilah South China Sea merupakan nama dalam bahasa Inggris yang paling sering digunakan untuk menyebut Laut China Selatan. Sementara para pelaut Portugis pada abad keenam belas menyebutnya Mar Da China (Laut

China). Kemudian, untuk membedakannya dengan wilayah perairan di dekatnya, namanya berubah menjadi Laut China Selatan. Namun di negara-negara sekitar Laut China Selatan sendiri, nama laut tersebut berbeda-beda, dan seringkali sebutannya mencerminkan klaim historis untuk menghegemoni laut tersebut. Secara resmi, pemerintah Vietnam menyebutnya “Bien Dong (Laut Timur)”. Nama Bien Dong digunakan pada peta resmi Vietnam. Bagian Laut China Selatan di dalam wilayah perairan Filipina sering disebut “Dagat Luzon (Laut Luzon)” di peta-peta yang diterbitkan di negara tersebut, mengikuti nama pulau besar di Filipina, Pulau Luzon. Namun, di Filipina nama “Dagat Timog Tsina (Laut China Selatan)” masih diterima untuk menyebut laut tersebut secara keseluruhan. Di

Asia Tenggara, Laut China Selatan dulu disebut Laut Champa atau Laut Cham, sesuai nama kerajaan maritim yang pernah muncul pada abad keenam belas. Bangsa Jepang menyebut Laut China Selatan sebagai Minami Shina Kai. Sedangkan Tiongkok sendiri menyebut Laut China Selatan sebagai Laut Selatan saja38.

Perbedaan penamaan juga terjadi pada kepulauan di Laut China Selatan. Penamaan ini umumnya tergantung atas klaimnya, Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut Kepulauan Spratly

38

(5)

dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kepulauan Spratly dengan Kelayaan (Kemerdekaan), Malaysia menyebut Kepulauan Spratly dengan Aba dan Terumbu Layang-Layang, sedangkan Tiongkok lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok pulau selatan). Sedangkan masyarakat internasional sering menyebutnya Kepulauan Spratly yang berarti burung layang-layang.

B. Status dan Kedudukan Laut China Selatan

Pengaturan hukum dalam bidang hukum laut menjadi lebih jelas dengan lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982). UNCLOS 1982 memberikan payung hukum terhadap masalah-masalah yang timbul dalam hubungannya dengan laut. Dengan adanya UNCLOS 1982, negara-negara memiliki satu pedoman dalam menentukan batas-batas wilayah negara khususnya batas di wilayah laut. Sehingga dapat diketahui wilayah laut yang berada di kedaulatan penuh suatu negara, wilayah laut yang hanya berlaku hak-hak berdaulat suatu negara, dan wilayah laut yang tidak bisa

dimiliki oleh suatu negara.

Pembagian wilayah laut menurut UNCLOS 1982 terdiri dari : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)39

Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di perairan pedalaman negara memiliki kedaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan.

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)40

39

Pasal 8 UNCLOS 1982 40

(6)

Perairan kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan. Wilayah perairan kepulauan hanya dimiliki oleh negara-negara kepulauan. Di dalam wilayah ini negara memiliki kedaulatan penuh. Namun negara-negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauannya bagi kapal-kapal asing sehingga berlakulah hak lintas damai bagi kapal asing di

alur laut kepulauan ini.

3. Laut Teritorial (Territorial Waters)41

Laut teritorial adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil laut. Di laut teritorial negara memiliki kedaulatan penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Namun di laut teritorial ini berlaku hak lintas damai (innocent passage)42 bagi kapal-kapal asing. Hak lintas damai adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.

4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)43

Zona tambahan adalah laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal

dan tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. Di wilayah ini, kekuasaan negara terbatas hanya berlaku hak-hak tertentu, seperti mencegah pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter.

5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)44

Zona ekonomi eksklusif adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dihitung dari garis pangkal.. Di ZEE negara hanya memiliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber

41

Pasal 3-16 UNCLOS 1982 42

Pasal 17-26 UNCLOS 1982 43

Pasal 33 UNCLOS 1982 44

(7)

kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap : pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan; riset ilmiah kelautan; dan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

6. Landas Kontinen (Continental Shelf)45

Landas kontinen adalah wilayah yang meliputi dasar laut dan tanah di

bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Di wilayah ini negara hanya memiliki hak-hak berdaulat.

7. Laut Lepas (High Seas)46

Laut lepas adalah wilayah laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial, perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Laut lepas tidak berada di bawah kedaulatan suatu negara, laut lepas terbuka untuk semua negara. Terhadap laut lepas berlaku

berbagai prinsip kebebasan dengan batas-batas hukum internasional, seperti kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa, pembuatan pulau buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan, juga penelitian ilmiah.

8. Kawasan Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Area)47

Kawasan adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar batas-batas yurisdiksi nasional. Hal ini berarti Kawasan adalah dasar laut di luar zee. Menurut UNCLOS 1982, Kawasan dan sumber kekayaan alam di dalamnya dinyatakan sebagai warisan bersama seluruh umat manusia. Tidak ada negara

45

Pasal 76-85 UNCLOS 1982 46

Pasal 86-120 UNCLOS 1982 47

(8)

dapat menyatakan kedaulatannya ataupun hak berdaulatnya terhadap Kawasan ataupun sumber kekayaan alamnya. Semua hak-hak atas sumber kekayaan alamnya diserahkan kepada umat manusia secara keseluruhan. Kawasan dikelola oleh suatu badan international yaitu Badan Otorita Dasar Laut International (International Sea-Bed Authority yang disingkat ISBA) sehingga pengelolaan

kawasan dasar laut tersebut bisa dikelola oleh negara-negara yang mempunyai teknologi berdasarkan persetujuan ISBA.

Selain membahas mengenai pembagian wilayah, UNCLOS 1982 juga ada membahas mengenai laut tertutup atau laut setengah tertutup. Masalah laut tertutup (enclosed seas) atau laut setengah tertutup (semi-enclosed seas) dibahas di dalam BAB IX Pasal 122-123 UNCLOS 1982. Di dalam Pasal 122 dinyatakan bahwa laut tertutup atau laut setengah tertutup adalah suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dua atau

lebih Negara pantai.

Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup dianjurkan untuk bekerjasama dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya hayati, menetapkan kebijaksanaan serta melaksanakan kegiatan-kegiatan riset dan lingkungan48. Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 123 UNCLOS 1982, bahwa negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan

48

(9)

kewajibannya. Oleh karena itu negara-negara harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat untuk :

1) mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber kekayaan hayati laut ;

2) mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian

dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut ;

3) mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama dimana perlu mengadakan program berbersama-sama riset ilmiah di kawasannya ;

4) mengundang, menurut keperluan, negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini.

Jadi dapat dikatakan bahwa bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut tertutup atau laut setengah tertutup mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk bekerja sama dalam memanfaatkan dan menjaga laut tertutup

atau laut setengah tertutup tersebut.

(10)

Selatan. Dan untuk itu pulalah diperlukan kerja sama di antara negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan tersebut.

Gambar I : Peta Laut China Selatan

(Sumber : http://www.eastbound88.com/showthread.php/25521-Jakarta- rejects-China-s-nine-dash-line)

Kerja sama antara negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan sebenarnya telah dilaksanakan. Salah satu bukti kerja sama yang dilakukan adalah dengan ditandatangani nya “Declaration On The Conduct

Of Parties In The South China Sea” pada tahun 2002. Declaration On The

Conduct Of Parties In The South China Sea (yang disingkat DOC) merupakan suatu perjanjian internasional antara negara-negara anggota ASEAN49 dengan negara Republik Rakyat Tiongkok yang berisi kerja sama dalam hal-hal yang berkaitan dengan Laut China Selatan.

DOC ditandatangani pada KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, tanggal 4 November 2002. Permasalahan Laut China Selatan berkaitan dengan ASEAN karena negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan mayoritasnya adalah negara-negara anggota ASEAN. Sehingga penandatanganan DOC pun dilakukan pada saat KTT ASEAN. Dengan demikian

49

(11)

ASEAN sebagai organisasi internasional menjadi mediator atau perantara dalam kerja sama antara negara-negara anggotanya dengan Republik Rakyat Tiongkok.

DOC merupakan bentuk kerja sama antara negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. DOC berisi mengenai hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta. Dengan adanya DOC

ini, seharusnya Laut China Selatan dengan status dan kedudukannya sebagai laut setengah tertutup, tidak menyebabkan konflik atau sengketa lagi. Namun pada kenyataannya sampai saat ini masih saja terjadi konflik dan sengketa di Laut China Selatan. Padahal di dalam DOC sudah dinyatakan bahwa antara negara-negara anggota ASEAN dan Republik Rakyat Tiongkok diharuskan untuk mewujudkan keadaan yang damai, bersahabat, dan harmonisasi di Laut China Selatan. Hal ini tentu bertolak belakang antara kenyataannya di Laut China Selatan dengan apa yang tertuang di dalam DOC.

Konflik dan sengketa yang terjadi di Laut China Selatan sampai sekarang ini meskipun telah ditanda tanganinya DOC sebagai bentuk kerja sama,

dikarenakan DOC yang tidak memiliki kekuatan mengikat. DOC hanya sebatas deklarasi dalam hal kerja sama, tidak memuat sanksi-sanksi bagi negara yang melanggar. Oleh karena itu, negara-negara seperti Republik Rakyat Tiongkok sering sekali melanggar ketentuan-ketentuan DOC ini. Di dalam DOC sendiri sempat disinggung tentang pembuatan Code on The Conduct (COC) yang lebih memiliki kekuatan mengikat, namun pembahasan mengenai COC ini tidak ada kelanjutan sampai saat ini.

(12)

Selatan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982. Misalnya saja Republik Rakyat Tiongkok. Ketidaktaatan Tiongkok terlihat yaitu ketika Tiongkok secara eksplisit mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan

nine-dashed line karena merupakan sembilan segmen garis putus-putus. Tiongkok mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan yang konon menurut sejarah Tiongkok merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi Tiongkok50.

Garis putus-putus tersebut yang dikenal juga dengan garis U karena bentuknya menyerupai huruf U, merupakan klaim Tiongkok di Laut China Selatan yang terjadi pada tahun 1947 sebelum adanya UNCLOS 1982. Namun setelah UNCLOS 1982 ditanda tangani pada 10 desember 1982 dan mulai berlaku sejak 16 november 1994, Tiongkok tidak melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS 1982 dan tetap menganggap

wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya. Hal ini berarti Tiongkok tidak mentaati UNCLOS 1982. Hal seperti ini juga berlaku bagi negara-negara lain yang mengklaim Laut China Selatan tanpa dasar yang jelas yang ditetapkan oleh UNCLOS 1982.

Jadi dapat disimpulkan bahwa status Laut China Selatan adalah sebagai laut yang berbatasan dengan banyak negara pantai. Status inilah yang kemudian menjadikan kedudukan Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup. Status dan kedudukan Laut China Selatan tersebut yang sering menimbulkan sengketa

50

(13)

dan konflik di antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Konflik juga timbul karena kurangnya kerja sama di antara negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan untuk menjaga dan mengelola Laut China Selatan secara bersama. Kerja sama yang ada dalam bentuk DOC pun belum mampu untuk mencegah terjadinya konflik di Laut China

Selatan, karena DOC sendiri sebagai perjanjian di antara negara-negara anggota ASEAN dengan Tiongkok tidak mempunyai kekuatan mengikat sehingga negara-negara pantai tersebut tidak mematuhi ketentuan-ketentuan di dalam DOC. Selain itu juga dikarenakan negara-negara pantai tersebut tidak mentaati ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 sebagai payung hukum di bidang kelautan seharusnya ditaati oleh setiap negara.

C. Sengketa-Sengketa Yang Terjadi di Laut China Selatan

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya

terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya. Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional51.

51

(14)

Sengketa (dispute) menurut Merrils adalah ketidaksepahaman mengenai sesuatu. Adapun John Collier & Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah “a spesific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another”.

Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang sering kali tidak fokus. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute)52.

Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara53.

Berdasarkan pengertian sengketa internasional di atas maka dapat

dikatakan bahwa sengketa yang terjadi di Laut China Selatan merupakan sengketa internasional, karena sengketa yang terjadi di Laut China Selatan tidak hanya menyangkut urusan dalam negeri suatu negara tetapi juga menyangkut urusan negara lain.

Kawasan Laut China Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona isu keamanan dalam hubungan internasional di ASEAN pasca Perang Dingin. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh negara-negara

52

John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law, Oxford University Press, 1999, sebagaimana dikutip oleh Sefriani, Hukum Internasional Suatu

Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hlm. 322

53

(15)

besar dan kecil seperti Tiongkok, Vietnam, Philipina, Malaysia, Burma, dan Taiwan. Dalam cekungan laut ini terdapat Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Pada berbagai kajian tentang konflik di Laut China Selatan, Kepulauan Spratly lebih mengemuka karena melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus, sementara Kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan Tiongkok54.

Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh Tiongkok pada awal abad ke-20 dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Di saat berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly sebagai basis kapal selam. Dengan berakhirnya PD II Tiongkok dan Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut dan diikuti oleh Philipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya55.

Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan Laut China Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya

berbatasan langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap sebagian pulau, kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya sebagaimana ditentukan oleh hukum laut Internasional. Tiongkok, Vietnam, Philipina, Malaysia berlomba-lomba mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan kepulauan yang mereka klaim56.

Klaim-klaim yang dilakukan oleh negara-negara pantai yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan tersebut sering sekali melanggar ketentuan

54

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap

Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 203-204

55

Ibid. hlm. 205-206 56

(16)

hukum laut internasional sehingga menimbulkan sengketa dan berujung pada terjadinya konflik antar negara-negara tersebut.

Beberapa sengketa ataupun konflik yang terjadi di Laut China Selatan setelah perang dunia II antara lain sebagai berikut:57

Tahun 1946-1947

1. Pada tahun 1946, Republik China58 mengirim kapal perang untuk mengklaim Itu Aba, pulau terbesar dari Kepulauan Spratly dan menamainya Taiping Island. Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly diserahkan di bawah kendali Republik China dari Jepang setelah Jepang menyerah dari Sekutu pada tahun 1945. Setelah PD II berakhir, Republik China menjadi satu-satu nya negara yang paling aktif mengklaim Laut China Selatan.

2. Pada tahun 1947 Republik China menyusun The Southern China Sea Islands Location Map (Peta Lokasi Pulau-Pulau Laut China Selatan), yaitu menandai batas-batas nasional di laut dengan 11 garis yang menunjukkan

klaim berbentuk U di seluruh Laut China Selatan. 11 garis ini kemudian diubah oleh Republik Rakyat Tiongkok dengan menerbitkan peta dengan 9 garis tetap pada tahun 1953.

57

https://en.wikipedia.org/wiki/Territorial_disputes_in_the_South_China_Sea, diakses pada tanggal 10 November 2015

58

(17)

Tahun 1950-an

1. Pada tahun 1950 setelah kekalahan Republik China dari kaum komunis Tiongkok dalam Perang Saudara Tiongkok tahun 1949, Republik China pindah ke Taiwan dan menarik keluar pasukannya yang menduduki Itu Aba di Kepulauan Spratly. Namun pada tahun 1956, Republik China

(Taiwan) mengirim kembali pasukannya untuk menduduki Itu Aba. Pendudukan Taiwan tahun 1946-1950 dan tahun 1956 di Itu Aba merupakan pendudukan efektif yang pertama di Kepulauan Spratly, Laut China Selatan.

2. Pada tahun 1952, Jepang mencabut klaim kedaulatan atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel sesuai dengan isi dari Perjanjian Damai San Francisco, tetapi tidak menunjuk kepada siapa penguasaan kedua kepulauan tersebut diserahkan.

3. Pada tahun 1954, Prancis menyerahkan klaimnya atas Kepulauan Paracel kepada Vietnam.

4. Pada tahun 1956, Vietnam Utara menyatakan bahwa Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Tiongkok secara historis. 5. Pada tahun 1958, RRT menerbitkan "Declaration of the Government of the

People's Republic of China on China's Territorial Sea published on 4 September 1958" untuk mensahkan peta sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan.

Tahun 1970-an

(18)

2. Pada tahun 1971, Filipina mengumumkan klaimnya ke pulau-pulau yang berdekatan dengan wilayahnya di Kepulauan Spratly, yang mereka namakan Kalayaan, dan secara resmi dimasukkan ke Provinsi Palawan pada tahun 1972. Presiden Filipina mengumumkan klaim tersebut setelah tentara Taiwan menyerang dan menembak sebuah kapal nelayan Filipina

di Itu aba.

3. Pada tahun 1972, Biro Survei dan Kartografi di bawah Kantor Perdana Menteri Vietnam mencetak "The World Atlas" yang menyatakan bahwa "rantai yang menghubungkan pulau-pulau dari Kepulauan Nansha dan Xisha ke Pulau Hainan, Pulau Taiwan, Kepulauan Penghu dan Kepulauan Zhoushan berbentuk seperti busur dan membentuk sebuah Dinding Besar yang mempertahankan atau melindungi daratan Tiongkok.

4. Pada tahun 1974, terjadi pertempuran di Kepulauan Paracel antara Tiongkok dengaan Vietnam Selatan. Tiongkok menang dalam pertempuran tersebut dan mengusir pasukan Vietnam Selatan dari

Crescent Group di Kepulauan Paracel.

5. Pada tahun 1975, pemerintah Vietnam yang baru bersatu mengemukakan kembali klaim lama mereka atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Tahun 1980-an

(19)

Tiongkok yang ditugaskan oleh UNESCO untuk membangun sebuah pos pengamatan.

Tahun 1990-an

1. Pada tahun 1992, Tiongkok melanggar hukum dengan menyatakan seluruh Laut China Selatan sebagai wilayahnya, sehingga memicu protes dari

negara-negara lain.

2. Pada tahun 1997, Filipina mulai menantang kedaulatan Tiongkok atas Scarborough Shoal, yaitu salah satu pulau karang yang ada di Laut China Selatan.

3. Pada tahun 1999, Presiden Taiwan, Lee Teng-hui menyatakan bahwa berdasarkan hukum, historis, geografis, atau dalam realitas, semua Laut China Selatan dan Kepulauan Spratly merupakan wilayah Taiwan dan di bawah kedaulatan Taiwan, dan mencela tindakan yang dilakukan oleh Malaysia dan Filipina.

Tahun 2000-an

1. Pada April 2001 terjadi insiden Pulau Hainan. Insiden di Pulau Hainan terjadi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dimana pesawat jet tempur Tiongkok bertabrakan dengan pesawat mata-mata angkatan Laut AS yang menewaskan pilot Tiongkok. Peristiwa terjadi di wilayah udara Pulau Hainan, yang merupakan salah satu pulau yang di klaim oleh Tiongkok

(20)

3. Pada tahun 2005 kapal Tiongkok menembaki dua kapal nelayan Vietnam dari provinsi Thanh Hoa. Peristiwa itu menewaskan 9 orang dan menahan satu kapal dengan 8 orang di pulau Hainan. Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengklaim bahwa mereka adalah bajak laut dan mereka yang melepaskan tembakan pertama sebagaimana pengakuan dari anggota yang

tertangkap.

4. Pada maret 2009 Pentagon melaporkan bahwa kapal-kapal Tiongkok melecehkan kapal pengawasan AS.

5. Pada Mei 2009, merupakan batas waktu bagi negara-negara untuk melakukan klaim hidrokarbon dasar laut berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Hal ini diduga yang menyebabkan klaim pulau kuno muncul ke permukaan dan menjadi meningkat.

Tahun 2011

1. Pada Februari 2011, kapal Tiongkok, Dongguan menembakkan tiga tembakan pada kapal-kapal nelayan Filipina di sekitar Jackson atoll.

Tembakan ditembakkan setelah kapal Tiongkok menginstruksikan kapal nelayan Filipina untuk pergi, namun salah satu dari kapal nelayan tersebut mengalami kesulitan mengangkat jangkarnya.

(21)

3. Pada Juni 2011, sebuah kapal berbendera Norwegia yang disewa oleh Vietnam Oil & Gas Corporation (PetroVietnam) bentrok dengan tiga kapal patroli perikanan Tiongkok dalam Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam. Vietnam sekali lagi mengklaim kabel eksplorasi sengaja dipotong.

4. Pada Oktober 2011, Vietnam dan Tiongkok sepakat untuk membuat suatu

perjanjian baru dalam penyelesaian sengketa maritim. Tahun 2012

1. Pada April 2012, kapal perang Filipina, Gregorio del Pilar terlibat dalam kebuntuan dengan dua kapal pengintai Tiongkok di Scarborough Shoal, daerah yang diklaim oleh kedua negara. Angkatan Laut Filipina telah mencoba untuk menangkap nelayan Tiongkok yang diduga mengambil secara ilegal spesies laut yang dilindungi oleh pemerintah dari wilayah tersebut, tapi kapal pengintai mencegah mereka.

2. Pada tanggal 16 April 2012, Kementerian Luar Negeri Tiongkok mendesak kapal arkeologi Filipina untuk segera meninggalkan perairan

Scarborough Shoal, yang diklaim Tiongkok merupakan bagian integral dari wilayahnya.

3. Pada Mei 2012, Taiwan menolak pendekatan dengan RRT untuk berkoordinasi dalam menegaskan klaim ke Laut China Selatan.

4. Pada Juli 2012, Vietnam mengesahkan undang-undang yang membatasi perbatasan laut Vietnam untuk memasukkan pulau-pulau Spratly dan Paracel.

(22)

Besar Filipina di Tiongkok, untuk membuat representasi serius atas insiden saat di Scarborough Shoal.

6. Pada tanggal 16 Juli 2012, larangan memancing di Scarborough Shoal oleh pemerintah Tiongkok dan Filipina menjadi efektif.

7. Pada 1 September 2012, Taiwan melakukan latihan militer di Pulau

Taiping. Vietnam memprotes latihan tersebut dan menuntut Taiwan menghentikannya. Taiwan menolak protes Vietnam, sementara Tiongkok menyuarakan persetujuan dan dukungan dari latihan militer Taiwan di pulau itu.

8. Pada 23 September 2012, Tiongkok meluncurkan program untuk meningkatkan jumlah UAV untuk memantau Scarborough Shoal, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan Laut China Timur, yang mana merupakan program zonasi laut nasional yang disetujui oleh Dewan Negara pada tahun sebelumnya sebagai bagian dari Kedua Belas Rencana Lima Tahun Tiongkok.

Tahun 2014

1. Pada Januari 2014, Tiongkok memberlakukan aturan ijin memancing di Laut China Selatan, atas keberatan Amerika Serikat, Filipina, dan Vietnam.

2. Pada 11 Maret 2014 dua kapal Filipina dikeluarkan oleh Chinese Coast Guard dari Ayungin Shoal di dalam kelompok Kepulauan Spratly.

(23)

mendaftarkan kasus ke Pengadilan Arbitrase di Den Haag dalam kasus melawan Tiongkok atas klaim-klaim Laut China Selatan.

4. Pada 2 Mei 2014 kapal angkatan laut Vietnam dan kapal Tiongkok bertabrakan di Laut China Selatan. Insiden itu terjadi karena Tiongkok mendirikan sebuah alat pengebor minyak di daerah yang diklaim oleh

kedua negara tersebut.

5. Pada tanggal 26 Mei, kapal nelayan Vietnam tenggelam dekat alat pengebor minyak, setelah bertabrakan dengan sebuah kapal Tiongkok. Karena kedua belah pihak menyalahkan satu sama lain, Vietnam merilis rekaman video seminggu kemudian, menunjukkan perahu Vietnam sedang diserang oleh kapal Tiongkok sebelum tenggelam.

Berdasarkan data-data tersebut terlihat bahwa sengketa atau konflik di Laut China Selatan lebih sering terjadi setelah adanya UNCLOS 1982. Hal ini menunjukkan ketidaktaatan negara-negara yang mengklaim Laut China Selatan tersebut terhadap ketentuan di dalam UNCLOS 1982. Dan apabila dilihat lebih

lanjut, sengketa atau konflik semakin sering terjadi pada tahun 2000-an. Padahal pada awal tahun 2000-an telah ditanda tangani DOC antara negara-negara anggota ASEAN dengan RRT. Hal ini juga menunjukkan bahwa DOC yang ditanda tangani pada tahun 2002 tidak mengikat dan masih dilanggar oleh negara-negara peserta.

Gambar

Gambar I : Peta Laut China Selatan (Sumber : http://www.eastbound88.com/showthread.php/25521-Jakarta-

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembelajaran yang ada harus berjalan menyenangkan dan bermakna, sebagai seorang guru profesional harus menggunakan metode-metode pembelajaran khususnya di

Selanjutnya berkaitan dengan metode pertanyaan evaluatif, yaitu metode pertanyaan yang digunakan guru untuk membuat siswa memikirkan kembali pemahaman mereka

Ciri – ciri bunga jantan kelapa sawit yang sedang anthesis adalah bunga berwarna kuning, mengeluarkan aroma yang menjadi attractant bagi kumbang Elaeidobius

(2006, p.129), terdapat beberapa faktor perilaku konsumen yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan konsumen yaitu faktor cultural, social, personal, dan psychological.

Pada penelitian ini 100 pasang serangga dimasukkan kedalam tandan bunga jantan yang telah disungkup dan masih berada pada tanaman kelapa sawit kemudian diambil 3 spikelet

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Namun sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak bersifat khusus membahas tentang Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Johar

Keyes & Ryff (dalam Keyes & Waterman, 2008) mengemukakan bahwa kegiatan sukarela dapat menumbuhkan hubungan positif dengan individu lain dan meningkatkan