• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilkada DKI Politik Identitas dan Media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pilkada DKI Politik Identitas dan Media"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pilkada DKI, Politik Identitas, dan Media Online

Oleh : Muh. Bahruddin (1606855180) Email: muh.bahruddin@yahoo.com

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 harus dibayar mahal karena pilihan masyarakat digiring ke arah politik identitas, bertolak belakang dengan ruh demokrasi. Bahkan isu politik identitas ini terus berkembang pasca-Pilkada. Demokrasi yang sejatinya mengedepankan kebebasan memilih pasangan calon secara rasional harus dibenturkan dengan sentimen identitas yang kental. Akibatnya, pilihan masyarakat dalam pesta demokrasi didasarkan, terutama pada agama atau etnis tertentu. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena bisa mencederai demokrasi yang dibangun susah payah sejak reformasi bergulir. Pada tingkat ini, pemilihan masyarakat tidak lagi melihat bagaimana kinerja, visi dan misi kandidat, serta seberapa besar kualitas seorang kandidat, tetapi mengarah pada identitas kandidat: apakah dia seorang muslim atau nonmuslim, pribumi atau non-pribumi.

Celakanya, media (khususnya media sosial dan online) justru menjadi sarana paling potensial dalam menyebarkan isu politik identitas. Perkembangan teknologi komunikasi memungkinkan media untuk bergerak sangat cepat dengan media-media daring atau versi online-nya. Isu ini kemudian dengan mudah di-share di media-media sosial maupun media messenger dan menjadi viral.

Media (konvensional dan online) memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi setiap berita yang disampaikan pada khalayak. Konstruksi berita bisa didesain dengan menggunakan gambar atau visual yang mendukung, judul berita yang tendensius, blow-up berita, pemilihan narasumber yang dianggap sejalan, dan lain sebagainya. Konstruksi berita yang di-frame oleh media secara berulang-ulang ini akan mengkonstruksi khalayak, terutama dalam memaknai demokrasi. Konstruksi berita tidak sekedar berbicara mendukung atau tidak mendukung tetapi bagaimana berita diarahkan. Pada kasus pilkada DKI Jakarta 2017, bagaimana media mengarahkan beritanya pada identitas agama sang kandidat. Agama menjadi isu sangat seksi dalam mengkonstruksi berita. Topik berita kerap diarahkan pada dosa-tidaknya atau haram-tidaknya dalam memilih pemimpin nonmuslim. Isu inilah yang dikhawatirkan dapat mereduksi dari esensi demokrasi yang mengedepankan rasionalitas, khususnya dalam memilih calon gubernur.

Zongdan Pan dan Gerald M. Kosicki, dalam tesisnya melihat kondisi sosial politik di Amerika banyak ditentukan oleh campur tangan media. Melalui pemberitaan media, para kandidat tidak perlu mengeluarkan dana cukup besar untuk mengkampanyekan atau mengiklankan dirinya. Cukup dengan strategi pemberitaan para kandidat akan memperoleh keuntungan besar berkaitan dengan perolehan suara mereka (Eriyanto, 2011). Media online dan media sosial memiliki andil besar dalam stabilitas politik, khususnya dalam pilkada.

(2)

Munculnya aksi-aksi seperti 411, 112, 212, 313, dan 55 adalah bagian tak terpisahkan dari politik identitas yang tersebar di berbagai media online dan media sosial (facebook, twitter, youtube, Whatsapp dan lain sebagainya). Aksi-aksi ini menuntut calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena dianggap menodai agama dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Gubernur Basuki dianggap menyinggung surat Al Maidah ayat 51 tentang kepemimpinan dalam Islam. Sebagaimana diketahui, pidato ini menjadi viral setelah diunggah melalui Youtube oleh Buni Yani, salah seorang dosen dari sebuah sekolah tinggi di Jakarta. Penodaan agama ini kemudian dijadikan sebagai modal poitik identitas agar Basuki (bersama calon wakilnya Djarot Saiful Hidayat) tidak menjadi gubernur DKI Jakarta sekaligus dipenjara. Harapan terhadap kekalahan Basuki sekaligus juga menaruh harapan untuk memenangkan lawan politik Basuki (Anies Baswedan-Sandiaga Uno) yang dianggap memenuhi identitas kelompok.

Sentimen keagamaan dalam politik identitas ini tampak dalam survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sentimen agama di Ibu Kota DKI Jakarta meningkat mendekati pemilihan gubernur 15 Februari 2017. Temuan itu terungkap dalam hasil sigi salah satu lembaga survei resmi di situs Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Lembaga ini mencatat, sentimen agama warga Jakarta mencapai 71,4 persen. Angka itu melonjak dari hasil survei Maret dan Oktober 2016, yang masing-masing menyatakan 40 dan 55 persen responden menganggap sentimen agama sangat penting (https://www.tempo.co).

Hasil penghitungan suara resmi dari Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta menunjukkan bahwa suara Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memperoleh suara 42,05% sedangkan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memperoleh suara 57,95%. Hasil ini semakin menunjukkan tentang keberhasilan politik identitas yang dibangun, terutama melalui media online.

Politik Identitas

Munculnya politik identitas adalah sebuah konsekuensi dari sebuah ketidakadilan anggota kelompok sosial tertentu pada masa lalu. Kelompok masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh kelompok dominan menumbuhkan ‘pemberontakan’ dari kelompok yang merasa ditindas. Politik identitas bersandar pada klaim pemersatu tentang makna pengalaman yang secara politis sarat bagi beragam individu. Terkadang makna yang dikaitkan dengan pengalaman tertentu akan menyimpang dari topiknya (platostandford.edu)

Dalam konteks agama yang disampaikan melalui media, khususnya online, hal ini tidak hanya mengacu pada agama seperti yang dilakukan dan diartikulasikan secara online, namun menunjukkan bagaimana media digital dan ruang terbentuk dan dibentuk oleh praktik keagamaan. Sebagai sebuah konsep, kita dapat berbicara tentang keadaan agama saat ini sehubungan dengan artefak digital dan budaya di mana ia berada (Campbell, 2013).

(3)

mengkonseptualisasikan dan mengekspresikan diri, melalui penggunaan teks digital, gambar, suara dan tautan. Turkle juga menekankan bagaimana komputer membuka dunia sosial baru bagi manusia. Dengan demikian, internet adalah infrastruktur sosial dan teknologi yang tidak hanya untuk mengatur, mengekspresikan dan merenungkan kehidupan tetapi juga untuk kehidupan yang hidup. Saat ini, dengan konvergensi internet, teknologi telepon seluler, satelit, serta personalisasi media digital lebih ditingkatkan. Menurut Turkle, pada tingkat umum, ‘identitas’ mengacu pada proses di mana seseorang mengembangkan kemampuan untuk memahami makna situasi dalam kehidupan sehari-hari dan posisi mereka sendiri dalam hubungannya dengan mereka (Hewitt, 2000).

Dalam proses ini, individu membentuk identitas pribadi atau diri. ‘Diri’ mengacu pada pengalaman individu dirinya sebagai orang yang unik dan subjek yang mampu bertindak dalam situasi tertentu. Pengalaman diri juga terletak pada konteks interaksi sosial tertentu (Goffman, 1959). Ini mengacu pada dimensi identitas kedua, mengenai lokasi individu sehubungan dengan makna, praktik dan posisi yang mengatur kehidupan sosial. Setiap situasi interaksi sosial menyajikan kemungkinan tertentu bagi individu untuk mengumumkan posisi apa yang ingin mereka anggap untuk bertindak dalam situasi tersebut.

Parasosial dan Post-truth

Ada dua konsep yang dikaji dalam menggambarkan bentuk hubungan melalui media, yaitu “hubungan parasosial” dan “identifikasi”. Gagasan tentang hubungan parasosial relatif baru, yang muncul bersamaan dengan temuan domestik, elektronik, media massa (radio dan televisi). Konsep interaksi parasosial dan identifikasi sama-sama menggambarkan cara audiens berhubungan, secara emosi dan koginitif, dengan gambar dari orang-orang yang mereka lihat dan dengar melalui media massa, dan dapat secara kolektif disebut hubungan termediasi. Sedangkan identifikasi memiliki akar yang kuat dalam studi literatur dan psikoanalisis. Karena itu konsep keduanya menggambarkan model keterlibatan audiens yang memainkan peran sentral dalam pemahaman dan interpretasi audiens terhadap teks media. Artinya, keduanya sama-sama memainkan peran utama dalam teori tentang efek media (Cohen, 2009).

Pada kasus pilkada DKI Jakarta 2017, penggiringan yang dilakukan media massa dengan gerbong media online, media sosial, dan media messenger diarahkan pada kecintaan pada tokoh masyarakat dan politik. Media mendesain tokoh masyarakat dan politik sehingga melahirkan pada kecintaan, keyakinan, dan kepatuhan seseorang terhadap seorang figur.Horton dan Wohl menyebut gejala ini sebagai parasosial.

Sebenarnya istilah parasosial digunakan untuk melihat hubungan satu arah antara seorang penggemar dengan artis, penyiar, atau bintang televisi dan radio. Titik poin dari parasosial adalah kemampuan media (terutama televisi) dalam mengemas tokoh di dalamnya. Namun belakangan, tidak hanya selebritas atau penyiar saja yang dikonstruksi oleh media, melainkan tokoh politik dan tokoh masyarakat.

(4)

seorang figur sekalipun hubungannya bersifat satu arah, non-dialektikal, tidak berkembang, bahkan cenderung dikontrol oleh figur.

Sedangkan hubungan parasosial merupakan suatu ilusi mengenai hubungan langsung antara seseorang dengan figur media, sebagai hasil rekaan dari media massa. Hubungan parasosial adalah perluasan dari interaksi parasosial yang muncul meskipun seseorang tidak lagi melihat figur tersebut. Maraknya aksi-aksi saat ini adalah wujud dari hubungan parasosial dari individu-individu yang terpapar oleh media (interaksi parasosial).

, saling terkait satu sama lain serta terhubung dengan Kehadiran teknologi internet semakin memudahkan media untuk mengemas figur menjadi idola. Media berbasis online ini memiliki kontribusi besar dalam membesarkan seorang figur. Sayangnya, kemudahan teknologi komunikasi ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang figur ntuk mengambil keuntungan dari ‘ketenarannya’ sebagai idola baru di masyarakat. Seorang figur dengan mudah ‘menghipnotis’ individu-individu melalui ucapan atau tindakan yang dibagikan (sendiri atau oleh penggemar) ke facebook, twitter, whatsapp, serta media online lainnya. Dampaknya, ribuan penggemar rela melakukan apapun demi kecintaan, keyakinan, dan kepatuhan pada tokoh idolanya. Aksi-aksi yang dilakukan oleh dua kubu yang berbeda pun tak terelakkan lagi. Semua dilakukan untuk sebuah kebenaran yang diyakini berdasarkan perasaan emosional terhadap seorang figur. Apa yang disampaikan oleh figur adalah truth, sebuah kebenaran yang dianggap berlaku bagi siapa saja, lintas kelompok dan agama. Gejala tentang keyakinan terhadap kebenaran inilah yang belakangan menjadi wacana internasional, khususnya di ranah politik. Dunia internasional menyebutnya sebagai post-truth.

Oxford Dictionaries mendefinisikan istilah post-truth sebagai keyakinan dan perasaan pribadi seseorang lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik daripada faktor-faktor objektif. Kamus terkemuka di dunia dari Universitas Oxford itu bahkan telah memilih istilah post-truth sebagai Word of the Year pada tahun 2016. Oxford Dictionaries menganggap post-truth sebagai istilah paling penting di dunia politik pada tahun 2016.

Meskipun sebenarnya istilah post-truth pertama kali digunakan oleh seorang penulis keturunan Serbia, Steve Tesich, pada 1992 dalam sebuah esai tentang skandal Iran-Contra dan Perang Teluk, namun istilah ini baru populer setelah kasus Brexit (Britain Exit) yaitu keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa. Istilah ini kembali booming setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Post-truth digunakan ketika fakta tidak lagi dianggap relevan dalam urusan politik. Dalam post truth, kebohongan bukan lagi sebuah persoalan besar karena keyakinan dan perasaan pribadi seseorang melebihi fakta apapun.

Media Online

Temuan penelitian yang dilakukan Gruzd dan Wellman (2014) memperlihatkan bahwa informasi dapat membantu para ilmuwan memahami perilaku dan hubungan anggota jaringan online dan untuk melihat bagaimana interaksi dan koneksi online mempengaruhi pilihan dan tindakan pribadi.

(5)

menemukan bahwa blogger berpengaruh cenderung memperkuat wacana dan koneksi partisan di blogosphere, sehingga mendukung gagasan bahwa sebagian besar komunikasi homofilik dengan individu yang berpikiran serupa cenderung mendukung kepercayaan yang ada (Gruzd dan Wellman, 2014).

Seiring perkembangan teknologi internet, tingkat keterlibatan orang-orang dengan lingkungan online telah berubah secara signifikan. Selama tiga puluh tahun terakhir, ada perubahan revolusioner dalam cara masyarakat ber-online dan hal-hal yang dapat dilakukan dengan bentuk media baru ini. Banyak orang yang menggunakan internet tidak lagi membedakan antara kehidupan online dan offline. Menjadi “online” adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan keberadaan sosial mereka. Memeriksa e-mail, mencari informasi, memelihara pertemanan dan jejaring sosial dalam media sosial merupakan bagian dari rutinitas sehari-hari bagi sebagian besar penduduk. Hal ini memiliki dampak signifikan terhadap perilaku pencarian informasi religius dan juga cara orang melakukan praktik keagamaan.

Dengan komputer dan perangkat akses internet, menjadi lebih kuat dan lebih murah, dikombinasikan dengan jaringan berkecepatan tinggi yang terus berkembang. Orang terus mengasimilasi teknologi ini ke dalam aktivitas mereka (Helland, 2014)

Politik Identitas dan Kekalahan Basuki

Politik identitas yang disebarkan melalui berbagai media online dan media sosial tak pelak menjadi wadah penonjolan figur atau tokoh masyarakat dan politik sekaligus menayampaikan klaim kebenaran. Setiap ucapan seorang figur diposting di timeline dan dibagikan para pengguna ke teman maupun grup di berbagai media sosial seperti facebook, twitter, Whatsapp, dan lain sebagainya. Masyarakat meyakini bahwa apa yang disampaikan oleh sang tokoh adalah sebuah kebenaran. Masyarakat yang terjangkiti parasosial ini tidak lagi berpikir apakah informasi yang disampaikan benar atau tidak, sebuah propaganda atau agitasi politik tetapi keyakinan terhadap figur telah membantah kebenaran yang bersifat objektif. Kebenaran tidak lagi terletak pada validitas informasi tetapi keyakinannya pada seorang figur.

Dampak dari media tidak terbatas pada konskuensi perilaku dari pesan media, tetapi telah mengarah pada dampak emosi yang lebih personal. Inilah di antara penyebab munculnya ujaran kebencian (hate speech), kata-kata kotor, fitnah, dan berita hoax di berbagai media sosial. Ketika kebenaran tidak lagi dilandasi oleh faktor-faktor objektif tetapi keyakinan dan perasaan seseorang terhadap seorang figur, maka akan terjadi pemaksaan kepada orang lain yang diyakini sebagai sebuah kebenaran.

(6)

Dengan membawa isu-isu ini ke dalam setting baru interaksi sosial yang ditandai dengan sirkulasi, pencarian, dan persimpangan berbagai khalayak yang lebih luas, media online atau digital juga dapat menyediakan ruang baru untuk refleksi kolektif mengenai nilai-nilai agama dan moral (Lovheim, 2013)

Kemampuan media online atau digital dalam mempengaruhi suara pemilih ini juga semakin meningkatkan pengaruh popularitas perangkat lunak jejaring sosial. Isu yang dieksplorasi meliputi bagaimana sebuah blog mampu membentuk komunitas baru atau dalam jejaring Whatsapp yang membuat grup-grup tentang keagamaan. Lovheim (2013) melihat bahwa penelitian tentang komunitas religius online juga mempertimbangkan bagaimana teknologi Web 2.0 memberikan kemungkinan baru untuk penciptaan komunitas secara online dan menantang komunitas religius offline. Dia juga mengungkapkan bahwa studi blogging religius menunjukkan bahwa individu dapat menggunakan aktivitas online mereka untuk secara sadar menolak bentuk komunitas tradisional dan malah memilih untuk membangun identitas dan jaringan religius yang memungkinkan mereka bereksperimen dengan cara baru dalam interaksi religius online (Teusner 2010). Sebagai teknologi jaringan, semakin memudahkan interaksi sosial, pendidikan, pekerjaan, dan bergantung pada perangkat mobile yang semakin mengubah pengertian kita tentang tempat dan interkoneksi. Perubahan sifat masyarakat akan terus menjadi area eksplorasi yang penting. Komunitas terus berfungsi sebagai area jaringan yang beragam interaksi sosial. Internet dan dunia media baru menjadi ruang yang berharga untuk mempelajari cara-cara baru bersama.

Isu tentang politik identitas pasca pilkada DKI Jakarta semakin meluas manakala kelompok lawan (pendukung Basuki) membuat identitas kebhinekaan guna ‘melawan’ kelompok identitas berbasis keagamaan dan etnis. Potensi konflik horisontal antar-kelompok dikhawatirkan akan mudah pecah jika jika tidak ditangani dengan cepat.

Mengantisipasi Politik Identitas

Fakta politik identitas ini sekaligus memperlihatkan kelemahan pemerintah dalam membangun keanekaragaman dan kebhinekaan tanah air. Demokrasi Pancasila sebagai landasan final NKRI ternyata belum sepenuhnya dijiwai masyarakat. Munculnya politik identitas dari kelompok tertentu adalah bukti bahwa masih banyak kelompok yang selama ini merasa dipinggirkan, bahkan telah membangun kekuatan secara tersembunyi. Di sisi lain kekuatan media sosial-online menjadi sebuah kekuatan baru dalam percaturan politik dan memiliki pengaruh siginifikan dalam masyarakat. Grup-grup di media sosial-online yang terbangun atas nama komunitas agama atau lainnya menjadi ladang subur dalam menggerakkan isu-isu politik. Bahkan isu ini akan selalu hidup dan tidak berhenti sampai di pilkada. Isu-isu politik identitas yang dibahas dalam grup Whatsapp atau media sosial-online yang lain menjadi kekuatan yang akan terus bergerak dengan sentimen identitas kelompok (agama/etnis).

(7)

Temuan penelitian Gruzd dan Wellman (2014) perilaku dan hubungan anggota jaringan online yang mempengaruhi pilihan dan tindakan pribadi menunjukkan bahwa grup-grup Whatsapp yang tumbuh subur di Indonesia adalah bentuk jaringan online yang berpotensi menjadi gerakan politik identitas masa yang akan datang. Demikian juga dengan penelitian Karine Nahon dan Jeff Hemsley (dalam Gruzd dan Wellman) yang menunjukkan bahwa blog politik memiliki pengaruh signifikan di Amerika Serikat karena saling terkait satu sama lain dan terhubung dengan konten eksternal seperti video viral. Kekuatan media online sangat mendesak untuk diantisipasi, terutama kaitannya dengan penyebaran isu SARA dan politik identitas.

Sebagaimana yang dirasakan bahwa politik identitas pasca-pilkada DKI Jakarta masih terus menghiasi jagad maya. Perang pemahaman agama di media sosial masih terus berlangsung. Figur-figur dari tokoh masyarakat atau politik masih diperbincangkan dan banyak dibicarakan. Figur Basuki Tjahaja Purnama dan Habieb Riziek Shihab masih menjadi topik penting terkait politik identitas. Dua tokoh ini masih terus diperbincangkan dan diperdebatkan di media sosial-online. Tentu hal ini cukup mengkhawatirkan akan terjadinya konflik horisontal.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka isu tentang politik identitas akan tetap menjadi isu seksi yang terus diusung. Bahkan sangat mungkin keberhasilan mengusung isu politik identitas dalam pilkada DKI Jakarta menjadi rujukan pemilu-pemilu selanjutnya. Artinya, dalam pilkada di daerah lain, yang digelar secara serentak di berbagai wilayah di Indonesia ke depan, sangat mungkin isu politik identitas akan kembali diusung untuk memenangkan pasangan calon yang dianggap memenuhi kriteria kelompok tertentu. Hal ini juga menjadi peringatan pemerintah dan badan pengawas pemilu (bawaslu) dalam mempersiapkan pemilu presiden.

Bercermin dari pilkada DKI Jakarta, ke depan bawaslu harus lebih tegas dalam bersikap dan menindak pada masyarakat atau pelaku kampanye yang sengaja menyinggung isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Jika mengacu pada Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 69, maka dalam melaksakan kampanye Pilkada, para bakal calon dan semua pihak dilarang melakukan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras dan golongan terhadap calon kepala daerah. Dalam pasal yang sama, kampanye yang bersifat menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat, juga dilarang. Ketentuan Pidana terhadap praktik penghinaan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penghinaan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan dan paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit 600.000 dan paling banyak 6.000.000 rupiah.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, H.A. 2013. Digial Religion : Understanding Religius Practice in New Media Worlds. London and New York: Routledge.

Cohen, Jonathan. 2009. “Mediated Relationship and Media Effect: Parasocial Interations and Identification”. Dalam The Sage Handbook and Media Prosseces and Effects. Ed. Robin L. Nabi dan Mary Beth Oliver. Thousand Oaks, CA: Sage, 223-236.

Eriyanto. 2011. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LkiS Group.

Goffman, E. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. London: Penguin Books. Gruzd, A. dan Wellman, B. 2014. “Networked Influence in Social Media: Introduction

to Special Issue”. Dalam American Behavioral Scientist, Vol. 58 (10), 1251-1259, Sage Publications.

sagepub.com/journalsPermissions.nav, DOI: 10.1177/0002764214527087, abs.sagepub.com.

Helland, C. 2013. “Ritual”. Dalam Digial Religion : Understanding Religius Practice in New Media Worlds. Ed.Heidi. A. Campbell. London and New York: Routledge. Hewitt, J. P. 2000 Self and Society: A Symbolic Interactionist Social Psychology, 8th

edition, Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

Lovheim, Mia. 2013. “Identity”. Dalam Digial Religion : Understanding Religius Practice in New Media Worlds. Ed.Heidi. A. Campbell. London and New York: Routledge.

Teusner, P. 2010. Emerging church bloggers in Australia: Prophets, Priests and Rulers in God’s Virtual World. PhD thesis, Melbourne: RMIT University.

Turkle, S. 1995. Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet. New York, NY: Touchstone.

http://plato.stanford.edu/entries/identity-politics/ “Identity Politics (Stanford Encyclopedia of Philosophy)” First published Tue Jul 16, 2002; substantive revision Fri Nov 2, 2007, diakses 30 Mei 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Ada pengaruh model pembelajaran kooperatif Team games Tournamen (TGT) terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VIII MTs Thamrin Yahya tahun ajaran 2014/2015,

Seluruh Staff Pengajar (Pak Petrus, Pak Didik, Pak Hadiyono, Bu Yovita, Pak Beni, Pak Eman, Pak Roto, Pak Budi Sarwo, Pak Pancasiwi, Pak Donny, Bu Endang, Ibu Yuni, Bu Wid, Bu

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan beberapa hasil terkait rumusan permasalahan pada penelitian ini: (1) terdapat pengaruh yang

Berdasarkan hasil penelitian yaitu pretest diketahui sikap dalam memberikan pendidikan seksual dini pada orang tua khususnya ibu rumah tangga dengan anak usia 9-

Perangkat penilaian yang telah dikembangkan untuk menilai kesulitan belajar siswa memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tersebut diantaranya yaitu: 1) berdasarkan

Pada bagian pertama akan dilakukan pembandingan objek-objek yang terdapat pada virtual map dengan objek aslinya, sedangkan pada bagian kedua akan dilakukan

1) Expert Priceber Communication. 2) Petugas PR dianggap sebagai orang yang ahli. Dia menasehati pimpinan perusahaan/organisasi. Hubungan mereka diibaratkan seperti

Mashlahah mursalah disini dapat dipahami bahwa peraturan mengenai pembebanan biaya dalam PTSL tidak terdapat dalam dalil syara‟, namun sekalipun tidak terdapat