BAB II
KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG PEMBATASAN DALAM PEMBERIAN HIBAH
D. Hibah Dalam Pandangan Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Hibah
Kata Hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa
Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata yang berarti pemberian.53 Secara bahasa, dalam kamus Al-Munawwir dijelaskan bahwa hibah berasal dari akar kata - - (wahaba-yahabu-hibatan) yang berarti memberi atau pemberian,54 dan dapat berbentuk sedekah maupun hadiah.55 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata hibah memiliki arti pemberian (dengan suka rela) dengan
mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.56 Dalam KUHPerdata Indonesia, hibah merupakan terjemahan dari istilah “schenking”57 (bahasa Belanda) atau
“donation” (bahasa Inggris), yang berarti suatu persetujuan dengan mana pemberi
hibah di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali
memberikan atau menyerahkan sesuatu benda kepada penerima hibah untuk
53
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 73 54
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Muna wwir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hal.1584
55
Moch.Anwar, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, (Bandung: CV.Diponegoro, 1991), hal.134.
56
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal. 398
57
digunakan keperluannya sebagaimana miliknya pribadi.58 Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki.
Istilah hibah berkonotasi memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang
lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama artinya dengan
menjual atau menyewakan. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak
berlaku dan transaksi hibah. Hibah dalam artian pemberian juga bermakna bahwa
pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan
dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk perpindahan hak
milik. Pihak penghibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak
penerima hibah tanpa ada kewajiban dari penerima untuk mengembalikan harta
tersebut kepada pihak pemilik pertama. Dalam konteks ini hibah sangat berbeda
dengan pinjaman, yang mesti dipulangkan kepada pemiliknya semula.59
Kata hibah dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda di lingkungan
ulama, di antaranya:
1. Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi, hibah ialah pemberian oleh orang yang
berakal sempurna dengan asset yang dimilikinya; harta atau perabotan yang
mubah.60
58
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.150. 59
Helmi Karim, Op.Cit., hal.74 60
2. Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud
memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa
imbalan.61
3. Menurut Sulaiman Rasyid, hibah ialah memberikan zat dengan tidak ada
tukarannya dan tidak ada karenanya.62
4. Menurut M.Arsyad Thalib Lubis, hibah ialah memberikan suatu untuk jadi milik
orang lain dengan maksud berbuat baik, yang dilakukan dalam masa hidup orang
yang memberi.63
5. Menurut, M. Ali Hasan, hibah ialah pemberian atau hadiah, yaitu suatu
pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah
tanpa mengharapkan balasan apapun.64
6. Menurut Ulama Hanabilah, hibah ialah memberikan kepemilikan atas barang
yang dapat di tasharuf-kan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya, berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban,
ketika masih hidup, tanpa adanya pengganti, yang dapat dikategorikan sebagai
hibah menurut adat dengan lafazh hibah atau tamlik (menjadikan milik).65
Jika diperhatikan dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa hibah ialah pemberian hak milik, material maupun inmaterial kepada orang
61
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Terj. Mahyudin Syaf, (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1985), hal. 315.
62
M.Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1992), hal.80.
63
M.Arsyad Thalib Lubis, Ilmu Fiqih, (Medan: Islamiyah, 1963), hal.128. 64
M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Cet.I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 76
65Rachmat Syafe‟i,
lain di waktu hidup tanpa imbalan dari orang yang menerima pemberian itu dengan
melalui akad. 66
Secara umum hibah mempunyai makna umum, yaitu:67
1. Ibraa yaitu menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.
2. Sedekah yaitu yang menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di akhirat;
3. Hadiah yaitu imbalan yang diberikan seseorang karena dia telah mendapatkan
hadiah.
2. Dasar Hukum Hibah
Hibah merupakan suatu perjanjian yang bersifat timbal balik, karena hanya
ada satu pihak yang wajib berprestasi dan pihak lainnya hanya mempunyai hak saja
atas prestasi tersebut. Dalam Islam adanya hibah sangat dianjurkan mengingat lebih
bersifat tolong menolong (ta‟awun) antar sesama.68
Dalam Al-Qur‟an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks
pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh
hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha
Memberi Karunia. Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah seperti yang
dimaksud dalam kajian ini secara eksplisit, tidak ditemukan. Namun dapat digunakan
66
M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.83. 67
M.Hasballah Thaib, Perbandingan Mazhab Dalam Ilmu Hukum Islam, (Medan: Fakultas Pasca Sarjana Konsentrasi Hukum Islam Universitas Sumatera Utara, 1999), hal.133.
68
petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya
kepada orang lain.69
Misalnya, QS. Al-Baqarah, 2:262 yang artinya: “Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Firman Allah juga dalam QS. Al-Munafiqun, 63:10 yang artinya: “Dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku,
mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”
Juga berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 2 yang
artinya: “Dan tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa” (Q.S. al-Maidah ayat
2).70Sebagai sebuah perbuatan hukum hibah tentu saja memiliki dasar hukum yang terdapat dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dari
hadist Khalid bin „Adi. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
“Barang siapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap
-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak
menolaknya, karena ia adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya.” Pihak
69
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), hal.467.
70
penerima hibah dalam hadist ini sangat dianjurkan untuk menerima pemberian dari
orang lain. Karena pemberian orang lain yang tidak didahului dengan meminta-minta
merupakan rezeki karunia Allah kepada hamba-hambaNya.71
Dalam salah satu hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Abu Dawud
dari Aisyah ra.berkata, “Pernah Nabi Muhammad SAW menerima hadiah dan
balasannya hadiah itu”. Hadiah itu tidak boleh ditolak. Dan menurut hadist yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Tarmidzi dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan
belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan
dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya”.72
3. Ukuran Harta Yang Di Hibahkan
Pada dasarnya setiap orang dapat menghibahkan (barang milik) sebagai
penghibah kepada siapa yang ia kehendaki ketika penghibah dalam keadaan sehat
walafiat.73 Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran pemberian hibah, Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam
sepakat pendapatnya bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada
orang yang bukan ahli warisnya,74 hal yang sama dikemukakan oleh Eman Suparman, bahwa di dalam hukum Islam jumlah harta seseorang yang dapat dihibahkan itu tidak
71
Abdul Ghofur Anshori, Loc.Cit,. 72
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.212 73
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hal.103. 74
terbatas. Berbeda halnya dengan pemberian seseorang melalui wasiat yang terbatas
pada sepertiga dari harta peninggalan yang bersih.75
Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafi
mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk
keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai
orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat dibedakan dalam
dua hal, jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan
hukum, mayoritas pakar hukum Islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi jika hibah itu
diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir
tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha Amsar menyatakan makruh.76
Mengenai benda yang dihibahkan ini meliputi segala macam benda yang
wujud atau tidak ada ditempat (al ma‟dum). Prinsipnya, semua benda atau hak yang dapat diperjualbelikan, maka dapat dihibahkan. Dalam konteks sekarang ini,
seseorang mempunyai kekayaan bisa dalam berbentuk saham sebagai surat bukti
bahwa ia memiliki benda yang diterangkan dalam surat tersebut. Ukuran harta atau
benda yang dihibahkan, dalam Kompilasi Hukum Islam telah disebutkan dalam pasal
210 bahwa “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat
dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga)
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga”. Memang pada awalnya para fuqaha
tidaklah memberi batasan maksimal pada perbuatan hibah. Seseorang memiliki harta
75
Eman Suparman, Loc.Cit,.
76
bebas untuk melakukan hibah kepada siapa yang dikehendaki dalam jumlah
berapapun. Bahkan bila perlu dia dapat menghabiskan seluruh hartanya. Sistem
tersebut ternyata menimbulkan kerugian bagi ahli waris, sebab tidak selamanya wahib
(orang yang menghibahkan) menghibahkan hartanya semata-mata demi ibadah dan
taqarrub kepada Allah SWT. Cara tersebut adakalanya ditempuh seseorang untuk menghalangi ahli waris mendapatkan haknya karena pewaris tidak senang dengan
ahli waris.77
Oleh karena itu, dengan pertimbangan kemaslahatan dengan menganalogikan
pada pemberian harta melalui jalan wasiat atau hibah yakni atas dasar hadist Sa‟ad
ibn Abi Waqash, yang artinya:
“Ya Rasulullah, saya sedang menderita sakit keras,. Bagaimana pendapat anda, saya ini orang berada, dan tidak ada yang dapat mewarisi harta saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah sebaiknya saya mewasiatkan 2/3
harta saya itu?” “Jangan” jawab Rasulullah. “Separoh, ya Rasul?”
sambungku. “Jangan” jawab Rasulullah. “Sepertiga” sambungku
lagi.Rasulullah menjawab:“sepertiga. Sebab, sepertiga itupun sudah banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta pada orang banyak”. (HR. Bukhori dan Muslim).78
Dalil diatas adalah ijma‟, karena umat Islam sejak dari Rasulullah sampai saat ini banyak melakukan wasiat/hibah dan ternyata hal itu tidak pernah diingkari oleh
seorang pun. Hal ini menunjukkan ada kesepakatan ijma‟ umat Islam.79 Maka Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa istilah diberlakukan batasan 1/3
77
Muhammad Saifullah,dkk. Hukum Islam Solusi Permasalahan Keluarga, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hal.229.
78
M. Ali Hasan, Op.Cit., hal.92-93. 79
(sepertiga) dari harta yang dimiliki. Dan penganalogian ini sejalan dengan
pelaksanaan amanat dalam surat An-Nisa ayat 9 yang artinya: “Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang anak-anak
mereka yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar”.80
4. Diharamkan Melebihkan Pemberian dan Kebajikan Kepada Sebagian dari Anak-anak
Sehubungan dengan tindakan Rasulullah SAW terhadap kasus Nu‟man Ibnu
Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua kepada anaknya haruslah disamakan
bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda menjelaskan ketidak bolehan
membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih
banyak dari yang lain.81
Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum
Islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak
diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah
bersikap adil diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukannya, maka harus
dicabut kembali. Yang masih diperselisihkan para ahli hukum Islam tentang
bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan terhadap anak-anak itu? Ada yang
80
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Bumi Restu, 1974), hal. 116
81
berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak
perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-laki itu
dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum
Islam, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi
sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan perlunya
penyamaan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist
yang menyatakan bahwa pemberian hibah semua harta yang berbentuk hibah kepada
anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian pada
anaknya dan larangan pemberian semua harta berupa hibah kepada
anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah
itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.82
Tidak dihalalkan bagi seorangpun untuk melebihkan sebagian anak-anaknya
dalam hal pemberian diatas anak-anaknya yang lain, karena yang demikian akan
menanamkan permusuhan dan memutuskan hubungan silaturahim yang diperintahkan
Allah untuk menyambungnya. Imam Ahmad, Ishak, Ats-Tsauri dan sebagian
orang-orang Maliki berpendapat demikian. Mereka berkata: sesungguhnya melebihkan
sebagian anak-anak diatas sebagian yang lainnya itu perbuatan yang bathil dan
curang. Maka orang yang melakukan perbuatan itu hendaklah membatalkannya,
karena Al-Bukhari pun telah menjelaskan hal ini. Untuk itu mereka berdalil dengan
apa yang diriwayatkan dari Ibnu „Abbas r.a., bahwa Nabi Muhammad SAW,
82
bersabda: “persamakanlah di antara anak-anakmu di dalam pemberian. Seandainya
aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku lebihkan anak-anak perempuan.”83 Dari Asy-Sya‟bi, dari An-Nu‟man bin Basyir, dia berkata: Ayahku memberikan kepadaku suatu pemberian – Ismail bin Salim yang merupakan seorang diantara saudara-saudaranya berkata: Ayahnya telah memberikan
kepadanya seorang hamba sahaya lelaki. Kata Ismail: Maka ibuku, „Amrah binti Rawahah berkata kepada suaminya. “Datanglah engkau kepada
Rasulullah SAW dan persaksikan kepada beliau hal itu. “Maka dia pun datanglah kepada Nabi Muhammad SAW, dan dia sebutkan kepada beliau hal itu, katanya: Sesungguhnya aku telah memberikan kepada anakku,
An-Nu‟man dengan suatu pemberian. Dan sesungguhnya isteriku „Amrah
meminta kepadaku agar aku mempersaksikan hal itu kepada engkau. Dia (ayah An-Nu‟man) berkata: Maka Rasulullah menjawab, “apakah engkau
mempunyai anak selain dia?” Dia berkata: Aku menjawab, ya. Beliau berkata:
“Apakah semuanya engkau beri seperti apa yang engkau berikan kepada A
n-Nu‟man?” Dia menjawab: Tidak. Kata beliau: “Maka diantara anak-anak itu
ada yang mengatakan ini perbuatan yang curang, sedang yang lain berkata ini adalah perbuatan yang pilih kasih. Maka persaksikanlah kepada orang lain
selain aku.” Al-Mughirah berkata di dalam pembicaraan dengannya: Tidakkah engkau suka kalau anak-anakmu berbakti kepadamu dengan kebaktian yang sama? Dia menjawab: Ya. Lalu kata Al-Mughirah: persaksikanlah ini kepada orang lain selain aku. Dalam berbicara dengannya Mujahid berkata: Sesungguhnya anak-anakmu mempunyai hak padamu agar engkau berlaku adil terhadap mereka; seperti halnya engkau mempunyai hak pada mereka agar mereka berbakti kepadamu.84
Menurut Ibnul Qayyim:
Hadist ini berisi perincian keadilan yang diperintahkan Allah di dalam
kitab-Nya, dengannya langit dan bumi berdiri, dan dengannya syari‟at ditetapkan. Yang
demikian inilah yang paling cocok dengan Al-Qur‟an dibanding dengan segala kiyas
yang ada di muka bumi, lebih jelas petunjuknya dan amat tepat; maka ia menolak
83
M.Hasballah Thaib, Op.Cit., hal.136 84
ucapan yang samar “Setiap orang lebih berhak terhadap hartanya daripada anaknya
dan manusia semuanya.”85
Keadaan lebih berhak terhadap hartanya itu menghendaki dia boleh
memperlakukannya menurut apa yang dia mau, dan dikiaskan atas dasar kesamaan ini
dia boleh memberikannya kepada orang-orang asing, yang jelas diketahui ialah
keumuman dan kias atas dasar kesamaan yang demikian ini tidak dapat melawan
hukum yang sudah amat jelas. Orang-orang Hanafi, Asy-Syafi‟i, Malik dan Jumhur
ulama berpendapat bahwa mempersamakan di antara anak-anak itu sunat, dan
pelebihan diantara mereka itu makruh akan tetapi dapat dijalankan. Mereka
menjawab hadist An-Nu‟man dengan sepuluh jawaban, seperti disebutkan oleh Al
-Hafizh di dalam Al-Fath. Jawaban itu semuanya ditolak, Asy-Syaukani pun memuat kesepuluh jawaban itu di dalam Nailul Authar, diantaranya:86
1. Bahwa yang diberikan kepada An-Nu‟man itu semua harta orang tuanya
seperti diriwayatkan oleh Ibnu‟Abdul Bar. Padahal disebutkan bahwa
sebagian besar jalan-jalan hadist itu menjelaskan sebagian harta, seperti di
dalam hadist “bahwa yang diberikan itu adalah seorang hamba sahaya lelaki” dan lafazh Muslim tersebut. An-Nu‟man berkata: “Ayahku telah
memberikan kepadaku sebagian dari hartanya.”
2. Bahwa pemberian tersebut tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi Al-Basyir datang kepada Nabi Muhammad SAW, untuk meminta pertimbangan dalam hal itu. Lalu Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan kepadanya agar tidak melakukannya; maka diapun meninggalkannya. Demikian riwayat Ath-Thabari. Alasan ini dijawab bahwa perintah beliau kepadanya untuk membatalkannya memberikan pengertian bahwa pemberian itu telah dilaksanakan. Demikian pula kata-kata „Amrah: “Aku
tidak ridha sehingga engkau mempersaksikan... dst.”
3. Bahwa An-Nu‟man itu sudah dewasa, sedang yang diberikan itu belum dipegang di tangannya, maka dia memperbolehkan ayahnya untuk ruju‟
85
Ibid., hal.139 86
dalam pemberiannya. Demikian disebutkan oleh Ath-Thahawi. Berkata Al-Hafizh: ini bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam banyak jalan hadist, khususnya ucapannya “arji‟hu” (kembalikanlah), karena yang demikian menunjukkan lebih dulu terjadinya pemberian. Akan tetapi yang didukung oleh banyak riwayat ialah bahwa An-Nu‟man itu masih kecil, maka ayahnya menahannya karena dia masih kecil. Maka dia diperintah untuk mengembalikan pemberian tersebut sesudah pemberian itu berstatus telah diberikan.
4. Sesungguhnya ucapan “arji‟hu” (kembalikanlah) adalah dalil yang sah, sebab seandainya pemberian tidak sah, maka ruju‟nya pun tidak sah pula. Akan tetapi perintahnya untuk ruju‟ itu disebabkan karena orang tua
boleh ruju‟ dalam hal yang diberikan kepada anaknya, sekalipun yang
utama orang tua tidak boleh berlaku demikian. Namun, disunatkannya mempersamakan di antara anak-anak itu memperkuat agar dia ruju‟. Dan oleh sebab itu maka dia diperintah untuk ruju‟. Dikatakan di dalam Al-Fath: penggunaan dalil seperti ini perlu dipertimbangkan, sebab yang jelas bahwa makna dari ucapan “arji‟hu” artinya jangan engkau lanjutkan pemberian tersebut. Yang demikian ini tidak menghendaki sahnya pemberian terlebih dahulu.
5. Bahwa ucapan beliau “Persaksikanlah kepada orang lain selain aku”, memberikan izin untuk mempersaksikannya. Beliau tidak mau melakukan kesaksian itu adalah karena beliau imam. Maka seolah-olah beliau
mengatakan “Aku tidak mau menyaksikannya, karena imam tidak boleh
mempersaksikan; akan tetapi imam itu adalah memutuskan
(menghukumi).” Demikian diriwayatkan oleh Ath-Thahawi, dan disetujui
oleh Ibnul Qishar. Hal itu dijawab “Tidak merupakan kelaziman sebagai
seorang imam untuk tidak menyaksikan, mencegahnya untuk melaksanakan atau menunaikan kesaksian apabila kesaksian itu jelas
baginya.” Izin yang disebutkan itu maksudnya adalah mencela seperti
ditunjukkan oleh sisa lafazh hadist. Berkata Al-Hafizh: Demikianlah ditegaskan oleh jumhur dalam hal ini. Berkata Ibnu Hibban: ucapan
“asyhid” (persaksikanlah) itu bentuk fi‟il amr (kata perintah), yang maksudnya adalah meniadakan kebolehan. Ucapan itu seperti ucapan
beliau kepada „Aisyah: “Jangan engkau persyaratkan kekerabatan
mereka.” Hal ini diperkuat bahwa Nabi Muhamamd SAW menanamkan
perbuatan itu dengan perbuatan yang curang.
6. Berpegang pada ucapan beliau: “Tidakkah engkau mempersamakan di
antara mereka?”; maka yang dimaksud dengan pertanyaan itu adalah
perintah terhadap yang disunatkan, dan larangan tanzih (untuk kebersihan). Berkata Al-Hafizh: ini memang baik (dapat diterima), kalau sekiranya tidak ada lafazh tambahan atas lafazh tadi, khususnya riwayat:
7. Mereka berkata: kata-kata yang terdapat di dalam hadist An-Nu‟man
adalah: “Berlaku adillah terhadap mereka”; bukan “samakanlah”. Ini
dijawab, bahwa tidak mewajibkan keadilan seperti tidak mewajibkan persamaan.
8. Dalam perumpamaan yang terjadi diantara mereka mengenai persamaan di antara anak-anak dan persamaan kebaktian dari anak-anak itu merupakan alasan yang menunjukkan bahwa perintah menunjukkan
sunat. Ini ditolak dengan digunakannya kata “perbuatann yang curang”
terhadap tidak adanya persamaan, dan larang pelebihan seorang anak atas anak yang lain. Keduanya menunjukkan bahwa perintah itu untuk wajib. Dengan demikian maka alasan tersebut tidak pantas untuk memalingkan dari wajib ke dalam sunat. Kalaulah alasan itu pantas, tentulah perintah itu dipalingkan kepada sunat.
9. Apa yang dilakukan Abu Bakar bahwa dia memberikan kepada „Aisyah suatu pemberian, dan kata-kata Abu Bakar kepadanya: “Sekiranya engkau
memanfaatkannya.” Demikian pula yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawi
dari „Umar, bahwa dia memberikan sesuatu kepada anaknya, Ashim dan
tidak memberikannya kepada semua anak-anaknya. Seandainya pelebihan itu tidak diperbolehkan, tentulah perbuatan itu tidak akan terjadi dari kedua orang khalifah diatas. Dikatakan di dalam Al-Fath: “Urwah telah
menjawab mengenai kisah „Aisyah bahwa saudara-saudaranya semuanya
ridha akan hal tersebut. Dan seperti itu pula dijawab olehnya kisah
„Ashim”. Yakni bahwa perbuatan kedua khalifah ini tidak menjadi hujjah, khususnya bila bertentangan dengan yang marfu‟ (disandarkan) kepada Nabi Muhammad SAW.
10. Ijma‟ yang terjadi adalah diperbolehkannya seorang memberikan hartanya bukan kepada anaknya. Apabila seseorang diperbolehkan mengecualikan semua anaknya dari hartanya untuk diberikan kepada orang lain, maka boleh pula dia mengecualikan sebagian anak-anaknya dari hartanya untuk diberikan kepada sebagian yang lain dari anaknya itu. Demikian
disebutkan oleh Ibnu „Abdul Bar. Berkata Al-Hafizh: “pendapat ini jelas
sekali lemahnya, sebab lebih mengutamakan kias sedang nashnya ada”.
Sebenarnya, persamaan itu wajib dan pelebihan itu haram. Orang-orang yang
mewajibkan persamaan berselisih pendapat mengenai cara mempersamakan. Berkata
Muhammad ibnul Hasan, Ahmad, Ishak, sebagian orang-orang Syafi‟i dan Maliki,
yang namanya adil adalah memberikan kepada lelaki dua kali bagian perempuan,
sekiranya dia mati di sisi orang yang memberikannya. Sedang yang lain berpendapat:
“Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, karena pengertian yang jelas
dari masalah ini adalah memerintahkan persamaan.”87
Akan tetapi, ulama Hanabilah dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani
(748-804 M) mengatakan bahwa sang ayah boleh saja membedakan pemberiannya
terhadap anak-anaknya sesuai dengan ketentuan waris yang ditetapkan Allah, karena
mengikuti pembagian Allah itu lebih baik. Misalnya, memberi anak laki-laki sebesar
dua kali pemberian kepada anak wanita.88
5. Rukun dan Syarat-Syarat Sah Hibah
Kontrak hibah akan sempurna dengan adanya rukun dan syarat yang
mencukupi.89 Rukun dan syarat-syarat hibah terdiri atas:90
a. Adanya orang yang menghibahkan atau pemberi hibah (penghibah) (al-wahib)
Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut: 1. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan;
2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan; 3. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya; 4. Penghibah tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang
mempersyaratkannya keridhaan dalam keabsahannya.
Untuk orang yang menghibahkan hartanya disyaratkan bahwa orang itu adalah
orang yang cakap bertindak hukum, yaitu baligh, berakal dan cerdas. Oleh sebab itu,
87
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.182 88
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal.88 89
Abdul Halim Muhammad, Undang-Undang Muamalat dan Aplikasinya Kepada Produk-Produk Perbankan Islam, (Malaysia: Fakulti Undang-Undang Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), 2006), hal.202.
90
anak kecil dan orang gila tidak sah hibahnya, karena mereka termasuk orang-orang
yang tidak cakap bertindak hukum.91
Sayyid Sabiq, Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis menjelaskan,
bahwa bila seseorang menghibahkan hartanya, sedangkan dirinya menderita sakit
yang menyebabkan kematian, maka hukum hibahnya itu seperti wasiatnya. Karena itu
apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah
menerima hibah, maka hibahnya dipandang tidak sah, sebab dikhawatirkan
pemberian hibah sewaktu menghibahkan hartanya itu tidak didasarkan kepada
sukarela atau setidaknya pemberi hibah tidak lagi dapat membedakan pada saat itu
mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi sebaliknya bila ahli waris mengakui
kebenaran dari hibah itu, maka dipandang sah.92
b. Adanya orang yang menerima hibah (penerima hibah) (al-mahublah)
Mengenai orang yang diberi hibah disyaratkan bahwa benar-benar ada waktu
diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam
bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu
pemberian hibah, akan tetapi dia masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh
walinya, pemeliharaannya atau orang yang mendidiknya, sekalipun dia orang asing. 93
91
Helmi Karim, Op.Cit., hal. 75. 92
Ibid., hal.152 93
c. Adanya objek hibah, sesuatu yang dihibahkan (al-hibah)
Berkaitan dengan benda yang dihibahkan disyaratkan sebagai berikut:
1. Benda- benda tersebut benar-benar ada, dalam arti yang sebenarnya waktu
hibah itu dilaksanakan. Tidak sah dihibahkan seperti rumah yang belum
dibangun, atau tanah yang belum selesai di balik nama atas nama penghibah
dan sebagainya;94
2. Benda tersebut harta yang bernilai, termasuk menghibahkan anjing piaraan
dan najis yang boleh dimanfaatkan;
3. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, yakni yang dihibahkan itu apa yang
biasanya dimiliki, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat berpindah
tangan, karenanya tidak sah menghibahkan ia di sungai, ikan di laut, burung
di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren;
4. Benda yang dihibahkan itu tidak berhubungan dengan tempat milik
penghibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa
tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan
kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya;
5. Benda yang dihibahkan itu dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan
untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah, kecuali
ditentukan (dikhususkan) seperti halnya jaminan. Imam Malik, Imam
Asy-Syafi‟i, Imam Ahmad, dan Abu Tsaur berpendapat tidak disyaratkannya
94
syarat ini, mereka berpendapat bahwa hibah itu untuk umum yang tidak
dibagi-bagi itu sah. Bagi golongan Maliki, boleh menghibahkan apa yang
tidak sah dijual seperti unta liar, buah sebelum nampak hasilnya, dan barang
hasil ghashab.95
6. Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai (al-qabdh) penerima hibah. Menurut sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Hanabilah,
syarat ini malah dijadikan rukun hibah, karena keberadaannya sangat penting.
Ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan ulama Hanabilah lainnya mengatakan al-qabdh (penguasaan terhadap harta itu) merupakan syarat terpenting sehingga hibah tidak dikatakan sah dan mengikat apabila syarat ini tidak dipenuhi.
Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa al-qabdh hanyalah syarat penyempurna saja, karena dengan adanya akad hibah, hibah itu telah sah.
Berdasarkan perbedaan pendapat tentang al-qabdh ini, maka ulama Hanafiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa hibah belum berlaku
sah hanya dengan adanya ijab dan qabul saja, tetapi harus bersamaan dengan
al-qabdh (bolehnya harta itu dikuasai), sekalipun secara hukum. 96 Umpamanya, apabila yang dihibahkan itu sebidang tanah, maka syarat al-qabdh nya adalah dengan menyerahkan surat menyurat tanah itu kepada orang yang menerima hibah. Apabila yang dihibah-kan itu sebuah kendaraan, maka
95
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.153 96
Noor Lizza Binti Mohamed Said, Mohd Ridzuan Bin Awang, Amir Husin Bin Mohd Nor,
surat menyurat kendaraan dan kendaraannya diserahkan langsung kepada
penerima hibah.
Al-Qabdh itu sendiri ada dua, yaitu:
1) al-qabdh secara langsung, yaitu penerima hibah langsung menerima harta yang dihibahkan itu dari pemberi hibah. Oleh sebab itu, penerima hibah
disyaratkan orang yang telah cakap bertindak hukum.
2) al-qabdh melalui kuasa pengganti. Kuasa hukum dalam menerima harta hibah ini ada dua, yaitu:97
a) Apabila yang menerima hibah adalah seseorang yang tidak atau belum
cakap bertindak hukum, maka yang menerima hibahnya adalah
walinya.
b) Apabila harta yang dihibahkan itu berada di tangan penerima hibah,
seperti harta itu merupakan titipan di tangannya, atau barang itu
diambil tanpa izin, maka tidak perlu lagi penyerahan dengan al-qabdh, karena harta yang dihibahkan telah berada di bawah penguasaan
penerima hibah.98
d. Adanya Ijab Kabul (Shighat Hibah)
Shighat hibah, ialah kata-kata yang diucapkan oleh orang yang melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka shighat hibah terdiri atas ijab dan qabul. Ijab ialah kata-kata yang diucapkan oleh penghibah, sedangkan qabul diucapkan oleh
97
Zakiah Daradjat, (dkk), Ilmu Fiqh, Jilid III, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 181-182
98Rachmat Syafe‟i,
orang yang menerima hibah.99 Pada prinsipnya ijab kabul dilaksanakan berdasarkan atas kesepakatan bebas diantara para pihak dan tanpa disertai unsur paksaan,
kekhilafan maupun penipuan. Pernyataan ijab kabul pelaksanaan dimaksud dapat
dilakukan secara lisan maupun tertulis, bahkan hendaknya disaksikan oleh dua orang
saksi untuk itu.100
Sayyid Sabiq menyatakan, bahwa hibah itu sah melalui ijab kabul,
bagaimanapun bentuk ijab kabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa
imbalan, misalnya pemberi hibah berkata: aku hibahkan kepadamu, aku hadiahkan
kepadamu, aku berikann kepadamu; atau yang serupa dengan itu; sedang yang lain
berkata: ya, aku terima. Imam Malik dan Imam Asy-Syafi‟i berpendapat dipegangnya
kabul dalam hibah. Sedangkan orang-orang Imam Hanafi berpendapat bahwa ijab itu
saja sudah cukup dan itulah yang paling shahih,101 hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab yaitu dari orang-orang memberikan.102 Sementara itu orang-orang Imam Hambali berpendapat, bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menunjukkan
kepadanya; karena Nabi Muhammad SAW, diberi dan memberikan hadiah, begitu
pula dilakukan oleh para sahabat serta tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka
mensyaratkan ijab kabul dan yang serupa itu.103
99
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Op.Cit., hal.201.
100
Rachmadi Usman., Loc.Cit.
101Ibid,. 102
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hal.143.
103
Malikiyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahwa setiap hibah harus ada ijab dan
qabulnya, tidak sah suatu hibah tanpa ada kedua macam shighat hibah itu. Dasarnya ialah perbuatan Rasulullah SAW dan para sahabat. Shighat hibah itu hendaklah perkataan yang mengandung pengertian hibah dan hendaklah ada persesuaian antara
ijab dan qabul. Bagi orang yang tidak atau kurang dapat berbicara, maka shighat
hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benar-benar mengandung arti hibah dan
dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.
Sebenarnya ajaran Islam tidak mensyaratkan agar dalam hibah disiapkan
alat-alat bukti, seperti saksi, surat-surat otentik dan sebagainya. Tetapi banyak isyarat
yang dari isyarat-isyarat itu dipahamkan bahwa sebaiknya dalam hibah itu ada
alat-alat buktinya. Dengan adanya alat-alat-alat-alat bukti itu akan timbul kemantapan baik bagi
yang menghibahkan maupun bagi yang menerima hibah. Apalagi jika kemudian hari
terjadi perkara atau persoalan hibah itu, maka dengan adanya alat-alat bukti itu maka
perkara atau persoalan itu mudah diselesaikan. Tentu saja yang diperlukan alat-alat
bukti ialah hibah yang berhubungan dengan barang-barang yang tidak bergerak dan
tahan lama, seperti tanah, kebun, rumah dan sebagainya. Jadi, dalam pelaksanaan
hibah yang terpenting harus dilakukan ketika penghibah masih hidup, adanya
pernyataan terutama dari pemberi hibah, serta untuk kepentingan pembuktian jika
sebaiknya dibuat secara tertulis dalam sebuah akta, sesuai dengan anjuran Al-Qur‟an
Surah Al-Baqarah (2) ayat 282 dan 283.104
Terkait dengan pemberian hibah yang sebaiknya dibuat secara tertulis
menurut Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah (2) ayat 282 dan 283, di Indonesia pemberian
hibah dapat merujuk berdasarkan Pasal 1682 KUHPerdata, yaitu pada prinsipnya,
khusus penghibahan benda-benda tidak bergerak dilakukan dengan akta notaris dan
bila tidak dilakukan diancam batal demi hukum. Jika benda yang dihibahkan tersebut
berbentuk tanah yang sudah mempunyai sertifikat, maka penghibahan harus
dilakukan didepan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di daerah mana tanah
tersebut berada. Sedangkan penghibahan benda-benda bergerak yang bertubuh atau
surat-surat penagihan hutang atas tunjuk berdasarkan ketentuan Pasal 1687
KUHPerdata Indonesia cukup dilakukan dengan penyerahan belaka kepada penerima
hibah atau kepada seseorang pihak ketiga yang menerima penghibahan itu atas nama
penerima hibah dari pemberi hibah, dilakukan tanpa memerlukan suatu akta
notaris.105
6. Hibah Dari Orang Sakit Yang Penyakitnya Mematikan
Bila seseorang menderita sakit yang menyebabkan kematian, sedang dia
menghibahkan kepada orang lain, maka hukum hibahnya itu seperti wasiatnya.
Apabila dia menghibahkan kepada seorang diantara ahli waris, kemudian dia mati,
104
Zainuddin Ali., Op.Cit., hal.139. 105
sedang ahli waris yang lain mendakwakan bahwa dia menghibahkan kepadanya
dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematian, dan orang yang diberi hibah
mendakwa bahwa hibah itu diberikan kepadanya di waktu penghibah sehat; maka
orang yang diberi hibah wajib memperkuat kata-katanya. Bila dia tidak memperkuat
kata-katanya, maka dianggap hibahnya itu terjadi pada waktu sakit. Hukum yang
berlaku untuk itu adalah bahwa hibah itu tidak sah kecuali bila diperbolehkan oleh
semua ahli waris.106 Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa orang sakit dibenarkan menghibahkan sepertiga hartanya, karena hibah disini dipersamakan dengan wasiat.
Ketentuan yang terakhir ini tampaknya dianut oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI).107 Mengenai sakit yang bisa menghalangi melaksanakan hibah, menurut Jumhur
Fuqaha adalah sakit yang mengkhawatirkan seperti orang yang berada diantara dua
barisan musuh, orang hamil menjelang kelahiran bayinya, menumpang kapal laut
dalam kondisi gelombang laut yang tinggi.108
Menurut Tjandra Yoga Aditama Kepala Balitbangkes (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan) berdasarkan analisa awal survei penyebab kematian
berskala nasional ada beberapa jenis penyakit paling sering menjadi penyebab
kematian yaitu diantaranya adalah penyakit pembuluh darah di otak seperti pada
pasien stroke, penyakit jantung iskemik, HIV/AIDS, diabetes melitus dengan
106
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.172. 107
Abdul Manan, Op.Cit., hal.135. 108
komplikasi, tubercolusis pernapasan, hipertensi atau tekanan darah tinggi dengan
komplikasi, penyakit liver atau hati, radang paru-paru dan penyakit lainnya.109
Sedangkan sakit kronis yang menahun tidak menjadi penghalang dilaksanakan
hibah. Pendapat ini didasarkan pada ijma‟ para fuqaha tentang istishabul-hal, yakni tetap berlakunya sesuatu keadaan sampai ada keadaan yang lain yang mengubahnya.
Dalam hal ini para fuqaha sudah sepakat bahwa hibah boleh dilaksanakan dalam
keadaan sehat sampai ada dalil dari Al-Qur‟an dan Al-Hadist yang jelas tentang
larangannya. Hadist yang ada tentang masalah hibah orang sakit diartikan sebagai
wasiat.110
Mengenai hibahnya orang yang sedang jatuh pailit dan orang yang bodoh
(pandir) yang tidak mampu bertindak hukum, maka para fuqaha tidak
memperselisihkannya lagi. Jika mereka berada dibawah pengampunan maka hibah
yang dilaksanakan itu tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Jika
orang pailit dan orang bodoh tersebut menghibahkan hartanya, maka para ahli
warisnya atau pihak yang berkompeten dapat mencabut hibah yang telah
dilaksanakannya itu.111
109
Utami Widowati, Penyakit Paling Mematikan di Indonesia, m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150513163407-255-53129/10-penyakit-paling-mematikan-di-indonesia/, diakses pada tanggal 10 Agustus 2015, Pukul 11.58 WIB
110
Abdul Manan, Loc.Cit,. 111
7. Prinsip-Prinsip Hukum Islam Tentang Hibah
Secara general, syar‟i menciptakan syari‟at (undang-undang) bukanlah tanpa
arah, melainkan bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan
kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadatan bagi umat manusia,112 atau dengan kata lain, apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan suatu peristiwa hukum,
maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan ini setiap peristiwa hukum akan dengan
mudah terselesaikan.113 Sedemikian pentingnya kemaslahatan ditegakkan, dengan
penuh keyakinan Muhammad Ma‟ruf ad-Dawalibi berdalil, bahwa tumpuan akhir
syari‟ah adalah kemaslahatan, dan di mana saja ditemukan kemaslahatan maka di
situlah hukum Allah.114
Secara faktual, di dalam keluarga ada yang kaya dan ada yang miskin, ada
yang kecukupan dan ada yang kekurangan, oleh sebab itu Islam menetapkan bahwa
hak hamba Allah yang paling besar yang menjadi tanggung jawab seseorang, ialah
untuk kaum kerabatnya, itulah yang dinamakan “silaturrahim”. Di dalam syari‟at
Islam sebutan silaturrahim telah berulang kali ditegaskan di dalam Al Qur‟an dan as-
Sunnah, dan jika memutuskannya maka sebagai suatu dosa yang sangat besar.
Apabila seseorang yang kekurangan ditimpa suatu bencana, maka wajiblah bagi
mereka yang kecukupan di antara kamu kerabatnya menolongnya dan mengulurkan
tangan untuk membantunya sebagaimana hak kaum kerabat di dalam sedekah dan
112
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasa r-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam‟,
(Bandung : PT al- Ma‟arif, 1986), hal.333. 113
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek , Cet 1, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 274
114
diutamakan dari pada hak orang lain,115dan inilah salah satu tujuan disyari‟atkannya hibah.
Adapun prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan hibah adalah
sebagai berikut:
1. Prinsip Musyawarah
Prinsip ini tidak hanya pada masalah hibah saja melainkan berlaku pada setiap
permasalahan sekalipun kepastiannya kecil, hal ini sebagaimana firman Allah dalam
QS. Al-Imran 159, yang artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu.” (Qs. Al Imran 159).
Dalam pelaksanaan perintah musyawarah ini, Nabi Muhammad SAW selalu
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya hingga masalah-masalah yang
berhubungan dengan rumah tangga.116 Di samping itu musyawarah dapat berfungsi sebagai media untuk menyaring pendapat yang paling sesuai dengan representatif
terhadap semua unsur dan kalangan, juga sebagai sarana untuk mengeluarkan segala
pendapat dan perasaan yang terpendam dalam diri seseorang. Dalam pelaksanaan
hibah, musyawarah sangatlah diperlukan, apabila harta-harta yang dihibahkan
tersebut harta yang layak diwariskan walaupun dalam hibah tidak disyari‟atkan
adanya musyawarah, dan bahwa pemberi hibah berhak untuk menghibahkan harta
yang dimilikinya kepada siapa saja yang dikehendaki, tetapi dalam pelaksanaannya
115 Abul A‟la al
-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, Alih Bahasa Abdullah Suhaili, Cet.3,
(Bandung: PT al-Ma‟arif, 1985), hal. 145 116 Wahbah Az-Zuhayly, Ta‟lim al
- Muta‟alim Fil Bayan al- Tariq al- Ta‟lim, (Bandung: PT
setelah pemberi hibah meninggal dunia. Problem yang muncul di permukaan justru
bukannya kemaslahatan dan utuhnya kekeluargaan serta eratnya tali silaturrahim,
tetapi sering kali menimbulkan permusuhan dan putusnya hubungan kekeluargaan.
Hal ini jelas menyalahi tujuan disyari‟atkannya hibah itu sendiri. Dalam kaidah ushul
fiqih dijelaskan bahwa hukum segala unsur yang sangat tergantung pada tujuannya.117 Dengan demikian musyawarah merupakan prinsip yang harus dipegangi
apabila seseorang ingin melaksanakan pemberian hibah sesuai dengan ketentuan yang
dianjurkan oleh syari‟at Islam.
2. Prinsip Keadilan / Persamaan
Melebihkan atau melakukan perbedaan pemberian hibah antara satu anak
dengan anak yang lain merupakan sesuatu yang sangat sensitif untuk timbulnya suatu
perseteruan dan mengancam keutuhan keluarga, serta putusnya hubungan
silaturrahim, kecuali terdapat faktor-faktor lain atau pengecualian-pengecualian yang
dibenarkan oleh syara‟. Sebaliknya prinsip keadilan dalam pemberian hibah dan
muamalat, di samping merupakan yang dianjurkan oleh agama, juga dapat menjaga
keutuhan keluarga serta utuhnya hubungan silaturrahim. Firman Allah dalam
Al-Qur‟an surat Al-Maidah 8, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
117
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3. Prinsip tidak ada penarikan kembali dalam pemberian hibah
Dalam kitab al- Fiqh al- Islamy wa Adillatuh, karya Wahbah az- Zuhayly, menjelaskan bahwa penarikan kembali hibah orang tua kepada anaknya dapat
dibenarkan tetapi ada beberapa syarat utama yang ditetapkan dan yang dapat
membatalkan hak penarikan orang tua tersebut, yaitu apabila pemberian hibah ini
berubah dari bentuk aslinya, atau anak tersebut kemudian menikah setelah diberi
hibah, maka tidak dibenarkan menarik kembali pemberian hibah walaupun kepada
anaknya sendiri.118 Apabila hibah kepada orang lain maka janganlah pemberi hibah mengharapkan adanya imbalan atau balasan.
4. Prinsip tidak boleh menghibahkan seluruh harta benda
Di dalam kitab fiqih, mayoritas ulama membolehkan seseorang
menghibahkan seluruh harta bendanya kepada orang lain, tetapi pada kenyataannya
keputusan atau izin ini menimbulkan hilangnya kesempatan ahli waris untuk
mendapatkan harta benda sebagai harta waris. Hilangnya hak ahli waris ini tentu akan
menimbulkan hubungan yang kurang baik antara keduanya. Terjadinya hal-hal
demikian itu sudah pasti tidak dikehendaki oleh syari‟at islam, sebab anjuran hibah
itu sendiri justru dimaksudkan untuk menyambung tali silaturrahim. Dari situlah
terlihat betapa pentingnya seseorang tidak boleh menghibahkan seluruh harta
bendanya.
118
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab IV pasal 210 dinyatakan secara tegas
bahwa harta yang boleh dihibahkan kepada orang lain tidak boleh melebihi sepertiga
dari harta keseluruhan.119 Artinya, seseorang yang berkeinginan menghibahkan harta bendanya, tidak boleh menyerahkan seluruh harta bendanya. Hal ini di samping
bermaksud untuk menjaga terpeliharanya hubungan ahli waris, sekaligus untuk
menjaga kehidupan pemberi hibah itu sendiri dari kehidupan terlunta-lunta akibat
kehabisan harta bendanya.
8. Persoalan-Persoalan Hibah
Adapun persoalan-persoalan mengenai hibah diantaranya:
a. Hibah Bersyarat
Pada dasarnya hibah adalah pemberian milik yang sebenarnya secara langsung
dan sempurna kepada seorang yang menerima hibah. Oleh sebab itu bila dalam suatu
hibah ditetapkan syarat-syarat tertentu, seperti pembatasan penggunaan barang hibah
dan sebagainya, maka syarat-syarat yang demikian adalah syarat yang tidak sah,
sekalipun hibahnya sendiri adalah sah. Syarat yang demikian mengakibatkan hibah
itu adalah adalah hibah yang fasid (rusak). Karena itu sahnya hibah itu ditangguhkan sampai pada kejernihan syarat-syarat tersebut.120
119
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), hal. 156
120
Contohnya, ialah A menghibahkan sebuah rumah miliknya kepada B, dengan
syarat: Jika B hendak menjual rumah itu pada suatu saat kemudian hari, harus
mendapat persetujuan lebih dahulu dari A atau ahli waris A. Dalam hal ini hibah itu
adalah sah karena telah lengkap syarat-syaratnya, tetapi ada syarat yang fasid, yaitu kepemilikan B terhadap rumah itu belum sempurna, karena ia belum dapat
memindahkan haknya terhadap rumah itu dengan sempurna. Ia harus meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada A jika ia hendak menjual rumah itu. Hibah yang
seperti ini ditangguhkan kesahannya sampai A tidak lagi mengemukakan
syarat-syarat tersebut.121
b. „Umri
„Umri, ialah semacam hibah yang dihibahkan seseorang kepada orang yang
lain yang pemberian itu hanya berlaku selama hidup orang yang diberi hibah. Bila
yang diberi hibah meninggal dunia, maka harta hibah itu kembali milik penghibah.
Seperti si A menyatakan: “Aku hibahkan rumahku ini kepada B dengan syarat jika B
meninggal dunia maka rumah itu kembali menjadi milikku atau ahli warisku”.
Setelah B melakukan qabul, maka rumah itu dikuasai B selama ia hidup setelah ia
meninggal dunia rumah itu kembali menjadi milik A atau ahli warisnya.122
Sebenarnya dalam „umri ini terdapat syarat yang fasid, yaitu terjadi pemilikan yang terbatas waktunya. Lebih tepat ini termasuk „ariyah, karena hanya yang
diberikan berupa pemilikan manfaat. „Umri juga termasuk hukum adat orang Arab
121
Ibid,.
122
dahulu, kemudian dibolehkan berlaku bagi kaum muslimin berdasarkan hadist, “Dari
Abu Hurairah sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda: Umri itu boleh
(dilakukan)”. (HR.Bukhori dan Muslim, Ahmad Daud dan An Maasaiy), serta hadist
“Dari Jabir RA ia berkata: Rasulullah SAW telah menetapkan tentang „umri, yaitu
perawatan (pemeliharaannya) ditanggung oleh orang yang diberi”. (HR.Bukhori &
Muslim). Dari kedua hadist tersebut dipahamkan bahwa „umri itu dibolehkan dan
perawatan harta „umri itu ditanggung oleh orang yang menerimanya.
c. Ruqbi
Ruqbi semacam pemberian bersyarat, jika syarat itu ada, maka barang dihibahkan menjadi milik yang menerima hibah, tetapi jika syarat itu tidak ada maka
barang itu tetap menjadi milik penghibah. Seperti si A menyatakan: “Aku serahkan
rumahku ini kepada B, untuk dimanfaatkan selama hidupnya, jika B meninggal lebih
dahulu dari aku, maka rumah itu kembali menjadi milikku, sebaiknya jika aku yang
meninggal lebih dahulu maka rumah itu menjadi milik B atau ahli warisnya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah jadikan harta kamu sebagai ruqba
(harta gantungan) dan janganlah memberikannya kepada orang lain secara umra‟
(untuk selama hidupnya). Sesiapa yang diberikan sesuatu secara gantungan atau
diberi sesuatu untuk selamanya, maka pemberian itu menjadi hak milik bagi
pewarisnya, bila ia meninggal dunia.” (HR.Imam Muslim)123
123
Ruqbi termasuk adat jahiliyah yang kemudian ditetapkan berlakunya oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana diterangkan dalam hadist: “Dari Jabir RA bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda: „Umri itu boleh dilakukan oleh orang yang sanggup
melakukannya, dan ruqbi boleh (pula)”. (HR. Abu Daud & An Nasaiy & Ibn Majah & Tarmuziy berkata, bahwa hadist Hasan).124
d. Hibah Maradhal Maut
Hibah maradhal maut boleh dilakukan bila orang yang maradhal maut itu dalam keadaan mukallaf artinya bahwa ia berbuat sesuai dengan iradah dan ikhtiarnya. 125
9. Hikmah Hibah
Adapun diantara hikmah hibah adalah :
a. Menumbuhkan rasa kasih sayang sesama umat manusia
Rasulullaah SAW bersabda: “Berjabat tanganlah maka akan hilang rasa
dendam dan dengki dan saling memberi hadiahlah maka kalian akan menjadi saling
mencintai.” (H.R. Malik).126
Rasulullah SAW, bersabda: “Hendaklah engkau saling memberi hadiah
niscaya akan timbul perasaan saling cinta mencintai di antara kamu (HR.Bukhari).127 Memberi atau hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penyakit yang
124
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Op.Cit., hal. 206.
125 Ibid,. 126
Artikel oleh Gandung Fajar Panjalu, Larangan Menarik Kembali Barang Yang Telah Dihibahkan Perspektif Hadith, diakses pada tanggal 06 April 2015, Pukul 10.15 WIB.
127
terdapat dalam hati dan dapat merusak nilai-nilai keimanan, maka hibah dilakukan
sebagai penawar racun hati, yaitu dengki. Sebuah hadist yang diriwayatkan Imam
Bukhari dan Tarmidzi dari Abi Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Beri-memberilah kamu, karena pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati
(dengki)”.128
b. Menjadikan harta benda menjadi berlipat
Rasulullaah SAW bersabda: “Sedekah itu akan dibalas dengan 10 kali lipat”
(H.R. Ibnu Majah). Hadist ini menjelaskan bahwa ketika seseorang bersedekah, maka
hartanya tidak menjadi berkurang, melainkan akan bertambah.129
c. Terjauh dari murka Allah SWT
“Sesungguhnya sedekah itu dapat memadamkan murka Tuhan dan
menghindarkan diri dari mati su‟ul khatimah.” (H.R. Tirmizi).130 d. Terjauh dari siksa neraka
Rasulullaah SAW bersabda: “Jagalah diri kalian dari siksa api neraka walau
dengan (bersedekah) separuh biji kurma. Jika tidak memilikinya, maka
(bersedekahlah) dengan berbicara dengan perkataan yang baik.” (H.R. Bukhari).131
e. Memupuk rasa tolong menolong di antara sesama
128
Hendi Suhendi, Op.Cit., hal.218. 129
Gandung Fajar Panjalu, Loc.Cit
130
Ibid.,
131
Sebagai firman Allah: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”132
f. Terjauh dari berbagai macam bencana
Rasulullaah SAW bersabda: “Sedekah itu dapat menutup (mencegah) 70
macam keburukan (bencana).” (H.R. At-Tabarani).133
E. Hibah Kepada Ahli Waris
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat sebelum ia meninggal dunia, ia
menghibahkan sebahagian atau seluruh hartanya kepada ahli waris. Biasanya orang
tua memberi harta kepada anaknya berupa rumah dan sawah sesudah anaknya
menikah agar dapat digunakan sebagai modal dalam berumah tangga. Pemberian
harta yang sebelumnya telah dilakukan jika tanpa ada kejelasan pasti, dengan kata
lain bila orang tua atau pihak yang memberikan harta meninggal dunia maka yang
menyangkut harta tidak bergerak tidak jelas statusnya apakah bersifat hibah atau
pemanfaatannya yang bersifat sementara. Akibatnya setelah orang tua meninggal
dunia, anak yang telah diberi menganggap harta tersebut sebagai hibah, sedangkan
dari pihak yang lainnya menganggap bahwa pemberian itu bersifat sementara, yang
nantinya akan dibagi waris.
132
Abdullah Syah, Loc.Cit,.
133
Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah ialah harta kekayaan
seseorang yang dibagi-bagikannya di antara anak-anaknya pada waktu ia masih
hidup. Penghibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau
ketika anak mereka mulai menikah dan membentuk keluarga sendiri. Penghibahan
dilakukan ketika si pemberi hibah itu masih hidup dengan tujuan untuk menghindari
percekcokan yang akan terjadi apabila ia telah meninggal dunia di antara
anak-anaknya itu. Penghibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena
kekhawatiran si pemberi hibah sebab ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung
atau ibu tiri, atau juga karena di kalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang
mungkin disangkal keanggotaannya sebagai ahli waris. Hibah adalah hukum adat
juga sering terjadi karena maksud si pemberi hibah untuk menyimpang dari hukum
waris yang berlaku di kalangan masyarakat yang kental Islamnya, hal ini biasanya
berlaku pada masyarakat garis keibuan seperti di daerah Minangkabau.134
Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan
(Pasal 211 KHI). Oleh karena itu, diatas juga telah dikemukakan perbedaan pendapat
tentang status hukum melebihkan hibah kepada salah seorang anak, tidak kepada
yang lain. Dalam pemberian hibah harus dilakukan secara musyawarah dan atas
persetujuan anak-anak yang ada. Hal ini penting, agar tidak terjadi perpecahan dalam
keluarga. Memang, prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan
134
petunjuk Rasulullah SAW, hendaknya bagian mereka disamakan. Kalaupun
dibedakan, hanya bisa dilakukan jika mereka saling menyetujuinya.135
M.Hasballah Thaib berpendapat bahwa apabila harta warisan jumlahnya
sangat kecil sehingga tidak dapat diambil untuk diberikan kepada anak yang belum
pernah memperoleh pemberian orang tuanya tidak ada halangannya apabila hibah
yang pernah diterima oleh sebahagian anak itu diperhitungkan sebagai warisan yang
sudah diberikan pada waktu pewaris masih hidup. Jadi jelas status benda yang
dihibahkan itu tak lain sebagai “panjar harta warisan” yang pada waktunya wajib
diperkirakan kembali.136
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian hibah dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Boleh jadi, pola pembagian demikian, oleh
sementara pendapat dianggap sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi soal
warisan. Di satu sisi menghendaki hukum waris Islam dilaksanakan, namun
realisasinya telah ditempuh cara hibah, justru sebelum si pewaris meninggal dunia.
Bahwa kemudian kompilasi menegaskan demikian, kelihatannya didasari oleh
kebiasaan yang dianggap “positif” oleh masyarakat. Kadang-kadang hibah diberikan
kepada sebagian ahli waris diikuti dengan perjanjian bahwa apabila ia sudah
menerima hibah dengan jumlah tertentu, ia berjanji tidak akan meminta bagian
warisan kelak jika si pemberi hibah meninggal. Perjanjian semacam ini disebut
dengan pengunduran diri (takharruj). Fathur Rahman mendefinisikan:
135
Ahmad Rofiq, Op.Cit., hal.473 136
Takharruj adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.137
Takharuj merupakan transaksi antara dua pihak atau lebih, satu pihak menyerahkan sesuatu bagi pihak lain, dan pihak lain menyerahkan bagian warisannya
sebagai tegenprestasi kepada pihak pertama. Riwayat dari Ibn Abbas menyebutkan:
Abdurrahman ibn Auf di saat sekaratnya mentalak isterinya bernama Tumadir bin
al-Asbag al-Kalbiyah. Setelah ia meninggal dunia dan isterinya dalam masa iddah,
Usman ra, membagikan warisan kepadanya beserta tiga isterinya yang lain.
Kemudian mereka mengadakan perdamaian dengannya yakni, sepertiga duapuluhnya,
dengan pembayaran delapan puluh tiga ribu, dikatakan oleh satu riwayat “dinar” dan
riwayat lain “dirham”. Sepertiga duapuluh adalah sama dengan 1/8 (seperdelapan)
dibagi 4 (empat), yang waktu itu senilai 83.000 (delapan puluh tiga ribu) dinar, atau
83.000 (delapan puluh tiga ribu) dirham. Tumadir menerima pemberian itu, sebagai
tegenprestasi karena ia telah rela tidak ikut menerima bagian warisan.
Persoalan yang sekarang perlu diidentifikasi agar jelas, apakah hibah yang
diberikan seseorang kepada anak-anaknya itu dianggap sebagai warisan, ataukah
sebagai hibah biasa. Keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Pertama,
apabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan, sangat tergantung kepada
kesepakatan anak-anaknya, atau diperhitungkan menurut sistem kewarisan. Karena
seperti kata Umar ibn al-Khattab, perdamaian justru lebih baik, daripada nantinya
137
harus melibatkan pengadilan. Kedua, apabila pemberian itu dinyatakan sebagai hibah saja, maka menurut petunjuk Rasulullah SAW, maka pembagiannya harus rata. Ini
ditegaskan oleh tindakan Nabi Muhammad SAW, “jika anak-anakmu yang lain tidak
engkau beri dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali”. Yang tidak kalah
pentingnya dalam pelaksanaan hibah adalah persaksian dua orang saksi, dan
dibuktikan dengan bukti otentik. Ini dimaksudkan agar kelak dikemudian hari ketika
si pemberi hibah meninggal dunia, tidak ada anggota keluarga atau ahli warisnya
mempersoalkannya karena itikad yang kurang atau tidak terpuji.138
Sebagaimana diketahui bahwa hukum waris Islam apabila diterapkan sesuai
dengan ketentuan kitab fiqih klasik masih menimbulkan berbagai masalah bila
dihadapkan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia, antara lain: Pertama adanya
kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia yang tidak ingin membedakan hak
waris anak laki-laki dengan anak perempuan. Kedua, ahli waris non muslim tidak
menjadi ahli waris dari pewaris muslim sehingga tidak akan mendapat harta warisan.
Ketiga, anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena tidak memiliki
hubungan kekerabatan.139
1. Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2:1 dianggap sudah final
karena landasan hukumnya qat‟i al-wurud dan qat‟i al-dilalah sehingga tidak bisa ditafsirkan lain, tetapi kenyataan masyarkat muslim Indonesia ada
138Ibid., hal.476. 139
kecenderungan tidak ingin membeda-bedakan pemberiannya baik terhadap anak
laki-laki maupun anak perempuan, terlebih lagi dengan adanya isu kesetaraan
gender, yang berimplikasi terhadap pembagian harta warisan dengan tidak
membeda-bedakan hak anak laki-laki dan anak perempuan, adapun kalangan
masyarakat muslim yang tetap konsisten melakukan pembagian warisan 2 : 1
sepertinya lebih cenderung kepada bentuk kepatuhan dan ketaatannya terhadap
ajaran agama, bukan dilandasi oleh kesadaran hukumnya.140 Sehubungan dengan itu banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya
membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya, tanpa
membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan sehingga yang menjadi
harta warisan hanya sebagian kecil saja. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai
bentuk “menghindari” pembagian dari sistem bagi waris 2 : 1 dan lebih
mengarah kepada pembagian warisan 1:1. Membagi-bagikan harta dengan
bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup, dengan maksud dan tujuan agar
bagian anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh bagian yang sama tidak
dapat disalahkan, bahkan hal itu merupakan sebuah solusi dalam hukum waris
Islam, bahkan ada riwayat dari al Thabrani dan al Bayhaqi dari Ibn Abas RA.
katanya, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda : Artinya: “Samakanlah
pemberian yang kamu lakukan terhadap anakanakmu; dan sekiranya hendak
melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak perempuan”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa hibah yang diberikan
140
oleh si pemberi hibah pada waktu masih hidup dapat dijadikan solusi dalam
pembagian harta warisan kepada ahli warisnya.141
2. Ahli waris non muslim tidak mewarisi pewaris muslim. Dasar hukum ahli waris
non muslim tidak mewarisi pewaris muslim adalah hadist dari Usamah bin Zaid,
bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya : “Seorang muslim tidak
mewarisi dari seorang kafir, (demikian juga) seorang kafir tidak mewarisi dari
seorang muslim.”142
Menurut hukum waris Islam yang selama ini diterapkan di
lingkungan Peradilan Agama, ahli waris non muslim tidak akan mendapat harta
warisan dari pewarisnya yang muslim atas dasar hadist di atas. Demikian juga
pasal 171 huruf (b) dan (c) Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa pewaris
dan ahli waris harus beragama Islam. Apabila hal tersebut di atas tetap
dipertahankan maka ada semacam ketidak adilan hukum yang perlu dicarikan
solusinya, di antaranya adalah dengan hibah yang harus diberikan oleh orang tua
(pewaris muslim) ketika masih hidup kepada ahli warisnya yang non muslim
agar kegoncangan sosial dalam sebuah keluarga dapat dihindari.143
3. Anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena tidak memiliki
hubungan kekerabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak
angkatnya. Selanjutnya pada ayat (2) KHI bahwa terhadap anak angkat yang
141
Faizah Bafadhal, Op.Cit., hal.23 142
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal.261 143
tidak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang
tua angkatnya.
F. Alasan Pembatasan Pemberian Hibah Di Dalam Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan
mengenai hibah, yakni dalam pasal 210 sampai dengan pasal 214 dan sebelumnya
pasal 171 butir g.144 Kompilasi Hukum Islam menganut bahwa hibah hanya boleh diberikan 1/3 (sepertiga) dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya
dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan dilaksanakan menyimpang
dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi pemecahan diantara keluarga.
Prinsip yang dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan kultur bangsa Indonesia
dan sesuai pula dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnul Hasan bahwa
orang yang menghilangkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu dan tidak
layak bertindak hukum. Oleh karena orang yang menghibahkan harta dianggap tidak
cakap bertindak hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal, sebab ia
tidak memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan. Apabila perbuatan orang
tersebut dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sungguh
tidak dibenarkan sebab didalam syariat Islam diperintahkan agar setiap pribadi untuk
menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Dalam konteks ini ada kewajiban
pada diri masing-masing untuk menyejahterakan keluarga. Seandainya perbuatan
144