UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL
CABAI RAWIT ( Capsicum frutescens L) TERHADAAP
BAKTERI SARIAWAAN (Streptococcus sanguinis)
LAPORAN PENELITIAN
DESSY AMALIA DAMAYANTI 31115069
SI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI
TUNAS HUSADA
BAB I
PENDAHLUAN
1.1 Latar Blakang
Di negara indonesia terdapat berbagai jenis tumbuhan obat yang berkhasiat yang dapat dimanfaatkan oleh semua mahluk hidup. Para orang tua dan nenek moyang kita memiliki pegetahuan dan peralatan yang sederhana telah mampu mengatasi masalah kesehatan. Berbagai macam penyakit dan keluhuan, baik ringan maupun berat, diobati dengan memanfaatkan ramuan dan tumbuhan tertentu yang mudah di dapat disekitar pekarangan rumah denga hasil yang cukup memuaskan (Abdul, 2009).
Salah satu tumbuhan yang mudah didapatkan dan dapat digunakan sebagai obat tradisional adalah cabe rawit ( Capsicum frutescens L) .Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah kering dengan ketinggian 0,5-1250 m dpl. Terkadang tumbuh liar di tegal atau tanah terlantar, namun tak jarang dibudidayakan sebagai tanaman pekarangan. (Dini, 2014). Tanaman cabai rawit mengandung sponin, flavonoid, dan tanin. Buah cabai rawit mengandung kapsaisin, minyak atsiri, resin, daan vitamin C (Abdul, 2009). Senyawa flavonoid oleh Willman dalam sumastuti 1999 disebutkan dapat mengurangi pembengkakan, bakterisidal, antivirus dan anti histamin.
Berdsarkan latar belakang diatas maka akan dilakukan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol cabai rarwit (Capsicum frutescens L) terhadaap bakteri sariawaan Streptococcus sanguinis.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etanol cabai rawit ( Capsicum frutescens L) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis)? 2. Pada konsentrasi berapa ekstrak etanol cabai rawit memberikan efek
antibakteri terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis)?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol cabai rawit (
Capsicum frutescens L) terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis).
2. Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak etanol cabai rawit yang memberikn efek antibakteri terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis).
1.4 Kegunaan Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kemampuan cabai rawit ( Capsicum frutescens L) sebagai aktivitas antibakteri terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis).
1.5 Kerangka Pemikiran
Cabai rawit (Capsicum frutescens L) oleh sebagian masyarakat secara empiris digunakan sebagai obat tradisional untuk obat pengobatan sariawan. Karena mengandung senyawa flavonoid dan vitamin C yang terkandung dalam cabai rawit (Capsicum frutescens L) diduga mengandung aktifitas antibakteri.
1.6 Metedoogi Penelitian
Penelitian mengenai aktivitas antibakteri ekstrak etanol cabai rawit (
Capsicum frutescens L) terhadap bakteri sariawan (Streptococcus sanguinis). Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu penyiapan bahan, karakteristik simplisia, ekstraksi,dan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar.
1.7 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Program Studi SI Farmasi Sekoah Tinggi Ilmu Kesehatan bakti Tunas Husada tasikmalaya.
Tahapan pennelitin
Bulan Maret Bulan April Bulan Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 Pengumpulan
bahann Pengolahan simpplisia Identifiksi
makaroskopik dan miktoskopik
Skrining fitokimia (serbuk)
Pengujian parameter simpllisia Ekstraksi
Skrining fitokimia (ekstrak)
Pemantauan ekstrak dengan KLT
Pegujian aktivitas antibakteri ekstrak cabai rawi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cabai Rawit
2.1.1 Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Species : Capsicum frutescens L.
2.1.2 Karakteristik Morfologi
Cabai rawit adalah tanaman perdu yang tingginya hanya sekitar 50-150 cm. Tanaman ini tumbuh tegak lurus ke atas. Akar cabai rawit merupakan akar tunggang. Akar tanaman ini umumnya berada dekat dengan permukaan tanah dan melebar sejauh 30-50 cm secara vertikal, akar cabai rawit dapat menembus tanah sampai kedalaman 30-60 cm. Batangnya bercabang banyak, berbuku-buku atau memiliki sudut pada bagian atasnya (Dini, 2014).
Daunnya merupakan daun tunggal yang bertangkai. Helaian daun bulat telur memanjang atau bulat telur bentuk lanset, dengan pangkal runcing dan ujung yang menyempit. Letaknya berselingan pada batang dan membentuk pola spiral (Dini, 2014)..
Bunga cabai rawit terletak di ujung atau nampak di ketiak, dengan tangkai tegak..Warnanya putih atau putih kehijauan, ada juga yang berwarna ungu. Mahkota bunga berjumlah 4-7 helai dan berbentuk bintang. Bunga dapat berupa bunga tunggal atau 2-3 letaknya berdekatan. Bunga cabai rawit ini bersifat hermaprodit (berkelamin ganda) (Dini, 2014)
Buah buni bulat telur memanjang, buah warnanya merah, rasanya sangat pedas, dengan ujung yang mengangguk 1,5-2,5 cm. Buah cabai rawit tumbuh tegak mengarah ke atas. Buah yang masih muda berwarna putih kehijauan atau hijau tua. Ketika sudah tua menjadi hijau kekuningan, jingga, atau merah menyala. (Dini, 2014)
Tanaman cabai rawit mengandung sponin, flavonoid, dan tanin. Buah cabai rawit mengandung kapsaisin, minyak atsiri, resin, daan vitamin C (Abdul, 2009).
2.1.4 Kegunaan
1. Sakit perut
Bahan : cabai rrawit secukupnya
Pengobatan : cabe rawit dicampurr dalam sayuran dan dimakan pada saat makan nasi. Ramuan ini digunakan bila sakit perut dierrtai rasa dingin dalam perut akibat sumber teenaga atau energi di dalam tubuh terkurrs karena rasa sakit perut.
2. Pencegah bau badan
Bahan : cabai rawit dan obat merah
Pengobatan : cabai rawit diiris secukupnya dan dicampur dengan obat merah. Ramuan dikook dan dioleskan denggan kapas pada ketiak 1-3 kali.
3. Gatal-gatal pada tangan dan kaki karena alergi cuaca Bahan : cabai rawit dan minyak wijen
Pengobatan : cabai awit diiris seckupnya dan dicampur dengan miyak wijen, campuran dimasukan untuk mendapatkan miyak cabai. Miyak capai dioleskan pada bagian tbuh yang gatal.
4. Perdarrahan ppada uterus
Bahan : 60 g cabai rawit dan 2-4 ceker ayam
Pengobatan : caabe rawit dan ceker ayam direbus dengan air secukupya hingga matang. Ramuan ini dibagi menjadi dua bagiaan untuk dikonsumsi dua kali sehari. Hal ini dilakukan selama 5-10 hari.
5. Rematik
Bahan : 10 g serbuk cabai rawit yang dikeringkan.
Pengoata : serbuk cabai rawit ditambah dengan setengah air panas dan diaduk hingga merata. Ramuan didiamkan beberapa saat dan dibalurkan pda bagian tubuh yang sakit. (Abdul, 2009).
2.2 Ekstraksi
2.2.1 pengertian ektraksi
tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) yang tertentu pula (Goeswin, 2007).
2.2.2 Pembagian Jenis Ekstraksi
A.Ekstraksi Cara Dingin
Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan
pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang
mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan
bahan alam yang mempunyai tekstur yang lunak. Yang termasuk
ekstraksi secara dingin adalah :
a. Metode Maserasi
Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. (Goeswin, 2007).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat
minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Sudjadi,
b.
PerkolasiPerkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi
dengan perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam
suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat
berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui
serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam
sel-sel simplisia yang dilalui sampel dalam keadaan jenuh.
Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya
sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya, dikurangi
dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan gerakan ke
bawah (Sudjadi, 1988).
B.
Ekstraksi Cara PanasEkstraksi secara panas dilakukan untuk mengekstraksi komponen kimia yang tahan terhadap pemanasan seperti glikosida, saponin dan minyak-minyak menguap yang mempunyai titik didih yang tinggi, selain itu pemanasan juga diperuntukkan untuk membuka pori-pori sel simplisia sehingga pelarut organik mudah masuk ke dalam sel untuk melarutkan komponen kimia. Metode ekstraksi yang termasuk cara panas yaitu
a. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang dilakukan pada titik didih pelarut tersebut, selama waktu tertentu dan sejumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor).
b. Dekoktasi
Penyarian menggunakan simplisian dengan perbandinnga dan derajat kehalusan tertentu.cairran penyari air digunakan pada suhu 90º selama 30 menit.
c. Infundasi
Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sample (khusunya simplisia) pada suhu 90º selama 15 menit.
d. Soxhletasi
Ekstraksi dengan alat Soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor).
2.3 Rongga Mulut
Rongga mulut merupakan tempat berkumpulnya bakteri, pada keadaan penurunan imunitas, bakteri rongga mulut yang semula komensal dapat berubah menjadi patogen yang dapat menimbulkan infeksi. Bakteri yang biasanya terdapat dalam mulut diantaranya adalah Streptococcus mutans, Streptococcus viridians, Staphylococcus aureus epidermidis, Staphylococcus pneumonia, dan Staphylococcus aureus (Margono, 1998).
2.4 Bakteri
Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri mempunyai ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0 µm kali 2,0-5,0 µm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau Bacillus, bentuk spiral.
Streptococcus sanguis atau Streptococcus sanguinis merupakan bakteri golongan alfa berbentuk kokus gram positif fakultatif. Bakteri ini memiliki dinding yang tebal terdiri dari peptidoglikan dan tidak berspora. 7 Morfologi S. sanguis berbentuk bulat sampai lonjong dengan diameter 0,6 – 1,0 μm, bersifat non motil, katalase negatif , tumbuh optimum pada
suhu 37C dengan pH antara 7,4–7,6. Morfologi koloni bewarna opak,
berdiameter 0,5-1,0mm, permukaannya kasar (hanya 7% bersifat mukoid). 7 Klasifikasi Streptococcus sanguis adalah sebagai berikut (Jawetz, Melnick, & Adelberg, 2001):
Kingdom : Bacteria Class : Bacilli
Ordo : Lactobacillales Family : Streptococcaceae Genus : Streptococcus
Species : Streptococcus sanguinis
2.5 Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo, 1971). Antimikrobia meliputi golongan antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswara, 1995).
Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu menghambat sintesis dinding sel mikrobia, merusak keutuhan dinding sel mikrobia, menghambat sintesis protein sel mikrobia, menghambat sintesis asam nukleat, dan merusak asam nukleat sel mikrobia (Sulistyo, 1971).
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 105-108 CFU/mL (Pelczar dan Chan. 1988).
diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan di sekeliling lubang (Pelczar dan Chan. 1988).
DAFTAR PUSTAKA
Latief, Abdul. 2009. Obat tradisional. Jakarta. Penerbit buku kedokteran ECG.
Nuris Nuraeni, Dini. 2014. Aneka daun berkhasiat untuk obat. Yogyakarta. Penerbit gava ediia.
Kuswiyanto, 2017. Bakteriologi 2. Jakarta : EGC
Agoes, Goeswin. 2007. Teknologi Bahan Alam. Bandung: Penerbit ITB Sudjadi, 1988, Metode Pemisahan, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah
Mada.
Margono G, 1998. Radiografi Intra Oral : teknik, prosesing, Interpretasi radiogram, Jakarta: EGC.
Jawetz, E. 2007. Melnick, J.L., Adelberg, E. A., 2001. Mikrobiologi kedokteran, edisi XXII. Diterjemahkan oleh bagian mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas airlangga, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
Sulistyo. 1971. Farmakologi dan Terapi. EKG. Yogyakarta.
Ganiswarna, 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.